Jumat, 31 Oktober 2014

HE KNOWS ME SO WELL [Diikutkan dalam lomba cerpen FANGIRL Penerbit Spring]



HE KNOWS ME SO WELL



Ada cowok di dalam kamarnya.
Cath mendongak untuk melihat nomor yang tertulis di pintu, lalu menunduk ke surat penempatan kamar di tangannya.
Pound Hall, 913.
Sudah pasti ini kamar 913, tapi mungkin bukan Pound Hall—semua asrama di sini terlihat sama, seperti bangunan perumahan untuk kaum jompo. Mungkin Cath sebaiknya mencoba menahan ayahnya sebelum ayahnya itu membawa sisa kardusnya ke atas.
“Kau pasti Cather,” kata cowok itu, tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya.
“Cath,” kata Cath, merasakan sentakan rasa gugup di perutnya. Ia mengabaikan tangan cowok itu. (Lagian, ia memegang kardus, apa yang diharapkan cowok itu darinya?)
Ada yang salah—pasti ada yang salah. Cath tahu kalau Pound itu asrama campuran…. Apa memang ada kamar campuran?
Cowok itu mengambil kardus dari tangan Cath dan meletakkannya di atas tempat tidur yang kosong. Tempat tidur di sisi lain ruangan sudah dipenuhi dengan pakaian dan kardus.
“Apa barangmu masih ada yang di bawah?” tanya cowok itu. “Kami baru saja selesai. Kurasa kami akan pergi makan burger sekarang; kau mau burger? Apa kau sudah pernah ke Pear’s? Burgernya seukuran kepalanmu.” Cowok itu mengangkat lengan Cath. Cath menelan ludah. “Kepalkan tanganmu,” kata cowok itu.
Cath melakukannya.
“Lebih besar dari kepalanmu,” kata cowok itu, melepaskan tangan Cath dan mengangkat tas punggung yang Cath letakkan di luar pintu. “Apa kardusmu masih ada lagi? Pasti masih ada lagi. Apa kau lapar?” Lalu ia mengulurkan tangannya. “Ngomong-ngomong, namaku Levi.”
Cath membalas jabatan itu sesaat. Kendati cukup risih menghadapi cowok yang terkesan banyak bicara ini, namun Cath memberikan penilaian positif lainnya, friendly. Itulah yang dibutuhkan Cath pada tahun pertamanya di Pound Hall. Mengingat dirinya bukan tipikal cewek yang mudah bergaul.
“Terima kasih.” Cath akhirnya memang harus mengucapkannya walau sebetulnya ia tidak menginginkan pertolongan Levi.
Sejurus itu Cath pamit kembali ke bawah menyusul ayahnya yang membawa barang-barangnya yang lain.
“Izinkan aku membantumu, ya? Barang-barang cewek pasti banyak,” tukas Levi sambil menyengir.
“Kau mengejekku?”
“Tidak. Tapi ya, setidaknya itu yang dilakukan sepupuku, Adele, yang sekamar denganmu. Tempat tidur di sisi lain tadi tempat Adele. Dia membawa barang bawaan dua kali lipat lebih banyak dariku. Hahaha.” Levi tertawa sambil mengimbangi langkah gadis ber-hoodie jacket pink itu menuruni anak tangga.
Lantas Levi melanjutkan tanpa diminta. “Tapi dia sudah pergi terlebih dahulu ke Pear’s bersama yang lain. Kita akan mengadakan semacam welcome party kecil-kecilan. Itu mengasyikkan! Pastikan kita cepat-cepat sampai di sana.”
Cath berhenti di tengah-tengah anak tangga. Tubuhnya segera menghadap cowok yang mengenakan sweater motif tribal warna gelap itu, kontras dengan kulitnya yang putih pucat.
“Aku belum menyetujui idemu untuk makan burger bersama. Dan kau tidak perlu repot-repot membantuku karena ayahku—” Belum selesai Cath bicara, ayahnya sudah ada di ujung bawah tangga, terlihat kesusahan membawa dua kardus besar Cath lainnya. Dan meminta Cath untuk membantunya segera.
“Oh, Paman, biar kubantu,” sahut Levi secepat kilat menghampiri ayah Cath.
Cath melongo melihat tingkah cowok satu ini. Sok kenal. Kejengkelan menyelusup ke dalam dada Cath. Tidak peduli Levi berwajah tampan.
**
Cath tidak bisa menolak bujukan Levi. Belum lagi ayahnya tadi mendesaknya untuk mengikuti ide Levi. Padahal, semula Cath berencana istirahat di dalam kamar, mengumpulkan energi untuk acara resmi welcome party dari pihak Pound Hall yang berlangsung besok pagi. Lagi pula ini sudah sore. Selain itu ia juga hendak merapikan ide-ide yang ia tulis asal di buku catatannya selama tiga jam perjalanan dari rumahnya menuju Pound Hall. Tulisan fanfiksinya tentang Simon Snow—idolanya—masih perlu tambahan poin di sana-sini. Ia sungguh ingin novel fanfiksinya tertulis sempurna. Namun ternyata, cacing-cacing di perutnya juga tidak mau berkompromi dengannya. Alih-alih memihak Levi.
Sesampainya di Pear’s, Levi memperkenalkan Adele dan dua kawan cowok—yang juga baru dikenalnya tadi—kepada Cath. Cath menyambutnya dengan ramah.
Selesai itu Levi menarikkan sebuah kursi untuk diduduki Cath. Beberapa menit berikutnya memesankan burger untuk Cath.
“Untukmu, tanpa bawang bombay.”
Mata Cath mengerjap-ngerjap. “Bagaimana kau tahu aku tidak suka bawang bombay?”
Levi tersenyum manis. “Kau menulisnya di website resmi Simon Snow. Kau penggemar beratnya, bukan? Aku juga.
“Kau...” Cath ragu untuk menyebutkan. Namun dari beberapa gelintir fans cowok dari idolanya, hanya satu yang mengenalnya dengan pasti. Keduanya sering menimpali kolom komentar di website Simon Snow.
“Leonard Villarreal,” timpal Levi dengan kerjapan sebelah mata, genit.
Mulut Cath membulat lebar. Namun ia berusaha untuk mengatasi keterkejutannya. “Jadi, kau suka menyingkat namamu?”
Levi mengangkat kedua bahunya. “Begitulah. Lalu, sudah sampai mana draft novel fanfiksimu, Nona?”
Wajah Cath bersemu semerah tomat. Tak menyangka bisa berjumpa wujud asli cowok yang selama ini membuatnya bersemangat menulis fanfiksi. Ah, hidup ini memang ajaib!
**

Dari penulis best-seller Eleanor and Park
Penulis: Rainbow Rowell
Terbit: November 2014

words: 745 (judul dan cerita)