Wanita Superior
Ini hanya
catatan selintas lalu. Tentang perasaan tak nyaman yang dirasakan seorang anak
tertua dalam sebuah keluarga “sederhana” berjenis kelamin wanita dan inginnya
menjadi wanita superior.
Hhmm...
budaya negara, daerah yg berlabel Indonesia, nampaknya banyak yang menganggap
bahwa anak sulung merupakan tumpuan keluarga, tak peduli ia lelaki... atau
wanita.
Anak
perempuan yang sudah menginjak wanita dewasa awal ini merasa seperti anak ayam
yang dilepaskan dari kandang untuk bertahan hidup. Sayang, wanita dewasa yang
baru kemarin sore dilepas induknya ini untuk benar-benar mandiri masih belum
bisa benar-benar berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Ia masih merepotkan
bibi dan pamannya, teman-temannya.
Ada kegalauan
menelusup ke palung hati wanita dewasa awal ini, ia ingin menjadi pribadi yang
besar seperti apa yang telah ia lihat di televisi-televisi itu. Besar, hebat,
dermawan, beriman. Walaupun dia wanita. Ia ingin menjadi wanita superior yang
bisa mengangkat derajat keluarganya, memberikan kelengkapan fasilitas
pendidikan akademis dan non-akademis untuk saudaranya, berbagi bersama mereka
yang hidup dalam serba kekurangan tapi ketika waktunya sudah tiba ia akan
menjalani tugas lainnya menjadi “hamba” untuk pemimpin berakhlak mulia yang
sedang disimpan Sang Khaliq untuknya, menjadi pemilik surga di bawah telapak
kakinya bagi keturunan-keturunannya yang sholeh dan sholehah dan terutama
menjadi hamba yang selalu dikasihi Sang Illahi Rabbi.
Mewujudkan
semua ingin wanita dewasa awal ini sungguh tak mudah. Sekarang ia bergulat
dengan dirinya sendiri untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri yang mudah
galau, mudah tersulut api amarah, mudah meremehkan Tuhannya dan sesamanya,
mudah mengabaikan hal sepele, mudah mengeluh, mudah terpuruk, mudah menyerah
dan mudah tak bersyukur. Rezeki seolah begitu jauh di atas langit, begitu dalam
di perut bumi, begtiu terasa sulit untuk direngkuhnya. Semua karena
kesalahannya sendiri. Ia tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri sehingga ia
juga tak bisa berdamai dengan sesamanya bahkan Sang Pemberi Nafas untuknya.
Tapi ia ingin berubah. Tapi ia sulit melepaskan diri dari cengkeraman iblis
yang sukses membuatnya merasa candu berbuat dosa padahal iblis sudah melepaskan
rantainya. Wanita dewasa awal ini ingin kembali. Sering ia ingin kembali pulang
kepada Illahi tapi dosa demi dosa ia tumpuk sampai tak terhitung lagi. Inilah alasan
mengapa rezeki tak mau ia peluk.
Ingin
wanita dewasa awal ini ingin memoroskan pada satu tujuan: kebahagiaan kedua
orangtuanya yang semakin hari semakin rambutnya beruban, tulangnya merapuh,
energinya berkurang. Setiap kali pulang wanita ini terasa pilu tersayat melihat
kabar orangtuanya. Mereka yang telah dengan susah payah mengabaikan kesehatan,
kesejahteraan bahkan harga diri untuk wanita ini. Tapi wanita ini hanya mampu
menangis seiring dengan kekejamannya “menyiksa” kedua orangtuanya melalui
permintaan-permintaan lux yang pantas ia dapatkan -menurutnya-. Sekali waktu
wanita ini merasa berdosa tapi lain waktu ia mengulangi lagi. Oh, betapa
hidupnya tak pernah barnag secuil pahala yang ia torehkan dalam buku malaikat Raqib,
sang pencatat amal baik manusia.
Terkadang
wanita ini menyesal mengapa ia dilahirkan dalam keluarga “sederhana” itu? Tapi
bayi lahir tak bisa meminta pada Rabb-nya pada siapa ia akan dilahirkan dan
dibesarkan. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesali apapun yang sudah terjadi hanya
membuang energi. Tapi mengapa untuk bergerak menuju perubahan saja begitu
sulit? Lagi-lagi, semua karena kondisi yang “sederhana”. Mengapa ia dilahirkan
sebagai anak pertama yang harus memikul beban berat? Tak adakah “jalan pintas”
yang bisa mengentaskan keluarganya dari garis “sederhana” itu? Mendadak
mendapat hadiah kek. Dipinang lelaki mapan dan kaya kek. Mendadak diterima
kerja di kantor bergengsi kek. Dan kek-kek lainnya yang segera mengubah
nasibnya dan keluarganya! Hhh! Tapi katanya tak ada yang instan. Wanita ini
benci aslinya dengan kata-kata ini tapi ya itulah faktanya. Tapi saat ini
wanita ini butuh hal instan untuk setidaknya bisa melegakan nafas orangtuanya
dalam kehidupan sehari-hari dan membayar hutang-hutangnya dan juga untuknya
sendiri agar tak lagi merepotkan kedua orangtuanya yang sudah memasuki “waktu
sore menjelang senja”.
Hhmmm...
tapi ada satu hal yang bisa dilihat wanita sebagai sedikit rasa syukurnya pada
Sang Illah. Semua yang ia jalani sekarang harus ia lalui. Mutiara indah telah
menjalani prosesnya yang begitu menyakitkan dari himpitan pasir-pasir itu.
Sekarang wanita ini ada di posisi bawah, banyak benar dan salah ia lakukan,
semua adalah proses menuju pendewasaan diri agar impiannya menjadi wanita
superior terwujud dan ia menikmatinya di kala “senja”. Ia harus sukses! Ia harus
bisa melegakan nafasnya sendiri dan keluarganya selama-lamanya cash, bukan
kredit lagi!! Ia harus mencapai posisi paling atas dari semua yang ada. Dan membungkam
mulut-mulut buah jiwa yang usil dan suka meremehkan. Ia akan jadi wanita di
luar dugaan semua orang. ia bisa. Ia wanita superior. Ya, one day, she will.
Ya,
Rabbi, saksikanlah janji ini. Restui janji pribadi yang penuh dosa tapi selalu
ingin kembali pulang ke rumah-Mu meski kaki terseok-seok akibat sayatan belati,
agar pribadi ini siap tertidur pulas selamanya di depan-Mu dengan tersenyum
manis. Amin.
Manis sekali tulisannya dek :')
BalasHapus