Kamis, 18 Maret 2010

cerpen "Topi untuk Denny"


Topi untuk Denny

Sudah terhitung delapan bulan sampai sekarang, Ami cinta mati sama seniornya bernama Denny. Walaupun nggak secakep Denny Sumargo tapi kharismanya jadi ketua BEM fakultas Ami kuliah, bikin hati para kaum hawa kebat-kebit. Walau Ami termasuk di dalamnya namun ia tak seberani cewek-cewek lain untuk pedekate. Teman untuk jadi mak comblang aja dia nggak punya.
“Kalau kamu diem terus, nanti Denny melayang kayak cowok lain yang kamu incer lo!” kata Fima, sahabat Ami.
“Masa’ aku nyamperin duluan?” tanya Ami ragu.
“Why not?” balas Fima.
“Tapi, aku takut dia berpikir aku cewek ganjen,” timpal Ami.
“Hello…ini zaman sudah super duper maju. Sudah nggak ada lagi cewek cuman duduk manis dan menunggu ada pinangan cowok. Cewek punya hak untuk mencari dan memilih. Mau kamu jadi perawan tua kalau diem terus???” cerocos Fima, Ami menggeleng kuat.
“Makanya, jemput pangeran kamu di “pintu gerbang”!” tambah Fima.
“Apa aku harus nurutin sarannya Fima, ya? Lagipula tak ada salahnya kalau memulai dengan pertemanan?” gumam Ami di dalam kamar sambil melototin hapenya setelah sebelumnya ia terngiang dengan percakapannya dengan Fima tempo hari.
Ami memulai saran Fima untuk pedekate pada Denny. Tanpa berbohong siapa dirinya, ia mengajak Denny berkenalan lewat facebook dan SMS. Denny membalasnya dengan perlakuan yang baik tapi itu hanya di dunia maya. Di dunia sebenarnya, mereka tak saling sapa. Trik pedekate kucing-kucingan ini berjalan beberapa minggu yang pada mulanya baik-baik saja. Tapi, hingga suatu saat komunikasi lewat dunia maya ini terhenti begitu saja. Tak pernah ada balasan wall dan SMS dari Denny untuk Ami. Untuk sementara, Ami berpikir mungkin Denny tengah sibuk dengan organisasinya yang sedang menghadapi event-event besar fakultas. Tapi untuk selanjutnya, Ami berubah pikiran. Denny pasti sebal padaku.
“Nggak mungkinlah mas Denny begitu! Mungkin dia emang sudah bosan kalau terus berkomunikasi lewat dunia maya. Sudah waktunya kamu show up, girl!” tutur Fima saat Ami menyatakan bahwa Denny pasti sudah berpikiran dia cewek agresif dan sok kenal, sok dekat.
“Aku masih belum berani nyapa langsung, Fim,” kata Ami.
“Mau sampai kapan menunda cinta?” tanya Fima.
“Aku malu,” jawab Ami.
“Masalah BB alias berat badan lagi? Tampang nggak kece? Adeeeuuuuhhhh..plis ya…malu dong sama umur kalau terus nggak pede. Kamu itu sudah remaja akhir yang harusnya mulai menemukan jati diri. Kaya aku dong, pede-pede aja dengan kulit item dan rambut kribo. Jadinya kayak Shania. Cintai aku lagi…seperti waktu itu…tak bisa kuhindari…hati selalu merindu,” cerocos Fima dengan lagu penutup dari Sania, Cintai Aku Lagi.
“Nglawak aja kamu!” kata Ami sambil menyemburkan air minumnya dengan sedotan ke muka Fima.
Usai mengisi perut di kantin, Ami dan Fima segera pergi mencari topi buat Denny yang tiga hari lagi ulang tahun ke-21. Merupakan ciri khas ketua BEM satu ini, memakai topi dimanapun dan kapanpun. Makanya, Ami berniat menghadiahinya topi. Sekaligus terbesit pemikiran Ami untuk memberikan kadonya sendiri pada hari H Denny berulang tahun.
ÞÞÞ
“Ini aja Fim, warnanya cerah. Mas Denny kan, putih bersih,” kata Ami menunjukkan sebuah topi berwarna merah cerah pada Fima.
“Eh, jangan! Yang gelapan dikit, yang netral. Masa badan warna cerah kasih aksesoris cerah? Kalau sudah cerah kasih dong yang gelapan. Biar match, adil gitu ceritanya,” kata Fima. Dan akhirnya Ami mengiyakan kata sahabatnya.
Saat asyik melihat-lihat barang di toko mereka berada, tiba-tiba tak sengaja Fima menabrak seorang cowok dan itu Denny! Kebetulan banget. Hati Ami spontan deg-degan bukan main. Dia berusaha mengalihkan pandangannya.
“Hai, mas Denny! Kebetulan banget yah, ketemu di sini,” kata Fima sambil menyenggol Ami yang tak mau bertatap muka dengan Denny.
“Iya, kebetulan banget, yah? Ngapain?” tanya Denny balik.
“Ini cari…” belum selesai Fima menyatakan sesuatu, Ami menginjak kaki Fima.
“Aduh! Oh, cari syal tapi nggak ketemu. Ya, sudah, kalau begitu, kami pulang dulu, ya? Mari,” kata Fima sambil menyeret Ami.
“Fim, jangan lupa, Jum’at datang ke rumah. Ada syukuran kecil-kecilan,” teriak Denny kala Fima sudah agak jauh berjalan. Fima hanya cengengas-cengenges mengacungkan jempol tanda ‘iya’ dari kejauhan.
“Kok, kamu nggak pernah cerita kalau keluargamu dan keluarga mas Denny kenal deket?” tanya Ami penuh selidik.
“Heheheh…maaf! Kamu nggak tanya, sih!” jawab Fima nyengir kuda. Ami membalasnya dengan bibir manyun.
“Ah, sudahlah! Yang terpenting adalah tadi dia curi…curi-curi pandang sama kamu!” sambung Fima sambil bernyanyi lagu Naif, Curi-curi Pandang dan mengerling-ngerlingkan matanya pada Ami. Ami pun tersipu.
“Tanda bagus , tuh!” tambah Fima.
“Mudah-mudahan. Tapi aku masih takut nyapa dia,” kata Ami.
“Tenang, ada Fima gitu loh!” balas Fima sok superhero.
ÞÞÞ
Malam tasyakuran ulang tahun Denny datang juga. Ami yang sengaja diajak Fima datang memilih tinggal di rumah karena sejak tadi siang ia merasa asmanya sedikit kambuh. Mungkin kelelahan karena kemarin dia sibuk menebar poster seminar ke beberapa tempat di Surabaya. Ia pun menitipkan kado buat Denny pada Fima. Malam itu, Ami hanya berdua dengan pembantunya karena orang tuanya pergi ke Bandung menjenguk neneknya yang sakit. Tapi bukannya si pembantu, bi Sumi menungguinya eh, justru pacaran sama satpam rumah sebelah. Dan sialnya saat malam semakin membawa udara dingin yang menusuk, Ami tak dapat lagi menahan asmanya yang kambuh. Tersungkurlah dia di lantai kamarnya.
“Malam ini adalah malam paling berbahagia bagi keluarga kami karena anak kami, Denny Fajar Sumargono dan Fima Arisanti akan bertunangan malam ini bersamaan dengan ulang tahun Denny,” tutur ayah Denny yang disambut gemuruh tepuk tangan para hadirin yang datang. Rona kebahagiaan juga terpancar dari wajah Denny dan Fima.
“Kenapa kamu tega nyakitin aku, Fim?” gumam Ami dalam ketidaksadarannya. Ia pingsan untuk beberapa waktu. Untung bi Sumi langsung tahu kalau Ami pingsan dan langsung menelepon dokter keluarga Ami dan Fima.
“Ami, Ami, Ami…ini aku, Fima,” kata Fima khawatir.
Lalu Ami pun sadar. Ia melihat banyak orang di sekitarnya. Kedua orang tua Fima, Fima, dokter Fadli dan Denny.
“Kenapa semuanya ada di sini?” tanya Ami yang masih linglung.
“Kamu itu bodoh banget, sih! Sudah tahu asmanya agak kambuh dari tadi siang kok nggak check up? Kita kan, khawatir,” omel Fima.
“Kan, sudah ada obatnya, Fim,” timpal Ami.
“Tapi, kalau sudah pingsan gini? Susah juga, kan?” balas Fima.
“Maaf buat semuanya jadi nyusahin dan ngebatalin acara pertunangan Fima dan mas Denny,” kata Ami sembari tertunduk kepalanya.
Tiba-tiba Fima tertawa disambut senyum semuanya.
“Ada yang salah?” tanya Ami mengangkat kepalanya.
“Tunangan apaan?? Wah, ini nih, efek cinta terpendam. Makanya to neng,neng, kalau cinta ungkapin aja! Ini sudah ada orangnya,” kata Fima sambil mendorong Denny lebih dekat dengan Ami. Kemudian semua orang keluar.
Suasana hening sejenak karena baik Denny maupun Ami masih kikuk.
“Thanks ya topinya. Bagus,” celetuk Denny memecah kebisuan sambil menyentuh topi yang dipakainya yang merupakan kado dari Ami.
“Sama-sama,” balas Ami.
“Kenapa kamu nggak pernah nyamperin aku di kampus?” tanya Denny membuat tenggorokan Ami tercekat. Ia tak tahu harus beralasan apa.
“Aku…aku…aku takut aja mas Denny cuek,” jawab Ami terbata-bata.
“Mana mungkin aku cuek sama orang yang selama ini peduli sama aku?” kata Denny tersenyum.
“Boleh aku duduk deket kamu?” tanya Denny disambut anggukan Ami.
“Boleh megang tangannya?” tanya Denny lagi. Dengan tersipu malu Ami mengiyakan.
“Aku minta maaf kalau beberapa waktu terakhir ini aku nggak pernah bales SMS kamu. Sengaja. Aku pengen membuktikan apakah kamu akan terus berjuang untukku dan nyamperin aku langsung. Aku nggak mau hubungan kita cuman di dunia maya karena aku sudah nyaman denganmu. Aku ingin semuanya lebih dari yang sudah kita jalani,” tutur Denny. Ami terdiam
“Dengerin aku baik-baik karena aku nggak akan mengulanginya! Aku-cinta-kamu,” kata maut keluar dari mulut Denny. Mengingat cerita Fima tentang Denny yang sulit jatuh cinta, sudah bisa dipastikan Denny serius dengan ucapannya. Tanpa pikir panjang, Ami langsung mengiyakan ucapan Denny sebagai tanda ia menerima cinta Denny.
“Non, bibi minta maaf sekali sudah ninggalin non Ami! Maafin bibi, ya? Jangan kasih tahu bapak sama ibu!” pinta bi Sumi sambil nangis-nangis asal masuk kamar Ami. Ami dan Denny tak menggubrisnya karena Denny tengah hikmat mengecup kening Ami. Bi Sumi yang kemudian menyadarinya bergumam, ”Andai bang Sapri begitu sama saya…terasa indah dunia,”, tiba-tiba Fima menarik bi Sumi keluar dengan paksa.
“Gangguin orang pacaran aja,” kata Fima.
“Kan, bibi pengen juga kayak non Ami,” kata bi Sumi.
“Ngayal aja kerjaannya!” kata Fima ketus.

ÞÞÞ