credit |
Tik. Tik. Tik.
Tetesan sisa air hujan
jatuh dari atap ke kubangan air tepat di samping kaki kita berdua duduk di
teras. Aku di sini, kamu di depanku. Tatapanmu sendu dan aku bodoh
mengartikannya. Aku memang bukan cenayang yang tahu isi pikiranmu sekarang. Aku
hanya tahu dari setiap keluh kesahmu kepadaku selama ini.
Aku risau.
Di satu sisi aku selalu
bahagia kamu datang padaku, bercerita sampai tandas. Membuatku merasa amat
berarti. Di sisi lain, aku pilu setiap kali melihatmu berpeluh.
Kamu, bisakah kamu lebih
banyak tersenyum? Aku selalu menunggumu untuk berbagi kebahagiaan denganku
sebab aku tak hanya siap untuk menampung kepedihanmu, aku siap menangkap
bahagiamu bahkan aku bisa memberimu itu -jika saja kamu memberiku waktu-.
“Kenapa murung?” tanyaku
padamu yang payah.
“Bete. Hari ini Nando poop lagi di celana dan dia nggak mau
bilang!”
Aku tak yakin akan
jawabanmu. Jawabanmu bukan akar permasalahanmu. Itu hanya salah satu ujungnya
saja, dari sekian banyak ujung.
Aku menunggumu untuk
memberikan keterangan lebih lanjut atau informasi lain. Aku tahu kamu mengerti
aku yang diam saja menanggapi curhatanmu. Artinya, aku ingin kamu berbicara
lebih.
Kamu menatapku sebal.
“Aku gagal tes HRD perusahaan trading
ternama. Sementara temenku yang kuajak lolos.”
Belum. Ini belum
akarnya. Ini masih ujung yang lain.
“Minum dulu, gih!”
kataku menyodorkan segelas jus Jambu tanpa susu kesukaanmu. “Biar perasaan dan
pikiranmu adem.”
Kamu menarik gelas itu
dan meminumnya segera. Kemudian kamu berdecak lidah sembari mengepalkan kedua
tangan.
“Rrrr!!” Kamu menggeram.
“aku nggak betah gini terus, Mas! Aku tuh, pengin jadi wanita karir, mapan,
berpakaian modis, berkembang pengetahuan dan pergaulanku. Bukan begini. Bukan!”
lanjutmu dengan nada suara tinggi.
Akhirnya, akar itu
mencuat keluar.
“Ya, kamu bisa cari
kerja lagi, kan?”
“Nggak segampang itu,
Mas!”
Kamu menatapku sengit.
Aku menghela napas.
“Kalau aku cari kerja
terus misal keterima sedangkan aku belum dapat pengganti shadow teacher untuk mendampingi Nando, ya sama aja, Mas! Terus
kalau aku berhenti, udah dapet pengganti nih, terus ternyata aku masih belum
ada panggilan kerja lagi atau bahkan gagal kayak barusan itu, aku pengangguran
dong jadinya? Terus aku ngrepotin Bapak sama Ibu lagi. Ogah!” omelmu.
“Ya, kamu memang harus
ambil resiko dari pilihanmu. Nggak ada hal yang nggak beresiko.”
Kamu melihatku seksama.
“Begitu?” tanyamu belum
yakin. “Tapi susah cari penggantiku. Nando itu, kan agak berat, Mas. Kelas dua
SD tapi belum bisa baca, tulis, hitung. Masih pakai popok. Mana gajinya
setengah UMR kota. Mana ada S1 yang mau? Lulusan S1 kan, maunya kerja mapan.
Minimal gaji tuh, UMR.”
“Faktanya kamu mau.”
“Itu karena aku emang
butuh duit pas itu. Aku juga malu dibilang orang pengangguran padahal lulusan
universitas ternama dan lulusan terbaik. Cih!”
Aku merasakan akar
permasalahanmu begitu kuat. Tak pernah terselesaikan atau belum terselesaikan.
Kamu masih mencari cara dan terus mencari untuk bisa menyelesaikan akar
permasalahanmu itu. Ketidakikhlasan dan rasa selalu kekurangan adalah
permasalahan yang paling mendasar di lubuk hatimu. Membuatmu mengingkari nikmat
Sang Illahi.
Kamu terus memburu
duniawi dengan dalih demi mengentaskan keluargamu dari kemiskinan. Aku tahu
itu. Tapi hasratmu untuk mencapai kemapanan duniawi itu membuatmu hidup tak
tenang dan sering memberontak Tuhan. Andai aku bisa membantumu. Aku siap
membantumu. Tapi kamu menolak. Rasa gengsimu terlampau tinggi, gadisku. Ah, gadisku? Andai kamu tahu aku di sini
mengharapkan bisa memanggilmu gadisku
bahkan sayangku. Aku siap merangkulmu
bukan sebagai sahabat tapi kekasih yang selalu merindumu.
Aku mendesah. “Terserah
kamu aja. Kita sudah bahas ini tiga bulan terakhir dan kamu itu fluktuatif
banget. Terkadang terlihat menerima semua ini dan enjoy your life as shadow teacher. Tapi kadang kalau lagi sebel,
bener-bener sebel begini. Coba berdamai dengan dirimu sendiri. Bersyukur dengan pemberian
Allah. Kamu bisa bayar kos, isi ulang pulsa, kasih uang jajan adikmu di
kampung, ngegantiin uang servis laptop ke aku kan, juga dari jerih payah jadi shadow teacher. Artinya Allah masih
bermurah rezeki sama kamu. Anggap aja sekarang kamu lagi aplikasi ilmu dan
penggemblengan diri supaya lebih sabar. Siapa tahu suatu hari kamu bisa bikin
yayasan untuk anak berkebutuhan khusus atas namamu sendiri. Dikenal tuh, kamu
sebagai orang yang berwelas asih dan berguna bagi sesama. Kamu mati dengan
tersenyum karena banyak orang yang mendo’akanmu. Dan Tuhan akan mencatat
amal-ibadahmu. Nggak ada yang lebih berarti ketimbang kehidupan yang berkah
dunia-akhirat,” jelasku panjang lebar, mencoba menghiburmu. Berulang kali tanpa
bosan.
Kamu tersenyum kepadaku.
“Iya, ya? Tapi...” Kamu terdiam sejenak. “aku masih belum terima! Temen-temenku
yang biasa-biasa aja di kampus udah kerja mapan di perusahaan bergengsi. Lah,
aku? Kerja
bakti! Ngebabu!”
Andai aku bisa memelukmu
dan mengelus pundakmu, mungkin itu bisa mendamaikan jiwamu.
“Bersyukur atas semua
yang sudah dikasih Tuhan ke kita. Kalau kita nggak bisa mensyukuri yang kecil,
bagaimana kita bisa mensyukuri rezeki yang besar? Kalau terus nggak bersyukur,
kita bisa jadi manusia serakah padahal dunia nggak pernah setia sama kita
sampai liang kubur,” ujarku. “Saranku, seringlah bangun sepertiga malam. Sembahyang malam. Intimkanlah
hubunganmu dengan Allah. Insya Allah semua akan baik-baik aja. Entah itu berupa
pertolongan kamu segera dapat pengganti dan pekerjaan baru atau justru kamu
dikasih kedamaian hati. Yakinlah Allah itu penolong terbaik.”
Air matamu tertumpah
begitu saja melewati kelopak matamu. Hatimu memang terlalu sensitif. Sedikit
saja dinasehati menyentuh hati, pasti kelenjar air matamu bereaksi.
Beberapa menit kemudian
kamu menyeka air mata itu. Ingin sekali aku yang menghapusnya.
“Aku balik dulu ya, Mas?
Nanti kalau kemaleman pulang, ibu kos ngomel lagi,”
Aku melirik jam
tanganku. “Masih jam delapan.”
“Ya kan, nungguin
angkotnya juga lama. Keburu nanti nggak ada angkot,” sahutmu sambil melongok
dan mengobrak-abrik isi tasmu. “Nah, ini dia,” katamu mengeluarkan selembar
uang sepuluh ribu. Kemudian memberikannya padaku.
“Nggak, ah. Kayak sama siapa aja.”
“Eh, Mas, nggak bisa
gitu. Kamu kan, jualan. Lagi pula
dari kemarin-kemarin gratis mulu. Ogah gratisan lagi,”
Aku tersenyum dan punya
ide tokcer di otakku.
“Kenapa senyum-senyum begitu?”
“Uangnya aku terima tapi
kali ini kamu harus mau aku antar pulang.”
Kamu seketika
mengibaskan tangan. “Nggak usah! Ngrepotin. Kan, restorannya lagi rame.”
“Ada mamah kok, di
belakang. Tenang aja!”
“Wah, apalagi kalau ada
Tante Fatma. Nggak enak, Mas. Aku pulang sendiri aja.”
“Kalau gitu aku nggak
mau terima uang jus-nya.”
Kamu manyun. Lucu. Aku
suka.
“Iya, deh. Tapi, aku
pamit Tante dulu.”
Aku manggut-manggut.
Kemudian kita berdua berjalan menemui mamahku.
Satu pemandangan yang
membuatku bahagia. Mamahku amat menyukaimu dan tanpa kamu tahu, dia berharap
kamulah pendampingku kelak. Sayangnya aku belum berani mengutarakannya padamu.
Malam itu berlalu dengan
manis karena aku mengantarmu pulang.
###
Malam sudah berganti
dini hari. Aku terbangun untuk menuntaskan pekerjaanku, tesisku yang masih
tergeletak di meja sebulan terakhir. Baru saja kubuka file tesisku, aku teringat sesuatu. Kubuka laci mejaku dan aku
mencarinya. Sebuah buku hadiah eyang
kakungku dulu sebelum meninggal. Tertulis: Tokoh
Wayang Indonesia Termasyhur.
Aku tergerak membuka
halaman demi halaman. Tiba-tiba saja, fokus mataku jatuh pada sebuah halaman
berjudul Dasamuka. Di situ tertulis
siapa Dasamuka dan silsilahnya, termasuk bagaimana perangainya. Siapa yang
tidak kenal dengan Dasamuka? Penculik Sinta dari Rama. Dia juga sosok yang
ingin menang sendiri, serakah, culas dan pongah walaupun ia amat sakti.
Seketika itu juga aku mengingatmu. Bukan. Maksudku bukan menyamakanmu dengannya
tapi kalau nafsumu terus kamu pupuk subur, kamu bisa menyamai Dasamuka,
gadisku.
Kemudian, kubuka halaman
semakin ke belakang. Halaman yang tak aku pedulikan judulnya tapi di halaman
ke-100 itu tertulis ada empat nafsu yang dimiliki manusia berdasarkan zat
pembentuk jasad manusia, antara lain: aluamah (berdasarkan zat pembentuk tanah
yang menunjukkan nafsu makan dan minum), supiah (berdasarkan zat air yang
menunjukkan nafsu seks), mutmainah (berdasarkan zat angin yang menunjukkan
nafsu untuk berbuat baik) dan amarah (berdasarkan zat api yang menunjukkan
nafsu marah).
Nah, nafsu terakhir ini
yang menggeliat kuat menguasaimu, gadisku. Aku tidak mau kamu seperti itu. Aku
jatuh cinta padamu karena bermula kebaikanmu dan ketulusanmu berbagi kasih
dengan orang yang kekurangan. Tapi semakin ke sini kamu semakin menuju kemurkaan
karena tak terima dengan keputusan Tuhan untukmu sekarang. Kamu ingin berada di
tempat teratas. Aku paham alasan yang mendorongmu menginginkan itu tapi tolong
jangan berubah menjadi sosok berjiwa Dasamuka.
Andai kamu tahu,
gadisku, hidup ini berproses. Contohnya aku. Oh, maksudku orangtuaku. Kamu
sudah kuberitahu bukan, mamahku hidup tanpa ayah sejak kecil dan harus sering
makan sebatang ubi kayu –bukan nasi-, berbagi dengan kedua adik dan eyang
putriku. Tapi karena eyang putri dan mamahku ulet dan tidak mau menyerah pada
keadaan, mereka bisa seperti sekarang. Maka dari itu aku hidup nyaris tak
pernah kekurangan. Tapi mereka tak pernah lepas dari Tuhan. Mereka terus
berupaya dan berdo’a. Kamu juga harus begitu, gadisku. Jadilah wanita yang kuat
seperti mamah dan eyang putriku. Tapi jangan pernah jauhi Tuhan! Karena kalau
saja kita berjodoh, aku tak mau menjadi suami gagal membimbing istrinya.
Ah, lagi-lagi aku
mengkhayalkan foto kita bisa terbingkai bersama dalam buku nikah yang tercatat
di KUA.
Aku meraih ponselku di
dekat laptop. Berusaha membangunkanmu dengan meneleponmu. Jam digital di
layarnya menunjukkan pukul 02.45.
“Ya?” sahutmu mantab,
seolah kamu sedang terjaga, bukan baru saja terbangun.
“Kamu sudah bangun? Atau
malah nggak tidur?”
“Udah dong. Dari tadi.”
Suaramu terdengar
bersemangat. Ada apa gerangan?
“Mas, aku udah tahu
semuanya. Kenapa kamu nggak pernah ngomong langsung, sih?”
Aku menegakkan posisi
dudukku. Penasaran maksud pertanyaanmu.
“Iya. Aku baru buka novel yang kamu kasih ke aku sebulan
lalu. Di bagian akhirnya keselip kertas. Aku udah baca. Seharusnya kamu bilang
dari awal biar aku nggak ngrasa sendirian berjuang ngraih cita-citaku. Ya,
walaupun selama ini kamu selalu ada dengerin keluh kesahku tapi kan, statusnya
beda.”
Deg!
Aku menelan ludah.
Bukannya aku sudah membuang kertas memo itu ke tong sampah?
“Ya, walau kertasnya
udah lecek tapi aku suka tulisannya. Singkat tapi daleeem.”
Perkataanmu itu semakin
menguatkan keyakinanku atas ingatanku bahwa aku sudah memungut kertas itu lagi
tapi siapa yang menyelipkannya ke buku itu?
“Mas.”
“Ya?”
“Aku cuma mau bilang
makasih udah menyimpan perasaan itu
untukku. Tapi coba kamu bilang dari semula, aku nggak akan menahan perasaanku
juga dan aku nggak perlu merasa menjadi manusia paling merana di bumi ini.”
Aku kembali menelan
ludah tapi kali ini diikuti senyuman yang siap mengembang di wajahku.
“Kalau memang Allah
menjodohkan kita Mas, aku akan belajar lebih ikhlas dan bersyukur. Aku tahu
kamu punya kelebihan yang nggak dimiliki lelaki lain. Sabar, ngemong[1],
bisa bikin suasana mencair dan selalu bersandar pada Tuhan. Itu yang bikin
aku kagum sama kamu selama ini. Sayangnya, aku selama ini merasa kamu lebih
pantes dapet yang lebih baik dari aku. Tapi aku juga nggak nyangka kamu punya
perasaan yang sama kayak aku. Tuhan itu memang paling pinter ngasih kejutan ya,
Mas?”
Aku tertegun mendengar
pemaparanmu. Sampai-sampai aku mengabaikanmu yang memanggil namaku berulang
kali.
“Kalau begitu, setelah
ini kita sama-sama sholat hajat. Kita mohon sama Allah supaya kita berjodoh,”
celetukku.
“Aamiin.”
Kemudian obrolan kita
berakhir. Kita bersiap untuk mengambil wudlu.
Betapa aku ingin
menangis sejadi-jadinya menunjukkan kebahagiaan tiada terkira. Kamu mengamini
keinginanku. Keinginan kita.
Gadisku, terima kasih
atas cinta yang berbalas ini. Sungguh aku sendiri tak menduganya. Kini kamu
tahu kan, bahwa Tuhan itu selalu bekerja tepat waktu dan indah memenuhi
janjinya? Segala sesuatu jika Tuhan sudah berkata “kun fayakun”, maka semua akan
terjadi. Begitu pula takdirmu ke depan. Meskipun sekarang kamu harus menahan
rasa iri pada teman-temanmu yang berlebih tapi yakinlah selama kamu berusaha,
berdo’a dan bersyukur, kamu juga akan seperti mereka. Tapi aku ingin berpesan
sekali lagi padamu, jangan seperti Dasamuka yang serakah dan berakhir dengan
mengenaskan. Kamu harus tetap menjadi pribadi yang elegan dan berbaik hati.
Besok, kamu harus baca buku pemberian almarhum eyang kakungku. Wajib. Supaya
kamu tahu, dongeng wayang yang punya nilai falsafah tinggi juga menyiratkan
nilai-nilai moral yang wajib dipahami manusia dari segala zaman.
Usai sholat hajat aku
punya ide. Aku memotret buku itu lalu mengirimkannya padamu. Lalu kutuliskan
sebuah pesan singkat padamu.
Buku ini akn mberimu pemahaman bhw
rasa syukur itu penting. Walau implisit. Buku ini recommended! Kalau malam ini
terkuak perasaan kita secara “ajaib”, esok hari kita gak tau keajaiban apa yg
akan dihadiahkan untukmu. Siapa tau besok kamu dpt pekerjaan yg baru.
Optimislah! Semangat ^^9
Demikian isi pesanku.
Lalu beberapa menit kemudian kamu pun membalas.
Oke! Bsk aku pnjm. Asal tau,
bahkan skrg pun aku sdg bersyukur sekali, Allah krm km buatku, Mas. J. Aku emang hrs lebih yakin untk
semua keinginanku spy Allah meridhoiku. Allah menyertai prasangka hamba-Nya,
kan? Sprt kamu, kamu yg sll kuyakini tapi aku jg srg ngrasa minder. Trs jg hrs
lbh byk bljr ikhlas & brsyukur dr kamu & klrgmu. Salut! J
sudah selesai sholat hajatnya? Aku udah J
Aku tersenyum lebar.
Rasanya aku ingin salto di kamarku segera.
Balasku.
Sdh. Do’aku: Ya Allah,
jadikan aku dan dia (kamu) berjodoh dunia-akhirat.
Balasmu:
Do’aku: Ya Allah, jadikan dia
(kamu) imamku dunia-akhirat.
Dan pesan kita berdua
semakin manis diiringi semesta yang cerah bergemintang, menyambut Subuh yang
siap merekah menjadi semburat fajar terbit di ufuk timur.
Gadisku, aku yakin kamu
bukan pribadi berjiwa Dasamuka. Aku akan membimbingmu nanti. Aamiin.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)