Selasa, 18 Maret 2014

Sabar adalah Penolong

Malam semakin dingin untuk sebuah desa bernama Gadungan, bagian kecil dari Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Padahal jam dinding masih pukul setengah sembilan malam. Tapi memang inilah “musim dingin” di sini, di saat -waktu yang baik bisa diduga maupun tidak- rezeki air dari Tuhan turun. Hujan. Tapi langit malam ini cerah walaupun rasanya menggigil.
 Di bangku susunan bambu lebar ini, aku dan kamu duduk berdua. Tanpa ayah yang sedang bekerja mengonstruksi sebuah bangunan hotel di bibir pantai selatan Jawa, di Trenggalek sana. Tanpa dua anak lelakimu yang sibuk mengurus kegiatan OSIS di sekolahnya. Hanya aku, anak perempuanmu satu-satunya yang menemanimu di emperan sebuah gubuk berdinding kayu dan lantai semen peninggalan mendiang nenek dan kakek.
Engkau pun berceletuk. “Ibu seneng kamu di rumah, Nduk[1]. Biasanya ibu sendiri kalau ndak ada kamu. Paling kalau siang ke tokonya Mbak Sukis situ buat cerita-cerita biar nggak sepi di rumah pas adik-adikmu sekolah, ayahmu nyambut gawe.” (bekerja)
Aku memilih meletakkan kepalaku di pangkuanmu. Engkau mulai mengusap lenganku.
“Tapi Ibu jangan mau diajak ngrasani orang. Nanti kita dituduh yang macam-macam.” (membicarakan keburukan)
“Enggaklah. Ibu ndak pernah ada niat untuk menjelekkan orang, Nduk. Gae opo to? Wong kita juga bukan manusia suci.” (Untuk apa? Lagi pula)
Memoriku akan topik ini membuatku terlempar ke masa lalu. Pada masa di mana aku mengingat kamu dan ayah terkena fitnah telah menyantet tetangga kita yang telah memakan sekian meter tanah peninggalan mendiang kakek-nenek, di depan mataku yang masih SMP kelas satu dan di depan banyak orang, se-RT dugaanku. Tetangga kita itu memang sudah memberikan biaya ganti rugi padamu tapi entah mengapa beberapa hari setelahnya ia sakit lalu menuduhmu dan ayah seperti itu. Dan aku melihatmu, juga ayah tentunya hanya beristighfar kuat. Semenjak itu aku mengenal rasa sakit hati pada orang yang lebih tua dariku. Namun, kamu menghiburku, “Jangan dipedulikan! Kamu harus sabar, Nduk. Ndak boleh dendam. Nanti juga bakal tahu siapa yang benar.” Hatiku pun mendingin tapi sampai detik ini, setiap kali aku bertemu dengan orang itu, ingin sekali aku menyumpal mulutnya dengan batuan lahar dingin gunung Kelud bahkan menyemennya sekalian.
Aku ingat kenangan pahit itu sehingga merasakan betapa kuatnya dirimu menjadi pribadi yang hidup di tengah masyarakat yang majemuk etnis, budaya dan agama di desa ini. Belum lagi karakternya yang beraneka macam.
“Bu, besok lusa aku mau ke Jogja. Aku mendapat panggilan tes-wawancara kerja sebagai editor di penerbit mayor. Padahal aku sudah lama nglamarnya, lho.  Aku pikir aku nggak kepanggil. Ya, walau ini nggak sesuai sama jurusanku kuliah di psikologi tapi aku suka tulis-menulis, Bu.”
“Iya. Siapa tahu itu rejekimu, Nduk,” sahutmu bersuara renyah. “Apa kamu punya uang saku berangkat ke sana?”
Aku terpana sesaat. Di usiaku yang seharusnya sudah mapan dan produktif, ternyata masih pengangguran dan merepotkanmu. Tapi kamu masih bersedia dan berusaha menyediakan uang saku untukku. Entah, dapat dari ayah yang bekerja atau hasil meminjam pada tetangga kanan-kiri. Setidaknya itulah yang kuingat setiap kali aku merasa kantongku “kering” di perantauan.
“Punya. Sisa gajiku jadi freelancer shadow teacher[2] kemarin,” jawabku. “Bu,” panggilku.
Engkau berdeham.
“Maafin aku, belum bisa membahagiakan Ibu sama Ayah. Mana Ayah sekarang kena jantung kan? Dan masih nekat bekerja jauh.”
Air mata mulai keluar dari sudut mataku. Aku memang sensitif soalmu dan ayah.
“Oalah Nduk, ora popo. (tidak apa-apa). Yo, ibu sama ayah yang harusnya minta maaf, nggak bisa membuatmu sama adik-adikmu sejahtera. Tapi selama ibu sama ayah hidup, ya kami usahakan. Kalian tanggung jawab kami,” tuturmu tegar tanpa terpancing untuk meneteskan air mata.
Aku pun berkesimpulan, betapa dirimu adalah pribadi yang tertempa kuat semenjak kecil. Katamu, semasa kecil dirimu belajar di bawah temaram lampu tempel dengan sumbu kompor dan membantu orang panen kacang untuk mendapatkan uang saku. Semasa remaja, kamu kehilangan ayahmu yang paling mengasihimu dan mulai menjadi gadis yang berani bertualang sendiri. Semasa dewasa, kamu mengabdikan diri pada suami sekaligus ibumu sampai ia menutup mata. Di sela-sela itu kamu melahirkanku sampai harus bertaruh nyawa dalam koma. Dan sekarang, dirimu masih dalam garis kehidupan yang amat sederhana, tak seperti saudara-saudaramu yang sudah bisa menaiki mesin besi berjalan mentereng dengan keturunan yang sukses. Selain itu kamu juga masih harus memeras darah agar anak-anakmu ini bisa mengenyam pendidikan tertinggi supaya mendapat kehidupan yang layak.
Sungguh, aku merasakan selaksa pedih memenuhi dinding hatiku. Aku memang memberontak mengapa aku harus terjebak bersamamu dalam situasi ini. Tapi Tuhan menghendakiku melihatmu yang begitu kuat dan sabar menghadapi semua ini. Aku seketika malu pada diriku sendiri. Aku belum lah matang dalam kehidupan, malah mudah terbawa nafsu dunia. Sementara kamu bisa bertahan menghalau gelombang kehidupan ini bersama ayah. Kalian pun rela merendahkan harga diri supaya kehidupan kami -anak-anakmu- layak dan mapan. Sungguh, betapa keras perjuangan hidupmu sampai sekarang.
“Ibu.” Aku bangkit dari pangkuanmu. Engkau memandangku teduh. Mungkin, jika saja mataku mampu melihatmu dengan jelas ketika aku baru dimandikan suster dari lumuran darahmu, aku mereka-reka kuat, itulah ekspresi pertamamu ketika melihatku hadir di bumi ini. Seolah aku ini anugerah terbesar untukmu dari Tuhan. “Aku benar-benar minta maaf atas nama pribadi maupun adik-adik. Kami sudah sering menyakitimu dan Ayah. Sering membangkangmu, menyentakmu. Tapi kami mencintaimu dan nggak pengin jauh dari kalian selamanya.”
Kini air mataku meleleh, menetesi pipiku. Udara dingin makin menusuk tulang. Aku meraih kerah jaket kain coklatmu yang turun, membenahi posisinya supaya kamu lebih terasa hangat.
“Ibu terima maafmu, Nduk. Ndak usah dipikir lagi. Namanya kita hidup harus saling memaafkan. Terlebih orangtua sama anak. Dunia-akhirat saling  memengaruhi. Kalau orangtua gagal masuk surga, anak juga ikut. Kalau anak gagal masuk surga, sumbernya juga gagalnya orangtua menjalankan amanah Gusti Allah dengan baik. Ibu sama ayah selalu berusaha dan berdo’a biar kalian hidupnya barokah dunia-akhirat. Mapan, cukup, berkah. Itu aja,” jelasmu. Kemudian tanganmu menangkup wajahku, membelainya lembut, berusaha menghangatkanku.
Iya, aku tahu dirimu adalah orang yang selalu sabar, ikhlas dan pemaaf. Tak salah jika kamu awet muda, Bu. Kamu tidak punya letupan amarah –sepengetahuanku-. Malaikatkah dirimu ini? Ibuku malaikat? Sungguh ayah beruntung mendapat wanita sepertimu. Dan lebih-lebih beruntung aku memiliki ibu sepertimu.
Aku kembali teringat kekurangajaranku semasa aku kuliah di Surabaya. Aku jengkel tak jelas waktu itu. Aslinya sih, karena kamu tak jua mengirimiku uang bulanan padaku yang sudah kere padahal awal bulan. Aku pun membuat sebuah konspirasi sendiri. Memberitahu semua saudara bahwa aku mendapat kecelakaan ringan namun berdarah. Kamu pun sontak meneleponku dengan rentetan kalimat penuh kekhawatiran. Aku tertawa sinis dalam hati dan bermulut kasar padamu. Aku merasa bangga ternyata kamu peduli jika aku sakit. Bangga, bukan bahagia. Bangga atas kemenanganku mengelabuhimu. Padahal situasi kala itu, untuk membeli beras sembako kualitas rendah saja, kamu sulit karena gagal panen jagung yang kamu dan ayah tanam di belakang rumah.
Malam ini pun membuatku tersadar, aku begitu kejam padamu. Begitu teganya aku padamu. Aku begitu bernafsu menjadi kaya melalui penempuhan ilmu di kota, berharap bisa mendapat pekerjaan yang mentereng di kantoran kota. Tapi apa? Sekarang aku di sini, kemarin baru menjadi pekerja lepas untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dan seringnya disebut baby sitter oleh orang lain, bahkan kakakmu sendiri, Bu. Sakit! Tapi sungguh aku sadar. Rezekiku seret karena aku melukaimu. Mungkin kamu sudah memaafkan aku tapi mungkin Tuhan ingin memberiku pelajaran. Supaya aku lebih bisa menghormatimu dengan tulus, mensyukuri setiap nikmat yang ada sehingga merasa selalu cukup dengan karuniaNya.
Aku menggenggam tanganmu dan menurunkannya dari pipiku.
“Bu, apa pun yang terjadi, aku akan menjaga Ayah dan Ibu. Aku dapat kerja di sini nggak pa-pa asal cukup buat kita semua. Aku juga nggak terlalu berharap untuk tes besok di Jogja itu. Aku bakal jaga Ibu sama Ayah. Kalau bukan aku siapa lagi? Adik-adik itu laki-laki dan mereka harus merantau dan sukses lalu kembali pada Ibu dan Ayah juga. Giliran mereka yang pergi menimba ilmu sebanyak-banyaknya, aku yang akan menjaga kalian. Aku yakin restumu ampuh untukku, Bu. Rezeki datang dari mana saja kan, Bu?”
Kamu mengangguk tersenyum padaku dan mengusap tanganku.
“Jadi, aku tetap berusaha semampuku bagaimana caranya agar roda kehidupan kita terus berjalan tanpa Ayah bekerja keras ketika sudah tua begini. Sudah waktunya aku mengambil alih tanggung jawab Ayah tapi dengan caraku sendiri, Bu. Do’ain aku ya, Bu? Cuma do’a Ibu dan Ayah yang aku jadikan jimat kesuksesanku kelak. Do’ain aku ya? Aku cinta sama Ibu walau aku sering nyakitin Ibu,” ujarku sambil merasakan air mata sudah tumpah ruah membasahi wajahku.
Aku sontak memelukmu dan kamu membelai kepalaku lembut.
“Alhamdulillah Nduk kamu bilang begitu. Ibu bersyukur kamu bertekad seperti itu tapi kamu juga eling kamu wanita yang ada masanya ikut suami. (Ingat). Asal kamu berbakti pada suamimu nanti, ingat sama kami, itu cukup. Kami seneng kalau kehidupan keluargamu dan keturunanmu bahagia dunia-akhirat, juga adik-adikmu kelak. Ibu nggak pernah berhenti berdo’a, Nduk. Kalian itu harta terbesar dan berharga kami. Kalian harus lebih sejahtera dan barokah dari kami.”
Aku mendesah lega. Betapa kamu adalah makhluk jelmaan malaikat, Bu. Sabar, tulus, kalem, selalu bersandar pada firman Tuhan dan selalu mengasihi kami dalam kondisi apa pun. Aku tak tahu harus berterima kasih macam apa pada Tuhan karena telah menjadikanmu sebagai ibuku.
“Kamu juga harus lebih sabar, Nduk. Sabar itu penolong bagi orang beriman. Sabar bukan berarti diem, menyerah tapi terus berjuang, ikhlas sama ketentuan Gusti Allah dan terus berdo’a, juga berbuat baik pada sesama. Insya Allah jalan hidupmu selalu barokah dan cukup. Ndak perlu yang wah, kaya raya, berlebihan. Nggak. Cukup. Gusti Allah yo ndak suka sama orang yang berlebihan. Tapi kalau ada orang yang kaya ya itu ujian, sejauh mana dia bisa berbuat baik di jalanNya. Percayalah dalam hatimu!” tuturmu menyentuh dadaku, tepat di hatiku.
Oke Bu, kamu memang bukan orang berpendidikan tinggi sepertiku tapi jiwamu dan mentalitasmu mengalahkan siapa pun yang bertitel banyak di dunia ini yang kebanyakan serakah, culas dan pongah. Aku berani jamin. Tuhan Maha Tahu.
Aku memelukmu lebih erat sehingga sensasi hangat menjalariku. Abaikan dinginnya udara yang kian menggila malam ini. Aku hanya ingin melindungimu seaman dan senyaman mungkin seperti kamu menjagaku dalam perutmu, di balik gendongan kainmu dan harga dirimu.
-selesai-

*pernah diikutkan dalam lomba #Everlastingwoman untuk memperingati hari ibu 2013 oleh Penerbit Diva Press tapi enggak menang :p


[1] Panggilan untuk anak perempuan dalam masyarakat Jawa
[2] Guru pendamping Anak Berkebutuhan Khusus





Senin, 10 Maret 2014

Pinangan Pada Pagi Buta

credit
“Menikahlah denganku,” pinta Bayu tanpa tedeng aling-aling.
Mata Keyla membelalak lebar setengah melotot. Ia tak ingin tertawa apalagi bersedih. Tak juga marah. Tapi ini sulit. Dan terasa aneh tentunya.
Dan... hei, ini masih pukul lima pagi. Langit Jakarta juga masih terlalu redup.
Bayu datang kepadanya pagi-pagi menembus rintik hujan sisa hujan badai semalam. Di depan pintu ia berdiri dan langsung melamar Key ketika Key baru saja memakai masker bengkoan melapisi seluruh wajahnya.
Ini bukan adegan lucu. Key pun tak akan tersanjung dibuatnya. Perlu ditegaskan sekali lagi, aneh.
“Mas, aku tahu kamu lelaki baik-baik sekalipun pernah hidup lama di negeri liberal. Amat mungkin mengenal alkohol, bisa jadi sampai mabuk, tapi aku tak yakin kamu sekarang mabuk. Ta-pi, tapi, apa yang barusan kamu katakan itu mengejutkan sekali. Ada apa ini?” tanya Key menggiring Bayu duduk di kursi teras rumahnya.
“Mami minta cucu segera dariku untuk mewarisi pabrik tekstil.”
Key mengangkat sebelah alisnya. Itu alasan yang sering kali ia dengar dari Nyonya Kuntjoro. Kemudian ia tersenyum simpul bahkan hendak melepas tawa. Namun mengetahui mimik wajah Bayu tetaplah serius dan justru menyipitkan pandangan yang seakan menunjukkan tanya apa-yang-lucu atau kenapa-tertawa, Key mengatupkan rapat mulutnya, mengenyahkan tawa yang nyaris saja keluar.
“Aku serius,” kata Bayu seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Key. “menikahlah denganku.”
Key menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Dirinya bukan tipe wanita yang ingin cepat menikah. Usianya memang sudah 27 tahun tapi tidak. Ia baru saja menikmati posisinya menjadi asisten manajer HRD. Pasti repot jika harus membagi waktu antara keluarga barunya dan karir yang sedang menanjak.
Key bukan hendak mengelak dari kodratnya sebagai wanita yang sudah pantas menikah sekaligus hasratnya sebagai wanita untuk menjalin relasi serius dengan lelaki tapi tak mudah juga ternyata tiba-tiba dilamar seseorang. Tak mudah karena semendadak ini, dengan alasan yang selalu terdengar menggelikan ini dan karena bukan dengan cara seperti ini ia ingin dilamar.
Tak munafik, Key juga punya impian dilamar dengan cara yang romantis dan pernikahan yang unforgetable juga kehidupan rumah tangga yang manis. Key tak bisa meramalkan mau jadi apa rumah tangganya kalau dimulai dengan cara begini.
“Mamimu, kan, sudah punya cucu dari adikmu,” kata Key.
Little Laras, diwarisi bisnis butik. Kamu tahu, Laras seorang desainer yang berkontribusi besar ke butik-butiknya mami. Dan untukku, mami ingin aku memiliki keturunan laki-laki untuk mengurus pabriknya.”
Key geleng-geleng sekali lagi. Lucu sekali, sih, keluarganya Bayu ini. Hidup kok, terlalu diatur seserius itu.
“Kalau aku tak bisa memberikan anak laki-laki?”
“Kita bisa ikut programnya.”
Key menggeleng. “Tidak. Kamu pikir aku ini pencetak anak? Kalau sampai banyak anak lalu perempuan semua?” tanya Key penuh penekanan. “Aku takut mengecewakan mamimu. Suruh saja Laras hamil lagi, bayi laki-laki.
Giliran Bayu yang menggeleng pelan. “Tapi mami suka sama kamu. Mami yang memintaku meminangmu segera.”
Key terkesiap.
“Jadi, kamu datang pagi-pagi buta begini atas kemauan tante? Ouh, haha, haha,” Key berusaha menertawakan tindakan Bayu. Tertawa yang bukan sesungguhnya tertawa karena lucu. “Demi alasan apa pun, aku tak akan menikah denganmu. Aku hanya menikahi orang yang aku cintai.”
“Cinta bisa diatur nanti.”
“Aku tak mau menikah dengan pria yang tak peduli padaku, lebih tepatnya tidak mencintaiku yang bisa saja suatu waktu berselingkuh dengan pacar yang dicintainya dan mencampakkan aku,” sergah Key. Maskernya sudah retak di nyaris keseluruhan wajahnya. “Sekuat-kuatnya aku, aku wanita. Ketika aku –ah, mungkin bisa saja omonganmu benar tentang cinta bisa diatur nanti- sudah jatuh cinta sama kamu lalu kamu pergi begitu saja, ah, menyedihkan sekali hidupku. Sinetron! Aku tak mau hidup seperti di sinetron,” pungkas Key.
Tampak Bayu sedang mengancang-ancang kalimat untuk memberikan argumentasi pada Key.
Key memandang Bayu. Dipikir-pikir, lelaki di sampingnya ini hampir tak punya cacat. Dia bibit unggul bermasa depan cerah. Bukan karena dia keturunan bangsawan Jawa dan kaya raya, melainkan karakternya yang memang nomor wahid sebagai lelaki. Semua wanita ingin jadi istrinya, minimal teman kencan. Key juga mau, apa pun lah. Hidup kan, hanya sekali. Sekali berkencan buta dengan Bayu seumur hidup, bukan masalah. Tapi, kenapa ketika Bayu datang melamarnya, justru dia berkeberatan? Alasannya sudah jelas tadi. Plus pertimbangan lainnya ialah Bayu selama ini menilainya buruk. Oh, bukan buruk sih, tapi sebelah mata. Tak sepenuhnya buruk.
Key sakit hati? Lalu balas dendam?
Bukan. Melainkan takjub. Bagaimana bisa lelaki yang dulu mengolok-oloknya bisa melamarnya? Lucu, bukan? Terkesan si lelaki menjilat ludahnya sendiri. Di mana harga dirinya?
Key sih, tidak pernah memikirkan sakit hati atau bahkan balas dendam. Ia tak pernah memikirkan ocehan Bayu selama ini. Key tak punya waktu memperhatikan hater-nya. Bukankah haters is fans in denial? Key tersenyum geli jika mengingat kutipan ini semasa ia masih melihat Bayu sering melotot padanya.
“Hidup juga tak melulu semanis novel romans luar negeri kesukaanmu, kan?” Bayu bicara telak. Ia tahu Key suka membaca novel karya Jane Austen, Nicholas Sparks dan beberapa penulis lain. “Bisa juga akhirnya tak membahagiakan, memilukan. Dan itu terjadi padamu. Clark pergi begitu saja, kan? Dia mencintaimu tapi tega meninggalkanmu dengan alasan konyol. Dan siapa yang sangka ternyata dia sudah beristri di Inggris. Apa kisah cinta seperti itu yang kamu mau? Seperti itu impian kehidupanmu? Bukannya kamu bilang tak ingin dicampakkan? Kamu mencintainya dan dia mencampakkanmu. Jadi, tak usah beridealisme lagi bahwa saling mencintai tidak akan saling menyakiti apalagi meninggalkan kekasihnya. Kuno!” sembur Bayu frontal.
Key menggigit bibir dalam bawahnya. Mendadak saja ia merasa sendu sendiri. Semua yang disampaikan Bayu itu benar. Kurang lebih empat bulan lalu, Key putus dari pacar ekspatriatnya. Clark. Lelaki yang tampannya selevel dengan Justin Timberlake itu rekan baik kakak Key, Raka, yang berprofesi sebagai dokter untuk sebuah tim sepakbola mentereng di negeri ini. Clark sendiri striker yang dikontrak tim tersebut. Manuver-manuver Clark mencetak gol sama cemerlangnya seperti rekan sejawatnya yang lebih dulu terkenal di Eropa. Clark (mengaku) jatuh cinta pada Key ketika mereka bertemu di tempat praktek Raka untuk pertama kali. Semenjak itu mereka berpacaran untuk sekitar sembilan bulan. Kisah cinta mereka manis dan romantis, hampir tak pernah ada pertikaian. Namun, entah mengapa Clark yang ternyata sudah habis masa kontraknya di Indonesia, selain meminta izin untuk kembali ke negaranya sekaligus meminta Key untuk merelakan hubungan mereka berakhir. Alasannya: ia tak bisa menjalin hubungan jarak jauh. Sebegitu rapuhnya kamu jadi lelaki, Clark. Itu isi hati Key waktu itu. Tapi Key paham, lelaki memang tak bisa untuk setia jika berjauhan teramat lama dengan kekasihnya. Boleh saja diingat logika seperti ini: secara biologis lelaki butuh “pemenuhan”. Kalian tahu, bukan? Sementara wanita, mereka bisa setia karena mereka tak mengejar “pemenuhan” tersebut. Setidaknya, sebagian bisa dianggap begitu walau tidak bisa disama-ratakan persepsi seperti ini untuk semua orang. Key masih memohon waktu itu untuk menjalin komitmen satu sama lain. Bukan menikah, tapi komitmen pada diri pribadi. Namun, Clark tetap menolak. Ia tak bisa dan tak mau menyakiti Key pada akhirnya. Dengan berat hati Key melepaskan. Akibatnya, dalam waktu sebulan pasca putus, berat badan Key terjun bebas lima belas kilo. Tubuhnya tampak seperti model-model androgini yang kurusnya tak ketulungan. Sampai-sampai Bayu mengoloknya suatu hari, “Apa bagusnya wanita bertubuh kerempeng di mata lelaki normal?”. Key gondok tapi ia tak ingin ambil pusing. Mulut Bayu memang tak bisa diam, selalu saja mengomentarinya. Yah, pada akhirnya, omongan Clark terbukti. Clark memang tak bisa setia dan telah menyakitinya. Berdasarkan sumber tepercaya, diketahui Clark sudah punya istri yang baru lima bulan ia nikahi kemudian ia tinggalkan ke Indonesia dan ia sendiri memacari Key. Sadis. Lelaki kurang ajar! Key marah besar. Sekaligus depresi.
Tapi semua sudah berlalu. Baru saja, tiga bulan berlalu. Tapi tetap saja ketika diingatkan tentang Clark rasanya menyakitkan. Key ingin tersenyum putus asa namun seolah kuat.
“Jadi, menurutmu aku harus mengubah keyakinanku bahwa pasangan yang awet itu bukan karena saling mencintai?” cetus Key bertanya.
“Mungkin. Tapi, apa kamu mau melakukan kesalahan yang sama?” tanya Bayu. “Aku rasa kamu terlalu pintar untuk begitu.”
Key kembali merenung. Haruskah ia berpindah haluan seperti himbauan Bayu? Lalu menerima Bayu sebagai suaminya? Oh, no. Pernikahan itu hal sakral, loh. Key maunya hanya sekali seumur hidup menikah dengan orang yang dicintai dan happy ever-after. Kalau menikah dengan Bayu? Apa dia cinta? Tidak. Tapi, Key juga tak membenci Bayu. Bayu menarik dari segala aspek, tak ada alasan untuk menolaknya. Bisakah jadi pertimbangan?
“Aku masih tak terima dengan alasanmu bahwa tante ingin cucu darimu. Itu terkesan aku ini potensial sekali untuk memiliki anak secara buru-buru. Kamu tahu kan, aku baru saja menikmati posisiku di pabrik mamimu. Menikah, langsung punya anak, itu bukan targetku dalam waktu dekat.”
Bayu menghela napas, sempat memejamkan mata sesaat.
“Itu bisa diatur. Kita bisa jelaskan pada mami. Dan...”
Ponsel Bayu mendadak berdering memotong kalimatnya.
Raut wajahnya berubah tegang ketika melihat layar ponselnya. Ia pun menjawab telepon itu dengan panik. Ia permisi pada Key untuk sedikit menjauh.
Key penasaran, ada apa dengan Bayu?
Baru beberapa menit bicara, Bayu segera membalikkan badannya dan mendapati Key memandanginya penuh tanda tanya.
“Ada apa?”
Bayu mendesah keras namun pelan. Tampak sudah putus asa teramat sangat.
Key makin bingung.
“Ini demi mami. Katakan saja iya. Katakan kamu mau aku nikahi. Sudah tak ada waktu lagi. Mami jam enam nanti harus masuk ruang operasi. Tak ada yang ingin kehilangan mami. Tapi mami ngotot, katanya kalau terjadi apa-apa –tapi amit-amit, ya-, ia ingin memastikan aku sudah punya calon istri. Dan dia minta kamu. Makanya aku segera ke sini setelah kemarin sore sampai di sana. Aku tak bisa menolak permintaan mami. Tak bisa menolak permintaan orang yang sakit.”
“Tunggu-tunggu,” sela Key. “bukannya tante sudah operasi kanker rahim beberapa bulan lalu? Lalu sekarang?”
“Belum. Mami waktu itu hanya menjalani terapi herbal ke Cina. Belum membuahkan hasil memuaskan. Sampai minggu kemarin kondisi mami drop dan dokternya di Singapura bilang sudah waktunya dilakukan operasi. Mami mulanya tak mau tapi dokter bilang mau tak mau harus segera operasi. Dan mami minta aku segera menemukan pasanganku.”
Alih-alih Key merasa geli, ia merasa kaget luar biasa tidak diberitahu kabar ini. Cemas, sama dengan Bayu.
“Kenapa kamu nggak bilang, sih, Mas, kalau tante ngedrop?” protes Key. “Aku bukan orang asing lagi kan, buat keluarga kalian?” imbuh Key yang geram pada Bayu.
Iya, Key bisa saja dibilang anak emas di perusahaan tekstil keluarga Kuntjoro. Key menjadi pegawai teladan dan lucunya itu tak cukup untuk direktur baru yang tak lain anak pemiliknya. Ah, sekarang bukan waktunya memikirkan itu. Key peduli pada pemilik Kuntjoro. Bukan karena anaknya. Jauh sebelum mengenal Bayu, Key sudah peduli. Key kehilangan sang ibunda lima tahun lalu karena sakit. Tinggal sang ayah. Padahal Key dekat sekali dengan mamanya. Ia masih butuh sosok mama. Ia pun bertemu Nyonya Kuntjoro ketika wawancara pekerjaan sekitar tiga tahun lalu. Semenjak itu keduanya memiliki chemistry. Tak sangka, Nyonya Kuntjoro sebegitu jatuh cintanya pada Key sampai-sampai ia ingin menjodohkan Key dengan anak tertuanya yang memiliki usia beda tujuh tahun dengan Key. Nyonya Kuntjoro sendiri yang memperkenalkan mereka dan berupaya menjodohkan mereka secara gamblang. Tapi sang anak yang baru pulang dari Boston hanya menganggap Key seujung jari kelingking. Key? Key menghargai dan menghormati Bayu Kuntjoro, mengagumi Bayu tapi jelas ia tak mencintai Bayu. Ia memiliki Clark kala itu. Namun, Key sempat meluluh ketika Bayu menghiburnya pasca putus dari Clark. Dengan caranya sendiri. Ia “membanting” Key dengan ucapannya yang bagai belati tajam untuk menyadarkan Key bahwa lelaki semacam Clark tak pantas membuat Key harus kehilangan berat badan drastis dan menjadi klien psikiater.
“Jangan banyak bicara. Segera putuskan. Aku berjanji dalam lima menit, aku akan menelepon Laras untuk disampaikan pada mami dan kamu yang menyapanya. Katakan kamu setuju. Tolong, jangan pikir panjang. Iyakan semua permintaan mami. Please, aku tak tahan melihat mami kemarin kesakitan. Urusan pernikahan, bisa kita bicarakan nanti,” ujar Bayu lebih terkesan memaksa.
Key menjadi bertambah bingung. Ia belum bicara apa pun pada ayah dan Raka tentang ini. Masa’ ia harus memutuskan sendiri? Namun, Key melihat Bayu. Ternyata ia bukanlah lelaki tanpa harga diri karena terkesan menjilat ludahnya sendiri yang dulu terkesan membenci Key. Justru Bayu lelaki berharga diri karena ia memperjuangkan maminya yang sakit dan belum pasti apakah operasi itu bisa sukses atau tidak. Alat kedokteran Singapura memang sangatlah canggih tapi Tuhan yang punya kehendak.
Key menggeleng cepat. Ia tak mau pesimis. Ia juga sedih mendengar kabar seperti ini. Masa’ ia harus kehilangan sosok ibu lagi?
Oke, sekonyol apa pun yang ia hadapi pagi ini, ia akan menyelesaikan semuanya. Sekalipun ia belum jatuh hati pada Bayu sepenuhnya, sekalipun ia tak tahu apakah fix ia akan menikah dengan Bayu kalau ia memutuskan berhohong setuju menikah dengan Bayu, sekalipun ia ragu bagaimana masa depannya (jika memang) menikahi orang yang tak ia cintai, sekalipun semuanya terdengar seperti sinetron dan lucu sekali tapi terancam kehilangan orang yang disayangi bukan lelucon. Toh, hanya bilang iya. Itu yang dibutuhkan Nyonya Kuntjoro dan Bayu sekarang ini.
Key menatap Bayu yang memandanginya beberapa detik terakhir. Key mengangguk tanda setuju. Tak nyana Bayu sontak memeluknya erat dan mengucapkan terima kasih tiada henti. Kemudian Bayu menelepon adiknya untuk bicara dengan sang mama yang katanya sudah bersiap di tempat tidur menuju ruang operasi.
Usai itu, ketegangan yang dihadapi Key dan (terlebih) Bayu menurun. Namun, ternyata berganti ketegangan yang lain.
Bayu menatap Key yang tubuhnya jauh lebih pendek ketimbang dirinya dengan khidmat. Membuat Key kikuk.
“Bisakah kepedulianmu terhadap seorang ibu juga kamu bagi dengan sang anak?” tanya Bayu.
Key tak mengerti. “Eh?”
“Maksudku, Mami sayang sama kamu seperti dia sayang sama Laras. Kamu sayang sama mami. Bisakah kamu melakukan hal yang sama padaku?” suara Bayu lembut.
Key menelan ludah. Mendadak jantungnya mencelus sampai ke perut dan membuatnya mual seketika. Bukan karena ia muak pada Bayu. Tapi psikosomatis yang biasanya ia rasakan ketika bertemu lawan jenis yang ia sukai bahkan cintai kembali datang. Apakah ia... mungkinkah dalam waktu tiga bulan ia bisa merasakannya dengan Bayu?
Bayu memang seperti melunak pasca Key putus dengan Clark. Lebih lembut –meski hanya sedikit- kepada Key.
“Mas sendiri, apa bisa mencintaiku?” tanya balik Key. Ia ingin tahu pendapat Bayu tentang cinta bisa datang dengan sendirinya.
“Jauh sebelum hari ini, aku telah mencintaimu. Kamu terlalu menyebalkan untuk tidak kucintai. Aku sebal kamu mengumbar kemesraanmu dengan bule tak tahu diri itu. Aku jengkel kamu selalu bisa mengalahkanku dalam banyak hal. Bagaimana bisa aku dikalahkan wanita? Sejauh ini yang bisa mengalahkan idealismeku hanya mami. Laras saja tak bisa. Lalu kamu jadi bagian dari kehidupanku, datang dan seolah kamu ini mami ketika muda. Membuatku ingin mengalahkanmu dengan banyak cara. Tapi aku tak bisa. Sampai mati pun aku tak akan bisa. Aku mencoba menawar perasaanku dengan perasaan yang lebih mungkin bisa membahagiakanku. Jadi, bisakah kamu mencintaiku? Tulus? Bahkan sebelum aku menikahimu? Tentu saja juga setelah kita menikah?”
Key membeku. Kalimat demi kalimat Bayu membombardir gendang telinga dan jantungnya tiada henti. Jalan cerita hidup macam apa ini? Bagaimana bisa Bayu diam-diam mencintainya? Bagaimana ia tak pernah tahu itu? Itu karena memang ia tak pernah peduli. Waktu itu ia hanya peduli pada Clark, lebih tepatnya dimabuk asmara.
Bayu kembali menegaskan. “Aku mencintaimu. Sungguh. Dari pertama kita bertemu sampai sekarang dan sampai kapan pun. Aku bukan lelaki pecundang apalagi tak bermoral. Kamu sendiri yang bilang, percaya aku lelaki baik-baik. Atas semua yang kamu tahu sendiri maupun dari mami selama ini, tak cukup untuk membuatmu mencintaiku?”
Key memberanikan diri menatap mata Bayu lebih dalam.
“Bolehkah kalau aku bilang, biar waktu yang membuatku jatuh cinta? Dan bolehkah aku memintamu untuk membuatku jatuh cinta setiap harinya? Setiap detiknya?” tanya Key yang belum yakin ia mencintai Bayu.
Bayu membingkai wajah Key dengan kedua tangannya. Mengelusnya sebentar. “Bahkan melihatmu dengan masker seperti ini selama kita bicara pagi ini, aku masih menyukaimu dan akan lebih-lebih mencintaimu dalam segala hal.”
Key tersipu. Wajahnya bisa saja terlihat merona merah bila saja tak mengenakan masker.
“Pagi-pagi jangan menggombal. Aku harap aku bisa memegang ucapanmu,” tukas Key.
Bayu menarik Key ke dalam pelukannya. Lebih hangat, lembut dan mendamaikan. Potongan hati mereka bersatu utuh.*

Minggu, 02 Maret 2014

KAMU (BUKAN) DASAMUKA

credit
Tik. Tik. Tik.
Tetesan sisa air hujan jatuh dari atap ke kubangan air tepat di samping kaki kita berdua duduk di teras. Aku di sini, kamu di depanku. Tatapanmu sendu dan aku bodoh mengartikannya. Aku memang bukan cenayang yang tahu isi pikiranmu sekarang. Aku hanya tahu dari setiap keluh kesahmu kepadaku selama ini.
Aku risau.
Di satu sisi aku selalu bahagia kamu datang padaku, bercerita sampai tandas. Membuatku merasa amat berarti. Di sisi lain, aku pilu setiap kali melihatmu berpeluh.
Kamu, bisakah kamu lebih banyak tersenyum? Aku selalu menunggumu untuk berbagi kebahagiaan denganku sebab aku tak hanya siap untuk menampung kepedihanmu, aku siap menangkap bahagiamu bahkan aku bisa memberimu itu -jika saja kamu memberiku waktu-.
“Kenapa murung?” tanyaku padamu yang payah.
“Bete. Hari ini Nando poop lagi di celana dan dia nggak mau bilang!”
Aku tak yakin akan jawabanmu. Jawabanmu bukan akar permasalahanmu. Itu hanya salah satu ujungnya saja, dari sekian banyak ujung.
Aku menunggumu untuk memberikan keterangan lebih lanjut atau informasi lain. Aku tahu kamu mengerti aku yang diam saja menanggapi curhatanmu. Artinya, aku ingin kamu berbicara lebih.
Kamu menatapku sebal. “Aku gagal tes HRD perusahaan trading ternama. Sementara temenku yang kuajak lolos.
Belum. Ini belum akarnya. Ini masih ujung yang lain.
“Minum dulu, gih!” kataku menyodorkan segelas jus Jambu tanpa susu kesukaanmu. “Biar perasaan dan pikiranmu adem.”
Kamu menarik gelas itu dan meminumnya segera. Kemudian kamu berdecak lidah sembari mengepalkan kedua tangan.
“Rrrr!!” Kamu menggeram. “aku nggak betah gini terus, Mas! Aku tuh, pengin jadi wanita karir, mapan, berpakaian modis, berkembang pengetahuan dan pergaulanku. Bukan begini. Bukan!” lanjutmu dengan nada suara tinggi.
Akhirnya, akar itu mencuat keluar.
“Ya, kamu bisa cari kerja lagi, kan?”
“Nggak segampang itu, Mas!”
Kamu menatapku sengit. Aku menghela napas.
“Kalau aku cari kerja terus misal keterima sedangkan aku belum dapat pengganti shadow teacher untuk mendampingi Nando, ya sama aja, Mas! Terus kalau aku berhenti, udah dapet pengganti nih, terus ternyata aku masih belum ada panggilan kerja lagi atau bahkan gagal kayak barusan itu, aku pengangguran dong jadinya? Terus aku ngrepotin Bapak sama Ibu lagi. Ogah!” omelmu.
“Ya, kamu memang harus ambil resiko dari pilihanmu. Nggak ada hal yang nggak beresiko.
Kamu melihatku seksama.
“Begitu?” tanyamu belum yakin. “Tapi susah cari penggantiku. Nando itu, kan agak berat, Mas. Kelas dua SD tapi belum bisa baca, tulis, hitung. Masih pakai popok. Mana gajinya setengah UMR kota. Mana ada S1 yang mau? Lulusan S1 kan, maunya kerja mapan. Minimal gaji tuh, UMR.”
“Faktanya kamu mau.
“Itu karena aku emang butuh duit pas itu. Aku juga malu dibilang orang pengangguran padahal lulusan universitas ternama dan lulusan terbaik. Cih!”
Aku merasakan akar permasalahanmu begitu kuat. Tak pernah terselesaikan atau belum terselesaikan. Kamu masih mencari cara dan terus mencari untuk bisa menyelesaikan akar permasalahanmu itu. Ketidakikhlasan dan rasa selalu kekurangan adalah permasalahan yang paling mendasar di lubuk hatimu. Membuatmu mengingkari nikmat Sang Illahi.
Kamu terus memburu duniawi dengan dalih demi mengentaskan keluargamu dari kemiskinan. Aku tahu itu. Tapi hasratmu untuk mencapai kemapanan duniawi itu membuatmu hidup tak tenang dan sering memberontak Tuhan. Andai aku bisa membantumu. Aku siap membantumu. Tapi kamu menolak. Rasa gengsimu terlampau tinggi, gadisku. Ah, gadisku? Andai kamu tahu aku di sini mengharapkan bisa memanggilmu gadisku bahkan sayangku. Aku siap merangkulmu bukan sebagai sahabat tapi kekasih yang selalu merindumu.
Aku mendesah. “Terserah kamu aja. Kita sudah bahas ini tiga bulan terakhir dan kamu itu fluktuatif banget. Terkadang terlihat menerima semua ini dan enjoy your life as shadow teacher. Tapi kadang kalau lagi sebel, bener-bener sebel begini. Coba berdamai dengan dirimu sendiri. Bersyukur dengan pemberian Allah. Kamu bisa bayar kos, isi ulang pulsa, kasih uang jajan adikmu di kampung, ngegantiin uang servis laptop ke aku kan, juga dari jerih payah jadi shadow teacher. Artinya Allah masih bermurah rezeki sama kamu. Anggap aja sekarang kamu lagi aplikasi ilmu dan penggemblengan diri supaya lebih sabar. Siapa tahu suatu hari kamu bisa bikin yayasan untuk anak berkebutuhan khusus atas namamu sendiri. Dikenal tuh, kamu sebagai orang yang berwelas asih dan berguna bagi sesama. Kamu mati dengan tersenyum karena banyak orang yang mendo’akanmu. Dan Tuhan akan mencatat amal-ibadahmu. Nggak ada yang lebih berarti ketimbang kehidupan yang berkah dunia-akhirat,” jelasku panjang lebar, mencoba menghiburmu. Berulang kali tanpa bosan.
Kamu tersenyum kepadaku. “Iya, ya? Tapi...” Kamu terdiam sejenak. “aku masih belum terima! Temen-temenku yang biasa-biasa aja di kampus udah kerja mapan di perusahaan bergengsi. Lah, aku? Kerja bakti! Ngebabu!”
Andai aku bisa memelukmu dan mengelus pundakmu, mungkin itu bisa mendamaikan jiwamu.
“Bersyukur atas semua yang sudah dikasih Tuhan ke kita. Kalau kita nggak bisa mensyukuri yang kecil, bagaimana kita bisa mensyukuri rezeki yang besar? Kalau terus nggak bersyukur, kita bisa jadi manusia serakah padahal dunia nggak pernah setia sama kita sampai liang kubur,” ujarku. “Saranku, seringlah bangun sepertiga malam. Sembahyang malam. Intimkanlah hubunganmu dengan Allah. Insya Allah semua akan baik-baik aja. Entah itu berupa pertolongan kamu segera dapat pengganti dan pekerjaan baru atau justru kamu dikasih kedamaian hati. Yakinlah Allah itu penolong terbaik.”
Air matamu tertumpah begitu saja melewati kelopak matamu. Hatimu memang terlalu sensitif. Sedikit saja dinasehati menyentuh hati, pasti kelenjar air matamu bereaksi.
Beberapa menit kemudian kamu menyeka air mata itu. Ingin sekali aku yang menghapusnya.
“Aku balik dulu ya, Mas? Nanti kalau kemaleman pulang, ibu kos ngomel lagi,”
Aku melirik jam tanganku. “Masih jam delapan.
“Ya kan, nungguin angkotnya juga lama. Keburu nanti nggak ada angkot,” sahutmu sambil melongok dan mengobrak-abrik isi tasmu. “Nah, ini dia,” katamu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Kemudian memberikannya padaku.
“Nggak, ah. Kayak sama siapa aja.”
“Eh, Mas, nggak bisa gitu. Kamu kan, jualan. Lagi pula dari kemarin-kemarin gratis mulu. Ogah gratisan lagi,”
Aku tersenyum dan punya ide tokcer di otakku.
“Kenapa senyum-senyum begitu?”
“Uangnya aku terima tapi kali ini kamu harus mau aku antar pulang.
Kamu seketika mengibaskan tangan. “Nggak usah! Ngrepotin. Kan, restorannya lagi rame.”
“Ada mamah kok, di belakang. Tenang aja!”
“Wah, apalagi kalau ada Tante Fatma. Nggak enak, Mas. Aku pulang sendiri aja.”
“Kalau gitu aku nggak mau terima uang jus-nya.”
Kamu manyun. Lucu. Aku suka.
“Iya, deh. Tapi, aku pamit Tante dulu.
Aku manggut-manggut. Kemudian kita berdua berjalan menemui mamahku.
Satu pemandangan yang membuatku bahagia. Mamahku amat menyukaimu dan tanpa kamu tahu, dia berharap kamulah pendampingku kelak. Sayangnya aku belum berani mengutarakannya padamu.
Malam itu berlalu dengan manis karena aku mengantarmu pulang.
###
Malam sudah berganti dini hari. Aku terbangun untuk menuntaskan pekerjaanku, tesisku yang masih tergeletak di meja sebulan terakhir. Baru saja kubuka file tesisku, aku teringat sesuatu. Kubuka laci mejaku dan aku mencarinya. Sebuah buku hadiah eyang kakungku dulu sebelum meninggal. Tertulis: Tokoh Wayang Indonesia Termasyhur.
Aku tergerak membuka halaman demi halaman. Tiba-tiba saja, fokus mataku jatuh pada sebuah halaman berjudul Dasamuka. Di situ tertulis siapa Dasamuka dan silsilahnya, termasuk bagaimana perangainya. Siapa yang tidak kenal dengan Dasamuka? Penculik Sinta dari Rama. Dia juga sosok yang ingin menang sendiri, serakah, culas dan pongah walaupun ia amat sakti. Seketika itu juga aku mengingatmu. Bukan. Maksudku bukan menyamakanmu dengannya tapi kalau nafsumu terus kamu pupuk subur, kamu bisa menyamai Dasamuka, gadisku.
Kemudian, kubuka halaman semakin ke belakang. Halaman yang tak aku pedulikan judulnya tapi di halaman ke-100 itu tertulis ada empat nafsu yang dimiliki manusia berdasarkan zat pembentuk jasad manusia, antara lain: aluamah (berdasarkan zat pembentuk tanah yang menunjukkan nafsu makan dan minum), supiah (berdasarkan zat air yang menunjukkan nafsu seks), mutmainah (berdasarkan zat angin yang menunjukkan nafsu untuk berbuat baik) dan amarah (berdasarkan zat api yang menunjukkan nafsu marah).
Nah, nafsu terakhir ini yang menggeliat kuat menguasaimu, gadisku. Aku tidak mau kamu seperti itu. Aku jatuh cinta padamu karena bermula kebaikanmu dan ketulusanmu berbagi kasih dengan orang yang kekurangan. Tapi semakin ke sini kamu semakin menuju kemurkaan karena tak terima dengan keputusan Tuhan untukmu sekarang. Kamu ingin berada di tempat teratas. Aku paham alasan yang mendorongmu menginginkan itu tapi tolong jangan berubah menjadi sosok berjiwa Dasamuka.
Andai kamu tahu, gadisku, hidup ini berproses. Contohnya aku. Oh, maksudku orangtuaku. Kamu sudah kuberitahu bukan, mamahku hidup tanpa ayah sejak kecil dan harus sering makan sebatang ubi kayu –bukan nasi-, berbagi dengan kedua adik dan eyang putriku. Tapi karena eyang putri dan mamahku ulet dan tidak mau menyerah pada keadaan, mereka bisa seperti sekarang. Maka dari itu aku hidup nyaris tak pernah kekurangan. Tapi mereka tak pernah lepas dari Tuhan. Mereka terus berupaya dan berdo’a. Kamu juga harus begitu, gadisku. Jadilah wanita yang kuat seperti mamah dan eyang putriku. Tapi jangan pernah jauhi Tuhan! Karena kalau saja kita berjodoh, aku tak mau menjadi suami gagal membimbing istrinya.
Ah, lagi-lagi aku mengkhayalkan foto kita bisa terbingkai bersama dalam buku nikah yang tercatat di KUA.
Aku meraih ponselku di dekat laptop. Berusaha membangunkanmu dengan meneleponmu. Jam digital di layarnya menunjukkan pukul 02.45.
“Ya?” sahutmu mantab, seolah kamu sedang terjaga, bukan baru saja terbangun.
“Kamu sudah bangun? Atau malah nggak tidur?”
“Udah dong. Dari tadi.”
Suaramu terdengar bersemangat. Ada apa gerangan?
“Mas, aku udah tahu semuanya. Kenapa kamu nggak pernah ngomong langsung, sih?”
Aku menegakkan posisi dudukku. Penasaran maksud pertanyaanmu.
“Iya. Aku baru buka novel yang kamu kasih ke aku sebulan lalu. Di bagian akhirnya keselip kertas. Aku udah baca. Seharusnya kamu bilang dari awal biar aku nggak ngrasa sendirian berjuang ngraih cita-citaku. Ya, walaupun selama ini kamu selalu ada dengerin keluh kesahku tapi kan, statusnya beda.”
Deg!
Aku menelan ludah. Bukannya aku sudah membuang kertas memo itu ke tong sampah?
“Ya, walau kertasnya udah lecek tapi aku suka tulisannya. Singkat tapi daleeem.
Perkataanmu itu semakin menguatkan keyakinanku atas ingatanku bahwa aku sudah memungut kertas itu lagi tapi siapa yang menyelipkannya ke buku itu?
“Mas.
“Ya?”
“Aku cuma mau bilang makasih udah menyimpan perasaan itu untukku. Tapi coba kamu bilang dari semula, aku nggak akan menahan perasaanku juga dan aku nggak perlu merasa menjadi manusia paling merana di bumi ini.
Aku kembali menelan ludah tapi kali ini diikuti senyuman yang siap mengembang di wajahku.
“Kalau memang Allah menjodohkan kita Mas, aku akan belajar lebih ikhlas dan bersyukur. Aku tahu kamu punya kelebihan yang nggak dimiliki lelaki lain. Sabar, ngemong[1], bisa bikin suasana mencair dan selalu bersandar pada Tuhan. Itu yang bikin aku kagum sama kamu selama ini. Sayangnya, aku selama ini merasa kamu lebih pantes dapet yang lebih baik dari aku. Tapi aku juga nggak nyangka kamu punya perasaan yang sama kayak aku. Tuhan itu memang paling pinter ngasih kejutan ya, Mas?”
Aku tertegun mendengar pemaparanmu. Sampai-sampai aku mengabaikanmu yang memanggil namaku berulang kali.
“Kalau begitu, setelah ini kita sama-sama sholat hajat. Kita mohon sama Allah supaya kita berjodoh,” celetukku.
“Aamiin.
Kemudian obrolan kita berakhir. Kita bersiap untuk mengambil wudlu.
Betapa aku ingin menangis sejadi-jadinya menunjukkan kebahagiaan tiada terkira. Kamu mengamini keinginanku. Keinginan kita.
Gadisku, terima kasih atas cinta yang berbalas ini. Sungguh aku sendiri tak menduganya. Kini kamu tahu kan, bahwa Tuhan itu selalu bekerja tepat waktu dan indah memenuhi janjinya? Segala sesuatu jika Tuhan sudah berkata “kun fayakun”, maka semua akan terjadi. Begitu pula takdirmu ke depan. Meskipun sekarang kamu harus menahan rasa iri pada teman-temanmu yang berlebih tapi yakinlah selama kamu berusaha, berdo’a dan bersyukur, kamu juga akan seperti mereka. Tapi aku ingin berpesan sekali lagi padamu, jangan seperti Dasamuka yang serakah dan berakhir dengan mengenaskan. Kamu harus tetap menjadi pribadi yang elegan dan berbaik hati. Besok, kamu harus baca buku pemberian almarhum eyang kakungku. Wajib. Supaya kamu tahu, dongeng wayang yang punya nilai falsafah tinggi juga menyiratkan nilai-nilai moral yang wajib dipahami manusia dari segala zaman.
Usai sholat hajat aku punya ide. Aku memotret buku itu lalu mengirimkannya padamu. Lalu kutuliskan sebuah pesan singkat padamu.
Buku ini akn mberimu pemahaman bhw rasa syukur itu penting. Walau   implisit. Buku ini recommended! Kalau malam ini terkuak perasaan kita secara “ajaib”, esok hari kita gak tau keajaiban apa yg akan dihadiahkan untukmu. Siapa tau besok kamu dpt pekerjaan yg baru. Optimislah! Semangat ^^9

Demikian isi pesanku. Lalu beberapa menit kemudian kamu pun membalas.
Oke! Bsk aku pnjm. Asal tau, bahkan skrg pun aku sdg bersyukur sekali, Allah krm km buatku, Mas. J. Aku emang hrs lebih yakin untk semua keinginanku spy Allah meridhoiku. Allah menyertai prasangka hamba-Nya, kan? Sprt kamu, kamu yg sll kuyakini tapi aku jg srg ngrasa minder. Trs jg hrs lbh byk bljr ikhlas & brsyukur dr kamu & klrgmu. Salut! J  sudah selesai sholat hajatnya? Aku udah J

Aku tersenyum lebar. Rasanya aku ingin salto di kamarku segera.
Balasku.
Sdh. Do’aku: Ya Allah, jadikan aku dan dia (kamu) berjodoh dunia-akhirat.

Balasmu:
Do’aku: Ya Allah, jadikan dia (kamu) imamku dunia-akhirat.

Dan pesan kita berdua semakin manis diiringi semesta yang cerah bergemintang, menyambut Subuh yang siap merekah menjadi semburat fajar terbit di ufuk timur.
Gadisku, aku yakin kamu bukan pribadi berjiwa Dasamuka. Aku akan membimbingmu nanti. Aamiin.
-selesai-



[1] Mengayomi