Minggu, 02 Maret 2014

KAMU (BUKAN) DASAMUKA

credit
Tik. Tik. Tik.
Tetesan sisa air hujan jatuh dari atap ke kubangan air tepat di samping kaki kita berdua duduk di teras. Aku di sini, kamu di depanku. Tatapanmu sendu dan aku bodoh mengartikannya. Aku memang bukan cenayang yang tahu isi pikiranmu sekarang. Aku hanya tahu dari setiap keluh kesahmu kepadaku selama ini.
Aku risau.
Di satu sisi aku selalu bahagia kamu datang padaku, bercerita sampai tandas. Membuatku merasa amat berarti. Di sisi lain, aku pilu setiap kali melihatmu berpeluh.
Kamu, bisakah kamu lebih banyak tersenyum? Aku selalu menunggumu untuk berbagi kebahagiaan denganku sebab aku tak hanya siap untuk menampung kepedihanmu, aku siap menangkap bahagiamu bahkan aku bisa memberimu itu -jika saja kamu memberiku waktu-.
“Kenapa murung?” tanyaku padamu yang payah.
“Bete. Hari ini Nando poop lagi di celana dan dia nggak mau bilang!”
Aku tak yakin akan jawabanmu. Jawabanmu bukan akar permasalahanmu. Itu hanya salah satu ujungnya saja, dari sekian banyak ujung.
Aku menunggumu untuk memberikan keterangan lebih lanjut atau informasi lain. Aku tahu kamu mengerti aku yang diam saja menanggapi curhatanmu. Artinya, aku ingin kamu berbicara lebih.
Kamu menatapku sebal. “Aku gagal tes HRD perusahaan trading ternama. Sementara temenku yang kuajak lolos.
Belum. Ini belum akarnya. Ini masih ujung yang lain.
“Minum dulu, gih!” kataku menyodorkan segelas jus Jambu tanpa susu kesukaanmu. “Biar perasaan dan pikiranmu adem.”
Kamu menarik gelas itu dan meminumnya segera. Kemudian kamu berdecak lidah sembari mengepalkan kedua tangan.
“Rrrr!!” Kamu menggeram. “aku nggak betah gini terus, Mas! Aku tuh, pengin jadi wanita karir, mapan, berpakaian modis, berkembang pengetahuan dan pergaulanku. Bukan begini. Bukan!” lanjutmu dengan nada suara tinggi.
Akhirnya, akar itu mencuat keluar.
“Ya, kamu bisa cari kerja lagi, kan?”
“Nggak segampang itu, Mas!”
Kamu menatapku sengit. Aku menghela napas.
“Kalau aku cari kerja terus misal keterima sedangkan aku belum dapat pengganti shadow teacher untuk mendampingi Nando, ya sama aja, Mas! Terus kalau aku berhenti, udah dapet pengganti nih, terus ternyata aku masih belum ada panggilan kerja lagi atau bahkan gagal kayak barusan itu, aku pengangguran dong jadinya? Terus aku ngrepotin Bapak sama Ibu lagi. Ogah!” omelmu.
“Ya, kamu memang harus ambil resiko dari pilihanmu. Nggak ada hal yang nggak beresiko.
Kamu melihatku seksama.
“Begitu?” tanyamu belum yakin. “Tapi susah cari penggantiku. Nando itu, kan agak berat, Mas. Kelas dua SD tapi belum bisa baca, tulis, hitung. Masih pakai popok. Mana gajinya setengah UMR kota. Mana ada S1 yang mau? Lulusan S1 kan, maunya kerja mapan. Minimal gaji tuh, UMR.”
“Faktanya kamu mau.
“Itu karena aku emang butuh duit pas itu. Aku juga malu dibilang orang pengangguran padahal lulusan universitas ternama dan lulusan terbaik. Cih!”
Aku merasakan akar permasalahanmu begitu kuat. Tak pernah terselesaikan atau belum terselesaikan. Kamu masih mencari cara dan terus mencari untuk bisa menyelesaikan akar permasalahanmu itu. Ketidakikhlasan dan rasa selalu kekurangan adalah permasalahan yang paling mendasar di lubuk hatimu. Membuatmu mengingkari nikmat Sang Illahi.
Kamu terus memburu duniawi dengan dalih demi mengentaskan keluargamu dari kemiskinan. Aku tahu itu. Tapi hasratmu untuk mencapai kemapanan duniawi itu membuatmu hidup tak tenang dan sering memberontak Tuhan. Andai aku bisa membantumu. Aku siap membantumu. Tapi kamu menolak. Rasa gengsimu terlampau tinggi, gadisku. Ah, gadisku? Andai kamu tahu aku di sini mengharapkan bisa memanggilmu gadisku bahkan sayangku. Aku siap merangkulmu bukan sebagai sahabat tapi kekasih yang selalu merindumu.
Aku mendesah. “Terserah kamu aja. Kita sudah bahas ini tiga bulan terakhir dan kamu itu fluktuatif banget. Terkadang terlihat menerima semua ini dan enjoy your life as shadow teacher. Tapi kadang kalau lagi sebel, bener-bener sebel begini. Coba berdamai dengan dirimu sendiri. Bersyukur dengan pemberian Allah. Kamu bisa bayar kos, isi ulang pulsa, kasih uang jajan adikmu di kampung, ngegantiin uang servis laptop ke aku kan, juga dari jerih payah jadi shadow teacher. Artinya Allah masih bermurah rezeki sama kamu. Anggap aja sekarang kamu lagi aplikasi ilmu dan penggemblengan diri supaya lebih sabar. Siapa tahu suatu hari kamu bisa bikin yayasan untuk anak berkebutuhan khusus atas namamu sendiri. Dikenal tuh, kamu sebagai orang yang berwelas asih dan berguna bagi sesama. Kamu mati dengan tersenyum karena banyak orang yang mendo’akanmu. Dan Tuhan akan mencatat amal-ibadahmu. Nggak ada yang lebih berarti ketimbang kehidupan yang berkah dunia-akhirat,” jelasku panjang lebar, mencoba menghiburmu. Berulang kali tanpa bosan.
Kamu tersenyum kepadaku. “Iya, ya? Tapi...” Kamu terdiam sejenak. “aku masih belum terima! Temen-temenku yang biasa-biasa aja di kampus udah kerja mapan di perusahaan bergengsi. Lah, aku? Kerja bakti! Ngebabu!”
Andai aku bisa memelukmu dan mengelus pundakmu, mungkin itu bisa mendamaikan jiwamu.
“Bersyukur atas semua yang sudah dikasih Tuhan ke kita. Kalau kita nggak bisa mensyukuri yang kecil, bagaimana kita bisa mensyukuri rezeki yang besar? Kalau terus nggak bersyukur, kita bisa jadi manusia serakah padahal dunia nggak pernah setia sama kita sampai liang kubur,” ujarku. “Saranku, seringlah bangun sepertiga malam. Sembahyang malam. Intimkanlah hubunganmu dengan Allah. Insya Allah semua akan baik-baik aja. Entah itu berupa pertolongan kamu segera dapat pengganti dan pekerjaan baru atau justru kamu dikasih kedamaian hati. Yakinlah Allah itu penolong terbaik.”
Air matamu tertumpah begitu saja melewati kelopak matamu. Hatimu memang terlalu sensitif. Sedikit saja dinasehati menyentuh hati, pasti kelenjar air matamu bereaksi.
Beberapa menit kemudian kamu menyeka air mata itu. Ingin sekali aku yang menghapusnya.
“Aku balik dulu ya, Mas? Nanti kalau kemaleman pulang, ibu kos ngomel lagi,”
Aku melirik jam tanganku. “Masih jam delapan.
“Ya kan, nungguin angkotnya juga lama. Keburu nanti nggak ada angkot,” sahutmu sambil melongok dan mengobrak-abrik isi tasmu. “Nah, ini dia,” katamu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Kemudian memberikannya padaku.
“Nggak, ah. Kayak sama siapa aja.”
“Eh, Mas, nggak bisa gitu. Kamu kan, jualan. Lagi pula dari kemarin-kemarin gratis mulu. Ogah gratisan lagi,”
Aku tersenyum dan punya ide tokcer di otakku.
“Kenapa senyum-senyum begitu?”
“Uangnya aku terima tapi kali ini kamu harus mau aku antar pulang.
Kamu seketika mengibaskan tangan. “Nggak usah! Ngrepotin. Kan, restorannya lagi rame.”
“Ada mamah kok, di belakang. Tenang aja!”
“Wah, apalagi kalau ada Tante Fatma. Nggak enak, Mas. Aku pulang sendiri aja.”
“Kalau gitu aku nggak mau terima uang jus-nya.”
Kamu manyun. Lucu. Aku suka.
“Iya, deh. Tapi, aku pamit Tante dulu.
Aku manggut-manggut. Kemudian kita berdua berjalan menemui mamahku.
Satu pemandangan yang membuatku bahagia. Mamahku amat menyukaimu dan tanpa kamu tahu, dia berharap kamulah pendampingku kelak. Sayangnya aku belum berani mengutarakannya padamu.
Malam itu berlalu dengan manis karena aku mengantarmu pulang.
###
Malam sudah berganti dini hari. Aku terbangun untuk menuntaskan pekerjaanku, tesisku yang masih tergeletak di meja sebulan terakhir. Baru saja kubuka file tesisku, aku teringat sesuatu. Kubuka laci mejaku dan aku mencarinya. Sebuah buku hadiah eyang kakungku dulu sebelum meninggal. Tertulis: Tokoh Wayang Indonesia Termasyhur.
Aku tergerak membuka halaman demi halaman. Tiba-tiba saja, fokus mataku jatuh pada sebuah halaman berjudul Dasamuka. Di situ tertulis siapa Dasamuka dan silsilahnya, termasuk bagaimana perangainya. Siapa yang tidak kenal dengan Dasamuka? Penculik Sinta dari Rama. Dia juga sosok yang ingin menang sendiri, serakah, culas dan pongah walaupun ia amat sakti. Seketika itu juga aku mengingatmu. Bukan. Maksudku bukan menyamakanmu dengannya tapi kalau nafsumu terus kamu pupuk subur, kamu bisa menyamai Dasamuka, gadisku.
Kemudian, kubuka halaman semakin ke belakang. Halaman yang tak aku pedulikan judulnya tapi di halaman ke-100 itu tertulis ada empat nafsu yang dimiliki manusia berdasarkan zat pembentuk jasad manusia, antara lain: aluamah (berdasarkan zat pembentuk tanah yang menunjukkan nafsu makan dan minum), supiah (berdasarkan zat air yang menunjukkan nafsu seks), mutmainah (berdasarkan zat angin yang menunjukkan nafsu untuk berbuat baik) dan amarah (berdasarkan zat api yang menunjukkan nafsu marah).
Nah, nafsu terakhir ini yang menggeliat kuat menguasaimu, gadisku. Aku tidak mau kamu seperti itu. Aku jatuh cinta padamu karena bermula kebaikanmu dan ketulusanmu berbagi kasih dengan orang yang kekurangan. Tapi semakin ke sini kamu semakin menuju kemurkaan karena tak terima dengan keputusan Tuhan untukmu sekarang. Kamu ingin berada di tempat teratas. Aku paham alasan yang mendorongmu menginginkan itu tapi tolong jangan berubah menjadi sosok berjiwa Dasamuka.
Andai kamu tahu, gadisku, hidup ini berproses. Contohnya aku. Oh, maksudku orangtuaku. Kamu sudah kuberitahu bukan, mamahku hidup tanpa ayah sejak kecil dan harus sering makan sebatang ubi kayu –bukan nasi-, berbagi dengan kedua adik dan eyang putriku. Tapi karena eyang putri dan mamahku ulet dan tidak mau menyerah pada keadaan, mereka bisa seperti sekarang. Maka dari itu aku hidup nyaris tak pernah kekurangan. Tapi mereka tak pernah lepas dari Tuhan. Mereka terus berupaya dan berdo’a. Kamu juga harus begitu, gadisku. Jadilah wanita yang kuat seperti mamah dan eyang putriku. Tapi jangan pernah jauhi Tuhan! Karena kalau saja kita berjodoh, aku tak mau menjadi suami gagal membimbing istrinya.
Ah, lagi-lagi aku mengkhayalkan foto kita bisa terbingkai bersama dalam buku nikah yang tercatat di KUA.
Aku meraih ponselku di dekat laptop. Berusaha membangunkanmu dengan meneleponmu. Jam digital di layarnya menunjukkan pukul 02.45.
“Ya?” sahutmu mantab, seolah kamu sedang terjaga, bukan baru saja terbangun.
“Kamu sudah bangun? Atau malah nggak tidur?”
“Udah dong. Dari tadi.”
Suaramu terdengar bersemangat. Ada apa gerangan?
“Mas, aku udah tahu semuanya. Kenapa kamu nggak pernah ngomong langsung, sih?”
Aku menegakkan posisi dudukku. Penasaran maksud pertanyaanmu.
“Iya. Aku baru buka novel yang kamu kasih ke aku sebulan lalu. Di bagian akhirnya keselip kertas. Aku udah baca. Seharusnya kamu bilang dari awal biar aku nggak ngrasa sendirian berjuang ngraih cita-citaku. Ya, walaupun selama ini kamu selalu ada dengerin keluh kesahku tapi kan, statusnya beda.”
Deg!
Aku menelan ludah. Bukannya aku sudah membuang kertas memo itu ke tong sampah?
“Ya, walau kertasnya udah lecek tapi aku suka tulisannya. Singkat tapi daleeem.
Perkataanmu itu semakin menguatkan keyakinanku atas ingatanku bahwa aku sudah memungut kertas itu lagi tapi siapa yang menyelipkannya ke buku itu?
“Mas.
“Ya?”
“Aku cuma mau bilang makasih udah menyimpan perasaan itu untukku. Tapi coba kamu bilang dari semula, aku nggak akan menahan perasaanku juga dan aku nggak perlu merasa menjadi manusia paling merana di bumi ini.
Aku kembali menelan ludah tapi kali ini diikuti senyuman yang siap mengembang di wajahku.
“Kalau memang Allah menjodohkan kita Mas, aku akan belajar lebih ikhlas dan bersyukur. Aku tahu kamu punya kelebihan yang nggak dimiliki lelaki lain. Sabar, ngemong[1], bisa bikin suasana mencair dan selalu bersandar pada Tuhan. Itu yang bikin aku kagum sama kamu selama ini. Sayangnya, aku selama ini merasa kamu lebih pantes dapet yang lebih baik dari aku. Tapi aku juga nggak nyangka kamu punya perasaan yang sama kayak aku. Tuhan itu memang paling pinter ngasih kejutan ya, Mas?”
Aku tertegun mendengar pemaparanmu. Sampai-sampai aku mengabaikanmu yang memanggil namaku berulang kali.
“Kalau begitu, setelah ini kita sama-sama sholat hajat. Kita mohon sama Allah supaya kita berjodoh,” celetukku.
“Aamiin.
Kemudian obrolan kita berakhir. Kita bersiap untuk mengambil wudlu.
Betapa aku ingin menangis sejadi-jadinya menunjukkan kebahagiaan tiada terkira. Kamu mengamini keinginanku. Keinginan kita.
Gadisku, terima kasih atas cinta yang berbalas ini. Sungguh aku sendiri tak menduganya. Kini kamu tahu kan, bahwa Tuhan itu selalu bekerja tepat waktu dan indah memenuhi janjinya? Segala sesuatu jika Tuhan sudah berkata “kun fayakun”, maka semua akan terjadi. Begitu pula takdirmu ke depan. Meskipun sekarang kamu harus menahan rasa iri pada teman-temanmu yang berlebih tapi yakinlah selama kamu berusaha, berdo’a dan bersyukur, kamu juga akan seperti mereka. Tapi aku ingin berpesan sekali lagi padamu, jangan seperti Dasamuka yang serakah dan berakhir dengan mengenaskan. Kamu harus tetap menjadi pribadi yang elegan dan berbaik hati. Besok, kamu harus baca buku pemberian almarhum eyang kakungku. Wajib. Supaya kamu tahu, dongeng wayang yang punya nilai falsafah tinggi juga menyiratkan nilai-nilai moral yang wajib dipahami manusia dari segala zaman.
Usai sholat hajat aku punya ide. Aku memotret buku itu lalu mengirimkannya padamu. Lalu kutuliskan sebuah pesan singkat padamu.
Buku ini akn mberimu pemahaman bhw rasa syukur itu penting. Walau   implisit. Buku ini recommended! Kalau malam ini terkuak perasaan kita secara “ajaib”, esok hari kita gak tau keajaiban apa yg akan dihadiahkan untukmu. Siapa tau besok kamu dpt pekerjaan yg baru. Optimislah! Semangat ^^9

Demikian isi pesanku. Lalu beberapa menit kemudian kamu pun membalas.
Oke! Bsk aku pnjm. Asal tau, bahkan skrg pun aku sdg bersyukur sekali, Allah krm km buatku, Mas. J. Aku emang hrs lebih yakin untk semua keinginanku spy Allah meridhoiku. Allah menyertai prasangka hamba-Nya, kan? Sprt kamu, kamu yg sll kuyakini tapi aku jg srg ngrasa minder. Trs jg hrs lbh byk bljr ikhlas & brsyukur dr kamu & klrgmu. Salut! J  sudah selesai sholat hajatnya? Aku udah J

Aku tersenyum lebar. Rasanya aku ingin salto di kamarku segera.
Balasku.
Sdh. Do’aku: Ya Allah, jadikan aku dan dia (kamu) berjodoh dunia-akhirat.

Balasmu:
Do’aku: Ya Allah, jadikan dia (kamu) imamku dunia-akhirat.

Dan pesan kita berdua semakin manis diiringi semesta yang cerah bergemintang, menyambut Subuh yang siap merekah menjadi semburat fajar terbit di ufuk timur.
Gadisku, aku yakin kamu bukan pribadi berjiwa Dasamuka. Aku akan membimbingmu nanti. Aamiin.
-selesai-



[1] Mengayomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)