Seorang gadis berusaha
sekuat tenaga berlari tunggang langgang agar tak tertangkap dua lelaki yang
mengejarnya. Andai saja ada energi super seperti yang dimiliki super car Lamborghini yang bisa melesat
cepat atau setidaknya ada mantra penghilang diri, gadis itu tak usah bersusah
payah berlarian begini. Ia bukan atlet maraton, sudah pasti ia menguras tenaga
ekstra untuk meloloskan diri dari dua sosok itu.
Ini bukan adegan film
yang sedang direncanakan oleh seorang sutrada film kawakan negeri ini atau
bahkan hanya sekedar sutradara amatir. Tapi ini adegan nyata pengejaran seorang
gadis oleh dua orang berpakaian seperti preman di sebuah pusat pertokoan yang
tak jauh dari pemukiman padat warga, diselingi gang-gang kelinci yang hanya
muat untuk satu tubuh orang dewasa bertubuh “normal” dan sepeda motor.
Gadis itu bukan telah
melakukan sebuah kesalahan fatal seperti mencuri, merampok atau lari dari
pengawasan mucikari. Tidak seekstrim itu. Ia hanya meninggalkan “asuhan”nya di
rumah tanpa izin terlebih dahulu. Si yang diasuh begitu murka tahu pengasuhnya
keluar tanpa seizinnya.
Dua sosok kekar bin
tambun yang mengejar gadis itu amat sangat kewalahan dengan kegesitan gadis itu
berlari. Hingga tiba mereka di suatu ujung jalan buntu yang hanya dipenuhi
tong-tong plus sampah-sampah berserakan. Sementara si gadis memang tepat ada di
balik sebuah tong itu seraya menggigit bibirnya berharap dua lelaki itu tidak
mendapatinya di sana.
Namun... tiba-tiba nada
panggil ponsel gadis itu berbunyi keras dalam volume maksimal. Seketika seolah
ada aliran listrik menyengat ke tubuhnya kemudian menjalar ke saraf pusatnya,
panik! Ia segera merogoh tas kecilnya dan berupaya mematikan ponsel itu tapi
sebelum ia berhasil menemukan ponselnya, sorotan empat mata lelaki sudah
menghujam kepadanya yang jongkok di balik sebuah tong.
Mati
sudah. Goblok banget tadi aku nggak matikan hapeku.
“Mbak Kenes, kok
lari-lari? Kita ngos-ngosan ngejar Mbak,” celetuk salah seorang dari mereka
yang terengah-engah mengejar gadis itu. Gadis itu meringis sementara ponselnya
sudah berhenti berdering.
“Ayo pulang, Mbak! Mas
Dewa ngamuk-ngamuk tahu Mbak Kenes nggak ada di rumah,” ujar sosok lainnya.
“Oalah, Mas Parjo, Mas
Sidiq, aku itu cuman mau main-main aja sama kalian. Biar kalian itu bisa
sekalian diet. Biar nggak gemuk-gemuk amat. Tuh, lihat perutnya sudah kayak
ibu-ibu hamil, hehehe,” Kenes justru menimpali ajakan dua lelaki itu dengan guyonan untuk melumerkan suasana tegang
yang ia rasakan. Aslinya ini hanya alibi menutupi keinginannya untuk lepas dari
“cengkraman” si bos mereka, sementara
waktu saja.
Kedua lelaki itu saling
berpandangan kemudian menatap perut masing-masing. Sedetik kemudian mereka
meringis lebih lebar ketimbang Kenes. Kenes juga ikutan meringis.
“Oke, aku ikut kalian
pulang,” Kenes pasrah tapi nada bicaranya tak menunjukkan ia begitu. Walau
aslinya juga tak rela pulang secepat itu.
Gagal
lagi. Maunya jalan-jalan cari senang malah ketangkap lagi.
Kenes sudah sampai di
rumah. Ia masih tetap dikawal ketat oleh kedua lelaki tadi sampai benar-benar
ada tepat di depan Dewa. Kenes merasakan detakan jatungnya semakin cepat. Takut
ia akan kembali menerima segala cecar dari mulut Dewa yang bisa saja menjadi
bengis jika keinginannya tak terpenuhi.
Kenes sudah ada di
hadapan Dewa sekarang. Dewa memberi kode pada “pengawal”nya untuk pergi
meninggalkan mereka berdua.
“Sudah cukup senang-senangnya?”
Dewa memecah kebisuan di antara keduanya.
“Belum,” tungkas Kenes
jujur.
Dewa menahan nafasnya
sejenak, berusaha tidak lagi meledak-ledak setiap kali tahu Kenes “melarikan
diri”.
“Apa rumah ini tak
memberikanmu kesenangan sampai akhirnya kamu harus mencari kesenangan di luar?”
suara Dewa penuh tanya.
“Aku bosan setiap hari
di rumah. Aku tak bisa hanya diam di rumah. Lagipula ini bulan libur semester,
biasanya aku sering jalan-jalan kemana pun aku mau,” suara Kenes makin lama
makin lirih.
“Kamu itu sedang
bekerja untukku, mengurusku, menyediakan semua kebutuhanku, memerhatikanku dua
puluh empat jam penuh, tahu?!” suara Dewa sedikit meninggi. Kenes mengkeret.
“Aku tahu tapi aku
but---”
“Aku bisa memberimu
kesenangan macam apapun. Tapi satu hal, jangan pernah mengendap-endap di
belakangku melarikan diri lagi! Aku kebingungan mengurus keperluanku sendiri
dengan dua kaki lumpuhku ini, tahu?!” Dewa merasa darahnya mulai mendidih di
ubun-ubun.
“Apa pekerjaan ini
begitu membuatmu tertekan?” tuding Dewa.
Kenes merasa tertohok,
ia ingin berkata tidak tapi kenyataannya pekerjaan mengurus Dewa juga
membuatnya sering tak sabar. Ia bukan ahli medis tapi ia harus melakukan pekerjaan itu.
“Tidak,” suara Kenes
mantab menutupi yang sebenarnya ia rasakan.
“Semoga itu benar.
Siapkan air hangat untuk mandi! Tak usah memasak, mas Parjo dan mas Sidiq aku
suruh membeli nasi goreng di ujung komplek. Kamu tahu, aku kelaparan seharian
karena ulahmu. Harusnya kamu bisa lebih cerdik dan bijak jika ingin melarikan
diri bersenang-senang, tinggalkan sarapan dan camilan untukku! Bahkan sampai
sesenja ini belum ada makanan tersaji di meja. Kamu nggak lupa tugasmu selama
bekerja untukku, kan?”
“Iya, maafkan aku. Aku
tadi terburu-buru,”
“Kamu bukan
terburu-buru tapi sengaja memancing kemarahanku. Sudahlah!”
Dewa memutar roda kursi
rodanya.
“Perlu kubantu?” tawar
Kenes, ada sedikit rasa menyesal di hatinya.
“Lakukan saja
perintahku tadi!” Dewa menolak kemudian berlalu menuju kamarnya.
Kenes berbalik arah
menuju dapur, segera melaksanakan permintaan Dewa. Itu memang sudah
kewajibannya.
Kenapa
aku bisa begitu lupa tak menyiapkan makanan tadi? Pameran di gedung kesenian
itu ternyata lebih menggiurkan. Ingat, Nes, sekarang kamu sedang bekerja
mengurus Dewa! Ingaaattt...!!
...
Bulan libur semester
ini jadi masa liburan yang amat tak terduga bagi Kenes. Kenes mengisi libur
kuliahnya dengan pekerjaan yang sama sekali berseberangan dengan bidang yang ia
tekuni selama ini. Kesehatan. Sau kali pun Kenes tak pernah berkeinginan
berurusan dengan bidang itu. Kenapa? Entah, tak jelas sebab-musababnya, Kenes
amat ngeri melihat darah, amat ngeri melihat luka menganga, merinding mendengar
orang patah tulang, kepala kegencet ban mobil, ibu-ibu mengalami perdarahan
saat kehamilan dan semua berbau medis. Ia sudah menjaga jarak jauh-jauh
semenjak ibunya yang seorang bidan mengajaknya menunggui orang melahirkan
ketika ia duduk di bangku kelas dua SMP. Entah memang karena itu atau apa tapi
intinya, sebenarnya tak ada peristiwa yang begitu meninggalkan trauma
tersendiri untuk Kenes tapi Kenes mendadak merasa ngeri sendiri saja.
Setidaknya itulah pengakuan Kenes.
Kenes sudah sekuat
tenaga menjaga jarak dengan dunia medis yang baginya mengerikan tapi suatu sore
telepon dengan rangkaian angka sedikit aneh tertera di layar ponselnya.
Roman-romannya angka dengan kode telepon dari luar negeri.
“Halo,” sapa Kenes.
“Kenia?! Wah, sialan kamu tak kasih kabar menikah. Di Korea pula,” seru Kenes.
“Bukan? Di Guangzhou Cina? Kok bisa? Oh, Ibu mertuamu asli sana.” “Apa? Aku?
Aku minggu depan libur semester, sih. Aku mau pulang ke Bali. Kamu tahu kan,
orangtuaku sudah lama pindah ke sana semenjak kita lulus SMA.” “Apa? Jangan?
Kenapa?” “Dewa? Kecelakaan?! Astaga! Memangnya dia nggak ikut kamu? Bagaimana
bisa?” “Kamu memintaku menemaninya? Kamu ini, jadi penulis terkenal nggak ingat
aku bahkan menikah juga nggak kasih kabar langsung. Sekarang ada berita duka
Dewa kecelakaan baru kamu meneleponku, dasar!” “Oh, enggak. Aku nggak
keberatan, kok. Asal kamu mengajakku berpesta di pesta pernikahanmu di
Indonesia, ya? Hehehe.” “Iya, setelah ini aku akan segera menjenguk Dewa. Kasih
tahu aku di rumah sakit mana. Tapi nggak apa-apa aku langsung nongol di depannya? Kami nggak
begitu saling kenal, Ken,” “Oh, oke-oke.” Terdengar Kenia memutus sambungan
teleponnya dari negeri seberang sana.
Kala itu Kenes
mengiyakan saja permintaan Kenia, sahabatnya. Lagipula mungkin menemani Dewa
juga tak akan lama karena mungkin orangtua Kenia juga tak akan berlama-lama di
Cina. Mungkin sekitar satu minggu. Lagipula jika mengingat nama dan
membayangkan wajah cowok itu hati Kenes mendadak kembali bergetar. Lama tak bersua, lebih lama ketimbang ia tak
bersua dengan Kenia, seperti apa wajahnya sekarang ini? Apakah masih memesona?
Tapi dengan berita sedih yang baru saja menghampiri?
Sesampainya di rumah
sakit, Kenes tak menyangka bahwa kondisi Dewa begitu menyedihkan. Menurut
penuturan dokter yang menanganinya, Dewa amat terpukul ketika tahu bahwa ia
lumpuh total akibat kecelakaan hebat yang menimpanya kemarin. Marah-marah
kemudian diam dengan tatapan kosong, marah-marah lagi, teriak-teriak merutuki
diri. Kenes seketika pening, bagaimana caranya menghadapi orang yang mungkin
sudah menunjukkan gejala depresi akibat kecelakaan seperti Dewa? Ia tak punya
dasar jadi konselor seperti kakaknya Devi. Kenia juga tak menjelaskan kondisi
Dewa separah ini. Apa Kenia dan orangtuanya tak tahu bahwa kecelakaan yang
dialami Dewa begitu parah? Kenia hanya berkata agar dia menemaninya, menemani
bagaimana? Ini pasti jadi pekerjaan yang lebih dari sekedar menemani. Pikiran Kenes berkecamuk. Apa yang harus ia
perbuat sekarang?
Kenes segera meraih
ponsel canggihnya. Ia hendak menelepon sahabatnya itu tapi... tunggu! Sekarang
ini harusnya Kenia dan orangtuanya dalam kondisi amat bahagia karena pernikahan
anak perempuan mereka, sahabatnya, tapi jika rasa bahagia itu berbalut dengan
rasa sedih tak terduga jika tahu kondisi Dewa yang sebenarnya amat memilukan,
apa jadinya? Malah bisa merusak kebahagiaan Kenia.
Kenes batal menghubungi
langsung Kenia. Ia ketik beberapa kalimat dan mengirimnya melalui pesan
pribadi. Bagaimanapun Kenia dan orangtuanya harus tahu.
Ken, aku benar2 minta maaf kalo harus
bilang bahwa kakakmu dalam kondisi parah. Dia lumpuh! Ini bukan kecelakaan
biasa, Nes. Sampaikan pada orangtuamu. Lalu aku? Kenapa kamu nggak minta
seorang suster atau bahkan fisioterapis mengurus Dewa? Aku bukan ahli medis.
Aku cuman tukang foto dan gambar yang suka pergi kesana-kemari. Tapi tenang
saja aku tetap menemaninya sampai kamu kembali ke sini. Tolong segera jawab
pesanku, ya.
Kenes mengetik kalimat
demi kalimat itu dengan perasaan panik sambil sesekali ia melirik Dewa dari
celah kain kelambu kaca kamar Dewa. Memastikan Dewa tidak membuatnya lebih
panik seperti apa kata dokter, marah-marah. Dewa terlihat tidur nyenyak, berkat
cairan penenang yang disuntikkan ke tubuh Dewa.
Kenes
mengharapkan Kenia segera membalas tapi itu mungkin nyaris tak akan terjadi,
pasti Kenia repot. Mulut Kenes juga mulai berkomat-kamit berdoa semoga orangtua
Dewa dan Kenia sesegera mungkin kembali ke Indonesia begitu mengetahui pesan
yang sudah ia kirimkan. Ini bukan akibat kecelakaan biasa yang meninggalkan
luka yang begitu saja sembuh setelah dibebat perban atau terima beres setelah
operasi. Bukan! Dewa lumpuh. Praktis dipastikan ia tak akan bisa berjalan
selamanya.
Kenes mulai
memutar-mutar kedua bola matanya, bagaimana ia harus menjalani hidupnya
beberapa hari ke depan dengan Dewa yang emosinya benar-benar fluktuatif dengan range yang ekstrim. Ia mulai mengirim
SMS untuk kakaknya, bertanya bagaimana menghadapi orang depresi akibat
kecelakaan hebat. Kenes sudah sekonyong-konyongnya mendiagnosa Dewa depresi.
Tapi pertama-tama yang
perlu ia persiapkan adalah mental agar ia juga tak terbawa emosi menghadapi
Dewa. Ia harus bersabar. Ini juga amanah dari sahabatnya. Semoga apapun yang ia
lakukan merupakan hal yang paling tepat untuk Dewa. Terselip di palung hatinya,
ia tak ingin orang yang pernah mengisi hari-harinya -bahkan sampai detik ini-
begitu terpuruk dengan kondisinya sekarang ini. Ternyata... Kenes masih
menyimpan rasa itu rapi di sudut hatinya.
***
Sudah masuk minggu
kedua Kenes merawat dan menjaga Dewa dari semenjak Dewa masih di rumah sakit
sampai di rumah Dewa. Dewa menerima Kenes begitu saja karena siapa lagi yang
dapat ia andalkan, selain sahabat adiknya itu? Ia tak memiliki saudara di kota
ini. Teman dekatnya juga tak sedang berada di kota yang sama karena kesibukan
menjadi pekerja kantoran. Pembantunya juga sudah dua bulan lalu minta izin
berhenti. Parjo dan Sidiq yang mulanya hanya tukang kebun dan sopir di
keluarganya akhirnya beralih fungsi menjadi pengawal pribadinya tapi jelas tak
sepenuhnya bisa diandalkan untuk urusan rumah tangga dan pekerjaan yang butuh
ketelatenan yang mungkin hanya dimiliki seorang wanita.
Dewa pun tak
memberitahu keluarganya tentang kondisinya yang mengenaskan pada telepon
perdananya tepat pada malam Kenia usai mengikat janji dengan Kim, kekasihnya.
Dewa hanya membenarkan dirinya mengalami kecelakaan pada Kenia dan itu bukan
masalah. Dewa mengatakan “bukan masalah” begitu berat dan pedih, hanya demi
kebahagiaan adiknya dan tak membuat panik kedua orangtuanya. Dewa memilih tutup
mulut.
Di sisi Kenes, ia
sekarang punya tugas baru. Ibarat Dewa adalah anak kecil, Kenes pengasuhnya.
Istilah apalagi? Terdengar merendahkan tapi itulah faktanya. Kenes melakukan
tugas menjadi teman bicara Dewa –kalau Dewa ingin-, memasak untuk Dewa –dan
tentu untuk dirinya sendiri dan Parjo juga Sidiq-, menyiapkan kebutuhan Dewa
dari keperluan mandi, obat sampai pakaian, memantau toko kue milik keluarga
Dewa dan juga mengurus rumah. Lebih tepatnya Kenes menjadi pengasuh dan
pembantu dadakan!
Kenes harus menyadari
itu sedari awal ia tahu kondisi Dewa. Bukan hanya menemani, seperti kata Kenia.
Kenes syok karena hal ini. Kehidupannya dua minggu lalu masih normal sebagai
mahasiswa tapi detik ini apa? Ia melakukan pekerjaan rumah plus mengurus semua
keperluan orang di kursi roda. Syok, stres, bingung, jenuh menyerangnya secara
bersamaan, tak mengizinkannya mengambil nafas lega. Terkadang Kenes masih
merasa beruntung ketika Dewa memutuskan menyetujui ada salah seorang kawan
Kenes, seorang fisioterapis membantu Dewa. Walaupun Dewa merasa sia-sia
memekerjakan fisioterapis setidaknya itu menguntungkan untuk menemani Dewa ke
kamar mandi karena mereka sama-sama lelaki. Hanya saja, fisioterapis itu hanya
bisa bekerja dari jam tujuh sampai lima sore, selebihnya Kenes yang harus
bertanggungjawab terhadap Dewa.
Kenes merenggangkan
ototnya di atas kursi bambu panjang di teras belakang rumah Dewa. Matanya
melihat ke langit-langit atap rumah itu, bukan kosong tapi penuh pikiran yang
perlu diluruskan satu per satu. Jenuhnya belum usai dimusnahkan. Setiap kali
berusaha untuk mencuri waktu bersenang-senang dengan kamera khusus para
fotografer yang ia dapatkan dari ayahnya ketika ia awal masuk kuliah, ia selalu
gagal. Ketahuan dan akhirnya jadi orang yang masuk daftar pencarian si Parjo
dan Sidiq.
Kenes tak punya cara
lain selain diam-diam pergi karena meminta izin pada Dewa juga tak mungkin.
Dewa sudah memintanya untuk dua puluh empat jam penuh siap siaga untuknya. Ini
artinya Dewa tak akan mengizinkannya pergi kemana-mana, apalagi
bersenang-senang. Kemudian Kenes menyadari satu hal, rasanya dia memang kejam
jika pergi mencari kesenangan sementara ia punya tanggungjawab baru, amanah
sahabatnya. Kenes pun akhirnya bisa memaklumi, waktu dua minggu jelas tak cukup
membuat Dewa menerima kenyataan bahwa ia –terpaksa- bergantung banyak hal pada
orang lain, dan porsi kerbergantungan yang besar adalah pada Kenes. Tapi, di
sisi lain, dirinya juga belum bisa menyesuaikan diri penuh.
“Kenapa selalu gagal
menghubungi ayah sama ibu, sih, beberapa hari ini? Ken juga,” desis Dewa kesal,
ia sudah ada beberapa menit setelah Kenes merebahkan diri di kursi. Kenes
mendengarnya dan ia beralih menjadi posisi duduk.
“Mungkin acara
pernikahan di sana ribet jadi agak lama, deh,” Kenes berupaya menghibur.
“Awal-awal aku di rumah
sakit masih bisa bahkan aku meminta maaf tak bisa datang dan berjanji akan memersiapkan
pesta pernikahan Ken di sini. Mereka terima beres,” sahut Dewa.
“Lalu kamu juga bilang
bagaimana kondisimu sekarang?”
Dewa menggeleng lemah.
“Kamu nggak ngasih tahu
mereka? Kenapa?”
“Itu akan merusak
kebahagiaan Kenia,”
Kenes membenarkan Dewa.
“Tapi, bagaimanapun mereka harus tahu kondisimu sebenarnya. Aku yakin mereka
juga akan sangat memedulikanmu jika tahu kondisimu,”
“Aku nggak tahu bagaimana harus mengatakannya, Nes. Aku nggak mau merusak hari bahagia Kenia di sana.
Padahal sebelum ini terjadi, aku berencana menyusul mereka di sana karena aku
harus menyelesaikan beberapa urusan penting di sini. Tapi belum apa-apa musibah
itu datang dan dokter menyampaikan berita terkutuk itu,” Ada rasa sakit, kecewa
bahkan putus asa tersirat dari ucapan Dewa.
Kenes diterpa serangan
panik. Ia belum pernah berhasil menenangkan Dewa ketika marah-marah maupun
ketika amat putus asa tapi sedikit yang ia ketahui dari kakaknya, sentuhan
tangan di bahu bahkan punggung orang yang sedang marah, gelisah atau sedih bisa
membuat mereka sedikit tenang dan merasa nyaman. Kenes ragu melakukan itu
karena sejauh ini kontak fisik antara dirinya dengan Dewa adalah kontak fisik
“keharusan” yang dilakukan pengasuh atau pembantu atau teman apapun istilahnya,
yang hanya terjadi seperlunya atau di saat genting, misal Dewa hendak terhuyung
jatuh ketika berpindah dari kursi roda menuju ranjang tidurnya.
“Aku yakin bukan mereka
tak peduli. Suara Kenia waktu lalu terdengar sedih ketika tahu kamu kecelakaan
makanya dia memintaku sesegera mungkin menemuimu. Tapi mungkin... mungkin
mereka nggak tahu kalau akibatnya separah ini. Dan ternyata kamu nggak
memberitahu mereka minggu lalu, rasanya memang mereka benar-benar nggak tahu.
Seharusnya kamu memberitahu mereka pas awal kamu menelepon Kenia. Emmm, aku telepon Kenia sekarang, ya? Siapa
tahu mereka sudah nggak repot lagi,”
Kenes menawarkan diri
membantu Dewa. Dewa membiarkan Kenes membuktikan sendiri bahwa keluarganya tak
ada yang bisa dihubungi lagi. Padahal tiga hari setelah kecelakaan itu dan Dewa
masih di rumah sakit, Kenia masih bisa dihubungi seperti yang disampaikan Dewa
tadi. Tapi setelah itu dan sekarang masuk hari kesebelas mereka di sana,
telepon tak lagi bisa tersambung.
Kenes akhirnya
mendapati ia juga tak bisa menghubungi Kenia bahkan kedua orangtua Dewa.
“Aku sih, pernah mengirimkan pesan untuk Kenia
tapi ternyata gagal terkirim. Akhir pekan kemarin aku juga mencoba meneleponnya
tapi nggak terdengar suara panggilan. Aku kira kamu sudah sering meneleponnya.
Dan semenjak itu aku nggak nelpon dia lagi, lagipula bagaimana bisa
meneleponnya, kamu selalu punya tugas untukku. Belum lagi kamu memintaku
memantau toko kue sekaligus menjagamu penuh, sampai-sampai aku juga tak punya
waktu melanjutkan pemotretanku sendiri,”
Dewa mengernyitkan dahi,
menatap Kenes. “Pemotretan? Kamu model?”. Nampaknya Dewa mengikuti topik
pembicaraan Kenes.
“Oh, bukan,” Kenes
lekas menampik. “Maksudku hunting
objek foto. Kamu nggak tahu aku tukang foto? Hehehe. Aku pergi kemarin itu
aslinya ingin cari suasana baru, hunting
objek foto dan lihat pameran foto pastinya, di gedung kesenian. Eh, malah mas
Parjo dan mas Sidiq menguntitku bahkan mengejarku kayak aku ini buronan aja,”
“Kamu lupa mematikan
sinyal GPS-mu tapi kamu sukses lari seperti Kancil, mereka ngos-ngosan jadinya.
Tapi akhirnya kamu tertangkap juga, kan?”
“Mereka cerita, ya? Aku
memang nggak berbakat jadi penjahat buron, makanya tertangkapnya cepet,
hehehe,” Kenes melempar senyum pada Dewa, Dewa malah terbahak-bahak. Kenes
bahagia mendadak melihat Dewa begitu.
“Kenapa kamu nggak
cerita kalau ingin hunting foto?”
“Memangnya kamu kasih
izin?,” Kenes balik bertanya.
Dewa hanya membuang
nafasnya cepat dan berat, melengos begitu saja. Kenes mengira itu jawaban
“tidak”.
“Kalau kamu ingin
keluar hunting foto, aku ikut,”
Kenes menengok cepat ke
arah Dewa.
“Aku ingin tahu
seberapa besar kesenangan yang kamu dapatkan dari objek fotomu ---”
“Jelas besar,” sahut
Kenes cepat-cepat.
“... dibandingkan
kesenanganmu di rumah ini dan tentunya aku,” imbuh Dewa menyelesaikan
ucapannya.
Kenes tak mendengar
secara seksama ucapan Dewa tapi ia pasti tak salah dengar. Kenes melirik ke
arah Dewa. “Bisa perjelas lagi maksud kalimatmu barusan?”
“Apa aku tak cukup
memberimu kesenangan di rumah ini? Rumah ini bukan rumah mewah tapi semua
isinya adalah fasilitas lengkap untukmu. Bahkan kamu bisa menggunakan apa pun
di kamar Ken. Tugasmu hanya mengurusku. Semua tanggungan biaya hidupmu
terpenuhi selama kamu bekerja untukku. Itu tak cukup? Kukira kamu menikmati
kesenangan yang kuberikan,”
Kenes dibuat
berputar-putar berpikir. Kesenangan macam apa? Fasilitas hidup lengkap sudah
amat ia rasakan dari kedua orangtuanya. Ia tak pernah kekurangan di usianya
yang seharusnya sudah lulus kuliah dan bekerja.
Dewa segera melanjutkan
sebelum Kenes berhasil berargumen. “Oh, aku lupa, aku cacat dan itu bukan
kesenangan untukmu, kan? Bodohnya aku mengira aku bisa menyenangkanmu berada di
dekatku karena yang aku tahu kamu menyukaiku semenjak SMA. Kamu dia-diam
menyukaiku, mengamatiku dan tak pernah menyatakannya padaku,”
DEG! Tubuh Kenes seolah
dihantam bedug berdiameter satu meter. Dewa angkat bicara dan itu tepat
sasaran. Tidakkah cukup menutupi “topeng” yang ia kenakan selama ini untuk
menyembunyikan perasaannya pada Dewa.
“Ternyata kakiku yang
tak berfungsi ini membuatku jauh lebih egois.
Aku mengurungmu dengan keegoisanku. Maaf kalau itu justru membuatmu
merasa menjadi orang yang hanya dibutuhkan di saat hal buruk terjadi, bukan di
saat kebahagiaan tercipta,” imbuhnya.
Kenes diam tak
berkutik. Dewa ternyata menyadari dirinya menyukai Dewa sejak SMA, sejak Dewa
memberikan kue hasil eksperimennya pertama kali padanya dan Kenia. Mundur
sekitar tujuh tahun lalu, cowok itu manis, berkulit bersih sawo matang, rambut
cepak hitam legam, sorot matanya tajam, jemarinya panjang disukai Kenes,
tubuhnya tinggi sedikit lebih tinggi dari lelaki Asia pada umumnya, tapi tak
terlalu kurus, proporsional. Usia mereka terpaut lima tahun. Kenes melihat
cowok itu kelak menjadi ahli kuliner bidang kue yang sukses. Tahun demi tahun
berlalu dan itu menjadi nyata. Seiring dengan itu kekaguman Kenes berkembang menjadi sebuah perasaan yang
begitu manis. Semanis kue hasil eksperimen Dewa. Asli. Subuh bertemu Subuh
Kenes tak bisa melupakan sketsa wajah
Dewa. Tapi ia hanya menyimpannnya –teramat rapi-, bahkan Kenia tak pernah tahu
hal itu. Ia hanya wanita yang rasanya tak pantas mengobral rasa suka terhadap
lelaki. Biar saja, jika memang Tuhan menakdirkan mereka berjodoh, mereka pasti
kembali berjumpa.
Kali ini di depannya
setelah tahun demi tahun terlampaui, ada Dewa yang tegas menyatakan bahwa Dewa
sekarang membutuhkannya. Jelas Kenes bahagia, bukan justru merasa dirugikan
karena hanya dibutuhkan ketika Dewa dalam kondisi yang buruk, seperti Dewa
katakan. Kenes sekali pun tak pernah merasa begitu walau ia pernah berkata
secara asal begitu kepada Kenia. Bagi Kenes bisa bertemu dengan orang terkasih
ketika mereka terpuruk adalah ujian dan jika kita bisa menerimanya dengan
lapang dada adalah ketulusan. Itulah cinta yang tulus, murni, tanpa topeng
–menurut Kenes-. Jarang sekali bukan orang bisa begitu jika tidak benar-benar
terikat rasa cinta kasih yang kuat? Tapi apakah kali ini rasa itu tumbuh
kembali dan mendadak menguat karena Kenes begitu saja meloloskan permintaan
Kenia menemani Dewa bahkan lebih dari itu? Beberapa waktu lalu Kenes nyaris
melupakan perasaannya pada Dewa karena mereka sudah jarang bertemu. Tapi tetap saja, mengingat Dewa saja
terkadang membuat darah Kenes berdesir-desir.
Kenes masih terdiam. Ia
bingung harus berkata apa. Ia mengambil nafas dalam-dalam.
“Jujur saja, aku sama
sekali nggak keberatan mengurusmu, menemanimu. Aku hanya merasa syok. Beberapa
hari kemarin, jauh kemarin-kemarin aku bisa berjalan-jalan kemana pun aku suka
lalu sekarang aku terkurung, ya mungkin itu kata yang pantas, di sini
bersamamu. Bukan aku nggak suka tapi aku butuh penyesuaian. Aku suka
berlama-lama denganmu, tapi pastinya jika kamu nggak sedang marah-marah. Tapi
kamu tahu, caraku untuk bersenang-senang selama ini adalah jalan-jalan dan foto.
Ya, itu yang mengalihkanku dari keinginanku bersenang-senang dekat denganmu
selama ini. Lebih dari lima tahun aku bersenang-senang dengan foto, semacam
ikatan batin tercipta di sana. Jadi aku tak bisa serta merta menghentikan itu
semua. Bahkan karena dirimu. Bukan kamu nggak lebih menarik dari foto tapi ini
bukan masalah siapa lebih menarik dari apa atau sebaliknya tapi ini masalah
penyesuaian. Dua minggu kurang untukku bisa berdamai dengan kondisi ini.
Makanya aku butuh penyegaran, aku ingin jalan-jalan. Tapi kamu tak mengizinkan akhirnya aku
diam-diam loncat pagar dan berusaha kembali pulang secepat mungkin tapi kemarin
itu aku memang lalai. Terlalu banyak objek foto dan pameran yang menarik sampai
aku lupa segalanya, maafkan aku,” Kenes terengah-engah memberikan penjelasan
pada Dewa dan mengakhirinya dengan kata maaf.
“Jadi kamu masih merasa
senang dekat denganku? Walau aku cacat?”
Kenes menarik nafas
dalam dan berat. “Bagaimanapun kamu Dewa, aku rasa aku akan tetap menyukaimu.
Kamu pikir apa yang membuatku bertahan menerima tawaran Kenia menemanimu bahkan
lebih dari itu? Hanya saja aku orang yang tak bisa dibatasi, aku mudah merasa
bosan. Dan yang pasti aku butuh penyesuaian dengan tugasku sekarang,” ujar
Kenes tersenyum. Kemudian ia berlutut di samping kursi roda tempat Dewa duduk.
Ia meraih tangan Dewa dan mengenggamnya. “Berikan aku ruang untuk bisa
menyesuaikan diri, jangan dua minggu! Tapi aku pastikan perasaanku padamu tak
akan berubah. Hanya kamu yang bisa membuatku tak pernah bosan. Tapi yang lainnya
tolonglah aku, please... aku butuh
penyegaran. Tapi aku janji, aku tak akan melalaikan tugasku lagi, oke?” Kenes
membuat perjanjian dengan Dewa.
“Kalau begitu besok
ajak aku hunting foto! Agar aku
percaya kamu tak lari dariku lagi dan membuktikan perasaanmu memang tak pernah
berubah untukku,”
Baru saja
“diperingatkan” Kenes untuk tak protektif, Dewa sudah cepat-cepat mengelaknya.
“Tentu. Asal kamu nggak
marah-marah lagi. Aku ada untukmu selagi keluargamu masih di Cina,”
“Ada untukku selamanya,
aku mohon!” Dewa memohon.
“Tergantung,” tungkas
Kenes.
“Tergantung apa?”
“Kamu harus
membuatkanku kue terenak dan terunik yang belum pernah ada, baru aku mau
menerimamu jadi kekasihku. Kamu kira dengan aku ketahuan menyukaimu lalu kamu
bisa lolos dari ujian menjadi pacarku? Tidak bisa,”
“Oke, aku terima
tantanganmu!” Dewa mantab dan sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas.
“Nah, gitu dong, senyum
lagi, semangat lagi. Pelangganmu nggak sabar nunggu kue buatanmu lagi. Mereka
sering mengeluh kuenya itu-itu saja,”
Kenes berdiri dan
mengusap-usap bahu Dewa sebagai tanda kasih sayang, penenangan sekaligus
penguatan.
Langit sudah semakin senja berwarna
keoranye-oranyean. Matahari siap menyembunyikan diri di belahan bumi lainnya
sementara rembulan dan bintang siap menemani kisah asmara Kenes dan Dewa yang
tertunda selama ini. Sementara itu Parjo berteriak dari arah ruang tamu, “Mas
Dewa, bapak, ibu sama mbak Ken, Mas!” Suara Parjo nampak panik.
Parjo sampai di teras
belakang rumah sambil menunjukkan raut wajah tegang dan cemas, nafasnya tak
beraturan. “Bapak sama ibu sama mbak Kenia, Mas, di berita...”
Dewa dan Kenes menatap
tak mengerti. “Di Cina, Guangjo Guangjo sana, bapak, ibu dan mbak Kenes di
sana, kan? Itu... apa... badai salju! Parah! Porak poranda, Mas! Sudah empat
hari, Mas!”
DEG! Seketika Dewa dan
Kenes membelalak. Kenapa beritanya baru hari ini ada di TV? Oh, atau dia lupa
bahwa dirinya, juga Kenia dan seisi rumah Dewa tak pernah memantau berita dari
media apapun beberapa hari terakhir karena sibuk mengurus dirinya dan semua
kesibukan di rumah itu, kebun sayur, toko kue?
Lalu keluarga Dewa,
jadi korban kah? Lalu kenyataan mereka tak tahu bahwa dirinya lumpuh? Sial!
Dewa tak mengatakannya sejak awal demi tak ingin merusak kebahagiaan adiknya.
Tapi faktanya sudah begini. Kepedihannya juga belum usai, ditambah kepanikan
akibat berita musibah yang lebih dahsyat lagi yang bisa jadi telah mengancam
keselamatan orang-orang tercintanya. Dewa memegangi kepalanya yang mendadak
berat sementara tangannya yang lain memegang tangan Kenes erat.
“Aku akan segera
mencari tahu, Wa. Kamu tenang dulu, ya? Percayakan padaku! Aku bukan sebatas
pengasuh atau pembantumu, aku ada untukmu selama kamu mau,” Kenes memberi usul
dan bergegas mencari tahu kepastian kondisi Kenia dan kedua orangtua Kenia dan
Dewa.
***
thanks to editor:
Hmm...ending nya agak absurd yaa, happy ending sekaligus bad ending, hehehe.. Masih to be continu ya?
BalasHapusSebenernya idenya bagus, hanya agak aneh aja anak laki2 nya kecelakaan sampe lumpuh tapi tetep di tinggal ke Cina gak ada yg peduli. Kalo emang acara nikahnya gak bisa di tunda, yah minimal ada 1 ortunya yg tinggal. Si mertua pasti bisa ngerti alesanya...
Trus, emm...aq gak tau... rasanya bahasanya titin terlalu baku. Mungkin itu emang karakter gaya bahasnya titin, tapi aq bacanya jadi gak bisa ngalir ke cerita.. jadi kaku..
Tapi mungkin itu cuma masalah selera gaya bahasa aja ^_^ Tetep semangat nulis, CHAYO!
Oh iya, 1 lagi.. maksutnya judul "teman sang dewa" apa ya?
BalasHapus