credit |
“Menikahlah denganku,” pinta
Bayu tanpa tedeng aling-aling.
Mata Keyla membelalak lebar setengah melotot. Ia tak ingin tertawa apalagi bersedih. Tak juga marah. Tapi ini sulit. Dan terasa aneh tentunya.
Mata Keyla membelalak lebar setengah melotot. Ia tak ingin tertawa apalagi bersedih. Tak juga marah. Tapi ini sulit. Dan terasa aneh tentunya.
Dan... hei, ini masih pukul lima
pagi. Langit Jakarta juga masih terlalu redup.
Bayu datang kepadanya
pagi-pagi menembus rintik hujan sisa hujan badai semalam. Di depan pintu ia
berdiri dan langsung melamar Key ketika Key baru saja memakai masker bengkoan
melapisi seluruh wajahnya.
Ini bukan adegan lucu. Key
pun tak akan tersanjung dibuatnya. Perlu ditegaskan sekali lagi, aneh.
“Mas, aku tahu kamu lelaki
baik-baik sekalipun pernah hidup lama di negeri liberal. Amat mungkin mengenal
alkohol, bisa jadi sampai mabuk, tapi aku tak yakin kamu sekarang mabuk. Ta-pi,
tapi, apa yang barusan kamu katakan itu mengejutkan sekali. Ada apa ini?” tanya
Key menggiring Bayu duduk di kursi teras rumahnya.
“Mami minta cucu segera
dariku untuk mewarisi pabrik tekstil.”
Key mengangkat sebelah
alisnya. Itu alasan yang sering kali ia dengar dari Nyonya Kuntjoro. Kemudian
ia tersenyum simpul bahkan hendak melepas tawa. Namun mengetahui mimik wajah
Bayu tetaplah serius dan justru menyipitkan pandangan yang seakan menunjukkan
tanya apa-yang-lucu atau kenapa-tertawa, Key mengatupkan rapat mulutnya,
mengenyahkan tawa yang nyaris saja keluar.
“Aku serius,” kata Bayu
seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Key. “menikahlah denganku.”
Key menggeleng-gelengkan
kepalanya pelan. Dirinya bukan tipe wanita yang ingin cepat menikah. Usianya
memang sudah 27 tahun tapi tidak. Ia baru saja menikmati posisinya menjadi asisten
manajer HRD. Pasti repot jika harus membagi waktu antara keluarga barunya dan
karir yang sedang menanjak.
Key bukan hendak mengelak
dari kodratnya sebagai wanita yang sudah pantas menikah sekaligus hasratnya
sebagai wanita untuk menjalin relasi serius dengan lelaki tapi tak mudah juga
ternyata tiba-tiba dilamar seseorang. Tak mudah karena semendadak ini, dengan
alasan yang selalu terdengar menggelikan ini dan karena bukan dengan cara
seperti ini ia ingin dilamar.
Tak munafik, Key juga punya
impian dilamar dengan cara yang romantis dan pernikahan yang unforgetable juga kehidupan rumah tangga
yang manis. Key tak bisa meramalkan mau jadi apa rumah tangganya kalau dimulai
dengan cara begini.
“Mamimu, kan, sudah punya
cucu dari adikmu,” kata Key.
“Little Laras, diwarisi bisnis butik. Kamu tahu, Laras seorang
desainer yang berkontribusi besar ke butik-butiknya mami. Dan untukku, mami ingin
aku memiliki keturunan laki-laki untuk mengurus pabriknya.”
Key geleng-geleng sekali
lagi. Lucu sekali, sih, keluarganya Bayu ini. Hidup kok, terlalu diatur
seserius itu.
“Kalau aku tak bisa
memberikan anak laki-laki?”
“Kita bisa ikut programnya.”
Key menggeleng. “Tidak. Kamu
pikir aku ini pencetak anak? Kalau sampai banyak anak lalu perempuan semua?”
tanya Key penuh penekanan. “Aku takut mengecewakan mamimu. Suruh saja Laras
hamil lagi, bayi laki-laki.”
Giliran Bayu yang menggeleng
pelan. “Tapi mami suka sama kamu. Mami yang memintaku meminangmu segera.”
Key terkesiap.
“Jadi, kamu datang pagi-pagi
buta begini atas kemauan tante? Ouh, haha, haha,” Key berusaha menertawakan
tindakan Bayu. Tertawa yang bukan sesungguhnya tertawa karena lucu. “Demi
alasan apa pun, aku tak akan menikah denganmu. Aku hanya menikahi orang yang
aku cintai.”
“Cinta bisa diatur nanti.”
“Aku tak mau menikah dengan
pria yang tak peduli padaku, lebih tepatnya tidak mencintaiku yang bisa saja
suatu waktu berselingkuh dengan pacar yang dicintainya dan mencampakkan aku,”
sergah Key. Maskernya sudah retak di nyaris keseluruhan wajahnya. “Sekuat-kuatnya
aku, aku wanita. Ketika aku –ah, mungkin
bisa saja omonganmu benar tentang cinta bisa diatur nanti- sudah jatuh cinta
sama kamu lalu kamu pergi begitu saja, ah, menyedihkan sekali hidupku.
Sinetron! Aku tak mau hidup seperti di sinetron,” pungkas Key.
Tampak Bayu sedang
mengancang-ancang kalimat untuk memberikan argumentasi pada Key.
Key memandang Bayu.
Dipikir-pikir, lelaki di sampingnya ini hampir tak punya cacat. Dia bibit
unggul bermasa depan cerah. Bukan karena dia keturunan bangsawan Jawa dan kaya
raya, melainkan karakternya yang memang nomor wahid sebagai lelaki. Semua
wanita ingin jadi istrinya, minimal teman kencan. Key juga mau, apa pun lah.
Hidup kan, hanya sekali. Sekali berkencan buta dengan Bayu seumur hidup, bukan
masalah. Tapi, kenapa ketika Bayu datang melamarnya, justru dia berkeberatan?
Alasannya sudah jelas tadi. Plus pertimbangan lainnya ialah Bayu selama ini
menilainya buruk. Oh, bukan buruk sih, tapi sebelah mata. Tak sepenuhnya buruk.
Key sakit hati? Lalu balas
dendam?
Bukan. Melainkan takjub.
Bagaimana bisa lelaki yang dulu mengolok-oloknya bisa melamarnya? Lucu, bukan?
Terkesan si lelaki menjilat ludahnya sendiri. Di mana harga dirinya?
Key sih, tidak pernah
memikirkan sakit hati atau bahkan balas dendam. Ia tak pernah memikirkan ocehan
Bayu selama ini. Key tak punya waktu memperhatikan hater-nya. Bukankah haters is
fans in denial? Key tersenyum geli jika mengingat kutipan ini semasa ia
masih melihat Bayu sering melotot padanya.
“Hidup juga tak melulu semanis
novel romans luar negeri kesukaanmu, kan?” Bayu bicara telak. Ia tahu Key suka
membaca novel karya Jane Austen, Nicholas Sparks dan beberapa penulis lain. “Bisa
juga akhirnya tak membahagiakan, memilukan. Dan itu terjadi padamu. Clark pergi
begitu saja, kan? Dia mencintaimu tapi tega meninggalkanmu dengan alasan konyol.
Dan siapa yang sangka ternyata dia sudah beristri di Inggris. Apa kisah cinta
seperti itu yang kamu mau? Seperti itu impian kehidupanmu? Bukannya kamu bilang
tak ingin dicampakkan? Kamu mencintainya dan dia mencampakkanmu. Jadi, tak usah
beridealisme lagi bahwa saling mencintai tidak akan saling menyakiti apalagi
meninggalkan kekasihnya. Kuno!” sembur Bayu frontal.
Key menggigit bibir dalam bawahnya.
Mendadak saja ia merasa sendu sendiri. Semua yang disampaikan Bayu itu benar. Kurang
lebih empat bulan lalu, Key putus dari pacar ekspatriatnya. Clark. Lelaki yang
tampannya selevel dengan Justin Timberlake itu rekan baik kakak Key, Raka, yang
berprofesi sebagai dokter untuk sebuah tim sepakbola mentereng di negeri ini.
Clark sendiri striker yang dikontrak tim
tersebut. Manuver-manuver Clark mencetak gol sama cemerlangnya seperti rekan
sejawatnya yang lebih dulu terkenal di Eropa. Clark (mengaku) jatuh cinta pada
Key ketika mereka bertemu di tempat praktek Raka untuk pertama kali. Semenjak
itu mereka berpacaran untuk sekitar sembilan bulan. Kisah cinta mereka manis
dan romantis, hampir tak pernah ada pertikaian. Namun, entah mengapa Clark yang
ternyata sudah habis masa kontraknya di Indonesia, selain meminta izin untuk
kembali ke negaranya sekaligus meminta Key untuk merelakan hubungan mereka
berakhir. Alasannya: ia tak bisa menjalin hubungan jarak jauh. Sebegitu rapuhnya kamu jadi lelaki, Clark.
Itu isi hati Key waktu itu. Tapi Key paham, lelaki memang tak bisa untuk setia
jika berjauhan teramat lama dengan kekasihnya. Boleh saja diingat logika
seperti ini: secara biologis lelaki butuh “pemenuhan”. Kalian tahu, bukan?
Sementara wanita, mereka bisa setia karena mereka tak mengejar “pemenuhan”
tersebut. Setidaknya, sebagian bisa dianggap begitu walau tidak bisa
disama-ratakan persepsi seperti ini untuk semua orang. Key masih memohon waktu
itu untuk menjalin komitmen satu sama lain. Bukan menikah, tapi komitmen pada
diri pribadi. Namun, Clark tetap menolak. Ia tak bisa dan tak mau menyakiti Key
pada akhirnya. Dengan berat hati Key melepaskan. Akibatnya, dalam waktu sebulan
pasca putus, berat badan Key terjun bebas lima belas kilo. Tubuhnya tampak
seperti model-model androgini yang kurusnya tak ketulungan. Sampai-sampai Bayu
mengoloknya suatu hari, “Apa bagusnya wanita bertubuh kerempeng di mata lelaki
normal?”. Key gondok tapi ia tak ingin ambil pusing. Mulut Bayu memang tak bisa
diam, selalu saja mengomentarinya. Yah, pada akhirnya, omongan Clark terbukti. Clark
memang tak bisa setia dan telah menyakitinya. Berdasarkan sumber tepercaya,
diketahui Clark sudah punya istri yang baru lima bulan ia nikahi kemudian ia
tinggalkan ke Indonesia dan ia sendiri memacari Key. Sadis. Lelaki kurang ajar!
Key marah besar. Sekaligus depresi.
Tapi semua sudah berlalu. Baru
saja, tiga bulan berlalu. Tapi tetap saja ketika diingatkan tentang Clark
rasanya menyakitkan. Key ingin tersenyum putus asa namun seolah kuat.
“Jadi, menurutmu aku harus
mengubah keyakinanku bahwa pasangan yang awet itu bukan karena saling
mencintai?” cetus Key bertanya.
“Mungkin. Tapi, apa kamu mau
melakukan kesalahan yang sama?” tanya Bayu. “Aku rasa kamu terlalu pintar untuk
begitu.”
Key kembali merenung.
Haruskah ia berpindah haluan seperti himbauan Bayu? Lalu menerima Bayu sebagai
suaminya? Oh, no. Pernikahan itu hal
sakral, loh. Key maunya hanya sekali seumur hidup menikah dengan orang yang
dicintai dan happy ever-after. Kalau
menikah dengan Bayu? Apa dia cinta? Tidak. Tapi, Key juga tak membenci Bayu.
Bayu menarik dari segala aspek, tak ada alasan untuk menolaknya. Bisakah jadi
pertimbangan?
“Aku masih tak terima dengan
alasanmu bahwa tante ingin cucu darimu. Itu terkesan aku ini potensial sekali
untuk memiliki anak secara buru-buru. Kamu tahu kan, aku baru saja menikmati
posisiku di pabrik mamimu. Menikah, langsung punya anak, itu bukan targetku
dalam waktu dekat.”
Bayu menghela napas, sempat
memejamkan mata sesaat.
“Itu bisa diatur. Kita bisa
jelaskan pada mami. Dan...”
Ponsel Bayu mendadak
berdering memotong kalimatnya.
Raut wajahnya berubah tegang
ketika melihat layar ponselnya. Ia pun menjawab telepon itu dengan panik. Ia permisi
pada Key untuk sedikit menjauh.
Key penasaran, ada apa
dengan Bayu?
Baru beberapa menit bicara,
Bayu segera membalikkan badannya dan mendapati Key memandanginya penuh tanda tanya.
“Ada apa?”
Bayu mendesah keras namun
pelan. Tampak sudah putus asa teramat sangat.
Key makin bingung.
“Ini demi mami. Katakan saja
iya. Katakan kamu mau aku nikahi. Sudah tak ada waktu lagi. Mami jam enam nanti
harus masuk ruang operasi. Tak ada yang ingin kehilangan mami. Tapi mami
ngotot, katanya kalau terjadi apa-apa –tapi amit-amit, ya-, ia ingin memastikan
aku sudah punya calon istri. Dan dia minta kamu. Makanya aku segera ke sini
setelah kemarin sore sampai di sana. Aku tak bisa menolak permintaan mami. Tak
bisa menolak permintaan orang yang sakit.”
“Tunggu-tunggu,” sela Key.
“bukannya tante sudah operasi kanker rahim beberapa bulan lalu? Lalu sekarang?”
“Belum. Mami waktu itu hanya
menjalani terapi herbal ke Cina. Belum membuahkan hasil memuaskan. Sampai
minggu kemarin kondisi mami drop dan
dokternya di Singapura bilang sudah waktunya dilakukan operasi. Mami mulanya
tak mau tapi dokter bilang mau tak mau harus segera operasi. Dan mami minta aku
segera menemukan pasanganku.”
Alih-alih Key merasa geli,
ia merasa kaget luar biasa tidak diberitahu kabar ini. Cemas, sama dengan Bayu.
“Kenapa kamu nggak bilang,
sih, Mas, kalau tante ngedrop?”
protes Key. “Aku bukan orang asing lagi kan, buat keluarga kalian?” imbuh Key
yang geram pada Bayu.
Iya, Key bisa saja dibilang
anak emas di perusahaan tekstil keluarga Kuntjoro. Key menjadi pegawai teladan
dan lucunya itu tak cukup untuk direktur baru yang tak lain anak pemiliknya. Ah,
sekarang bukan waktunya memikirkan itu. Key peduli pada pemilik Kuntjoro. Bukan
karena anaknya. Jauh sebelum mengenal Bayu, Key sudah peduli. Key kehilangan
sang ibunda lima tahun lalu karena sakit. Tinggal sang ayah. Padahal Key dekat
sekali dengan mamanya. Ia masih butuh sosok mama. Ia pun bertemu Nyonya
Kuntjoro ketika wawancara pekerjaan sekitar tiga tahun lalu. Semenjak itu keduanya
memiliki chemistry. Tak sangka,
Nyonya Kuntjoro sebegitu jatuh cintanya pada Key sampai-sampai ia ingin
menjodohkan Key dengan anak tertuanya yang memiliki usia beda tujuh tahun
dengan Key. Nyonya Kuntjoro sendiri yang memperkenalkan mereka dan berupaya
menjodohkan mereka secara gamblang. Tapi sang anak yang baru pulang dari Boston
hanya menganggap Key seujung jari kelingking. Key? Key menghargai dan
menghormati Bayu Kuntjoro, mengagumi Bayu tapi jelas ia tak mencintai Bayu. Ia memiliki
Clark kala itu. Namun, Key sempat meluluh ketika Bayu menghiburnya pasca putus
dari Clark. Dengan caranya sendiri. Ia “membanting” Key dengan ucapannya yang
bagai belati tajam untuk menyadarkan Key bahwa lelaki semacam Clark tak pantas
membuat Key harus kehilangan berat badan drastis dan menjadi klien psikiater.
“Jangan banyak bicara.
Segera putuskan. Aku berjanji dalam lima menit, aku akan menelepon Laras untuk
disampaikan pada mami dan kamu yang menyapanya. Katakan kamu setuju. Tolong,
jangan pikir panjang. Iyakan semua permintaan mami. Please, aku tak tahan melihat mami kemarin kesakitan. Urusan pernikahan,
bisa kita bicarakan nanti,” ujar Bayu lebih terkesan memaksa.
Key menjadi bertambah
bingung. Ia belum bicara apa pun pada ayah dan Raka tentang ini. Masa’ ia harus
memutuskan sendiri? Namun, Key melihat Bayu. Ternyata ia bukanlah lelaki tanpa harga
diri karena terkesan menjilat ludahnya sendiri yang dulu terkesan membenci Key.
Justru Bayu lelaki berharga diri karena ia memperjuangkan maminya yang sakit
dan belum pasti apakah operasi itu bisa sukses atau tidak. Alat kedokteran
Singapura memang sangatlah canggih tapi Tuhan yang punya kehendak.
Key menggeleng cepat. Ia tak
mau pesimis. Ia juga sedih mendengar kabar seperti ini. Masa’ ia harus kehilangan
sosok ibu lagi?
Oke, sekonyol apa pun yang
ia hadapi pagi ini, ia akan menyelesaikan semuanya. Sekalipun ia belum jatuh hati
pada Bayu sepenuhnya, sekalipun ia tak tahu apakah fix ia akan menikah dengan Bayu kalau ia memutuskan berhohong
setuju menikah dengan Bayu, sekalipun ia ragu bagaimana masa depannya (jika
memang) menikahi orang yang tak ia cintai, sekalipun semuanya terdengar seperti
sinetron dan lucu sekali tapi terancam kehilangan orang yang disayangi bukan lelucon.
Toh, hanya bilang iya. Itu yang dibutuhkan
Nyonya Kuntjoro dan Bayu sekarang ini.
Key menatap Bayu yang
memandanginya beberapa detik terakhir. Key mengangguk tanda setuju. Tak nyana
Bayu sontak memeluknya erat dan mengucapkan terima kasih tiada henti. Kemudian
Bayu menelepon adiknya untuk bicara dengan sang mama yang katanya sudah bersiap
di tempat tidur menuju ruang operasi.
Usai itu, ketegangan yang dihadapi
Key dan (terlebih) Bayu menurun. Namun, ternyata berganti ketegangan yang lain.
Bayu menatap Key yang tubuhnya
jauh lebih pendek ketimbang dirinya dengan khidmat. Membuat Key kikuk.
“Bisakah kepedulianmu
terhadap seorang ibu juga kamu bagi dengan sang anak?” tanya Bayu.
Key tak mengerti. “Eh?”
“Maksudku, Mami sayang sama
kamu seperti dia sayang sama Laras. Kamu sayang sama mami. Bisakah kamu melakukan
hal yang sama padaku?” suara Bayu lembut.
Key menelan ludah. Mendadak
jantungnya mencelus sampai ke perut dan membuatnya mual seketika. Bukan karena
ia muak pada Bayu. Tapi psikosomatis yang biasanya ia rasakan ketika bertemu lawan
jenis yang ia sukai bahkan cintai kembali datang. Apakah ia... mungkinkah dalam
waktu tiga bulan ia bisa merasakannya
dengan Bayu?
Bayu memang seperti melunak
pasca Key putus dengan Clark. Lebih lembut –meski hanya sedikit- kepada Key.
“Mas sendiri, apa bisa
mencintaiku?” tanya balik Key. Ia ingin tahu pendapat Bayu tentang cinta bisa
datang dengan sendirinya.
“Jauh sebelum hari ini, aku telah
mencintaimu. Kamu terlalu menyebalkan untuk tidak kucintai. Aku sebal kamu
mengumbar kemesraanmu dengan bule tak tahu diri itu. Aku jengkel kamu selalu
bisa mengalahkanku dalam banyak hal. Bagaimana bisa aku dikalahkan wanita? Sejauh
ini yang bisa mengalahkan idealismeku hanya mami. Laras saja tak bisa. Lalu kamu
jadi bagian dari kehidupanku, datang dan seolah kamu ini mami ketika muda. Membuatku
ingin mengalahkanmu dengan banyak cara. Tapi aku tak bisa. Sampai mati pun aku
tak akan bisa. Aku mencoba menawar perasaanku dengan perasaan yang lebih
mungkin bisa membahagiakanku. Jadi, bisakah kamu mencintaiku? Tulus? Bahkan
sebelum aku menikahimu? Tentu saja juga setelah kita menikah?”
Key membeku. Kalimat demi
kalimat Bayu membombardir gendang telinga dan jantungnya tiada henti. Jalan
cerita hidup macam apa ini? Bagaimana bisa Bayu diam-diam mencintainya?
Bagaimana ia tak pernah tahu itu? Itu karena memang ia tak pernah peduli. Waktu
itu ia hanya peduli pada Clark, lebih tepatnya dimabuk asmara.
Bayu kembali menegaskan. “Aku
mencintaimu. Sungguh. Dari pertama kita bertemu sampai sekarang dan sampai
kapan pun. Aku bukan lelaki pecundang apalagi tak bermoral. Kamu sendiri yang
bilang, percaya aku lelaki baik-baik. Atas semua yang kamu tahu sendiri maupun
dari mami selama ini, tak cukup untuk membuatmu mencintaiku?”
Key memberanikan diri
menatap mata Bayu lebih dalam.
“Bolehkah kalau aku bilang,
biar waktu yang membuatku jatuh cinta? Dan bolehkah aku memintamu untuk
membuatku jatuh cinta setiap harinya? Setiap detiknya?” tanya Key yang belum
yakin ia mencintai Bayu.
Bayu membingkai wajah Key
dengan kedua tangannya. Mengelusnya sebentar. “Bahkan melihatmu dengan masker
seperti ini selama kita bicara pagi ini, aku masih menyukaimu dan akan
lebih-lebih mencintaimu dalam segala hal.”
Key tersipu. Wajahnya bisa
saja terlihat merona merah bila saja tak mengenakan masker.
“Pagi-pagi jangan
menggombal. Aku harap aku bisa memegang ucapanmu,” tukas Key.
Bayu menarik Key ke dalam
pelukannya. Lebih hangat, lembut dan mendamaikan. Potongan hati mereka bersatu
utuh.*
So sweet, semoga bahagia Bayu & Key...
BalasHapushai, mas...
Hapusaamiin.
:D
makasih ya sudah mau mampir :)