Kamis, 30 Mei 2013

Kenia Ken

Kenia Ken

“Aku? Suka sama wanita pengkhayal macam Kenia? Hhh! Mustahil!” sumpah itu meluncur dari mulut Kim, lelaki 50% Korea, 25% Sunda, 25% Madura. Jelas wajah orientalnya begitu kental. Super tampan. Super pedas dalam bertutur kata.
Kim lega meloloskan kata-kata itu dari mulutnya setelah selama ini tertahan di hadapan si empunya nama, Kenia Sarasvati, gadis 25% Bali, 75% Jawa, Indonesia tulen. Manis dan bertubuh umumnya wanita Asia. Tanpa ada penyesalan dalam batin Kim. Tiada peduli telah “membakar” telinga Kenia yang tak sengaja melintas di kamarnya.
“Orang yang suka menulis fiksi, apa namanya kalau bukan pengkhayal? Menjadikan nama dan karakter idolanya sebagai tokoh utama? Memosisikan dirinya sebagai lawan dari tokoh utama? Apa itu namanya bukan pengkhayal? Cih!” lanjut Kim lebih pedas lagi. “Sorry, aku tak pernah tertarik dengan wanita yang tak realistis hidupnya. Ia hidup di dunianya sendiri dengan banyak topeng karena setiap ceritanya punya karakter tokoh wanita yang berbeda dan ia memosisikan itu dirinya,” tegas Kim.
Di balik jendela kamar Kim, Kenia pilu hingga keluarlah air mata dari sudut mata teduhnya. Tak ambil panjang pikir, Kenia meninggalkan tempat itu segera. Sementara Kim mencoba menengok sudut dimana Kenia tadi berdiri usai menutup telepon bohongannya itu. Ia hanya berpura-pura berbicara dengan seseorang di telepon dan membahas Kenia. Sekarang dia puas. Itu adalah cara untuk mematahkan hati Kenia, agar Kenia sadar bahwa dirinya tak lagi bisa membuka hati. Bagi Kim, wanita hanya seolah paku payung yang bertebaran dimana-mana yang siap menjebaknya kapan saja, dimana saja dan tak peduli betapa perih luka yang ditinggalkan. Kim telah lelah mengobatinya sendiri dan butuh waktu lama mengobatinya.
***
Pagi cerah disertai merdunya nyanyian burung-burung berkicauan yang terbang dan hinggap kesana dan kemari di antara pepohonan pekarangan rumah Kenia. Di ruang makan yang berkonsep teras lepas disambut taman mini berhias tanaman obat keluarga alias toga sudah berkumpul ayah dan ibu Kenia, Dewa kakak lelaki Kenia dan Kim. Sementara Kenia yang biasanya paling awal bersiap diri di sana, belum juga menampakkan batang hidungnya. Ibunya berinisiatif menyusulnya di dalam kamar.
Kamar Kenia, pukul tujuh pagi. Kenia masih meringkuk di atas kasurnya. Binar matahari yang begitu kuat menembus kaca kamarnya yang berseberangan dengan posisinya sekarang meringkuk, mengenai keseluruhan tubuhnya.
Pintu kamarnya terbuka, ibunya masuk dan tersenyum simpul.
“Ken, kamu tumben masih bermalas-malasan? Biasanya kamu selalu siap sedia lebih awal,” ucap ibunya.
Kenia menoleh malas. “Ibu... aku sedang malas keluar rumah. Hari ini aku tak ikut ayah ke kebun, ya?” tungkas Kenia.
“Tak biasanya,”
“Ya, malas saja, Bu. Berikan aku sehari saja untuk bermalas-malasan. Aku tak pernah bermalas-malasan semenjak Tuan Kim datang kemari, nyaris dua bulan,”
“Apa dengan bermalas-malasan akan membawa panggilan tes dan interview kerja datang padamu? Tidak, kan? Mari bangun! Anak gadis tak pantas bangun siang-siang. Rezekinya dipatuk ayam,”
“Ibu... please... sekali ini saja!” Kenia memohon.
Ibunya begitu saja meluluskan permintaan sang anak perawannya. Mungkin karena kedua mata sembab Kenia. Ibunya tahu persis pasti ada suatu masalah sampai Kenia menguras air mata begitu.
“Tapi ibu tak akan membawakan makanan untukmu ke kamar. Pamali makan di kamar,”
“Siap nyonya,” sahut Kenia masih sempat bercanda.
Ibu mengelus kepala Kenia kemudian beranjak pergi dari kamar Kenia.
Selepas ibunya menutup pintu beberapa menit, Kenia duduk di depan meja dengan sebuah kaca besar.
Kamu tak ada artinya di matanya, Ken! Buat apa kamu bersusah payah mengejarnya? Dia dan kamu berbeda. Tak akan pernah bersatu. Dia tak menghendakimu menjadi kekasihnya.
Kenia melirik ke sebuah rak buku. Di sana berjejer rapi di rak kedua dari paling atas, buku-buku yang mencantumkan namanya di antara belasan bahkan puluhan nama-nama pengarang cerpen lain. Sekitar ada sepuluh buku antologi cerpen, lima buku kumpulan puisi dan prosa dan dua buah buku kumpulan cerpen self-publishing dan sebuah novel komedi romantis produksi penerbit mayor atas nama Kenia Ken, nama pena Kenia. Sebanyak itu karyanya tercipta dan diapresiasi. Kebanggaan tersendiri baginya. Namanya terabadikan. Tiada yang lebih berharga seolah menjadi gajah yang mati meninggalkan gading sehingga akan dikenang bahwa ia pernah hidup melengkapi “koleksi” Tuhan di bumi.
Kenia beranjak menghampiri rak buku itu dan menyentuhnya dari ujung ke ujung.
“Kebahagiaanku tak sama dengan kebahagiaannya. Baginya aku hanya pengkhayal ulung. Andai saja ia mau sedikit memahami, khayalanku adalah buah dari hasil perekaman panca inderaku selama ini. It’s mean, aku justru wanita cerdas yang bisa mengolah hasil rasa panca inderaku dengan begitu ciamik. Jalan kita memang berbeda. Segalanya berbeda. Tapi kenapa dia tak bisa beranjak dari alam pikirku? Tuhan... aku tak boleh mencintainya lagi. Tapi apakah semudah itu? Ah...!” Kenia mengacak-acak rambut sebahunya. Tampangnya kusut. Kemudian mendadak perutnya melantunkan musik keroncong. Lapar. Ia bergegas menuju ruang makan. Mungkin orang-orang di ruang makan sudah sibuk keluar. Ayah dan Kim ke kebun sayur belakang rumah mereka yang begitu luasnya, Dewa dan ibunya ke toko aneka kue milik keluarga mereka yang tak jauh dari rumah mereka.
Kenia membuka lemari es dua pintunya. Ia menelusuri penuh seluruh isi lemari es. Pertama ia mengambil sebotol orange juice yang sering disediakan pembantunya khusus untuknya. Ia tak peduli seberapa kecut. Ia sudah kepalang rutin minum jus jeruk setiap pagi tanpa minuman air putih sebagai pembuka untuk menetralkan lambungnya.
“Ahhh...” suara Kenia merasakan setiap tenggakan kesegaran jusnya itu.
Kemudian ia berdiri dan meletakkan botol jus itu kembali ke tempat semula. Lalu ia membuka tudung penutup makanan di meja makan. Tempe penyet dan lalapan. Kenia menelan air liur kuat-kuat. Matanya melebar. Itu makanan favoritnya! Bergegas ia menyahut piring dan mengambil nasi hangat dari penanak nasi. Usai cuci tangan, segera ia melengkapi sarapan nikmatnya pagi ini.
Kenia makan begitu lahap. Bahkan ia menambah nasinya satu centong lagi. Kenikmatan tiada tara bisa makan nasi sambal seperti itu.
“Enak sekali,” suara itu menghentikan kunyahan Kenia. Kenia melirik. Pemilik suara itu sudah menyunggingkan senyum di bibirnya.
“Tuan Kim,”
“Lanjutkan saja! Aku mau mengambil pacul di gudang,” ujar Kim. “Oh, ya, sudah kukatakan berapa kali, jangan panggil aku Tuan. Kim saja cukup,”
Kenia tersenyum singkat mengiyakan saja. Rasanya memang tak pantas memanggil nama begitu saja. Kenia tak tahu pasti panggilan apa yang pantas untuk tamu ayahnya dari Korea yang fasih berbahasa Indonesia itu. Ia adalah anak tertua senior dekat ayah Kenia ketika kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Senior itu berdarah Madura dan Sunda dan mempersunting wanita Korea. Umur Kim sendiri 35 tahun, beda sebelas tahun dengan Kenia. Kenia ingin panggil Mas? Om? Rasanya kurang sreg. Lalu, apa dong? Tuan saja lah, Kenia memutuskan seperti di drama-drama Korea.
Kim masih bersikap biasa seolah tiada yang terjadi. Itulah keputusannya. Ia tak ingin terang-terangan menolak Kenia. Ia tahu Kenia juga wanita tapi Kenia terlalu polos untuk disia-siakannya nanti.
Kenia merasa semakin pilu. Kim seolah merasa tak berdosa atas ucapannya semalam. Kenia menatap pintu gudang yang samar-samar terlihat dari ruang makan. Berharap Kim segera muncul. Begitu muncul Kenia sigap memalingkan pandangannya dari sana. Jantungnya kembali berdegub cepat. Ada sedikit harapan Kim menyapanya lagi tapi matanya mendapati Kim melenggang berlalu begitu saja. Mata Kenia berkaca-kaca. Tangannya spontan meraih sambal yang ada di cobek. Ia meraup lebih banyak, separuh kepalan tangannya. Nasinya yang masih sedikit kini memerah cabai. Dengan rakus ia memakannya tanpa ampun. Hatinya panas, kacau. Tak lagi bisa digambarkan.
***
Kalender sudah berganti lembaran berikutnya. Bulan baru. Kim masih tinggal di rumah keluarga Kenia. Dengar-dengar ini bulan terakhir. Tapi, hubungannya dan Kenia tak makin membaik seperti awal mereka baru saja saling kenal. Kenia menjaga jarak. Kim juga. Tak ada yang ingin meluruskan maksud masing-masing. Kenia  masih salah paham,  Kim ternyata makin terasa terusik dengan perbuatannya tempo lalu. Ada perasaan menyesal menelusup palung hatinya. Mungkinkah dirinya terlalu kejam mengatai gadis manis itu dengan sebutan wanita pengkhayal? Hanya karena dia wanita dan wanita hanya racun dunia baginya sehingga ia memukul rata pandangan itu terhadap semua wanita.
Rasanya tak adil juga. Mengingat nampaknya perasaan gadis itu tulus padanya. Cinta seperti apa sih, dari gadis yang menurut orangtuanya ia tak banyak pengalaman bercinta dan sekalinya bercinta ternyata kepercayaannya dinodai dengan adanya cinta yang lain? Hidup Kenia nyaris seperempat abad tapi pengalaman tentang lelaki tak banyak ia peroleh akibat pengalaman pahit itu. Sama seperti dirinya. Kim, hidup sebelas tahun lebih tua ketimbang Kenia, pengalaman menjalin hubungan serius dengan wanita juga baru sekali dan berakhir dengan ketukan hakim pengadilan memutuskan perceraian. Usia pernikahan itu hanya sekitar satu tahun kemudian wanitanya memutuskan pergi untuk lelaki lebih keren mentereng dengan banyak timbunan dollar. Kenia dan Kim pribadi bernasib sama. Itulah kesamaan mereka, selain darah Indonesia yang sama-sama mengalir di dalam tubuh mereka.
Dari sepenggal kisah yang punya tema sama, aslinya mereka bisa saling mengobati. Tapi Kim tak bisa. Ia terlalu takut jika bawah sadarnya mendorongnya untuk menyakiti Kenia sebagai wujud balas dendam terhadap wanitanya dulu. Itu tak adil. Tapi, mata teduh Kenia semakin lama semakin menariknya melesak ke dalam untuk mengajaknya berjalan bersama, beriringan dengan Kenia. Hingga kekacauan hati Kim semakin menjadi tak bisa diluruskan satu per satu ketika suatu sore seorang lelaki bernama Prio Dewantoro muncul di balik pintu rumah Kenia.
“Wah, saya nggak pernah tepikir seorang Prio Dewantoro datang ke sini. Sama Mbak Uki Palupi sang sutradara kece. Berasa jatuh dari kahyangan gitu, heheh. Jadi, gimana-gimana, Mbak? Mas?” seru Kenia girang kedatangan sutradara dan aktor muda sukses dari ibu kota. Sungguh di luar dugaan. Artis datang ke rumahnya di kota kecil di tengah Jawa Timur.
Maksud kedatangan Uki Palupi adalah “meminang” novel Kenia untuk difilmkan.
“Astaga naga!! Sumpah, Mbak??! Serius?? Berapa rius??” Kenia sontak melonjak dari tempat duduk semula, bergeser beberapa senti.
Uki dan Prio tersenyum lebar. Kenia bahagia bukan kepalang. Dengan segera Kenia menyetujui pembicaraan itu. Esok harinya mereka bicara soal aturan kontrak kerja mereka. Akhirnya, Kenia kini tidur dengan senyum bahagia. Berkali-kali lipat bahagianya dibandingkan ketika namanya tercantum di buku. Sekarang namanya akan menghiasi layar lebar dan poster-poster di gedung-gedung bioskop! Walau dalam skala kecil sih. Intinya judul ceritanya akan terpampang nyata. Bahkan idolanya juga yang akan menjadi tokoh utama. Mimpi sekalipun tak pernah Kenia impikan perihal film ini.
***
Singkat cerita, semenjak Kenia beralih fungsi sementara jadi script writer film besutan Uki Palupi, Kenia merantau ke Jakarta beberapa waktu. Meninggalkan keluarganya dan Kim di rumah. Kenia tak lagi memikirkan perasaannya pada Kim. Tapi Kim tak begitu saja hilang terhapus di memori otaknya.
Seiring dengan itu hari-hari Kenia terisi oleh idolanya. Entah... kiasan apalagi yang menggambarkan kegirangan Kenia bisa berinteraksi begitu dekat dengan Prio. Seketika hal ini menjadi bahan gosip yang menyebar di media massa elektronik dan cetak. Kenia tak henti tepok jidat, mengelus dada, menggaruk kepala, memijat-mijat kepala. Pusing. Apa kabar keluarganya ketika tahu gosip itu
Ponsel Kenia berdering.
“Halo,” sapa Kenia. “Iya, Bu, nanti pasti klarifikasi. Tapi ini kan cuman gosip. Toh gosipnya juga bukan gosip jelek. Hanya dikatakan ada hubungan. Kami tak ada hubungan apapun. Masa’ Kenia pacaran sama artis, mana mungkin?” “Iya, iya, Ibu sama orang rumah tenang ya, pasti gosip ini segera berlalu. Ibu seperti tak tahu saja dunia artis. Hehehe, tenang saja, Bu,” “Apa? Tuan Kim besok lusa pulang? Bukannya akhir bulan?” Kenia melirik kalender sejenak. “Oh, iya, ini akhir bulan. Salam saja Bu, semoga selamat sampai tujuan. Oke, Ken pasti jaga diri di sini,”
Kenia bicara tanpa henti menimpali ibunya di seberang sana. Ia tersenyum senang bisa mendengar suara ibunya. Beberapa detik kemudian ponselnya berdering kembali.
“Ibu, lupa. Maaf. Mmuaacchhh... tidur nyenyak ya, Bu? Dada...” Kenia asal nyerocos tanpa peduli siapa di seberang sana, disangkanya ibunya.
“Kenia...” suara lelaki merdu terdengar seketika.
Kenia tertegun sejenak. Suara itu tak jauh beda dengan suara asli kala bertemu.
“Tuan Kim?”
“Bisakah kita bertemu besok di taman kota dekat hotelmu sekarang?” tanya Kim di seberang sana.
Kenia masih tertegun. Kim sudah sekota dengannya. Oh, oya, ia lupa, ibunya tadi menyampaikan bahwa Kim akan bertolak ke Korea esok hari. Kenia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara ini ia lupa perasaannya pada Kim tapi apakah perasaannya yang biasa saja mendengar Kim akan kembali ke negaranya saat ini akan bertahan setelah Kim ada di sana? Apakah ini awal cintanya pada Kim memudar? Yang pasti Kenia mengiyakan permintaan Kim.
***
Taman kota jam sepuluh pagi. Kim sudah duduk manis di suatu sudut taman itu. Berpenampilan rapi meski tak seperti eksekutif muda ala aktor drama Korea pada umumnya. Kuning langsat kulitnya semakin terlihat cerah terkena “hujan” cahaya matahari Jakarta. Wadahnya teduh meski garis wajahnya begitu terlihat jelas yang sering identik dengan orang yang tegas dan sangar. Ia siap untuk mengutarakan segalanya pada Kenia.
Kenia datang dengan dres selutut corak bunga dengan dominasi warna merah maroon diselingi warna putih dan kuning.  Tas kecil bertali yang menyelempang serong di pundaknya. Rambutnya yang ikal bergelombang diikat seolah digelung di belakang dengan tusuk rambut. Segar. Manis.
Kenia menyapa Kim. Kim menoleh tersenyum.
“Aku tak mengganggumu, kan?” tanya Kim. “Duduklah!”
“Tidak. Syuting dimulai nanti setelah makan siang. Ada apa?”
Hati Kim sontak bergetar menatap kedua bola mata Kenia kali ini. Mengapa baru sekarang ketika hendak pergi meninggalkan Indonesia? Kenia dengan kuat menatap balik mata Kim.
“Apa kabarmu?”
“Beginilah. Baik,” sahut Kenia tersenyum.
Darah Kim berdesir. Ada apa ini?
“Kamu senang berada di sini?” tanya Kim yang masih belum menemukan timing yang tepat untuk masuk ke inti pembicaraan.
“Tentu. Ini lebih dari impianku. Dan sungguh Tuhan luar biasa memberikan hadiah untuk hamba-Nya,” Kenia menyahut semangat, senyumnya merekah.
Inilah alasan mengapa aku tak mau menerimamu, Ken. Anggunmu jangan ternodai olehku. Tapi kenapa semakin ke sini, anggunmu justru menarikku kuat-kuat larut? Mendobrak keras pintu hatiku yang terkunci rapat. Kini anggunmu sukses mengoyak kuncinya. Terlepas. Tinggal menunggunya terbuka. Tapi sebelum itu Kenia... berhentilah menggodaku! Hentikan anggunmu merajukku!
Kim bingung harus bicara apa, akhirnya hanya kata maaf yang meluncur lancar. Kenia mengernyitkan dahi. “Untuk apa?” tanya Kenia.
“Malam itu. Malam ketika aku menamaimu wanita pengkhayal, tak realistis, aku sengaja. Aku tahu kamu ada di situ. Sungguh aku minta maaf. Aku hanya tak ingin membuatmu terluka lebih dalam. Aku bukan lelaki baik yang seperti kamu bayangkan,” jelas Kim akhirnya bisa masuk ke poin pembicaraan.
Kenia dua kali lipat tak tahu harus bicara apa dan akhirnya ia mulai berkata,“Itu artinya Tuan Kim tahu bahwa aku menyukai Tuan Kim?”. Kim mengangguk.
Suasana hening sejenak di antara keduanya.
“Aku tak peduli ketika ibu menceritakan bahwa Tuan seorang duda, seorang pengusaha, seorang Korea dan separuhnya Indonesia. Yang aku pedulikan adalah ketika aku pertama melihat Tuan Kim, aku merasa tertarik. Tak ada cerita buruk tentangmu di keluarga kami. Jadi tak ada alasan aku tak menyukaimu, walaupun tak ada alasan kuat juga mengapa aku harus menyukaimu. Usia kita terpaut jauh, lho, hehehe,”
“Jadi, apakah kamu akan bertahan dengan perasaanmu setelah tahu malam itu aku melukaimu?”
“Aku tak tahu. Aku belum menemukan alasan untuk itu. Sekarang ini saja aku sudah lupa pernah menangis malam itu. Tak ada yang bisa menjamin,” Kenia tak mantab benar dengan ucapannya, ia hanya asal bicara menimpali pertanyaan Kim.
“Kalau begitu aku bisa meninggalkan negara ini dengan tenang,”
Kenia melengos cepat ke arah Kim. Apa maksudnya “dengan tenang”?
“Aku tak perlu mengkhawatirkanmu dengan sakit yang kutinggalkan karena kamu nampaknya sudah biasa saja,”
Kenia menajamkan sorot matanya. Nampak biasa saja? Kim tak tahu kalau proyek film tak datang, mungkin Kenia tetap terngiang-ngiang dengan luka sembilu akibat ulah Kim. Kali ini Kenia mulai fokus.
“Kim...” panggil Kenia untuk pertama kali tanpa permulaan “tuan”. Kim menatap Kenia lekas. Nadanya berbeda dibandingkan ketika Kenia memanggilnya “tuan Kim”.
“Aku hanya ingin jadi milikmu. Aku tak yakin sekarang apakah rasaku masih ada atau tidak. Tapi cinta juga tak mungkin pudar dalam hitungan minggu bahkan hari bukan? Mengapa tak kita coba jalan bersama, siapa tahu kita cocok? Aku tahu, di usiamu sekarang bukan waktunya coba-coba tapi apakah dengan sekali lihat kita bisa tahu rasanya pacaran, menjalin asmara atau apalah istilahnya. Apalagi kamu yang katanya trauma menjalin hubungan dengan wanita. Bagaimana bisa kamu menyamaratakan semua wanita busuk kalau kamu tak pernah punya pembandingnya? Aku juga tak punya banyak pembanding, dulu pacarku yang menikah dengan orang lain lalu kamu. Aku bisa membandingkan. Tak semua lelaki busuk tapi aku juga tak bisa menjamin kamu begitu. Tapi intinya tak kita coba, tak bisa kita rasakan bagaimana rasanya, ”
Kim terdiam menamati Kenia. Gadis muda anggun yang sudah pantas disebut wanita anggun. Mungkinkah terkait ia suka menulis kisah romantis dan puitis sehingga pemikirannya mengarah ke dewasa dan berlumur nuansa romantis, bijaksana, puitis dan ah... hanya kalangan tertentu yang bisa memahami. Tak salah Kenia menjadi penulis yang cukup dipertimbangkan di dunia penulisan. Wanita pengkhayal satu ini tak bisa dipandang remeh. Ia dibentuk oleh tulisan-tulisan yang ia baca dan tulisannya terbentuk oleh pribadinya yang berkutat cukup lama dengan kepenulisan romantis dan puitis. Dan dirinya salah menilai Kenia. Kenia bukan wanita pengkhayal biasa.
“Kamu yakin ingin menjadi milik lelaki yang berseberangan denganmu? Aku lelaki realistis empiris, tak suka fiksi,”
“Itupun bukan alasan untukku berhenti menyukaimu dari awal sampai sekarang. Pasangan kekasih tak akan bisa berjalan beriringan jika mereka punya karakter sama. Sepatu tak akan bisa digunakan jika semua bersisi kiri atau bersisi kanan semua, kan? Cobalah aku, jadi kekasihmu!”
Kim beranjak dari duduknya mendekati Kenia yang berdiri memijakkan tangannya di besi tua di bibir sungai yang membelah taman kota.
Kim memegang tangan Kenia, menyematkan jari-jarinya di sela-sela jemari Kenia. Menghadapkan tubuh Kenia ke arahnya.
“Kalau begitu, mulai detik ini jangan pedulikan artis lelaki itu! Aku cemburu,”
Kenia tersenyum lebar.
“Aku akan segera kembali bersama keluargaku untuk meminangmu. Bukankah tadi kamu bilang, usiaku bukan waktunya coba-coba? Aku akan segera meminangmu. Tak kuberi kamu kesempatan mengenal lelaki lain,” ujar Kim tersenyum mantab mengunci hati Kenia untuknya.
“Tentu. Kunci aku sebelum Prio yang meminangku,”
Mereka berdua berkelakar. Kim memeluk Kenia erat tanpa sekat. Mereka akan semakin merekatkan diri apapun yang terjadi. Mereka merasa sudah menemukan obat hati yang selama ini mereka cari walaupun terkadang masih ada gengsi yang tinggi untuk mengakui. Kisah cinta mereka dimulai kali ini
***


1 komentar:

  1. Wihhh...komen Kim soal wanita pengkhayal iku Panji banget dech.. (-_____-"!)

    BalasHapus

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)