Selasa, 18 Maret 2014

Sabar adalah Penolong

Malam semakin dingin untuk sebuah desa bernama Gadungan, bagian kecil dari Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Padahal jam dinding masih pukul setengah sembilan malam. Tapi memang inilah “musim dingin” di sini, di saat -waktu yang baik bisa diduga maupun tidak- rezeki air dari Tuhan turun. Hujan. Tapi langit malam ini cerah walaupun rasanya menggigil.
 Di bangku susunan bambu lebar ini, aku dan kamu duduk berdua. Tanpa ayah yang sedang bekerja mengonstruksi sebuah bangunan hotel di bibir pantai selatan Jawa, di Trenggalek sana. Tanpa dua anak lelakimu yang sibuk mengurus kegiatan OSIS di sekolahnya. Hanya aku, anak perempuanmu satu-satunya yang menemanimu di emperan sebuah gubuk berdinding kayu dan lantai semen peninggalan mendiang nenek dan kakek.
Engkau pun berceletuk. “Ibu seneng kamu di rumah, Nduk[1]. Biasanya ibu sendiri kalau ndak ada kamu. Paling kalau siang ke tokonya Mbak Sukis situ buat cerita-cerita biar nggak sepi di rumah pas adik-adikmu sekolah, ayahmu nyambut gawe.” (bekerja)
Aku memilih meletakkan kepalaku di pangkuanmu. Engkau mulai mengusap lenganku.
“Tapi Ibu jangan mau diajak ngrasani orang. Nanti kita dituduh yang macam-macam.” (membicarakan keburukan)
“Enggaklah. Ibu ndak pernah ada niat untuk menjelekkan orang, Nduk. Gae opo to? Wong kita juga bukan manusia suci.” (Untuk apa? Lagi pula)
Memoriku akan topik ini membuatku terlempar ke masa lalu. Pada masa di mana aku mengingat kamu dan ayah terkena fitnah telah menyantet tetangga kita yang telah memakan sekian meter tanah peninggalan mendiang kakek-nenek, di depan mataku yang masih SMP kelas satu dan di depan banyak orang, se-RT dugaanku. Tetangga kita itu memang sudah memberikan biaya ganti rugi padamu tapi entah mengapa beberapa hari setelahnya ia sakit lalu menuduhmu dan ayah seperti itu. Dan aku melihatmu, juga ayah tentunya hanya beristighfar kuat. Semenjak itu aku mengenal rasa sakit hati pada orang yang lebih tua dariku. Namun, kamu menghiburku, “Jangan dipedulikan! Kamu harus sabar, Nduk. Ndak boleh dendam. Nanti juga bakal tahu siapa yang benar.” Hatiku pun mendingin tapi sampai detik ini, setiap kali aku bertemu dengan orang itu, ingin sekali aku menyumpal mulutnya dengan batuan lahar dingin gunung Kelud bahkan menyemennya sekalian.
Aku ingat kenangan pahit itu sehingga merasakan betapa kuatnya dirimu menjadi pribadi yang hidup di tengah masyarakat yang majemuk etnis, budaya dan agama di desa ini. Belum lagi karakternya yang beraneka macam.
“Bu, besok lusa aku mau ke Jogja. Aku mendapat panggilan tes-wawancara kerja sebagai editor di penerbit mayor. Padahal aku sudah lama nglamarnya, lho.  Aku pikir aku nggak kepanggil. Ya, walau ini nggak sesuai sama jurusanku kuliah di psikologi tapi aku suka tulis-menulis, Bu.”
“Iya. Siapa tahu itu rejekimu, Nduk,” sahutmu bersuara renyah. “Apa kamu punya uang saku berangkat ke sana?”
Aku terpana sesaat. Di usiaku yang seharusnya sudah mapan dan produktif, ternyata masih pengangguran dan merepotkanmu. Tapi kamu masih bersedia dan berusaha menyediakan uang saku untukku. Entah, dapat dari ayah yang bekerja atau hasil meminjam pada tetangga kanan-kiri. Setidaknya itulah yang kuingat setiap kali aku merasa kantongku “kering” di perantauan.
“Punya. Sisa gajiku jadi freelancer shadow teacher[2] kemarin,” jawabku. “Bu,” panggilku.
Engkau berdeham.
“Maafin aku, belum bisa membahagiakan Ibu sama Ayah. Mana Ayah sekarang kena jantung kan? Dan masih nekat bekerja jauh.”
Air mata mulai keluar dari sudut mataku. Aku memang sensitif soalmu dan ayah.
“Oalah Nduk, ora popo. (tidak apa-apa). Yo, ibu sama ayah yang harusnya minta maaf, nggak bisa membuatmu sama adik-adikmu sejahtera. Tapi selama ibu sama ayah hidup, ya kami usahakan. Kalian tanggung jawab kami,” tuturmu tegar tanpa terpancing untuk meneteskan air mata.
Aku pun berkesimpulan, betapa dirimu adalah pribadi yang tertempa kuat semenjak kecil. Katamu, semasa kecil dirimu belajar di bawah temaram lampu tempel dengan sumbu kompor dan membantu orang panen kacang untuk mendapatkan uang saku. Semasa remaja, kamu kehilangan ayahmu yang paling mengasihimu dan mulai menjadi gadis yang berani bertualang sendiri. Semasa dewasa, kamu mengabdikan diri pada suami sekaligus ibumu sampai ia menutup mata. Di sela-sela itu kamu melahirkanku sampai harus bertaruh nyawa dalam koma. Dan sekarang, dirimu masih dalam garis kehidupan yang amat sederhana, tak seperti saudara-saudaramu yang sudah bisa menaiki mesin besi berjalan mentereng dengan keturunan yang sukses. Selain itu kamu juga masih harus memeras darah agar anak-anakmu ini bisa mengenyam pendidikan tertinggi supaya mendapat kehidupan yang layak.
Sungguh, aku merasakan selaksa pedih memenuhi dinding hatiku. Aku memang memberontak mengapa aku harus terjebak bersamamu dalam situasi ini. Tapi Tuhan menghendakiku melihatmu yang begitu kuat dan sabar menghadapi semua ini. Aku seketika malu pada diriku sendiri. Aku belum lah matang dalam kehidupan, malah mudah terbawa nafsu dunia. Sementara kamu bisa bertahan menghalau gelombang kehidupan ini bersama ayah. Kalian pun rela merendahkan harga diri supaya kehidupan kami -anak-anakmu- layak dan mapan. Sungguh, betapa keras perjuangan hidupmu sampai sekarang.
“Ibu.” Aku bangkit dari pangkuanmu. Engkau memandangku teduh. Mungkin, jika saja mataku mampu melihatmu dengan jelas ketika aku baru dimandikan suster dari lumuran darahmu, aku mereka-reka kuat, itulah ekspresi pertamamu ketika melihatku hadir di bumi ini. Seolah aku ini anugerah terbesar untukmu dari Tuhan. “Aku benar-benar minta maaf atas nama pribadi maupun adik-adik. Kami sudah sering menyakitimu dan Ayah. Sering membangkangmu, menyentakmu. Tapi kami mencintaimu dan nggak pengin jauh dari kalian selamanya.”
Kini air mataku meleleh, menetesi pipiku. Udara dingin makin menusuk tulang. Aku meraih kerah jaket kain coklatmu yang turun, membenahi posisinya supaya kamu lebih terasa hangat.
“Ibu terima maafmu, Nduk. Ndak usah dipikir lagi. Namanya kita hidup harus saling memaafkan. Terlebih orangtua sama anak. Dunia-akhirat saling  memengaruhi. Kalau orangtua gagal masuk surga, anak juga ikut. Kalau anak gagal masuk surga, sumbernya juga gagalnya orangtua menjalankan amanah Gusti Allah dengan baik. Ibu sama ayah selalu berusaha dan berdo’a biar kalian hidupnya barokah dunia-akhirat. Mapan, cukup, berkah. Itu aja,” jelasmu. Kemudian tanganmu menangkup wajahku, membelainya lembut, berusaha menghangatkanku.
Iya, aku tahu dirimu adalah orang yang selalu sabar, ikhlas dan pemaaf. Tak salah jika kamu awet muda, Bu. Kamu tidak punya letupan amarah –sepengetahuanku-. Malaikatkah dirimu ini? Ibuku malaikat? Sungguh ayah beruntung mendapat wanita sepertimu. Dan lebih-lebih beruntung aku memiliki ibu sepertimu.
Aku kembali teringat kekurangajaranku semasa aku kuliah di Surabaya. Aku jengkel tak jelas waktu itu. Aslinya sih, karena kamu tak jua mengirimiku uang bulanan padaku yang sudah kere padahal awal bulan. Aku pun membuat sebuah konspirasi sendiri. Memberitahu semua saudara bahwa aku mendapat kecelakaan ringan namun berdarah. Kamu pun sontak meneleponku dengan rentetan kalimat penuh kekhawatiran. Aku tertawa sinis dalam hati dan bermulut kasar padamu. Aku merasa bangga ternyata kamu peduli jika aku sakit. Bangga, bukan bahagia. Bangga atas kemenanganku mengelabuhimu. Padahal situasi kala itu, untuk membeli beras sembako kualitas rendah saja, kamu sulit karena gagal panen jagung yang kamu dan ayah tanam di belakang rumah.
Malam ini pun membuatku tersadar, aku begitu kejam padamu. Begitu teganya aku padamu. Aku begitu bernafsu menjadi kaya melalui penempuhan ilmu di kota, berharap bisa mendapat pekerjaan yang mentereng di kantoran kota. Tapi apa? Sekarang aku di sini, kemarin baru menjadi pekerja lepas untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dan seringnya disebut baby sitter oleh orang lain, bahkan kakakmu sendiri, Bu. Sakit! Tapi sungguh aku sadar. Rezekiku seret karena aku melukaimu. Mungkin kamu sudah memaafkan aku tapi mungkin Tuhan ingin memberiku pelajaran. Supaya aku lebih bisa menghormatimu dengan tulus, mensyukuri setiap nikmat yang ada sehingga merasa selalu cukup dengan karuniaNya.
Aku menggenggam tanganmu dan menurunkannya dari pipiku.
“Bu, apa pun yang terjadi, aku akan menjaga Ayah dan Ibu. Aku dapat kerja di sini nggak pa-pa asal cukup buat kita semua. Aku juga nggak terlalu berharap untuk tes besok di Jogja itu. Aku bakal jaga Ibu sama Ayah. Kalau bukan aku siapa lagi? Adik-adik itu laki-laki dan mereka harus merantau dan sukses lalu kembali pada Ibu dan Ayah juga. Giliran mereka yang pergi menimba ilmu sebanyak-banyaknya, aku yang akan menjaga kalian. Aku yakin restumu ampuh untukku, Bu. Rezeki datang dari mana saja kan, Bu?”
Kamu mengangguk tersenyum padaku dan mengusap tanganku.
“Jadi, aku tetap berusaha semampuku bagaimana caranya agar roda kehidupan kita terus berjalan tanpa Ayah bekerja keras ketika sudah tua begini. Sudah waktunya aku mengambil alih tanggung jawab Ayah tapi dengan caraku sendiri, Bu. Do’ain aku ya, Bu? Cuma do’a Ibu dan Ayah yang aku jadikan jimat kesuksesanku kelak. Do’ain aku ya? Aku cinta sama Ibu walau aku sering nyakitin Ibu,” ujarku sambil merasakan air mata sudah tumpah ruah membasahi wajahku.
Aku sontak memelukmu dan kamu membelai kepalaku lembut.
“Alhamdulillah Nduk kamu bilang begitu. Ibu bersyukur kamu bertekad seperti itu tapi kamu juga eling kamu wanita yang ada masanya ikut suami. (Ingat). Asal kamu berbakti pada suamimu nanti, ingat sama kami, itu cukup. Kami seneng kalau kehidupan keluargamu dan keturunanmu bahagia dunia-akhirat, juga adik-adikmu kelak. Ibu nggak pernah berhenti berdo’a, Nduk. Kalian itu harta terbesar dan berharga kami. Kalian harus lebih sejahtera dan barokah dari kami.”
Aku mendesah lega. Betapa kamu adalah makhluk jelmaan malaikat, Bu. Sabar, tulus, kalem, selalu bersandar pada firman Tuhan dan selalu mengasihi kami dalam kondisi apa pun. Aku tak tahu harus berterima kasih macam apa pada Tuhan karena telah menjadikanmu sebagai ibuku.
“Kamu juga harus lebih sabar, Nduk. Sabar itu penolong bagi orang beriman. Sabar bukan berarti diem, menyerah tapi terus berjuang, ikhlas sama ketentuan Gusti Allah dan terus berdo’a, juga berbuat baik pada sesama. Insya Allah jalan hidupmu selalu barokah dan cukup. Ndak perlu yang wah, kaya raya, berlebihan. Nggak. Cukup. Gusti Allah yo ndak suka sama orang yang berlebihan. Tapi kalau ada orang yang kaya ya itu ujian, sejauh mana dia bisa berbuat baik di jalanNya. Percayalah dalam hatimu!” tuturmu menyentuh dadaku, tepat di hatiku.
Oke Bu, kamu memang bukan orang berpendidikan tinggi sepertiku tapi jiwamu dan mentalitasmu mengalahkan siapa pun yang bertitel banyak di dunia ini yang kebanyakan serakah, culas dan pongah. Aku berani jamin. Tuhan Maha Tahu.
Aku memelukmu lebih erat sehingga sensasi hangat menjalariku. Abaikan dinginnya udara yang kian menggila malam ini. Aku hanya ingin melindungimu seaman dan senyaman mungkin seperti kamu menjagaku dalam perutmu, di balik gendongan kainmu dan harga dirimu.
-selesai-

*pernah diikutkan dalam lomba #Everlastingwoman untuk memperingati hari ibu 2013 oleh Penerbit Diva Press tapi enggak menang :p


[1] Panggilan untuk anak perempuan dalam masyarakat Jawa
[2] Guru pendamping Anak Berkebutuhan Khusus





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)