Kamis, 30 Mei 2013

Kenia Ken

Kenia Ken

“Aku? Suka sama wanita pengkhayal macam Kenia? Hhh! Mustahil!” sumpah itu meluncur dari mulut Kim, lelaki 50% Korea, 25% Sunda, 25% Madura. Jelas wajah orientalnya begitu kental. Super tampan. Super pedas dalam bertutur kata.
Kim lega meloloskan kata-kata itu dari mulutnya setelah selama ini tertahan di hadapan si empunya nama, Kenia Sarasvati, gadis 25% Bali, 75% Jawa, Indonesia tulen. Manis dan bertubuh umumnya wanita Asia. Tanpa ada penyesalan dalam batin Kim. Tiada peduli telah “membakar” telinga Kenia yang tak sengaja melintas di kamarnya.
“Orang yang suka menulis fiksi, apa namanya kalau bukan pengkhayal? Menjadikan nama dan karakter idolanya sebagai tokoh utama? Memosisikan dirinya sebagai lawan dari tokoh utama? Apa itu namanya bukan pengkhayal? Cih!” lanjut Kim lebih pedas lagi. “Sorry, aku tak pernah tertarik dengan wanita yang tak realistis hidupnya. Ia hidup di dunianya sendiri dengan banyak topeng karena setiap ceritanya punya karakter tokoh wanita yang berbeda dan ia memosisikan itu dirinya,” tegas Kim.
Di balik jendela kamar Kim, Kenia pilu hingga keluarlah air mata dari sudut mata teduhnya. Tak ambil panjang pikir, Kenia meninggalkan tempat itu segera. Sementara Kim mencoba menengok sudut dimana Kenia tadi berdiri usai menutup telepon bohongannya itu. Ia hanya berpura-pura berbicara dengan seseorang di telepon dan membahas Kenia. Sekarang dia puas. Itu adalah cara untuk mematahkan hati Kenia, agar Kenia sadar bahwa dirinya tak lagi bisa membuka hati. Bagi Kim, wanita hanya seolah paku payung yang bertebaran dimana-mana yang siap menjebaknya kapan saja, dimana saja dan tak peduli betapa perih luka yang ditinggalkan. Kim telah lelah mengobatinya sendiri dan butuh waktu lama mengobatinya.
***
Pagi cerah disertai merdunya nyanyian burung-burung berkicauan yang terbang dan hinggap kesana dan kemari di antara pepohonan pekarangan rumah Kenia. Di ruang makan yang berkonsep teras lepas disambut taman mini berhias tanaman obat keluarga alias toga sudah berkumpul ayah dan ibu Kenia, Dewa kakak lelaki Kenia dan Kim. Sementara Kenia yang biasanya paling awal bersiap diri di sana, belum juga menampakkan batang hidungnya. Ibunya berinisiatif menyusulnya di dalam kamar.
Kamar Kenia, pukul tujuh pagi. Kenia masih meringkuk di atas kasurnya. Binar matahari yang begitu kuat menembus kaca kamarnya yang berseberangan dengan posisinya sekarang meringkuk, mengenai keseluruhan tubuhnya.
Pintu kamarnya terbuka, ibunya masuk dan tersenyum simpul.
“Ken, kamu tumben masih bermalas-malasan? Biasanya kamu selalu siap sedia lebih awal,” ucap ibunya.
Kenia menoleh malas. “Ibu... aku sedang malas keluar rumah. Hari ini aku tak ikut ayah ke kebun, ya?” tungkas Kenia.
“Tak biasanya,”
“Ya, malas saja, Bu. Berikan aku sehari saja untuk bermalas-malasan. Aku tak pernah bermalas-malasan semenjak Tuan Kim datang kemari, nyaris dua bulan,”
“Apa dengan bermalas-malasan akan membawa panggilan tes dan interview kerja datang padamu? Tidak, kan? Mari bangun! Anak gadis tak pantas bangun siang-siang. Rezekinya dipatuk ayam,”
“Ibu... please... sekali ini saja!” Kenia memohon.
Ibunya begitu saja meluluskan permintaan sang anak perawannya. Mungkin karena kedua mata sembab Kenia. Ibunya tahu persis pasti ada suatu masalah sampai Kenia menguras air mata begitu.
“Tapi ibu tak akan membawakan makanan untukmu ke kamar. Pamali makan di kamar,”
“Siap nyonya,” sahut Kenia masih sempat bercanda.
Ibu mengelus kepala Kenia kemudian beranjak pergi dari kamar Kenia.
Selepas ibunya menutup pintu beberapa menit, Kenia duduk di depan meja dengan sebuah kaca besar.
Kamu tak ada artinya di matanya, Ken! Buat apa kamu bersusah payah mengejarnya? Dia dan kamu berbeda. Tak akan pernah bersatu. Dia tak menghendakimu menjadi kekasihnya.
Kenia melirik ke sebuah rak buku. Di sana berjejer rapi di rak kedua dari paling atas, buku-buku yang mencantumkan namanya di antara belasan bahkan puluhan nama-nama pengarang cerpen lain. Sekitar ada sepuluh buku antologi cerpen, lima buku kumpulan puisi dan prosa dan dua buah buku kumpulan cerpen self-publishing dan sebuah novel komedi romantis produksi penerbit mayor atas nama Kenia Ken, nama pena Kenia. Sebanyak itu karyanya tercipta dan diapresiasi. Kebanggaan tersendiri baginya. Namanya terabadikan. Tiada yang lebih berharga seolah menjadi gajah yang mati meninggalkan gading sehingga akan dikenang bahwa ia pernah hidup melengkapi “koleksi” Tuhan di bumi.
Kenia beranjak menghampiri rak buku itu dan menyentuhnya dari ujung ke ujung.
“Kebahagiaanku tak sama dengan kebahagiaannya. Baginya aku hanya pengkhayal ulung. Andai saja ia mau sedikit memahami, khayalanku adalah buah dari hasil perekaman panca inderaku selama ini. It’s mean, aku justru wanita cerdas yang bisa mengolah hasil rasa panca inderaku dengan begitu ciamik. Jalan kita memang berbeda. Segalanya berbeda. Tapi kenapa dia tak bisa beranjak dari alam pikirku? Tuhan... aku tak boleh mencintainya lagi. Tapi apakah semudah itu? Ah...!” Kenia mengacak-acak rambut sebahunya. Tampangnya kusut. Kemudian mendadak perutnya melantunkan musik keroncong. Lapar. Ia bergegas menuju ruang makan. Mungkin orang-orang di ruang makan sudah sibuk keluar. Ayah dan Kim ke kebun sayur belakang rumah mereka yang begitu luasnya, Dewa dan ibunya ke toko aneka kue milik keluarga mereka yang tak jauh dari rumah mereka.
Kenia membuka lemari es dua pintunya. Ia menelusuri penuh seluruh isi lemari es. Pertama ia mengambil sebotol orange juice yang sering disediakan pembantunya khusus untuknya. Ia tak peduli seberapa kecut. Ia sudah kepalang rutin minum jus jeruk setiap pagi tanpa minuman air putih sebagai pembuka untuk menetralkan lambungnya.
“Ahhh...” suara Kenia merasakan setiap tenggakan kesegaran jusnya itu.
Kemudian ia berdiri dan meletakkan botol jus itu kembali ke tempat semula. Lalu ia membuka tudung penutup makanan di meja makan. Tempe penyet dan lalapan. Kenia menelan air liur kuat-kuat. Matanya melebar. Itu makanan favoritnya! Bergegas ia menyahut piring dan mengambil nasi hangat dari penanak nasi. Usai cuci tangan, segera ia melengkapi sarapan nikmatnya pagi ini.
Kenia makan begitu lahap. Bahkan ia menambah nasinya satu centong lagi. Kenikmatan tiada tara bisa makan nasi sambal seperti itu.
“Enak sekali,” suara itu menghentikan kunyahan Kenia. Kenia melirik. Pemilik suara itu sudah menyunggingkan senyum di bibirnya.
“Tuan Kim,”
“Lanjutkan saja! Aku mau mengambil pacul di gudang,” ujar Kim. “Oh, ya, sudah kukatakan berapa kali, jangan panggil aku Tuan. Kim saja cukup,”
Kenia tersenyum singkat mengiyakan saja. Rasanya memang tak pantas memanggil nama begitu saja. Kenia tak tahu pasti panggilan apa yang pantas untuk tamu ayahnya dari Korea yang fasih berbahasa Indonesia itu. Ia adalah anak tertua senior dekat ayah Kenia ketika kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Senior itu berdarah Madura dan Sunda dan mempersunting wanita Korea. Umur Kim sendiri 35 tahun, beda sebelas tahun dengan Kenia. Kenia ingin panggil Mas? Om? Rasanya kurang sreg. Lalu, apa dong? Tuan saja lah, Kenia memutuskan seperti di drama-drama Korea.
Kim masih bersikap biasa seolah tiada yang terjadi. Itulah keputusannya. Ia tak ingin terang-terangan menolak Kenia. Ia tahu Kenia juga wanita tapi Kenia terlalu polos untuk disia-siakannya nanti.
Kenia merasa semakin pilu. Kim seolah merasa tak berdosa atas ucapannya semalam. Kenia menatap pintu gudang yang samar-samar terlihat dari ruang makan. Berharap Kim segera muncul. Begitu muncul Kenia sigap memalingkan pandangannya dari sana. Jantungnya kembali berdegub cepat. Ada sedikit harapan Kim menyapanya lagi tapi matanya mendapati Kim melenggang berlalu begitu saja. Mata Kenia berkaca-kaca. Tangannya spontan meraih sambal yang ada di cobek. Ia meraup lebih banyak, separuh kepalan tangannya. Nasinya yang masih sedikit kini memerah cabai. Dengan rakus ia memakannya tanpa ampun. Hatinya panas, kacau. Tak lagi bisa digambarkan.
***
Kalender sudah berganti lembaran berikutnya. Bulan baru. Kim masih tinggal di rumah keluarga Kenia. Dengar-dengar ini bulan terakhir. Tapi, hubungannya dan Kenia tak makin membaik seperti awal mereka baru saja saling kenal. Kenia menjaga jarak. Kim juga. Tak ada yang ingin meluruskan maksud masing-masing. Kenia  masih salah paham,  Kim ternyata makin terasa terusik dengan perbuatannya tempo lalu. Ada perasaan menyesal menelusup palung hatinya. Mungkinkah dirinya terlalu kejam mengatai gadis manis itu dengan sebutan wanita pengkhayal? Hanya karena dia wanita dan wanita hanya racun dunia baginya sehingga ia memukul rata pandangan itu terhadap semua wanita.
Rasanya tak adil juga. Mengingat nampaknya perasaan gadis itu tulus padanya. Cinta seperti apa sih, dari gadis yang menurut orangtuanya ia tak banyak pengalaman bercinta dan sekalinya bercinta ternyata kepercayaannya dinodai dengan adanya cinta yang lain? Hidup Kenia nyaris seperempat abad tapi pengalaman tentang lelaki tak banyak ia peroleh akibat pengalaman pahit itu. Sama seperti dirinya. Kim, hidup sebelas tahun lebih tua ketimbang Kenia, pengalaman menjalin hubungan serius dengan wanita juga baru sekali dan berakhir dengan ketukan hakim pengadilan memutuskan perceraian. Usia pernikahan itu hanya sekitar satu tahun kemudian wanitanya memutuskan pergi untuk lelaki lebih keren mentereng dengan banyak timbunan dollar. Kenia dan Kim pribadi bernasib sama. Itulah kesamaan mereka, selain darah Indonesia yang sama-sama mengalir di dalam tubuh mereka.
Dari sepenggal kisah yang punya tema sama, aslinya mereka bisa saling mengobati. Tapi Kim tak bisa. Ia terlalu takut jika bawah sadarnya mendorongnya untuk menyakiti Kenia sebagai wujud balas dendam terhadap wanitanya dulu. Itu tak adil. Tapi, mata teduh Kenia semakin lama semakin menariknya melesak ke dalam untuk mengajaknya berjalan bersama, beriringan dengan Kenia. Hingga kekacauan hati Kim semakin menjadi tak bisa diluruskan satu per satu ketika suatu sore seorang lelaki bernama Prio Dewantoro muncul di balik pintu rumah Kenia.
“Wah, saya nggak pernah tepikir seorang Prio Dewantoro datang ke sini. Sama Mbak Uki Palupi sang sutradara kece. Berasa jatuh dari kahyangan gitu, heheh. Jadi, gimana-gimana, Mbak? Mas?” seru Kenia girang kedatangan sutradara dan aktor muda sukses dari ibu kota. Sungguh di luar dugaan. Artis datang ke rumahnya di kota kecil di tengah Jawa Timur.
Maksud kedatangan Uki Palupi adalah “meminang” novel Kenia untuk difilmkan.
“Astaga naga!! Sumpah, Mbak??! Serius?? Berapa rius??” Kenia sontak melonjak dari tempat duduk semula, bergeser beberapa senti.
Uki dan Prio tersenyum lebar. Kenia bahagia bukan kepalang. Dengan segera Kenia menyetujui pembicaraan itu. Esok harinya mereka bicara soal aturan kontrak kerja mereka. Akhirnya, Kenia kini tidur dengan senyum bahagia. Berkali-kali lipat bahagianya dibandingkan ketika namanya tercantum di buku. Sekarang namanya akan menghiasi layar lebar dan poster-poster di gedung-gedung bioskop! Walau dalam skala kecil sih. Intinya judul ceritanya akan terpampang nyata. Bahkan idolanya juga yang akan menjadi tokoh utama. Mimpi sekalipun tak pernah Kenia impikan perihal film ini.
***
Singkat cerita, semenjak Kenia beralih fungsi sementara jadi script writer film besutan Uki Palupi, Kenia merantau ke Jakarta beberapa waktu. Meninggalkan keluarganya dan Kim di rumah. Kenia tak lagi memikirkan perasaannya pada Kim. Tapi Kim tak begitu saja hilang terhapus di memori otaknya.
Seiring dengan itu hari-hari Kenia terisi oleh idolanya. Entah... kiasan apalagi yang menggambarkan kegirangan Kenia bisa berinteraksi begitu dekat dengan Prio. Seketika hal ini menjadi bahan gosip yang menyebar di media massa elektronik dan cetak. Kenia tak henti tepok jidat, mengelus dada, menggaruk kepala, memijat-mijat kepala. Pusing. Apa kabar keluarganya ketika tahu gosip itu
Ponsel Kenia berdering.
“Halo,” sapa Kenia. “Iya, Bu, nanti pasti klarifikasi. Tapi ini kan cuman gosip. Toh gosipnya juga bukan gosip jelek. Hanya dikatakan ada hubungan. Kami tak ada hubungan apapun. Masa’ Kenia pacaran sama artis, mana mungkin?” “Iya, iya, Ibu sama orang rumah tenang ya, pasti gosip ini segera berlalu. Ibu seperti tak tahu saja dunia artis. Hehehe, tenang saja, Bu,” “Apa? Tuan Kim besok lusa pulang? Bukannya akhir bulan?” Kenia melirik kalender sejenak. “Oh, iya, ini akhir bulan. Salam saja Bu, semoga selamat sampai tujuan. Oke, Ken pasti jaga diri di sini,”
Kenia bicara tanpa henti menimpali ibunya di seberang sana. Ia tersenyum senang bisa mendengar suara ibunya. Beberapa detik kemudian ponselnya berdering kembali.
“Ibu, lupa. Maaf. Mmuaacchhh... tidur nyenyak ya, Bu? Dada...” Kenia asal nyerocos tanpa peduli siapa di seberang sana, disangkanya ibunya.
“Kenia...” suara lelaki merdu terdengar seketika.
Kenia tertegun sejenak. Suara itu tak jauh beda dengan suara asli kala bertemu.
“Tuan Kim?”
“Bisakah kita bertemu besok di taman kota dekat hotelmu sekarang?” tanya Kim di seberang sana.
Kenia masih tertegun. Kim sudah sekota dengannya. Oh, oya, ia lupa, ibunya tadi menyampaikan bahwa Kim akan bertolak ke Korea esok hari. Kenia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara ini ia lupa perasaannya pada Kim tapi apakah perasaannya yang biasa saja mendengar Kim akan kembali ke negaranya saat ini akan bertahan setelah Kim ada di sana? Apakah ini awal cintanya pada Kim memudar? Yang pasti Kenia mengiyakan permintaan Kim.
***
Taman kota jam sepuluh pagi. Kim sudah duduk manis di suatu sudut taman itu. Berpenampilan rapi meski tak seperti eksekutif muda ala aktor drama Korea pada umumnya. Kuning langsat kulitnya semakin terlihat cerah terkena “hujan” cahaya matahari Jakarta. Wadahnya teduh meski garis wajahnya begitu terlihat jelas yang sering identik dengan orang yang tegas dan sangar. Ia siap untuk mengutarakan segalanya pada Kenia.
Kenia datang dengan dres selutut corak bunga dengan dominasi warna merah maroon diselingi warna putih dan kuning.  Tas kecil bertali yang menyelempang serong di pundaknya. Rambutnya yang ikal bergelombang diikat seolah digelung di belakang dengan tusuk rambut. Segar. Manis.
Kenia menyapa Kim. Kim menoleh tersenyum.
“Aku tak mengganggumu, kan?” tanya Kim. “Duduklah!”
“Tidak. Syuting dimulai nanti setelah makan siang. Ada apa?”
Hati Kim sontak bergetar menatap kedua bola mata Kenia kali ini. Mengapa baru sekarang ketika hendak pergi meninggalkan Indonesia? Kenia dengan kuat menatap balik mata Kim.
“Apa kabarmu?”
“Beginilah. Baik,” sahut Kenia tersenyum.
Darah Kim berdesir. Ada apa ini?
“Kamu senang berada di sini?” tanya Kim yang masih belum menemukan timing yang tepat untuk masuk ke inti pembicaraan.
“Tentu. Ini lebih dari impianku. Dan sungguh Tuhan luar biasa memberikan hadiah untuk hamba-Nya,” Kenia menyahut semangat, senyumnya merekah.
Inilah alasan mengapa aku tak mau menerimamu, Ken. Anggunmu jangan ternodai olehku. Tapi kenapa semakin ke sini, anggunmu justru menarikku kuat-kuat larut? Mendobrak keras pintu hatiku yang terkunci rapat. Kini anggunmu sukses mengoyak kuncinya. Terlepas. Tinggal menunggunya terbuka. Tapi sebelum itu Kenia... berhentilah menggodaku! Hentikan anggunmu merajukku!
Kim bingung harus bicara apa, akhirnya hanya kata maaf yang meluncur lancar. Kenia mengernyitkan dahi. “Untuk apa?” tanya Kenia.
“Malam itu. Malam ketika aku menamaimu wanita pengkhayal, tak realistis, aku sengaja. Aku tahu kamu ada di situ. Sungguh aku minta maaf. Aku hanya tak ingin membuatmu terluka lebih dalam. Aku bukan lelaki baik yang seperti kamu bayangkan,” jelas Kim akhirnya bisa masuk ke poin pembicaraan.
Kenia dua kali lipat tak tahu harus bicara apa dan akhirnya ia mulai berkata,“Itu artinya Tuan Kim tahu bahwa aku menyukai Tuan Kim?”. Kim mengangguk.
Suasana hening sejenak di antara keduanya.
“Aku tak peduli ketika ibu menceritakan bahwa Tuan seorang duda, seorang pengusaha, seorang Korea dan separuhnya Indonesia. Yang aku pedulikan adalah ketika aku pertama melihat Tuan Kim, aku merasa tertarik. Tak ada cerita buruk tentangmu di keluarga kami. Jadi tak ada alasan aku tak menyukaimu, walaupun tak ada alasan kuat juga mengapa aku harus menyukaimu. Usia kita terpaut jauh, lho, hehehe,”
“Jadi, apakah kamu akan bertahan dengan perasaanmu setelah tahu malam itu aku melukaimu?”
“Aku tak tahu. Aku belum menemukan alasan untuk itu. Sekarang ini saja aku sudah lupa pernah menangis malam itu. Tak ada yang bisa menjamin,” Kenia tak mantab benar dengan ucapannya, ia hanya asal bicara menimpali pertanyaan Kim.
“Kalau begitu aku bisa meninggalkan negara ini dengan tenang,”
Kenia melengos cepat ke arah Kim. Apa maksudnya “dengan tenang”?
“Aku tak perlu mengkhawatirkanmu dengan sakit yang kutinggalkan karena kamu nampaknya sudah biasa saja,”
Kenia menajamkan sorot matanya. Nampak biasa saja? Kim tak tahu kalau proyek film tak datang, mungkin Kenia tetap terngiang-ngiang dengan luka sembilu akibat ulah Kim. Kali ini Kenia mulai fokus.
“Kim...” panggil Kenia untuk pertama kali tanpa permulaan “tuan”. Kim menatap Kenia lekas. Nadanya berbeda dibandingkan ketika Kenia memanggilnya “tuan Kim”.
“Aku hanya ingin jadi milikmu. Aku tak yakin sekarang apakah rasaku masih ada atau tidak. Tapi cinta juga tak mungkin pudar dalam hitungan minggu bahkan hari bukan? Mengapa tak kita coba jalan bersama, siapa tahu kita cocok? Aku tahu, di usiamu sekarang bukan waktunya coba-coba tapi apakah dengan sekali lihat kita bisa tahu rasanya pacaran, menjalin asmara atau apalah istilahnya. Apalagi kamu yang katanya trauma menjalin hubungan dengan wanita. Bagaimana bisa kamu menyamaratakan semua wanita busuk kalau kamu tak pernah punya pembandingnya? Aku juga tak punya banyak pembanding, dulu pacarku yang menikah dengan orang lain lalu kamu. Aku bisa membandingkan. Tak semua lelaki busuk tapi aku juga tak bisa menjamin kamu begitu. Tapi intinya tak kita coba, tak bisa kita rasakan bagaimana rasanya, ”
Kim terdiam menamati Kenia. Gadis muda anggun yang sudah pantas disebut wanita anggun. Mungkinkah terkait ia suka menulis kisah romantis dan puitis sehingga pemikirannya mengarah ke dewasa dan berlumur nuansa romantis, bijaksana, puitis dan ah... hanya kalangan tertentu yang bisa memahami. Tak salah Kenia menjadi penulis yang cukup dipertimbangkan di dunia penulisan. Wanita pengkhayal satu ini tak bisa dipandang remeh. Ia dibentuk oleh tulisan-tulisan yang ia baca dan tulisannya terbentuk oleh pribadinya yang berkutat cukup lama dengan kepenulisan romantis dan puitis. Dan dirinya salah menilai Kenia. Kenia bukan wanita pengkhayal biasa.
“Kamu yakin ingin menjadi milik lelaki yang berseberangan denganmu? Aku lelaki realistis empiris, tak suka fiksi,”
“Itupun bukan alasan untukku berhenti menyukaimu dari awal sampai sekarang. Pasangan kekasih tak akan bisa berjalan beriringan jika mereka punya karakter sama. Sepatu tak akan bisa digunakan jika semua bersisi kiri atau bersisi kanan semua, kan? Cobalah aku, jadi kekasihmu!”
Kim beranjak dari duduknya mendekati Kenia yang berdiri memijakkan tangannya di besi tua di bibir sungai yang membelah taman kota.
Kim memegang tangan Kenia, menyematkan jari-jarinya di sela-sela jemari Kenia. Menghadapkan tubuh Kenia ke arahnya.
“Kalau begitu, mulai detik ini jangan pedulikan artis lelaki itu! Aku cemburu,”
Kenia tersenyum lebar.
“Aku akan segera kembali bersama keluargaku untuk meminangmu. Bukankah tadi kamu bilang, usiaku bukan waktunya coba-coba? Aku akan segera meminangmu. Tak kuberi kamu kesempatan mengenal lelaki lain,” ujar Kim tersenyum mantab mengunci hati Kenia untuknya.
“Tentu. Kunci aku sebelum Prio yang meminangku,”
Mereka berdua berkelakar. Kim memeluk Kenia erat tanpa sekat. Mereka akan semakin merekatkan diri apapun yang terjadi. Mereka merasa sudah menemukan obat hati yang selama ini mereka cari walaupun terkadang masih ada gengsi yang tinggi untuk mengakui. Kisah cinta mereka dimulai kali ini
***


Kamis, 23 Mei 2013

Ucapan Cinta Ala Penyair (UCAP) #1 untuk Lelaki di balik "Benteng"



buku kumpulan puisi & prosa
UCAP #1
Wow! Entah apa yang bisa kuucapkan selain alhamdulillah pada Sang Khaliq. Di saat lagi jenuh, bosan, penuh pengharapan segera dapat pekerjaan atau tulisan cerpen bisa menang lomba atau dimuat di majalah tapi tak kunjung datang DIA memberikan hadiah istimewa.

Beberapa waktu lalu iseng coba ikut lomba puisi yang temanya aku banget! Iya, romans-romans gitu deh. UCAP alias Ucapan Cinta Ala Penyair oleh sebuah penerbit dari Malang Meta Kata Nah, karena pada waktu itu lagi teringat sang (mantan) gebetan yang sudah merantau nun jauh terpisah lautan akhirnya bikin deh, secara instan. Malam itu juga buat, malam itu juga aku kirimkan. Cuman butuh waktu sekitar 1 jam buat ngrangkai kata plus editing. :D

Info lomba itu kusebar juga (karena satu syarat ikut lomba suruh nyebar info ke-25 orang lewat akun jejaring sosial). Terus setelah kukirim ya sudah mengalir begitu saja. Nothing to lose. Menang alhamdulillah, enggak juga nggak apa-apa. :p

Tapi apa yang terjadi? Pengumuman pemenang lomba maju sehari. Waktu itu aku tahu up date karya terpilih dari home blog. Ada namaku di situ urutan ke-3. Setelah aku lihat blognya aku masuk 111 karya terpilih!! Senangnya. Dan itu sudah terjamin akan dibukukan. \O/. And then... ya kukira aku tak dapat juara. Ternyata semakin kursor kugerakkan ke bawah wallaaaa.... #8!!! Hahaha.... tak sangka daku. Puisi itu... ah, entah apa yang dipertimbangkan juri sampai masuk #8 besar. Tapi... aku senang! Seketika lubang kecil di sudut mata ini mulai mengeluarkan cairan air berlebih. Air mata yang bikin mata berkaca-kaca maksudnya. Ah, Tuhan membawa “angin segar” untukku. Ternyata... karyaku bisa diapresiasi sampai sedemikian rupa. 

Aku bukan orang romantis sih dan nggak jago bikin puisi. Dulu waktu SMP sering tapi setelah itu nggak ah. Ternyata banyak senior yang lebih jago. Bahasanya sastra banget. Puisi-puisiku tak ada artinya. Hanya berkecimpung di dunia romantis dan tak banyak kata indah sastranya. Ya, memang aku tak begitu suka sastra dengan konten berat yang membuatku harus jungkir balik dan jambak rambut untuk memahaminya. Tak sampai otakku berpikir ke arah sana :D

Puisi
based on true story itu aku persembahkan untuk (mantan) gebetan yang merantau menimba ilmu yang mungkin nggak pernah tahu, nggak pernah sadar aku pernah suka. Ah, tapi berkat dirimu aku bisa “menelurkan” sebuah karya dan menang. Kalau saja ini adalah ajang penghargaan dan hadiahnya berupa piala, dedikasi pertamaku ya untuk lelaki bernama... bernama... xoxoxox... RAHASIA. :p terima kasih untuk semua pengalaman sepihak yang berharga ini. Harapku, semoga kamu bahagia dengan hidupmu.  

Atas apresiasi ini saya ucapkan begitu banyak terima kasih untuk juri penerbit Meta Kata. Kemudian teman2 terdekatku yang sudah sering memberikan motivasi bahkan saran & kritikan ini dan itu yang membangun Altami, Intan, mbak Maya, Yuli Asih Putri, Andi, Weni dkk yang tak bisa disebutkan satu per satu. Orangtua yang tak tahu anaknya punya sense of romantic juga (ada darah romantis dari ayah? Dari ibu? Ehmm... kurasa tidak. Hohoho. Dari eyang? Dari buyut? Entah!). Adik-adikku, Adi & Agung, lihatlah mbakmu yang bisa romantis ternyata ^^. Kemudian terutama adalah Allah SWT yang selalu bisa menyembuhkan luka para hamba-Nya di kala sedih, sendu, pilu, perih, pedih. Tak ada yang abadi. Semua akan berganti. Seperti hidup ini bak roda yang terus berputar. Alhamdulillah... :) 
Mau tahu puisinya seperti apa? cek di sini >> Aku, Kamu, Benteng 
Happy Reading :)

Senin, 20 Mei 2013

Berjilbab, totalitas atau hatinya dulu?


Beberapa waktu lalu saya lihat sinetron, sebut merek aja ya "Tukang Bubur Naik Haji" membuat saya semakin mantab menjawab argumentasi orang tapi ya saya tak akan berdebat. Ilmu agama saya masih cethek, salah-salah saya diterkam mentah-mentah. Tapi tulisan ini tidak untuk menyerang siapapun, saya hanya ingin berbagi sebagai sarana kita berlajar bersama. 
Ini perihal menutup aurat bagi wanita muslimah. Dulu, ayah saya sering menyuruh saya segera berjilbab semenjak saya duduk di bangku smp tapi ibu saya melarang, menurut beliau "jilbabi hati dulu". Saya langsung nangkep, oh, mungkin maksudnya hatinya dibaik-baikin dulu, kelakuannya ditata "rapi" dulu. So, saya juga mencari "penguatan-penguatan" lain untuk berjilbab. Lalu ada teman saya di sekolah baik SMP  maupun SMA memberi pelajaran tersendiri untuk saya. Mulanya sih, saya juga seperti ibu saya dalam bentuk lain, memandang teman saya yang sudah berjilbab kok, masih pencilakan. Tapi.... Semakin ke sini saya tahu bahwa berjilbab itu wajib untuk wanita muslimah. Al-Qur'an menuliskannya sebagai berikut:
“Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka.’  Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang” (Al-Ahzab: 59)
“…janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,..” (An-Nur 31)

Dan hadits Rasulullah Muhammad SAW:
“Hai asma’, sesungguhnya wanita, apabila telah sampai tanda kedewasaan (haidh), tidak boleh terlihat bagian tubuhnya, kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan muka dan telapak tangannya).” (H.R Abu Daud, Al-Albani menghasankannya)

Saya tahu itu tapi ketika pertama kali memutuskan berjilbab hati saya "hambar" akan esensi jilbab itu sendiri, saya memang masih ingin terlihat modis seperti kebanyakan tren jilbab sekarang ini. Saya akui itu. Tapi di sisi lain saya merasa saya lebih nyaman dengan begini walaupun terkadang nyamannya masih terbatas pada menutupi tubuh yang gemuk dan rambut yang tak seindah model iklan shampo. Dan saya akui dengan berjilbab setidaknya packaging saya lebih indah dan sopan ketimbang dulu. 
Tapi kalam Allah SWT dan hadits sang baginda Rasulullah SAW itu berusaha sekuat tenaga saya hayati dan saya amalkan. Dan saya menjadi tidak nyaman ketika orang bilang "Mending jilbabi hati dulu ye baru nutupin seluruh tubuh" (kurang lebih itulah yang dikatakan tokoh Atiqah, istri ncing Mahmud). Dan sang ustadzah Zakaria menjawab "Bagaimana ya dalil menjilbabi hatinya dulu? Karena dalil untuk berjilbab/ menutup aurat keseluruhan itu sudah ada di Al-Qur'an dan Al-Hadits" (kurang lebih begitu). Dan sudah dituliskan pada paragraf sebelumnya kan? Kurang percaya? Monggo dicek ke kitab sucinya di rumah :)
Well, akhirnya kini saya punya jawaban untuk menyampaikan kepada yang masih berdalih seperti Atiqah. Tapi apa yang saya sampaikan nanti bukan untuk memojokkan atau menghakimi, saya sendiri belum sempurna. Hanya ingin mengajak bersama untuk mendekati golongan yang dirahmati Allah SWT dunia-akhirat. Berjilbab itu wajib walaupun awalnya berat dan masih belum bener tapi setidaknya ada upaya menuju ke arah lebih baik. Memang tidak ada yang bisa dipilih aslinya: 
1. Tak berjilbab tapi santun segalanya atau...
2. Berjilbab tapi mencak-mencak, pacaran, begajulan dll
3. Pengumbar aurat dengan lekuk tubuh bikin para lelaki melotot tapi berjiwa sosial tinggi
Tentu saja yang dipilih Dia tetap yang berjilbab dan santun sehingga bisa membawa barokah dan pandangan positif dari dunia luar untuk wanita muslimah.
Saya sih masih belum masuk "yang dipilih" tapi mari mari mari... belajar banyak. Ini hanya secuil tulisan pengalaman untuk pembelajaran bersama.
Semoga semakin hari, kita menjadi pribadi yang selalu memperbaiki diri. Setiap kita selalu ingin berakhir dengan baik bukan? Menutup mata dalam keadaan khusnul khotimah. Karena bagi Allah Azza wa Jalla amal yang terakhir kali itulah yang amat diperhatikan sebelum semuanya terputus urusan duniawi kita. Amin.

*Sedikit dikutip dari Jilbab Syar'i



Kamis, 16 Mei 2013

Aku, Kamu, Benteng


Aku, Kamu, Benteng

Aku dan kamu mungkinkah menjadi kita?
Kita dalam satu balutan meskipun kita punya warna berbeda
Kamu dengan kuning langsatmu, aku dengan sawo matangku
Kamu dengan keserba-adaanmu, aku dengan kesederhanaanku
Kamu dengan selera tinggimu, aku dengan tak pandang selera level manapun

Aku dan kamu mungkinkah menjadi kita?
Kita dalam satu jalan menuju penyatuan dua hati, dua jiwa
Kamu dengan keberanianmu, aku dengan persembunyianku
Kamu dengan rentetan katamu, aku dengan bahasa tubuhku
Kamu dengan kesetiaanmu, aku dengan jiwa tualangku

Aku dan kamu mungkinkah menjadi kita?
Benteng itu tinggi, benteng itu... benteng iman
Tahukah kamu? Bawah sadarku sudah terpenuhi oleh pesonamu setengah dekade terakhir
Tapi... benteng iman tak bisa kurubuhkan, kamu juga tidak dan tak akan ada yang mau merubuhkan, tak juga aku, tak pula kamu
Hanya saja, rinduku sudah menggunung di bawah sadarku
Hanya di sana aku bisa menemukanmu
Kamu terlampau jauh kurengkuh, terlalu sulit dipeluk
Dan aku menempelkan diri di benteng itu
Agar aku bisa menyalurkan energi rinduku padamu
Biar menelusup di celah-celah benteng itu... benteng iman antara aku dan kamu


*puisi ini ada di kumpulan puisi dan prosa UCAP (Ucapan Cinta Ala Penyair) #1 

Wanita Superior


Wanita Superior

Ini hanya catatan selintas lalu. Tentang perasaan tak nyaman yang dirasakan seorang anak tertua dalam sebuah keluarga “sederhana” berjenis kelamin wanita dan inginnya menjadi wanita superior.
Hhmm... budaya negara, daerah yg berlabel Indonesia, nampaknya banyak yang menganggap bahwa anak sulung merupakan tumpuan keluarga, tak peduli ia lelaki... atau wanita.
Anak perempuan yang sudah menginjak wanita dewasa awal ini merasa seperti anak ayam yang dilepaskan dari kandang untuk bertahan hidup. Sayang, wanita dewasa yang baru kemarin sore dilepas induknya ini untuk benar-benar mandiri masih belum bisa benar-benar berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Ia masih merepotkan bibi dan pamannya, teman-temannya.
Ada kegalauan menelusup ke palung hati wanita dewasa awal ini, ia ingin menjadi pribadi yang besar seperti apa yang telah ia lihat di televisi-televisi itu. Besar, hebat, dermawan, beriman. Walaupun dia wanita. Ia ingin menjadi wanita superior yang bisa mengangkat derajat keluarganya, memberikan kelengkapan fasilitas pendidikan akademis dan non-akademis untuk saudaranya, berbagi bersama mereka yang hidup dalam serba kekurangan tapi ketika waktunya sudah tiba ia akan menjalani tugas lainnya menjadi “hamba” untuk pemimpin berakhlak mulia yang sedang disimpan Sang Khaliq untuknya, menjadi pemilik surga di bawah telapak kakinya bagi keturunan-keturunannya yang sholeh dan sholehah dan terutama menjadi hamba yang selalu dikasihi Sang Illahi Rabbi.
Mewujudkan semua ingin wanita dewasa awal ini sungguh tak mudah. Sekarang ia bergulat dengan dirinya sendiri untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri yang mudah galau, mudah tersulut api amarah, mudah meremehkan Tuhannya dan sesamanya, mudah mengabaikan hal sepele, mudah mengeluh, mudah terpuruk, mudah menyerah dan mudah tak bersyukur. Rezeki seolah begitu jauh di atas langit, begitu dalam di perut bumi, begtiu terasa sulit untuk direngkuhnya. Semua karena kesalahannya sendiri. Ia tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri sehingga ia juga tak bisa berdamai dengan sesamanya bahkan Sang Pemberi Nafas untuknya. Tapi ia ingin berubah. Tapi ia sulit melepaskan diri dari cengkeraman iblis yang sukses membuatnya merasa candu berbuat dosa padahal iblis sudah melepaskan rantainya. Wanita dewasa awal ini ingin kembali. Sering ia ingin kembali pulang kepada Illahi tapi dosa demi dosa ia tumpuk sampai tak terhitung lagi. Inilah alasan mengapa rezeki tak mau ia peluk.
Ingin wanita dewasa awal ini ingin memoroskan pada satu tujuan: kebahagiaan kedua orangtuanya yang semakin hari semakin rambutnya beruban, tulangnya merapuh, energinya berkurang. Setiap kali pulang wanita ini terasa pilu tersayat melihat kabar orangtuanya. Mereka yang telah dengan susah payah mengabaikan kesehatan, kesejahteraan bahkan harga diri untuk wanita ini. Tapi wanita ini hanya mampu menangis seiring dengan kekejamannya “menyiksa” kedua orangtuanya melalui permintaan-permintaan lux yang pantas ia dapatkan -menurutnya-. Sekali waktu wanita ini merasa berdosa tapi lain waktu ia mengulangi lagi. Oh, betapa hidupnya tak pernah barnag secuil pahala yang ia torehkan dalam buku malaikat Raqib, sang pencatat amal baik manusia.
Terkadang wanita ini menyesal mengapa ia dilahirkan dalam keluarga “sederhana” itu? Tapi bayi lahir tak bisa meminta pada Rabb-nya pada siapa ia akan dilahirkan dan dibesarkan. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesali apapun yang sudah terjadi hanya membuang energi. Tapi mengapa untuk bergerak menuju perubahan saja begitu sulit? Lagi-lagi, semua karena kondisi yang “sederhana”. Mengapa ia dilahirkan sebagai anak pertama yang harus memikul beban berat? Tak adakah “jalan pintas” yang bisa mengentaskan keluarganya dari garis “sederhana” itu? Mendadak mendapat hadiah kek. Dipinang lelaki mapan dan kaya kek. Mendadak diterima kerja di kantor bergengsi kek. Dan kek-kek lainnya yang segera mengubah nasibnya dan keluarganya! Hhh! Tapi katanya tak ada yang instan. Wanita ini benci aslinya dengan kata-kata ini tapi ya itulah faktanya. Tapi saat ini wanita ini butuh hal instan untuk setidaknya bisa melegakan nafas orangtuanya dalam kehidupan sehari-hari dan membayar hutang-hutangnya dan juga untuknya sendiri agar tak lagi merepotkan kedua orangtuanya yang sudah memasuki “waktu sore menjelang senja”.
Hhmmm... tapi ada satu hal yang bisa dilihat wanita sebagai sedikit rasa syukurnya pada Sang Illah. Semua yang ia jalani sekarang harus ia lalui. Mutiara indah telah menjalani prosesnya yang begitu menyakitkan dari himpitan pasir-pasir itu. Sekarang wanita ini ada di posisi bawah, banyak benar dan salah ia lakukan, semua adalah proses menuju pendewasaan diri agar impiannya menjadi wanita superior terwujud dan ia menikmatinya di kala “senja”. Ia harus sukses! Ia harus bisa melegakan nafasnya sendiri dan keluarganya selama-lamanya cash, bukan kredit lagi!! Ia harus mencapai posisi paling atas dari semua yang ada. Dan membungkam mulut-mulut buah jiwa yang usil dan suka meremehkan. Ia akan jadi wanita di luar dugaan semua orang. ia bisa. Ia wanita superior. Ya, one day, she will.
Ya, Rabbi, saksikanlah janji ini. Restui janji pribadi yang penuh dosa tapi selalu ingin kembali pulang ke rumah-Mu meski kaki terseok-seok akibat sayatan belati, agar pribadi ini siap tertidur pulas selamanya di depan-Mu dengan tersenyum manis. Amin.

Jumat, 03 Mei 2013

Cinta Tapi Beda



Cinta tapi Beda

Area parkir kantor Hadi Tjandra Consultant and Associates. Pukul delapan lewat sepuluh menit.
“Kamu sudah tahu semua kekuranganku dan kita jelas berbeda tapi kenapa kamu masih selalu saja mengejarku?”
“Yaa, aku nggak ada alasan pergi dari kamu. Gimana dong?”
“Gini ya, please... sudahi saja sampai sini. Kita nggak akan pernah nyatu sampai kapan pun,”
“Kata siapa?”
“Kataku,”
“Kataku tidak. Kita pasti bisa bersatu. Aku butuh kemauan kamu untuk bersatu denganku. Lengkapi potongan hatiku yang masih separuh. Aku cuman butuh jawaban iya dari kamu, bukan yang lain,”
Laura sudah kehabisan akal membuat Hendri menjauhi dirinya.
“Sudah?” tanya Hendri. “... idemu sudah habis menolakku? Tenagamu sudah terkuras menghindariku?” imbuhnya.
Laura menatap Hendri melotot.
“Ahhh... entah! Aku lapar,” celetuk Laura yang sering bersikap lucu memecah ketegangan dan keresahan suasana ketika bersama Hendri.
Asli, hati kecil Laura tak bisa menolak Hendri. Lelaki itu bermulut pedas tapi semua fakta ia utarakan dengan tepat. Dan itulah yang menjadi pecut semangat orang untuk lebih bisa memperbaiki diri. Termasuk Laura meskipun mulanya Laura sangat tidak bisa terima dengan gaya Hendri itu.
@@@
Bekerja sebagai karyawan baru di perusahaan konsultan bergengsi di Surabaya dan Jakarta menuntut Laura harus bekerja ekstra padat, sungguh di bawah tekanan. Ia masih seorang trainee, level paling awal sebelum menjadi staff tetap di sana. Kekeliruan masih kerap ia lakukan. Laura harus mengeluarkan energi ekstra untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan yang punya deadline pekerjaan singkat, kemandirian, keingintahuan besar dan tanggungjawab yang besar. Maklum selama kuliah kemarin ia minim pengalaman organisasi, cenderung suka menunda pekerjaan, kurang banyak bersosialisasi dengan komunitas ini dan itu sehingga culture shock yang ia rasakan.
Hidup Laura jungkir balik berubah 180 derajat. Bangun tidur tak lagi bisa telat, tidur malamnya maju dari jam 12 malam jadi jam 9 malam seperti pas dia masih SD,  tak lagi “intim” dengan ponsel pintar yang baru dibelinya setelah wisuda tujuh bulan lalu karena akses ponsel selama di kantor dilarang keras, jadi kuper soal up date terbaru gosip artis dalam negeri-luar negeri, jarang pasang status di akun jejaring sosial dan yang membuatnya sesak ialah kenikmatan menulis fiksi yang jadi separuh jiwanya selama delapan tahun ke belakang juga terpangkas, nyaris tak pernah lagi menulis. Dan pastinya pekerjaan yang menumpuk setinggi setengah meter yang tersusun rapi di dalam loker “meneriakinya” untuk segera “dijamah”. Ia tak bisa mengelak. Ia sudah kecemplung di kantornya sekarang. Jalan keluarnya ya dia harus beradaptasi sebaik mungkin dalam waktu sesingkat mungkin.
Namun... di tengah kesibukannya sebagai newbie wanita karir seperti sekarang muncullah nuansa romantis yang diam-diam menggelorakan semangat Laura untuk pergi ngantor dan pulang telat setiap hari bahkan ketika pekerjaannya menuntut ia harus lembur kala akhir pekan. Tapi Laura tak bisa menunjukkan gelora itu jelas-jelas. Ia tak mau mengulangi kesalahan yang sama terlalu GR alias gede rasa terhadap perhatian seorang lelaki. Laura masih menunggu kepastian lelaki itu benar-benar memperhatikannya bahkan menyukainya dan mencintainya pasti.
Laura tahu dirinya mudah jatuh cinta dan mudah merasa GR di satu lokasi yang sama dengan lawan jenis. Ia ingin mengelak tapi ia tak bisa. Bahkan untuk lelaki satu ini. Laura tahu lelaki ini aslinya tak boleh disukai karena sahabatnya yang juga bekerja di kantor dan divisi yang sama dengannya juga menyukai lelaki ini. Laura tetap tak bisa menolak perasaannya. Pertama kali bertemu lelaki ini, Laura merasa lelaki ini punya aura kharismatik, terlebih berwajah oriental, Laura suka wajah oriental walau dia penduduk pribumi. Suara lelaki ini juga sungguh menawan. Penampilannya selalu rapih, jelas dia sering bertemu klien dari perusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasa konsultannya sebagai konseptor iklim organisasi perusahaan mereka. Gaya bicaranya menunjukkan dia sangat cerdas dan bijak. Laura tak bisa memungkiri lagi, ia tergoda pesona lelaki itu. Laura tak peduli sahabatnya. Bahkan sahabatnya hanya bilang bahwa ia hanya sebatas fans semata. So,... laura akan terus melenggang memperjuangkan percikan api asmara yang mulai bergelora itu.
@@@
Hari-hari Laura memang menyesakkan tapi ia tak pernah mati semangat melakukan pekerjaannya, semua karena lelaki yang membuatnya kasmaran. Laura terus mengamati lelaki itu dari kejauhan tapi sangat lekat dan teliti. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bisa bersama dalam satu tempat dan satu waktu dengan lelaki itu, jika kebetulan itu terjadi. Hanya saja Laura tak berani bertindak terlalu jauh untuk menyapa lelaki itu. Laura menyukainya tapi ia tak percaya diri untuk bisa membuat lelaki itu menyukainya. Laura hanya bisa berdoa Tuhan memberikannya kemulusan jalan untuk bisa dekat dengan lelaki itu.
Doa Laura terjawab. Ada sebuah proyek besar dari perusahaan multinasional yang sedang berkembang bidang distribusi produk-produk pangan. Laura mulai mendapat tanggungjawab sebagai koordinator pelaksanaan rekrutmen dan seleksi karyawan baru itu. Lelaki itu sebagai senior bidang human capital yang tugasnya merumuskan iklim organisasi sebuah perusahaan, diutus untuk menangani proyek ini. Laura dan lelaki itu bertemu dan interaksi dimulai. Kecanggungan Laura berkali-kali lipat hebatnya. Canggung untuk pengalaman pertamanya mengemban tugas sebagai penanggungjawab dan canggung bertatap muka bahkan berinteraksi dengan lelaki itu.
Waduh, kalau ketahuan begonya aku gimana, nih?
“Hai,kamu ---,”
“Laura. Panggil aja Laura. Ko Hendri, kan?”
Lelaki itu mengangguk tersenyum singkat. Mereka bersalaman. Tangan Laura keringetan. Ia gugup.
“Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, ya?” kata Hendri. Laura mengangguk pelan tersenyum.
@@@
Kerja sama Laura dan Hendri dimulai sudah hampir sebulan lamanya. Banyak yang Laura alami. Dari segi pekerjaan, ia merasakan sungguh tak mudah. Semua rencana yang tersusun rapi di kantor tak semuanya selaras dengan apa yang ada di lapangan, ada masalah di sana-sini. Walhasil berkas data yang dibawanya pulang ke kantor juga berantakan. Disemprotlah dia sama seniornya yang sudah ia label sebagai nenek sihir di divisi rekrutmen dan seleksi. Kemudian perkembangan kisah asmaranya dengan Hendri? Ikut terkacaukan pula. Trouble yang terjadi di bagian rekrutmen dan seleksi yang dipegang Laura berimbas terhadap pembicaran perencanaan iklim organisasi perusahaan bersangkutan. Sisi lain Hendri keluar. Ia mendudukkan Laura di hadapannya dan menatapnya tajam. Berdua saja mereka seolah intim berdua padahal suasana tegang sedang terjadi.
“Kamu ditraining berapa bulan sama bu Irene?” tanya Hendri dingin dengan tatapan mautnya yang membuat Laura merasa terintimidasi. Laura menunduk. Ia paling tak bisa ditatap seperti itu oleh siapa pun.
“Lima bulan,”
“Sudah ikut proses rekrutmen berapa kali?”
“Sepuluhan kali,”
“Harusnya bisa dong ngatasin hal sepele kayak kemarin itu? Kalau kayak gini, bisa merusak nama baik perusahaan kita, Ra. Kredibilitas perusahaan kita bisa turun, Ra,”
Laura cemas dan ketakutan.
“Angkat kepala kamu!” Hendri menyuruh. Laura tak jua mengangkat kepalanya.
“Angkat, Ra!” kali ini Hendri bersuara cukup lantang.
Laura pelan-pelan menghadapkan wajahnya kepada Hendri.
“Heran, kenapa bu Irene bisa nerima kamu jadi karyawannya. Sudah lima bulan training dan itu... itu waktu cukup lama buat seorang trainee bisa naik level ke posisi staff, harusnya bisa meminimalisasi kesalahan rekrutmen, tapi kamu? Apa?!” sergah Hendri. “Apa kamu nggak pernah belajar? Inget, budaya perusahaan kita itu budaya untuk terus belajar, belajar dan belajar. Aku nggak mau tahu gimana caranya kamu bisa mengatasi kesalahan yang sudah terjadi, saya nggak tahu bu Irene bakal ngapain kamu. Kamu siap-siap menerima semua resikonya. Aku harap kamu masih bertahan di perusahaan kita,” imbuh Hendri yang membuat Laura duduk terpaku kaku. Otot-ototnya menegang. Ia melakukan kesalahan besar yang mempertaruhkan kredibilitas perusahaannya. Inikah akhir karir Laura di sana? Desir-desir darah mengalir cepat di sekujur tubuh Laura. Ia masih belum bisa bergerak.
@@@
Proyek Laura untuk perusahaan distributor produk pangan sudah mendekati final. Banyak kekurangan di sana-sini yang diakibatkan Laura. Dan jelas banyak pula yang didapatkan Laura, omelan sana-sini yang membuatnya kecil hati (maklum Laura tak seratus persen pribadi tahan banting, digertak saja sudah pucat wajahnya) dan pastinya pelajaran untuk jadi lebih baik dalam karirnya. Hanya saja Laura butuh waktu untuk menghilangkan feeling guilty-nya terhadap senior dan perusahaannya juga perusahaan yang ditanganinya. Tapi seiring berjalannya waktu dengan “ditumpuk” fokus pekerjaan lain yang sudah masuk daftar pekerjaannya, ia bisa melupakan itu. Dan ternyata sosok lelaki yang membuatnya sempat kecil hati dan bertahan sampai proyek mereka berdua selesai, Hendri, juga turut andil membuat Laura bisa fokus ke pekerjaan yang lain. Hendri itu terkadang baik, terkadang bicaranya ketus, tapi terkadang senyumnya bisa membawa angin segar bagi Laura. Seolah-olah hati Laura tengah di on-off kan begitu saja sesuka hati oleh Hendri.  Membumbung tinggi lalu jatuh. Naik lagi. Turun lagi.
Sistem interaksi profesional Laura dan Hendri semenjak proyek tempo lalu merembet ke interaksi personal. Tak menyangka Laura dibuatnya, Hendri tiba-tiba saja mengirim pesan singkat untuk Laura tentang motivasi.
 Orang yang gagal bukan dia yang jatuh tapi dia yang jatuh dan tak mau bangkit. Belajar, belajar dan terus belajar. Pasti kamu bisa lebih, lebih dan lebih. J -Hendri-
Terima kasih banyak ko J -Laura-
Pertama kali Hendri mengirimnya, jantung Laura sudah berasa lolos copot dari kerangka tubuhnya. Laura terlewat bahagia. Hal ini terus berulang hingga beberapa kali hingga akhirnya sebuah keajaiban Tuhan turun dari langit.
“Lembur lagi?” tanya Hendri ketika mereka istirahat makan siang.
Laura mengangguk.
“Nanti pulangnya bareng, ya? Sekalian cari makan malam bareng mau?” lanjut Hendri.
Laura spontan melotot ke arah Hendri dengan taoge yang nongol buntutnya di ujung bibir Laura.
Hendri tersenyum lebar.
“Nanti aku samperin ke ruangan kamu ya atau aku langsung tunggu di parkiran?”
Laura masih berekspresi sama.
“Ra?” Hendri menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Laura.
“Oh, oke, oke, Ko. Langsung di parkiran aja,”
“Tumben fokus?”
Laura tersenyum malu. Hendri berlalu meninggalkan senyum manis untuk Laura.
Singkat kata, semenjak Hendri menawarkan untuk pulang bersama kemudian pengiriman pesan singkat naik level menjadi pesan singkat bertanya kabar dan mengajak jalan-jalan bersama, sinyal ketertarikan satu sama lain sudah terbaca. Laura menyukai Hendri, Hendri pun sebaliknya. Tapii.... tapi rasa suka tak pernah tersampaikan lugas melalui bahasa verbal, baik Laura juga Hendri. Perasaan itu masih tertahan di mulut masing-masing.
Perasaan keduanya memang tumbuh makin subur dan merekah mengembang berwarna indah tapi seiring dengan itu masalah-masalah lain yang sempat mereka abaikan akhirnya menyeruak muncul menyadarkan mereka. Layaknya benteng yang menjulang tinggi, kokoh tak ‘kan rubuh. Ini perihal iman. Prinsip yang tak bisa mereka abaikan maupun langgar begitu saja. Dilema tercipta, padahal hati keduanya sudah mulai terpaut meski kata tak terucap. Dan Laura juga semakin menyadari ada perbedaan lain yang cukup sulit untuk disatukan.
Hendri. Lelaki yang nampak tegas, berwibawa, bermulut pedas tapi berhati baik nan hangat, justru memiliki sisi lain yang tak bisa diterima Laura begitu saja. Kehidupan malam, alkohol, wanita seksi kerap kali menemani Hendri ketika ia suntuk dengan pekerjaannya dan sudah bertahan selama nyaris sepuluh tahun terakhir. Laura memang bukan umat yang taat tapi kebiasaan Hendri sangat tidak ia kehendaki. Hendri itu sosok yang lebih tapi juga minus di mata Laura tapi Laura tak bisa memutuskan ia harus mengakhiri cintanya atau berlanjut. Sulit. Ia sudah jatuh hati sejatuh-jatuhnya. Terlepas dari urusan keyakinan dan keburukan Hendri, karakter Hendri seolah proyeksi pemimpin dan pendamping hidupnya yang cukup ideal. Tapi satu per satu problem muncul ketika ia dan Hendri dimabuk asmara. Mendorong mereka untuk segera memutuskan layakkah hubungan mereka dilanjutkan?
Keduanya belum menemukan titik terang. Sementara keduanya hanyut dalam pekerjaan padat masing-masing. Tapi ada perubahan dari diri Laura. Kini ia menjauh. Meminimalisasi interaksi dengan Hendri, baik di kantor maupun lewat alat komunikasi. Hendri tak terima. Mereka berjanji tak mengambil pusing permasalahan yang ada sehingga komunikasi tetap terjalin baik dan rasa sayang mereka tak memudar. Hendri ingin terus bersama Laura. Semenjak bertemu dengan Laura, hatinya bergetar. Ia ingat janjinya sendiri, ketika hatinya bergetar bertemu seorang wanita, pertanda itulah jodohnya. Apapun yang terjadi akan ia perjuangkan. Meski benteng menjulang tinggi, kasih Hendri tak memudar.
Suatu malam pukul delapan malam. Laura sudah menuntaskan tugas kantornya kemudian keluar dari ruangannya untuk pulang, mukanya nampak payah. Hendri menyerobotnya dan menarik Laura keluar segera. Mencari tempat aman dan nyaman untuk meluruskan semua masalah dan mengurangi beban ketegangan dan ketidaknyamanan di antara mereka berdua beberapa pekan terakhir.
....
“Sudah?” tanya Hendri. “... idemu sudah habis menolakku? Tenagamu sudah terkuras menghindariku?” imbuhnya.
Laura menatap Hendri melotot.
“Ahhh... entah! Aku lapar,” celetuk Laura yang sering bersikap lucu memecah ketegangan dan keresahan suasana ketika bersama Hendri.
“Oke, kita cari makan, setelah itu kita bicarakan lagi ini,” Hendri memberikan solusi.
“Aku tak mau membahas ini lagi,”
“Itu artinya kamu nggak peduli lagi sama aku? Perasaanku ke kamu gimana?”
“Akhiri saja ko,” kata-kata itu lolos lancar dari mulut Laura tapi mendadak hatinya berat.
“Ngawur kamu! Enggak. Asal kamu tahu, aku sudah bikin janji ke diriku sendiri, suatu hari aku ketemu sama wanita yang bisa membuatku nggak sanggup berkutik, aku janji dia jodohku. Itu kamu, Ra,”
“Aku? Coba dipikir ulang deh, Ko. Mungkin ketika kita sudah berakhir, Ko Hendri bisa ketemu dengan wanita yang Ko Hendri maksud. Tolong Ko, perbedaan kita ini benar-benar jauh, Ko. Aku nggak bisa,”
“Kamu pikir aku playboy kelas kakap? Aku memang sering bergaul dengan wanita seronok penampilan dan kelakuannya tapi aku cari istri yang bisa menjaga dirinya utuh. Aku juga bukan lelaki bejat yang menyalurkan spermanya kemana-mana. Kamu tahu itu dan untuk urusan keyakinan, kita bisa mencari solusi bersama,”
Laura menatap Hendri lekat untuk pertama kalinya.
“Solusi apa Ko? Jangan pernah gadaikan iman untuk duniawi,”.
“Ra, aku sungguh-sungguh cinta sama kamu, bahkan sebelum kamu sering memperhatikanku. Tolong pikirkan! Jangan menghindariku dan jangan minta aku menyudahi semuanya! Tolong!”
Laura melemah, kata-kata itu keluar dari mulut Hendri. Laura juga mencintai Hendri tapi persoalan iman terlalu pelik.
“Itu membuatku berat melepasmu, Ko. Kenapa sih, kamu selalu bisa membuatku susah lepas dari kamu?” Laura berat berkata-kata dan menahan air mata. “... sungguh cukup bagiku mendengar kamu tegas menyatakan cintamu tapi aku tak bisa menggadaikan imanku, Ko. Kamu juga tak bisa menggadaikan imanmu. Kita jalani kehidupan kita masing-masing, Ko. Aku yakin Tuhan akan segera menunjukkan jalan. Kita akhiri saja sampai di sini. Kita renungkan apa yang sebaiknya kita lakukan,” sambung Laura.
Hendri menggenggam kedua tangan Laura menatap Laura perih.
“Kamu melepaskan aku?”
Laura mengangguk perlahan dan menundukkan kepala, ia tak kuasa menatap Hendri.
“Aku juga akan melepaskanmu tapi jangan minta aku berhenti mencintaimu. Tak ada alasan untuk itu, Ra,”
Hendri mengangkat dagu Laura untuk menatap matanya.
I love you,” ucap Hendri.
Love you too,” sahut Laura.
Tetesan air mata Laura jatuh sudah. Cinta terhalang benteng iman memang pelik rumit. Entah kemana kisah mereka akan bermuara. Tuhan sedang menyimpan kisah untuk asmara mereka. Mereka hanya bertugas menjalani sepenuh hati tanpa mengabaikan prinsip keteguhan masing-masing. Dua insan beda muara Sang Pencipta kehidupan itu masih memiliki kasih untuk satu sama lain tapi mereka juga tak pernah tahu kemana hati mereka akan berlabuh. Tetap jadi satu ataukah berpisah?
@@@