Selasa, 04 Juni 2013

Pendamping Sang Dewa

Seorang gadis berusaha sekuat tenaga berlari tunggang langgang agar tak tertangkap dua lelaki yang mengejarnya. Andai saja ada energi super seperti yang dimiliki super car Lamborghini yang bisa melesat cepat atau setidaknya ada mantra penghilang diri, gadis itu tak usah bersusah payah berlarian begini. Ia bukan atlet maraton, sudah pasti ia menguras tenaga ekstra untuk meloloskan diri dari dua sosok itu.
Ini bukan adegan film yang sedang direncanakan oleh seorang sutrada film kawakan negeri ini atau bahkan hanya sekedar sutradara amatir. Tapi ini adegan nyata pengejaran seorang gadis oleh dua orang berpakaian seperti preman di sebuah pusat pertokoan yang tak jauh dari pemukiman padat warga, diselingi gang-gang kelinci yang hanya muat untuk satu tubuh orang dewasa bertubuh “normal” dan sepeda motor.
Gadis itu bukan telah melakukan sebuah kesalahan fatal seperti mencuri, merampok atau lari dari pengawasan mucikari. Tidak seekstrim itu. Ia hanya meninggalkan “asuhan”nya di rumah tanpa izin terlebih dahulu. Si yang diasuh begitu murka tahu pengasuhnya keluar tanpa seizinnya.
Dua sosok kekar bin tambun yang mengejar gadis itu amat sangat kewalahan dengan kegesitan gadis itu berlari. Hingga tiba mereka di suatu ujung jalan buntu yang hanya dipenuhi tong-tong plus sampah-sampah berserakan. Sementara si gadis memang tepat ada di balik sebuah tong itu seraya menggigit bibirnya berharap dua lelaki itu tidak mendapatinya di sana.
Namun... tiba-tiba nada panggil ponsel gadis itu berbunyi keras dalam volume maksimal. Seketika seolah ada aliran listrik menyengat ke tubuhnya kemudian menjalar ke saraf pusatnya, panik! Ia segera merogoh tas kecilnya dan berupaya mematikan ponsel itu tapi sebelum ia berhasil menemukan ponselnya, sorotan empat mata lelaki sudah menghujam kepadanya yang jongkok di balik sebuah tong.
Mati sudah. Goblok banget tadi aku nggak matikan hapeku.
“Mbak Kenes, kok lari-lari? Kita ngos-ngosan ngejar Mbak,” celetuk salah seorang dari mereka yang terengah-engah mengejar gadis itu. Gadis itu meringis sementara ponselnya sudah berhenti berdering.
“Ayo pulang, Mbak! Mas Dewa ngamuk-ngamuk tahu Mbak Kenes nggak ada di rumah,” ujar sosok lainnya.
“Oalah, Mas Parjo, Mas Sidiq, aku itu cuman mau main-main aja sama kalian. Biar kalian itu bisa sekalian diet. Biar nggak gemuk-gemuk amat. Tuh, lihat perutnya sudah kayak ibu-ibu hamil, hehehe,” Kenes justru menimpali ajakan dua lelaki itu dengan guyonan untuk melumerkan suasana tegang yang ia rasakan. Aslinya ini hanya alibi menutupi keinginannya untuk lepas dari “cengkraman” si bos mereka, sementara waktu saja.
Kedua lelaki itu saling berpandangan kemudian menatap perut masing-masing. Sedetik kemudian mereka meringis lebih lebar ketimbang Kenes. Kenes juga ikutan meringis.
“Oke, aku ikut kalian pulang,” Kenes pasrah tapi nada bicaranya tak menunjukkan ia begitu. Walau aslinya juga tak rela pulang secepat itu.
Gagal lagi. Maunya jalan-jalan cari senang malah ketangkap lagi.
Kenes sudah sampai di rumah. Ia masih tetap dikawal ketat oleh kedua lelaki tadi sampai benar-benar ada tepat di depan Dewa. Kenes merasakan detakan jatungnya semakin cepat. Takut ia akan kembali menerima segala cecar dari mulut Dewa yang bisa saja menjadi bengis jika keinginannya tak terpenuhi.
Kenes sudah ada di hadapan Dewa sekarang. Dewa memberi kode pada “pengawal”nya untuk pergi meninggalkan mereka berdua.
“Sudah cukup senang-senangnya?” Dewa memecah kebisuan di antara keduanya.
“Belum,” tungkas Kenes jujur.
Dewa menahan nafasnya sejenak, berusaha tidak lagi meledak-ledak setiap kali tahu Kenes “melarikan diri”.
“Apa rumah ini tak memberikanmu kesenangan sampai akhirnya kamu harus mencari kesenangan di luar?” suara Dewa penuh tanya.
“Aku bosan setiap hari di rumah. Aku tak bisa hanya diam di rumah. Lagipula ini bulan libur semester, biasanya aku sering jalan-jalan kemana pun aku mau,” suara Kenes makin lama makin lirih.
“Kamu itu sedang bekerja untukku, mengurusku, menyediakan semua kebutuhanku, memerhatikanku dua puluh empat jam penuh, tahu?!” suara Dewa sedikit meninggi. Kenes mengkeret.
“Aku tahu tapi aku but---”
“Aku bisa memberimu kesenangan macam apapun. Tapi satu hal, jangan pernah mengendap-endap di belakangku melarikan diri lagi! Aku kebingungan mengurus keperluanku sendiri dengan dua kaki lumpuhku ini, tahu?!” Dewa merasa darahnya mulai mendidih di ubun-ubun.
“Apa pekerjaan ini begitu membuatmu tertekan?” tuding Dewa.
Kenes merasa tertohok, ia ingin berkata tidak tapi kenyataannya pekerjaan mengurus Dewa juga membuatnya sering tak sabar. Ia bukan ahli medis tapi ia harus melakukan pekerjaan itu.
“Tidak,” suara Kenes mantab menutupi yang sebenarnya ia rasakan.
“Semoga itu benar. Siapkan air hangat untuk mandi! Tak usah memasak, mas Parjo dan mas Sidiq aku suruh membeli nasi goreng di ujung komplek. Kamu tahu, aku kelaparan seharian karena ulahmu. Harusnya kamu bisa lebih cerdik dan bijak jika ingin melarikan diri bersenang-senang, tinggalkan sarapan dan camilan untukku! Bahkan sampai sesenja ini belum ada makanan tersaji di meja. Kamu nggak lupa tugasmu selama bekerja untukku, kan?”
“Iya, maafkan aku. Aku tadi terburu-buru,”
“Kamu bukan terburu-buru tapi sengaja memancing kemarahanku. Sudahlah!”
Dewa memutar roda kursi rodanya.
“Perlu kubantu?” tawar Kenes, ada sedikit rasa menyesal di hatinya.
“Lakukan saja perintahku tadi!” Dewa menolak kemudian berlalu menuju kamarnya.
Kenes berbalik arah menuju dapur, segera melaksanakan permintaan Dewa. Itu memang sudah kewajibannya.
Kenapa aku bisa begitu lupa tak menyiapkan makanan tadi? Pameran di gedung kesenian itu ternyata lebih menggiurkan. Ingat, Nes, sekarang kamu sedang bekerja mengurus Dewa! Ingaaattt...!!
...
Bulan libur semester ini jadi masa liburan yang amat tak terduga bagi Kenes. Kenes mengisi libur kuliahnya dengan pekerjaan yang sama sekali berseberangan dengan bidang yang ia tekuni selama ini. Kesehatan. Sau kali pun Kenes tak pernah berkeinginan berurusan dengan bidang itu. Kenapa? Entah, tak jelas sebab-musababnya, Kenes amat ngeri melihat darah, amat ngeri melihat luka menganga, merinding mendengar orang patah tulang, kepala kegencet ban mobil, ibu-ibu mengalami perdarahan saat kehamilan dan semua berbau medis. Ia sudah menjaga jarak jauh-jauh semenjak ibunya yang seorang bidan mengajaknya menunggui orang melahirkan ketika ia duduk di bangku kelas dua SMP. Entah memang karena itu atau apa tapi intinya, sebenarnya tak ada peristiwa yang begitu meninggalkan trauma tersendiri untuk Kenes tapi Kenes mendadak merasa ngeri sendiri saja. Setidaknya itulah pengakuan Kenes.
Kenes sudah sekuat tenaga menjaga jarak dengan dunia medis yang baginya mengerikan tapi suatu sore telepon dengan rangkaian angka sedikit aneh tertera di layar ponselnya. Roman-romannya angka dengan kode telepon dari luar negeri.
“Halo,” sapa Kenes. “Kenia?! Wah, sialan kamu tak kasih kabar menikah. Di Korea pula,” seru Kenes. “Bukan? Di Guangzhou Cina? Kok bisa? Oh, Ibu mertuamu asli sana.” “Apa? Aku? Aku minggu depan libur semester, sih. Aku mau pulang ke Bali. Kamu tahu kan, orangtuaku sudah lama pindah ke sana semenjak kita lulus SMA.” “Apa? Jangan? Kenapa?” “Dewa? Kecelakaan?! Astaga! Memangnya dia nggak ikut kamu? Bagaimana bisa?” “Kamu memintaku menemaninya? Kamu ini, jadi penulis terkenal nggak ingat aku bahkan menikah juga nggak kasih kabar langsung. Sekarang ada berita duka Dewa kecelakaan baru kamu meneleponku, dasar!” “Oh, enggak. Aku nggak keberatan, kok. Asal kamu mengajakku berpesta di pesta pernikahanmu di Indonesia, ya? Hehehe.” “Iya, setelah ini aku akan segera menjenguk Dewa. Kasih tahu aku di rumah sakit mana. Tapi nggak apa-apa aku  langsung nongol di depannya? Kami nggak begitu saling kenal, Ken,” “Oh, oke-oke.” Terdengar Kenia memutus sambungan teleponnya dari negeri seberang sana.
Kala itu Kenes mengiyakan saja permintaan Kenia, sahabatnya. Lagipula mungkin menemani Dewa juga tak akan lama karena mungkin orangtua Kenia juga tak akan berlama-lama di Cina. Mungkin sekitar satu minggu. Lagipula jika mengingat nama dan membayangkan wajah cowok itu hati Kenes mendadak kembali bergetar. Lama tak bersua, lebih lama ketimbang ia tak bersua dengan Kenia, seperti apa wajahnya sekarang ini? Apakah masih memesona? Tapi dengan berita sedih yang baru saja menghampiri?
Sesampainya di rumah sakit, Kenes tak menyangka bahwa kondisi Dewa begitu menyedihkan. Menurut penuturan dokter yang menanganinya, Dewa amat terpukul ketika tahu bahwa ia lumpuh total akibat kecelakaan hebat yang menimpanya kemarin. Marah-marah kemudian diam dengan tatapan kosong, marah-marah lagi, teriak-teriak merutuki diri. Kenes seketika pening, bagaimana caranya menghadapi orang yang mungkin sudah menunjukkan gejala depresi akibat kecelakaan seperti Dewa? Ia tak punya dasar jadi konselor seperti kakaknya Devi. Kenia juga tak menjelaskan kondisi Dewa separah ini. Apa Kenia dan orangtuanya tak tahu bahwa kecelakaan yang dialami Dewa begitu parah? Kenia hanya berkata agar dia menemaninya, menemani bagaimana? Ini pasti jadi pekerjaan yang lebih dari sekedar menemani. Pikiran Kenes berkecamuk. Apa yang harus ia perbuat sekarang?
Kenes segera meraih ponsel canggihnya. Ia hendak menelepon sahabatnya itu tapi... tunggu! Sekarang ini harusnya Kenia dan orangtuanya dalam kondisi amat bahagia karena pernikahan anak perempuan mereka, sahabatnya, tapi jika rasa bahagia itu berbalut dengan rasa sedih tak terduga jika tahu kondisi Dewa yang sebenarnya amat memilukan, apa jadinya? Malah bisa merusak kebahagiaan Kenia.
Kenes batal menghubungi langsung Kenia. Ia ketik beberapa kalimat dan mengirimnya melalui pesan pribadi. Bagaimanapun Kenia dan orangtuanya harus tahu.
Ken, aku benar2 minta maaf kalo harus bilang bahwa kakakmu dalam kondisi parah. Dia lumpuh! Ini bukan kecelakaan biasa, Nes. Sampaikan pada orangtuamu. Lalu aku? Kenapa kamu nggak minta seorang suster atau bahkan fisioterapis mengurus Dewa? Aku bukan ahli medis. Aku cuman tukang foto dan gambar yang suka pergi kesana-kemari. Tapi tenang saja aku tetap menemaninya sampai kamu kembali ke sini. Tolong segera jawab pesanku, ya. 

Kenes mengetik kalimat demi kalimat itu dengan perasaan panik sambil sesekali ia melirik Dewa dari celah kain kelambu kaca kamar Dewa. Memastikan Dewa tidak membuatnya lebih panik seperti apa kata dokter, marah-marah. Dewa terlihat tidur nyenyak, berkat cairan penenang yang disuntikkan ke tubuh Dewa.
Kenes mengharapkan Kenia segera membalas tapi itu mungkin nyaris tak akan terjadi, pasti Kenia repot. Mulut Kenes juga mulai berkomat-kamit berdoa semoga orangtua Dewa dan Kenia sesegera mungkin kembali ke Indonesia begitu mengetahui pesan yang sudah ia kirimkan. Ini bukan akibat kecelakaan biasa yang meninggalkan luka yang begitu saja sembuh setelah dibebat perban atau terima beres setelah operasi. Bukan! Dewa lumpuh. Praktis dipastikan ia tak akan bisa berjalan selamanya.
Kenes mulai memutar-mutar kedua bola matanya, bagaimana ia harus menjalani hidupnya beberapa hari ke depan dengan Dewa yang emosinya benar-benar fluktuatif dengan range yang ekstrim. Ia mulai mengirim SMS untuk kakaknya, bertanya bagaimana menghadapi orang depresi akibat kecelakaan hebat. Kenes sudah sekonyong-konyongnya mendiagnosa Dewa depresi.
Tapi pertama-tama yang perlu ia persiapkan adalah mental agar ia juga tak terbawa emosi menghadapi Dewa. Ia harus bersabar. Ini juga amanah dari sahabatnya. Semoga apapun yang ia lakukan merupakan hal yang paling tepat untuk Dewa. Terselip di palung hatinya, ia tak ingin orang yang pernah mengisi hari-harinya -bahkan sampai detik ini- begitu terpuruk dengan kondisinya sekarang ini. Ternyata... Kenes masih menyimpan rasa itu rapi di sudut hatinya.
***
Sudah masuk minggu kedua Kenes merawat dan menjaga Dewa dari semenjak Dewa masih di rumah sakit sampai di rumah Dewa. Dewa menerima Kenes begitu saja karena siapa lagi yang dapat ia andalkan, selain sahabat adiknya itu? Ia tak memiliki saudara di kota ini. Teman dekatnya juga tak sedang berada di kota yang sama karena kesibukan menjadi pekerja kantoran. Pembantunya juga sudah dua bulan lalu minta izin berhenti. Parjo dan Sidiq yang mulanya hanya tukang kebun dan sopir di keluarganya akhirnya beralih fungsi menjadi pengawal pribadinya tapi jelas tak sepenuhnya bisa diandalkan untuk urusan rumah tangga dan pekerjaan yang butuh ketelatenan yang mungkin hanya dimiliki seorang wanita.
Dewa pun tak memberitahu keluarganya tentang kondisinya yang mengenaskan pada telepon perdananya tepat pada malam Kenia usai mengikat janji dengan Kim, kekasihnya. Dewa hanya membenarkan dirinya mengalami kecelakaan pada Kenia dan itu bukan masalah. Dewa mengatakan “bukan masalah” begitu berat dan pedih, hanya demi kebahagiaan adiknya dan tak membuat panik kedua orangtuanya. Dewa memilih tutup mulut.
Di sisi Kenes, ia sekarang punya tugas baru. Ibarat Dewa adalah anak kecil, Kenes pengasuhnya. Istilah apalagi? Terdengar merendahkan tapi itulah faktanya. Kenes melakukan tugas menjadi teman bicara Dewa –kalau Dewa ingin-, memasak untuk Dewa –dan tentu untuk dirinya sendiri dan Parjo juga Sidiq-, menyiapkan kebutuhan Dewa dari keperluan mandi, obat sampai pakaian, memantau toko kue milik keluarga Dewa dan juga mengurus rumah. Lebih tepatnya Kenes menjadi pengasuh dan pembantu dadakan!
Kenes harus menyadari itu sedari awal ia tahu kondisi Dewa. Bukan hanya menemani, seperti kata Kenia. Kenes syok karena hal ini. Kehidupannya dua minggu lalu masih normal sebagai mahasiswa tapi detik ini apa? Ia melakukan pekerjaan rumah plus mengurus semua keperluan orang di kursi roda. Syok, stres, bingung, jenuh menyerangnya secara bersamaan, tak mengizinkannya mengambil nafas lega. Terkadang Kenes masih merasa beruntung ketika Dewa memutuskan menyetujui ada salah seorang kawan Kenes, seorang fisioterapis membantu Dewa. Walaupun Dewa merasa sia-sia memekerjakan fisioterapis setidaknya itu menguntungkan untuk menemani Dewa ke kamar mandi karena mereka sama-sama lelaki. Hanya saja, fisioterapis itu hanya bisa bekerja dari jam tujuh sampai lima sore, selebihnya Kenes yang harus bertanggungjawab terhadap Dewa.
Kenes merenggangkan ototnya di atas kursi bambu panjang di teras belakang rumah Dewa. Matanya melihat ke langit-langit atap rumah itu, bukan kosong tapi penuh pikiran yang perlu diluruskan satu per satu. Jenuhnya belum usai dimusnahkan. Setiap kali berusaha untuk mencuri waktu bersenang-senang dengan kamera khusus para fotografer yang ia dapatkan dari ayahnya ketika ia awal masuk kuliah, ia selalu gagal. Ketahuan dan akhirnya jadi orang yang masuk daftar pencarian si Parjo dan Sidiq.
Kenes tak punya cara lain selain diam-diam pergi karena meminta izin pada Dewa juga tak mungkin. Dewa sudah memintanya untuk dua puluh empat jam penuh siap siaga untuknya. Ini artinya Dewa tak akan mengizinkannya pergi kemana-mana, apalagi bersenang-senang. Kemudian Kenes menyadari satu hal, rasanya dia memang kejam jika pergi mencari kesenangan sementara ia punya tanggungjawab baru, amanah sahabatnya. Kenes pun akhirnya bisa memaklumi, waktu dua minggu jelas tak cukup membuat Dewa menerima kenyataan bahwa ia –terpaksa- bergantung banyak hal pada orang lain, dan porsi kerbergantungan yang besar adalah pada Kenes. Tapi, di sisi lain, dirinya juga belum bisa menyesuaikan diri penuh.
“Kenapa selalu gagal menghubungi ayah sama ibu, sih, beberapa hari ini? Ken juga,” desis Dewa kesal, ia sudah ada beberapa menit setelah Kenes merebahkan diri di kursi. Kenes mendengarnya dan ia beralih menjadi posisi duduk.
“Mungkin acara pernikahan di sana ribet jadi agak lama, deh,” Kenes berupaya menghibur.
“Awal-awal aku di rumah sakit masih bisa bahkan aku meminta maaf tak bisa datang dan berjanji akan memersiapkan pesta pernikahan Ken di sini. Mereka terima beres,” sahut Dewa.
“Lalu kamu juga bilang bagaimana kondisimu sekarang?”
Dewa menggeleng lemah.
“Kamu nggak ngasih tahu mereka? Kenapa?”
“Itu akan merusak kebahagiaan Kenia,”
Kenes membenarkan Dewa. “Tapi, bagaimanapun mereka harus tahu kondisimu sebenarnya. Aku yakin mereka juga akan sangat memedulikanmu jika tahu kondisimu,”
“Aku nggak  tahu bagaimana harus mengatakannya, Nes. Aku nggak  mau merusak hari bahagia Kenia di sana. Padahal sebelum ini terjadi, aku berencana menyusul mereka di sana karena aku harus menyelesaikan beberapa urusan penting di sini. Tapi belum apa-apa musibah itu datang dan dokter menyampaikan berita terkutuk itu,” Ada rasa sakit, kecewa bahkan putus asa tersirat dari ucapan Dewa.
Kenes diterpa serangan panik. Ia belum pernah berhasil menenangkan Dewa ketika marah-marah maupun ketika amat putus asa tapi sedikit yang ia ketahui dari kakaknya, sentuhan tangan di bahu bahkan punggung orang yang sedang marah, gelisah atau sedih bisa membuat mereka sedikit tenang dan merasa nyaman. Kenes ragu melakukan itu karena sejauh ini kontak fisik antara dirinya dengan Dewa adalah kontak fisik “keharusan” yang dilakukan pengasuh atau pembantu atau teman apapun istilahnya, yang hanya terjadi seperlunya atau di saat genting, misal Dewa hendak terhuyung jatuh ketika berpindah dari kursi roda menuju ranjang tidurnya.
“Aku yakin bukan mereka tak peduli. Suara Kenia waktu lalu terdengar sedih ketika tahu kamu kecelakaan makanya dia memintaku sesegera mungkin menemuimu. Tapi mungkin... mungkin mereka nggak tahu kalau akibatnya separah ini. Dan ternyata kamu nggak memberitahu mereka minggu lalu, rasanya memang mereka benar-benar nggak tahu. Seharusnya kamu memberitahu mereka pas awal kamu menelepon Kenia.  Emmm, aku telepon Kenia sekarang, ya? Siapa tahu mereka sudah nggak repot lagi,”
Kenes menawarkan diri membantu Dewa. Dewa membiarkan Kenes membuktikan sendiri bahwa keluarganya tak ada yang bisa dihubungi lagi. Padahal tiga hari setelah kecelakaan itu dan Dewa masih di rumah sakit, Kenia masih bisa dihubungi seperti yang disampaikan Dewa tadi. Tapi setelah itu dan sekarang masuk hari kesebelas mereka di sana, telepon tak lagi bisa tersambung.
Kenes akhirnya mendapati ia juga tak bisa menghubungi Kenia bahkan kedua orangtua Dewa.
 “Aku sih, pernah mengirimkan pesan untuk Kenia tapi ternyata gagal terkirim. Akhir pekan kemarin aku juga mencoba meneleponnya tapi nggak terdengar suara panggilan. Aku kira kamu sudah sering meneleponnya. Dan semenjak itu aku nggak nelpon dia lagi, lagipula bagaimana bisa meneleponnya, kamu selalu punya tugas untukku. Belum lagi kamu memintaku memantau toko kue sekaligus menjagamu penuh, sampai-sampai aku juga tak punya waktu melanjutkan pemotretanku sendiri,”
Dewa mengernyitkan dahi, menatap Kenes. “Pemotretan? Kamu model?”. Nampaknya Dewa mengikuti topik pembicaraan Kenes.
“Oh, bukan,” Kenes lekas menampik. “Maksudku hunting objek foto. Kamu nggak tahu aku tukang foto? Hehehe. Aku pergi kemarin itu aslinya ingin cari suasana baru, hunting objek foto dan lihat pameran foto pastinya, di gedung kesenian. Eh, malah mas Parjo dan mas Sidiq menguntitku bahkan mengejarku kayak aku ini buronan aja,”
“Kamu lupa mematikan sinyal GPS-mu tapi kamu sukses lari seperti Kancil, mereka ngos-ngosan jadinya. Tapi akhirnya kamu tertangkap juga, kan?”
“Mereka cerita, ya? Aku memang nggak berbakat jadi penjahat buron, makanya tertangkapnya cepet, hehehe,” Kenes melempar senyum pada Dewa, Dewa malah terbahak-bahak. Kenes bahagia mendadak melihat Dewa begitu.
“Kenapa kamu nggak cerita kalau ingin hunting foto?”
“Memangnya kamu kasih izin?,” Kenes balik bertanya.
Dewa hanya membuang nafasnya cepat dan berat, melengos begitu saja. Kenes mengira itu jawaban “tidak”.
“Kalau kamu ingin keluar hunting foto, aku ikut,”
Kenes menengok cepat ke arah Dewa.
“Aku ingin tahu seberapa besar kesenangan yang kamu dapatkan dari objek fotomu ---”
“Jelas besar,” sahut Kenes cepat-cepat.
“... dibandingkan kesenanganmu di rumah ini dan tentunya aku,” imbuh Dewa menyelesaikan ucapannya.
Kenes tak mendengar secara seksama ucapan Dewa tapi ia pasti tak salah dengar. Kenes melirik ke arah Dewa. “Bisa perjelas lagi maksud kalimatmu barusan?”
“Apa aku tak cukup memberimu kesenangan di rumah ini? Rumah ini bukan rumah mewah tapi semua isinya adalah fasilitas lengkap untukmu. Bahkan kamu bisa menggunakan apa pun di kamar Ken. Tugasmu hanya mengurusku. Semua tanggungan biaya hidupmu terpenuhi selama kamu bekerja untukku. Itu tak cukup? Kukira kamu menikmati kesenangan yang kuberikan,”
Kenes dibuat berputar-putar berpikir. Kesenangan macam apa? Fasilitas hidup lengkap sudah amat ia rasakan dari kedua orangtuanya. Ia tak pernah kekurangan di usianya yang seharusnya sudah lulus kuliah dan bekerja.
Dewa segera melanjutkan sebelum Kenes berhasil berargumen. “Oh, aku lupa, aku cacat dan itu bukan kesenangan untukmu, kan? Bodohnya aku mengira aku bisa menyenangkanmu berada di dekatku karena yang aku tahu kamu menyukaiku semenjak SMA. Kamu dia-diam menyukaiku, mengamatiku dan tak pernah menyatakannya padaku,”
DEG! Tubuh Kenes seolah dihantam bedug berdiameter satu meter. Dewa angkat bicara dan itu tepat sasaran. Tidakkah cukup menutupi “topeng” yang ia kenakan selama ini untuk menyembunyikan perasaannya pada Dewa.
“Ternyata kakiku yang tak berfungsi ini membuatku jauh lebih egois.  Aku mengurungmu dengan keegoisanku. Maaf kalau itu justru membuatmu merasa menjadi orang yang hanya dibutuhkan di saat hal buruk terjadi, bukan di saat kebahagiaan tercipta,” imbuhnya.
Kenes diam tak berkutik. Dewa ternyata menyadari dirinya menyukai Dewa sejak SMA, sejak Dewa memberikan kue hasil eksperimennya pertama kali padanya dan Kenia. Mundur sekitar tujuh tahun lalu, cowok itu manis, berkulit bersih sawo matang, rambut cepak hitam legam, sorot matanya tajam, jemarinya panjang disukai Kenes, tubuhnya tinggi sedikit lebih tinggi dari lelaki Asia pada umumnya, tapi tak terlalu kurus, proporsional. Usia mereka terpaut lima tahun. Kenes melihat cowok itu kelak menjadi ahli kuliner bidang kue yang sukses. Tahun demi tahun berlalu dan itu menjadi nyata. Seiring dengan itu kekaguman Kenes  berkembang menjadi sebuah perasaan yang begitu manis. Semanis kue hasil eksperimen Dewa. Asli. Subuh bertemu Subuh Kenes tak  bisa melupakan sketsa wajah Dewa. Tapi ia hanya menyimpannnya –teramat rapi-, bahkan Kenia tak pernah tahu hal itu. Ia hanya wanita yang rasanya tak pantas mengobral rasa suka terhadap lelaki. Biar saja, jika memang Tuhan menakdirkan mereka berjodoh, mereka pasti kembali berjumpa.
Kali ini di depannya setelah tahun demi tahun terlampaui, ada Dewa yang tegas menyatakan bahwa Dewa sekarang membutuhkannya. Jelas Kenes bahagia, bukan justru merasa dirugikan karena hanya dibutuhkan ketika Dewa dalam kondisi yang buruk, seperti Dewa katakan. Kenes sekali pun tak pernah merasa begitu walau ia pernah berkata secara asal begitu kepada Kenia. Bagi Kenes bisa bertemu dengan orang terkasih ketika mereka terpuruk adalah ujian dan jika kita bisa menerimanya dengan lapang dada adalah ketulusan. Itulah cinta yang tulus, murni, tanpa topeng –menurut Kenes-. Jarang sekali bukan orang bisa begitu jika tidak benar-benar terikat rasa cinta kasih yang kuat? Tapi apakah kali ini rasa itu tumbuh kembali dan mendadak menguat karena Kenes begitu saja meloloskan permintaan Kenia menemani Dewa bahkan lebih dari itu? Beberapa waktu lalu Kenes nyaris melupakan perasaannya pada Dewa karena mereka sudah jarang  bertemu. Tapi tetap saja, mengingat Dewa saja terkadang membuat darah Kenes berdesir-desir.
Kenes masih terdiam. Ia bingung harus berkata apa. Ia mengambil nafas dalam-dalam.
“Jujur saja, aku sama sekali nggak keberatan mengurusmu, menemanimu. Aku hanya merasa syok. Beberapa hari kemarin, jauh kemarin-kemarin aku bisa berjalan-jalan kemana pun aku suka lalu sekarang aku terkurung, ya mungkin itu kata yang pantas, di sini bersamamu. Bukan aku nggak suka tapi aku butuh penyesuaian. Aku suka berlama-lama denganmu, tapi pastinya jika kamu nggak sedang marah-marah. Tapi kamu tahu, caraku untuk bersenang-senang selama ini adalah jalan-jalan dan foto. Ya, itu yang mengalihkanku dari keinginanku bersenang-senang dekat denganmu selama ini. Lebih dari lima tahun aku bersenang-senang dengan foto, semacam ikatan batin tercipta di sana. Jadi aku tak bisa serta merta menghentikan itu semua. Bahkan karena dirimu. Bukan kamu nggak lebih menarik dari foto tapi ini bukan masalah siapa lebih menarik dari apa atau sebaliknya tapi ini masalah penyesuaian. Dua minggu kurang untukku bisa berdamai dengan kondisi ini. Makanya aku butuh penyegaran, aku ingin jalan-jalan.  Tapi kamu tak mengizinkan akhirnya aku diam-diam loncat pagar dan berusaha kembali pulang secepat mungkin tapi kemarin itu aku memang lalai. Terlalu banyak objek foto dan pameran yang menarik sampai aku lupa segalanya, maafkan aku,” Kenes terengah-engah memberikan penjelasan pada Dewa dan mengakhirinya dengan kata maaf.
“Jadi kamu masih merasa senang dekat denganku? Walau aku cacat?”
Kenes menarik nafas dalam dan berat. “Bagaimanapun kamu Dewa, aku rasa aku akan tetap menyukaimu. Kamu pikir apa yang membuatku bertahan menerima tawaran Kenia menemanimu bahkan lebih dari itu? Hanya saja aku orang yang tak bisa dibatasi, aku mudah merasa bosan. Dan yang pasti aku butuh penyesuaian dengan tugasku sekarang,” ujar Kenes tersenyum. Kemudian ia berlutut di samping kursi roda tempat Dewa duduk. Ia meraih tangan Dewa dan mengenggamnya. “Berikan aku ruang untuk bisa menyesuaikan diri, jangan dua minggu! Tapi aku pastikan perasaanku padamu tak akan berubah. Hanya kamu yang bisa membuatku tak pernah bosan. Tapi yang lainnya tolonglah aku, please... aku butuh penyegaran. Tapi aku janji, aku tak akan melalaikan tugasku lagi, oke?” Kenes membuat perjanjian dengan Dewa.
“Kalau begitu besok ajak aku hunting foto! Agar aku percaya kamu tak lari dariku lagi dan membuktikan perasaanmu memang tak pernah berubah untukku,”
Baru saja “diperingatkan” Kenes untuk tak protektif, Dewa sudah cepat-cepat mengelaknya.
“Tentu. Asal kamu nggak marah-marah lagi. Aku ada untukmu selagi keluargamu masih di Cina,”
“Ada untukku selamanya, aku mohon!” Dewa memohon.
“Tergantung,” tungkas Kenes.
“Tergantung apa?”
“Kamu harus membuatkanku kue terenak dan terunik yang belum pernah ada, baru aku mau menerimamu jadi kekasihku. Kamu kira dengan aku ketahuan menyukaimu lalu kamu bisa lolos dari ujian menjadi pacarku? Tidak bisa,”
“Oke, aku terima tantanganmu!” Dewa mantab dan sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas.
“Nah, gitu dong, senyum lagi, semangat lagi. Pelangganmu nggak sabar nunggu kue buatanmu lagi. Mereka sering mengeluh kuenya itu-itu saja,”
Kenes berdiri dan mengusap-usap bahu Dewa sebagai tanda kasih sayang, penenangan sekaligus penguatan.
 Langit sudah semakin senja berwarna keoranye-oranyean. Matahari siap menyembunyikan diri di belahan bumi lainnya sementara rembulan dan bintang siap menemani kisah asmara Kenes dan Dewa yang tertunda selama ini. Sementara itu Parjo berteriak dari arah ruang tamu, “Mas Dewa, bapak, ibu sama mbak Ken, Mas!” Suara Parjo nampak panik.
Parjo sampai di teras belakang rumah sambil menunjukkan raut wajah tegang dan cemas, nafasnya tak beraturan. “Bapak sama ibu sama mbak Kenia, Mas, di berita...”
Dewa dan Kenes menatap tak mengerti. “Di Cina, Guangjo Guangjo sana, bapak, ibu dan mbak Kenes di sana, kan? Itu... apa... badai salju! Parah! Porak poranda, Mas! Sudah empat hari, Mas!”
DEG! Seketika Dewa dan Kenes membelalak. Kenapa beritanya baru hari ini ada di TV? Oh, atau dia lupa bahwa dirinya, juga Kenia dan seisi rumah Dewa tak pernah memantau berita dari media apapun beberapa hari terakhir karena sibuk mengurus dirinya dan semua kesibukan di rumah itu, kebun sayur, toko kue?
Lalu keluarga Dewa, jadi korban kah? Lalu kenyataan mereka tak tahu bahwa dirinya lumpuh? Sial! Dewa tak mengatakannya sejak awal demi tak ingin merusak kebahagiaan adiknya. Tapi faktanya sudah begini. Kepedihannya juga belum usai, ditambah kepanikan akibat berita musibah yang lebih dahsyat lagi yang bisa jadi telah mengancam keselamatan orang-orang tercintanya. Dewa memegangi kepalanya yang mendadak berat sementara tangannya yang lain memegang tangan Kenes erat.
“Aku akan segera mencari tahu, Wa. Kamu tenang dulu, ya? Percayakan padaku! Aku bukan sebatas pengasuh atau pembantumu, aku ada untukmu selama kamu mau,” Kenes memberi usul dan bergegas mencari tahu kepastian kondisi Kenia dan kedua orangtua Kenia dan Dewa.
***

thanks to editor:

2 komentar:

  1. Hmm...ending nya agak absurd yaa, happy ending sekaligus bad ending, hehehe.. Masih to be continu ya?
    Sebenernya idenya bagus, hanya agak aneh aja anak laki2 nya kecelakaan sampe lumpuh tapi tetep di tinggal ke Cina gak ada yg peduli. Kalo emang acara nikahnya gak bisa di tunda, yah minimal ada 1 ortunya yg tinggal. Si mertua pasti bisa ngerti alesanya...

    Trus, emm...aq gak tau... rasanya bahasanya titin terlalu baku. Mungkin itu emang karakter gaya bahasnya titin, tapi aq bacanya jadi gak bisa ngalir ke cerita.. jadi kaku..
    Tapi mungkin itu cuma masalah selera gaya bahasa aja ^_^ Tetep semangat nulis, CHAYO!

    BalasHapus
  2. Oh iya, 1 lagi.. maksutnya judul "teman sang dewa" apa ya?

    BalasHapus

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)