Juli di Bulan Juni
Juli menyelipkan memo ‘selamat pagi’ di
loker enam, milik gebetannya enam bulan terakhir ini. Dia Kelana, ketua BEM
fakultasnya. Namun, Juli sadar bahwa dia nggak
cukup ‘bagus’ bila menjadi kekasih Lana, panggilan akrab Kelana. Alhasil, Juli
hanya bisa jadi secret admirer, yang selalu eksis sliwar-sliwer di
depan Lana tapi Lana nggak pernah
menyadarinya.
Juli mengendap-endap meninggalkan loker Lana. Ia bergegas menuju mabes BEM
fakultasnya untuk beralibi menutupi dari semua orang khususnya Lana bahwa ia
memuja Lana.
Juli asyik dengan laptop jadulnya untuk mempersiapkan presentasi mata
kuliah nanti siang. Ruang BEM masih sepi. Kemudian datanglah Lana dengan
gayanya yang menawan walaupun nggak
semenawan Edward Cullen.
“Juli, sendirian?,” sapa Lana tersenyum ramah. Spontan Juli tiba-tiba
deg-degan. Juli pun mulai mengatur nafas supaya groginya nggak kentara.
“Eh, iya, Mas! Kebetulan ada janji sama temen ngerjain tugas
Psikodiagnostik I. Mas sendiri selalu dateng pagi-pagi,” balas Juli.
“Males lama-lama di kos-kosan. Gue cabut sarapan dulu, ya? Mau ikut?” tawar
Lana sambil menaruh tasnya di bangku di sebuah sudut ruang BEM
“Thanks. Sudah kenyang,” sahut Juli tersenyum manis menyadarkan
Lana bahwa gadis ini punya senyum maut.
Setelah Lana pergi, Juli benafas lega.
***
“Sampai kapan elo begini terus? Gue heran
sama elo bertahan dengan cinta yang nggak
pasti,” tanya Mila, sahabat Juli.
“Kayak lagunya Agnes Monica, Ini memang gila…tapi inilah cinta…Tak
ada logika…Tapi inilah cinta. Hahaha…,” kata Juli ketawa ngakak. Mila
justru melempar muka Juli dengan kulit kacang. Juli cuma nyengir kuda.
“Gue heran kenapa ada orang yang rajin ngasih memo di loker gue setiap
hari,” kata seorang cowok yang tak sengaja terdengar oleh Juli.
“Penasaran nggak lo?” tanya cowok
yang satunya.
“Ya,iyalah. Takut aja soalnya sekarang banyak hombreng alias homo yang
berkeliaran,” sahut cowok pertama.
“Emangnya elo nglakuin research lapangan apa?” tanya cowok
kedua.
“Ya, enggak.
Tapi siapa tahu aja. Banci kaleng aja nafsu sama gue waktu gue ikut penelitian
PSK sama mas Gilang,” terang cowok pertama.
“Elo ada-ada aja,” sahut cowok kedua.
“Kayaknya orang deket, deh!” komentar cowok pertama.
Juli langsung yakin bahwa cowok yang ngobrol di belakangnya adalah Lana.
Juli langsung memalingkan wajah memastikannya.
Mampus gue!
Mila menyadari perubahan ekspresi wajah
sahabatnya dan langsung menanyakannya apa yang terjadi pada Juli. Namun, Juli
malah menyeret Mila pergi. Sialnya, Juli menyenggol bangku tempat Lana berada
sehingga es yang ada di depan Lana menumpahi kemeja Lana.
“Maaf, maaf, Mas!” ucap Juli gugup setengah mati.
“Iya, nggak apa,” sahut Lana dan
Juli langsung ngibrit begitu saja.
Setelah sampai di tempat yang dirasanya aman, Juli langsung buka mulut.
“Elo tahu nggak sih, tadi mas
Lana penasaran sama memo-memo yang gue taruh di lokernya,” terang Juli. Mila
malah tertawa.
“Jelas itu. Elo kan, setiap hari dalam enam bulan naruh memo di lokernya.
Kalau sampai terungkap, itu resiko. Untung dia nggak nyewa detektif buat melacak keberadaan elo,” kata Mila.
“Mending itu mah, kalau dia sendiri??!,” tungkas Juli. Mila mengangkat
kedua bahunya.
“Semoga elo nggak patah hati.,”
tambah Mila. Tapi, Juli merasa tersentak dengan kata Mila barusan.
Saat Juli menanyakan apa maksud Mila, Mila malah mengalihkan topik
pembicaraan.
***
Juli jengah beberapa minggu terakhir.
Tugas yang seabrek hingga membuatnya begadang setiap hari dan efek sampingnya
terlihat jelas saat kuliah. Juli sering ketiduran saat kuliah, selalu telat datang
rapat BEM, wajahnya juga selalu kusut bak pakaian yang nggak pernah disetrika. Masalah bertambah saat orang tuanya sering
cek-cok akhir-akhir ini. Persahabatannya dengan Mila merenggang cuma karena
Lana. Kinerjanya menurun sehingga dia menuai protes dari Lana, sang ketua BEM
yang disiplin dan terkesan otoriter, kalau ‘taring’nya sudah keluar.
“Kamu masih pengen di BEM, kan??!! Yang
becus dong, kerjanya!!” sentak Lana.
Usai rapat BEM, Juli pulang mengendarai
mobil ‘kodok’ warisan almarhum kakeknya.
“Nggak
nyangka mas Lana sekasar gitu ngata-ngatain gue di depan banyak orang. Ah, tapi
itu salah gue juga, nggak
profesional. Tapi, gimana lagi, badan gue akhir-akhir ini emang payah. Kenapa
Tuhan hidupku jadi berantakan begini?” keluh Juli.
Begitu banyak persoalan yang dihadapi Juli
saat ini, tapi Juli nggak pernah
nuntut orang memahaminya. Justru dia yang selalu berusaha memahami orang lain.
Prinsipnya, asal orang lain bahagia walau dia yang harus menderita. Juli hanya
butuh tempat berbagi. Juli nggak
peduli apakah orang itu ‘memproses’ lebih lanjut curhatannya atau tidak.
Saat berhenti di traffic light,
Juli dikagetkan dengan ‘pemandangan’ yang benar-benar membuat hatinya hancur.
“Mas Lana??!! Mila??!!” ucap Juli.
Seketika Juli menancap gas tanpa memedulikan bahwa lampu merah masih menyala.
Dan terjadilah “Cccciiiiiiiitttttttt…..BRRAAKKK…….!!!!”.
***
Kondisi Juli kritis dan koma selama dua
hari. Saat Juli sadar, senyum bahagia merekah di bibir semua yang
mengkhawatirkan Juli.
“Ma, Juli dimana?” tanya Juli lemah.
“Di rumah sakit, Sayang? Kamu kecelakaan.
Tapi, sudah nggak apa kok, kata
dokter,” jawab mama Juli.
Juli mengamati satu persatu orang yang ada
di sekelilingnya. Saat pandangannya jatuh pada Mila dan Lana, air mata mengalir
di pipinya.
“Juli, maafin gue yang selalu menghindar
dari elo. Tapi, gue nggak bermaksud
jahat. Cepet sembuh, ya?” kata Mila penuh penyesalan sambil menggenggam tangan
Juli.
“Kalian jadian nggak bilang-bilang,” kata Juli merasa miris mengetahui kenyataan
bahwa Mila dan Lana memiliki hubungan istimewa.
“Ini nggak seperti yang elo pikirkan,” kata Mila.
“Gue ikhlas kok, Mil! Nitip mas Lana, ya?”
sahut Juli.
“Mas Lana, sebenernya yang naruh memo itu
aku. Maaf, ya?” tambah Juli.
“Nggak
apa kok, Juli,” sahut Lana yang nggak
sanggup berkata apa-apa.
Juli merasa nggak bisa bertahan lagi. Dia pun meminta maaf pada semuanya
terutama mamanya. Juli pun titip salam sayang untuk papanya yang nggak datang dua hari ini untuk menjaga
Juli yang sekarat. Dan nafas terakhir pun terhembus dari hidung Juli. Jerit tangis
memecah keheningan ruang ICU seketika. Dan datanglah papa Juli bersama suami
Juli, seorang dokter muda lulusan universitas luar negeri.
Inilah kisah Juli di bulan Juni, bulan
keenam pada setiap tahun. Di saat cintanya pada Lana terbalas, Mila mulai jujur
ingin menyatukan Juli dan Lana, suami kawin gantung Juli yang tak pernah
diketahuinya datang, Juli harus pergi selama-lamanya. Padahal enam jam lagi
tanggal 1 Juli, ia berusia 21 tahun. Manusia tak pernah tahu apa yang terjadi
sedetik ke depan tapi manusia wajib berusaha agar tak ada kata terlambat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)