Cinta tapi Beda
Area parkir kantor Hadi Tjandra
Consultant and Associates. Pukul delapan lewat sepuluh menit.
“Kamu sudah tahu semua kekuranganku
dan kita jelas berbeda tapi kenapa kamu masih selalu saja mengejarku?”
“Yaa, aku nggak ada alasan pergi dari
kamu. Gimana dong?”
“Gini ya, please... sudahi saja sampai sini. Kita nggak akan pernah nyatu
sampai kapan pun,”
“Kata siapa?”
“Kataku,”
“Kataku tidak. Kita pasti bisa
bersatu. Aku butuh kemauan kamu untuk bersatu denganku. Lengkapi potongan
hatiku yang masih separuh. Aku cuman butuh jawaban iya dari kamu, bukan yang
lain,”
Laura sudah kehabisan akal membuat
Hendri menjauhi dirinya.
“Sudah?” tanya Hendri. “... idemu
sudah habis menolakku? Tenagamu sudah terkuras menghindariku?” imbuhnya.
Laura menatap Hendri melotot.
“Ahhh... entah! Aku lapar,” celetuk
Laura yang sering bersikap lucu memecah ketegangan dan keresahan suasana ketika
bersama Hendri.
Asli, hati kecil Laura tak bisa
menolak Hendri. Lelaki itu bermulut pedas tapi semua fakta ia utarakan dengan
tepat. Dan itulah yang menjadi pecut semangat orang untuk lebih bisa
memperbaiki diri. Termasuk Laura meskipun mulanya Laura sangat tidak bisa
terima dengan gaya Hendri itu.
@@@
Bekerja sebagai karyawan baru di
perusahaan konsultan bergengsi di Surabaya dan Jakarta menuntut Laura harus
bekerja ekstra padat, sungguh di bawah tekanan. Ia masih seorang trainee, level paling awal sebelum
menjadi staff tetap di sana. Kekeliruan masih kerap ia lakukan. Laura harus
mengeluarkan energi ekstra untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan
pekerjaan yang punya deadline
pekerjaan singkat, kemandirian, keingintahuan besar dan tanggungjawab yang
besar. Maklum selama kuliah kemarin ia minim pengalaman organisasi, cenderung
suka menunda pekerjaan, kurang banyak bersosialisasi dengan komunitas ini dan
itu sehingga culture shock yang ia
rasakan.
Hidup Laura jungkir balik berubah 180
derajat. Bangun tidur tak lagi bisa telat, tidur malamnya maju dari jam 12
malam jadi jam 9 malam seperti pas dia masih SD, tak lagi “intim” dengan ponsel pintar yang
baru dibelinya setelah wisuda tujuh bulan lalu karena akses ponsel selama di
kantor dilarang keras, jadi kuper soal up
date terbaru gosip artis dalam negeri-luar negeri, jarang pasang status di
akun jejaring sosial dan yang membuatnya sesak ialah kenikmatan menulis fiksi
yang jadi separuh jiwanya selama delapan tahun ke belakang juga terpangkas, nyaris
tak pernah lagi menulis. Dan pastinya pekerjaan yang menumpuk setinggi setengah
meter yang tersusun rapi di dalam loker “meneriakinya” untuk segera “dijamah”.
Ia tak bisa mengelak. Ia sudah kecemplung
di kantornya sekarang. Jalan keluarnya ya dia harus beradaptasi sebaik mungkin
dalam waktu sesingkat mungkin.
Namun... di tengah kesibukannya
sebagai newbie wanita karir seperti
sekarang muncullah nuansa romantis yang diam-diam menggelorakan semangat Laura
untuk pergi ngantor dan pulang telat setiap hari bahkan ketika pekerjaannya
menuntut ia harus lembur kala akhir pekan. Tapi Laura tak bisa menunjukkan
gelora itu jelas-jelas. Ia tak mau mengulangi kesalahan yang sama terlalu GR
alias gede rasa terhadap perhatian seorang lelaki. Laura masih menunggu
kepastian lelaki itu benar-benar memperhatikannya bahkan menyukainya dan
mencintainya pasti.
Laura tahu dirinya mudah jatuh cinta
dan mudah merasa GR di satu lokasi yang sama dengan lawan jenis. Ia ingin
mengelak tapi ia tak bisa. Bahkan untuk lelaki satu ini. Laura tahu lelaki ini
aslinya tak boleh disukai karena sahabatnya yang juga bekerja di kantor dan
divisi yang sama dengannya juga menyukai lelaki ini. Laura tetap tak bisa
menolak perasaannya. Pertama kali bertemu lelaki ini, Laura merasa lelaki ini
punya aura kharismatik, terlebih berwajah oriental, Laura suka wajah oriental
walau dia penduduk pribumi. Suara lelaki ini juga sungguh menawan.
Penampilannya selalu rapih, jelas dia sering bertemu klien dari
perusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasa konsultannya sebagai konseptor
iklim organisasi perusahaan mereka. Gaya bicaranya menunjukkan dia sangat
cerdas dan bijak. Laura tak bisa memungkiri lagi, ia tergoda pesona lelaki itu.
Laura tak peduli sahabatnya. Bahkan sahabatnya hanya bilang bahwa ia hanya
sebatas fans semata. So,... laura akan terus melenggang memperjuangkan percikan
api asmara yang mulai bergelora itu.
@@@
Hari-hari Laura memang menyesakkan
tapi ia tak pernah mati semangat melakukan pekerjaannya, semua karena lelaki
yang membuatnya kasmaran. Laura terus mengamati lelaki itu dari kejauhan tapi
sangat lekat dan teliti. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bisa bersama
dalam satu tempat dan satu waktu dengan lelaki itu, jika kebetulan itu terjadi.
Hanya saja Laura tak berani bertindak terlalu jauh untuk menyapa lelaki itu.
Laura menyukainya tapi ia tak percaya diri untuk bisa membuat lelaki itu
menyukainya. Laura hanya bisa berdoa Tuhan memberikannya kemulusan jalan untuk
bisa dekat dengan lelaki itu.
Doa Laura terjawab. Ada sebuah proyek
besar dari perusahaan multinasional yang sedang berkembang bidang distribusi
produk-produk pangan. Laura mulai mendapat tanggungjawab sebagai koordinator
pelaksanaan rekrutmen dan seleksi karyawan baru itu. Lelaki itu sebagai senior
bidang human capital yang tugasnya
merumuskan iklim organisasi sebuah perusahaan, diutus untuk menangani proyek
ini. Laura dan lelaki itu bertemu dan interaksi dimulai. Kecanggungan Laura
berkali-kali lipat hebatnya. Canggung untuk pengalaman pertamanya mengemban
tugas sebagai penanggungjawab dan canggung bertatap muka bahkan berinteraksi
dengan lelaki itu.
Waduh, kalau ketahuan begonya aku gimana, nih?
“Hai,kamu ---,”
“Laura. Panggil aja Laura. Ko Hendri,
kan?”
Lelaki itu mengangguk tersenyum
singkat. Mereka bersalaman. Tangan Laura keringetan. Ia gugup.
“Semoga kita bisa bekerja sama dengan
baik, ya?” kata Hendri. Laura mengangguk pelan tersenyum.
@@@
Kerja sama Laura dan Hendri dimulai
sudah hampir sebulan lamanya. Banyak yang Laura alami. Dari segi pekerjaan, ia
merasakan sungguh tak mudah. Semua rencana yang tersusun rapi di kantor tak
semuanya selaras dengan apa yang ada di lapangan, ada masalah di sana-sini. Walhasil
berkas data yang dibawanya pulang ke kantor juga berantakan. Disemprotlah dia
sama seniornya yang sudah ia label sebagai nenek sihir di divisi rekrutmen dan
seleksi. Kemudian perkembangan kisah asmaranya dengan Hendri? Ikut terkacaukan
pula. Trouble yang terjadi di bagian
rekrutmen dan seleksi yang dipegang Laura berimbas terhadap pembicaran
perencanaan iklim organisasi perusahaan bersangkutan. Sisi lain Hendri keluar.
Ia mendudukkan Laura di hadapannya dan menatapnya tajam. Berdua saja mereka
seolah intim berdua padahal suasana tegang sedang terjadi.
“Kamu ditraining berapa bulan sama bu Irene?” tanya Hendri dingin dengan
tatapan mautnya yang membuat Laura merasa terintimidasi. Laura menunduk. Ia
paling tak bisa ditatap seperti itu oleh siapa pun.
“Lima bulan,”
“Sudah ikut proses rekrutmen berapa
kali?”
“Sepuluhan kali,”
“Harusnya bisa dong ngatasin hal
sepele kayak kemarin itu? Kalau kayak gini, bisa merusak nama baik perusahaan
kita, Ra. Kredibilitas perusahaan kita bisa turun, Ra,”
Laura cemas dan ketakutan.
“Angkat kepala kamu!” Hendri
menyuruh. Laura tak jua mengangkat kepalanya.
“Angkat, Ra!” kali ini Hendri
bersuara cukup lantang.
Laura pelan-pelan menghadapkan
wajahnya kepada Hendri.
“Heran, kenapa bu Irene bisa nerima
kamu jadi karyawannya. Sudah lima bulan training
dan itu... itu waktu cukup lama buat seorang
trainee bisa naik level ke posisi staff, harusnya bisa meminimalisasi
kesalahan rekrutmen, tapi kamu? Apa?!” sergah Hendri. “Apa kamu nggak pernah
belajar? Inget, budaya perusahaan kita itu budaya untuk terus belajar, belajar
dan belajar. Aku nggak mau tahu gimana caranya kamu bisa mengatasi kesalahan
yang sudah terjadi, saya nggak tahu bu Irene bakal ngapain kamu. Kamu siap-siap
menerima semua resikonya. Aku harap kamu masih bertahan di perusahaan kita,”
imbuh Hendri yang membuat Laura duduk terpaku kaku. Otot-ototnya menegang. Ia
melakukan kesalahan besar yang mempertaruhkan kredibilitas perusahaannya.
Inikah akhir karir Laura di sana? Desir-desir darah mengalir cepat di sekujur
tubuh Laura. Ia masih belum bisa bergerak.
@@@
Proyek Laura untuk perusahaan
distributor produk pangan sudah mendekati final. Banyak kekurangan di sana-sini
yang diakibatkan Laura. Dan jelas banyak pula yang didapatkan Laura, omelan
sana-sini yang membuatnya kecil hati (maklum Laura tak seratus persen pribadi
tahan banting, digertak saja sudah pucat wajahnya) dan pastinya pelajaran untuk
jadi lebih baik dalam karirnya. Hanya saja Laura butuh waktu untuk
menghilangkan feeling guilty-nya
terhadap senior dan perusahaannya juga perusahaan yang ditanganinya. Tapi
seiring berjalannya waktu dengan “ditumpuk” fokus pekerjaan lain yang sudah
masuk daftar pekerjaannya, ia bisa melupakan itu. Dan ternyata sosok lelaki
yang membuatnya sempat kecil hati dan bertahan sampai proyek mereka berdua
selesai, Hendri, juga turut andil membuat Laura bisa fokus ke pekerjaan yang
lain. Hendri itu terkadang baik, terkadang bicaranya ketus, tapi terkadang senyumnya
bisa membawa angin segar bagi Laura. Seolah-olah hati Laura tengah di on-off kan begitu saja sesuka hati oleh
Hendri. Membumbung tinggi lalu jatuh.
Naik lagi. Turun lagi.
Sistem interaksi profesional Laura
dan Hendri semenjak proyek tempo lalu merembet ke interaksi personal. Tak
menyangka Laura dibuatnya, Hendri tiba-tiba saja mengirim pesan singkat untuk
Laura tentang motivasi.
Orang yang gagal bukan dia yang jatuh
tapi dia yang jatuh dan tak mau bangkit. Belajar, belajar dan terus belajar.
Pasti kamu bisa lebih, lebih dan lebih. J -Hendri-
Terima kasih
banyak ko J -Laura-
Pertama kali Hendri mengirimnya,
jantung Laura sudah berasa lolos copot dari kerangka tubuhnya. Laura terlewat
bahagia. Hal ini terus berulang hingga beberapa kali hingga akhirnya sebuah
keajaiban Tuhan turun dari langit.
“Lembur lagi?” tanya Hendri ketika
mereka istirahat makan siang.
Laura mengangguk.
“Nanti pulangnya bareng, ya? Sekalian
cari makan malam bareng mau?” lanjut Hendri.
Laura spontan melotot ke arah Hendri
dengan taoge yang nongol buntutnya di ujung bibir Laura.
Hendri tersenyum lebar.
“Nanti aku samperin ke ruangan kamu
ya atau aku langsung tunggu di parkiran?”
Laura masih berekspresi sama.
“Ra?” Hendri menggoyang-goyangkan
telapak tangannya di depan wajah Laura.
“Oh, oke, oke, Ko. Langsung di
parkiran aja,”
“Tumben fokus?”
Laura tersenyum malu. Hendri berlalu
meninggalkan senyum manis untuk Laura.
Singkat kata, semenjak Hendri
menawarkan untuk pulang bersama kemudian pengiriman pesan singkat naik level
menjadi pesan singkat bertanya kabar dan mengajak jalan-jalan bersama, sinyal
ketertarikan satu sama lain sudah terbaca. Laura menyukai Hendri, Hendri pun
sebaliknya. Tapii.... tapi rasa suka tak pernah tersampaikan lugas melalui
bahasa verbal, baik Laura juga Hendri. Perasaan itu masih tertahan di mulut
masing-masing.
Perasaan keduanya memang tumbuh makin
subur dan merekah mengembang berwarna indah tapi seiring dengan itu
masalah-masalah lain yang sempat mereka abaikan akhirnya menyeruak muncul
menyadarkan mereka. Layaknya benteng yang menjulang tinggi, kokoh tak ‘kan
rubuh. Ini perihal iman. Prinsip yang tak bisa mereka abaikan maupun langgar
begitu saja. Dilema tercipta, padahal hati keduanya sudah mulai terpaut meski
kata tak terucap. Dan Laura juga semakin menyadari ada perbedaan lain yang
cukup sulit untuk disatukan.
Hendri. Lelaki yang nampak tegas,
berwibawa, bermulut pedas tapi berhati baik nan hangat, justru memiliki sisi
lain yang tak bisa diterima Laura begitu saja. Kehidupan malam, alkohol, wanita
seksi kerap kali menemani Hendri ketika ia suntuk dengan pekerjaannya dan sudah
bertahan selama nyaris sepuluh tahun terakhir. Laura memang bukan umat yang
taat tapi kebiasaan Hendri sangat tidak ia kehendaki. Hendri itu sosok yang
lebih tapi juga minus di mata Laura tapi Laura tak bisa memutuskan ia harus
mengakhiri cintanya atau berlanjut. Sulit. Ia sudah jatuh hati
sejatuh-jatuhnya. Terlepas dari urusan keyakinan dan keburukan Hendri, karakter
Hendri seolah proyeksi pemimpin dan pendamping hidupnya yang cukup ideal. Tapi
satu per satu problem muncul ketika ia dan Hendri dimabuk asmara. Mendorong mereka
untuk segera memutuskan layakkah hubungan mereka dilanjutkan?
Keduanya belum menemukan titik
terang. Sementara keduanya hanyut dalam pekerjaan padat masing-masing. Tapi ada
perubahan dari diri Laura. Kini ia menjauh. Meminimalisasi interaksi dengan Hendri,
baik di kantor maupun lewat alat komunikasi. Hendri tak terima. Mereka berjanji
tak mengambil pusing permasalahan yang ada sehingga komunikasi tetap terjalin
baik dan rasa sayang mereka tak memudar. Hendri ingin terus bersama Laura.
Semenjak bertemu dengan Laura, hatinya bergetar. Ia ingat janjinya sendiri,
ketika hatinya bergetar bertemu seorang wanita, pertanda itulah jodohnya.
Apapun yang terjadi akan ia perjuangkan. Meski benteng menjulang tinggi, kasih
Hendri tak memudar.
Suatu malam pukul delapan malam.
Laura sudah menuntaskan tugas kantornya kemudian keluar dari ruangannya untuk
pulang, mukanya nampak payah. Hendri menyerobotnya dan menarik Laura keluar
segera. Mencari tempat aman dan nyaman untuk meluruskan semua masalah dan
mengurangi beban ketegangan dan ketidaknyamanan di antara mereka berdua beberapa
pekan terakhir.
....
“Sudah?” tanya Hendri. “... idemu
sudah habis menolakku? Tenagamu sudah terkuras menghindariku?” imbuhnya.
Laura menatap Hendri melotot.
“Ahhh... entah! Aku lapar,” celetuk Laura
yang sering bersikap lucu memecah ketegangan dan keresahan suasana ketika
bersama Hendri.
“Oke, kita cari makan, setelah itu
kita bicarakan lagi ini,” Hendri memberikan solusi.
“Aku tak mau membahas ini lagi,”
“Itu artinya kamu nggak peduli lagi
sama aku? Perasaanku ke kamu gimana?”
“Akhiri saja ko,” kata-kata itu lolos
lancar dari mulut Laura tapi mendadak hatinya berat.
“Ngawur kamu! Enggak. Asal kamu tahu,
aku sudah bikin janji ke diriku sendiri, suatu hari aku ketemu sama wanita yang
bisa membuatku nggak sanggup berkutik, aku janji dia jodohku. Itu kamu, Ra,”
“Aku? Coba dipikir ulang deh, Ko.
Mungkin ketika kita sudah berakhir, Ko Hendri bisa ketemu dengan wanita yang Ko
Hendri maksud. Tolong Ko, perbedaan kita ini benar-benar jauh, Ko. Aku nggak bisa,”
“Kamu pikir aku playboy kelas kakap? Aku memang sering bergaul dengan wanita
seronok penampilan dan kelakuannya tapi aku cari istri yang bisa menjaga
dirinya utuh. Aku juga bukan lelaki bejat yang menyalurkan spermanya
kemana-mana. Kamu tahu itu dan untuk urusan keyakinan, kita bisa mencari solusi
bersama,”
Laura menatap Hendri lekat untuk
pertama kalinya.
“Solusi apa Ko? Jangan pernah
gadaikan iman untuk duniawi,”.
“Ra, aku sungguh-sungguh cinta sama
kamu, bahkan sebelum kamu sering memperhatikanku. Tolong pikirkan! Jangan
menghindariku dan jangan minta aku menyudahi semuanya! Tolong!”
Laura melemah, kata-kata itu keluar
dari mulut Hendri. Laura juga mencintai Hendri tapi persoalan iman terlalu
pelik.
“Itu membuatku berat melepasmu, Ko.
Kenapa sih, kamu selalu bisa membuatku susah lepas dari kamu?” Laura berat
berkata-kata dan menahan air mata. “... sungguh cukup bagiku mendengar kamu
tegas menyatakan cintamu tapi aku tak bisa menggadaikan imanku, Ko. Kamu juga
tak bisa menggadaikan imanmu. Kita jalani kehidupan kita masing-masing, Ko. Aku
yakin Tuhan akan segera menunjukkan jalan. Kita akhiri saja sampai di sini.
Kita renungkan apa yang sebaiknya kita lakukan,” sambung Laura.
Hendri menggenggam kedua tangan Laura
menatap Laura perih.
“Kamu melepaskan aku?”
Laura mengangguk perlahan dan
menundukkan kepala, ia tak kuasa menatap Hendri.
“Aku juga akan melepaskanmu tapi
jangan minta aku berhenti mencintaimu. Tak ada alasan untuk itu, Ra,”
Hendri mengangkat dagu Laura untuk
menatap matanya.
“I
love you,” ucap Hendri.
“Love
you too,” sahut Laura.
Tetesan air mata Laura jatuh sudah.
Cinta terhalang benteng iman memang pelik rumit. Entah kemana kisah mereka akan
bermuara. Tuhan sedang menyimpan kisah untuk asmara mereka. Mereka hanya
bertugas menjalani sepenuh hati tanpa mengabaikan prinsip keteguhan
masing-masing. Dua insan beda muara Sang Pencipta kehidupan itu masih memiliki
kasih untuk satu sama lain tapi mereka juga tak pernah tahu kemana hati mereka
akan berlabuh. Tetap jadi satu ataukah berpisah?
@@@
kereennnn.... (´▽`ʃƪ)
BalasHapustema nya baru, gaya penulisanya juga baru (‾▽‾)♉
coba terus sesuatu di luar kebiasaan...
keep writing (˘⌣˘)ε˘`) Titin fighting! (งˆ▽ˆ)ง
Gueehhh alias nona Intan, thanks so much ya :)
HapusKayak film ya heheh
BalasHapusBenagustian: namanya bikin kesleo lidah soalnya yg belakang hampir sama, agustin, agustian.. hehe.. iya. sama cin(T)a kan ya... memang terinspirasi tp settingnya byk beda, jalannya crtnya jg beda, walo tema dan endingnya sama kali ya.. soalnya dr film itu jd mengaca ke diri, crt #cintatapibeda emang smpt jd pengalaman pribadi sih eheheh.
Hapusthanks kunjungannya ya, slm knl :)
Aku seneng yg model begini, let the readers have their own perception of the ending. Gaya penulisannya khas agustin, segar dan memikat. Bikin lg dek...
BalasHapushaduh, dikata khas agustin rasanya... berlebihan. soale aku dw ga bs mendeskripsikan aku itu gimana. tp itu pembaca yg menilai lah... smg menghibur dan syukur2 kalo bermanfaat. makasih mbak pembaca setia :)
HapusBAGUS CERITANYA! Ciyus kakak :3
BalasHapusDan, kebetulan banget ada temen aku yang ngalamin hal serupa. Terus berkarya kak!
terima kasih banyak sudah mampir ya :3 cerpen yg lain menunggu untuk ditilik juga loh, :) *kedip-kedip
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswaaaaa.... Br sempat comen" nich....
BalasHapusCeritanya WOOooKEY, lanjutkan .....!!! Ku tunggu karya'' mu selanjutnya.
Chayoo Titin......
baca ini ditemenin pake soundtracknya marcell-peri cintaku, banjir tiinnn.....
BalasHapus*siipp ini beda dr biasanya ;)
@mami yohana : thanks ya mi sdh mau mampir. pasti, insyaAllah bakal terus up date, ntah cepat, entah lambat ye.. :)
BalasHapus@Putri Yuli: hehehe. seventeen jalan terbaik juga :)
tetep smangat.
BalasHapuskaryanya segera membumi.
ceritanya bagus
hai ochyied abdoer :)
BalasHapusthanks ya sanjungannya... makasih juga sdh menikmati karya eksperimen ini.. kembali lagi ya menilik yg lainnya :)
waaww.. cerita yang bagus, bagus banget. gaya penulisannya aku suka.
BalasHapus