sumber |
Jaranan,
jaranan, jarané jaran Tèji ... Sing numpak Mas Ngabèhi, sing
ngiring para abdi ... Jrèk jrèk nong, Jrèk jrèk gung, Jrèk è
jrèk turut lurung ... Gedebuk krincing (2x) ... Thok thok ...
Gedebuk jedhèr
Angguk-angguk.
Geleng-geleng. Tak sadar kepalaku bergerak kecil mengikuti alunan
lagu jaranan ini. Tentu sajalah, sudah tiga belas tahun aku tak
menonton kesenian tari jaranan—disebut juga kuda lumping! Tidak
peduli matahari sedang terik menebar panasnya, toh, di atasku ada
juluran ranting-ranting kokoh beringin tua kompleks punden desaku
ini. Pun aku dan ratusan penonton kesenian ini, tidak merasakan
sedikit saja aura mistis. Padahal asal kalian tahu, di sebelah utara
persis punden, ada permakaman leluhur pembabat alas desa kami. Dan
alasan kami semua berkumpul di sini, menonton pertunjukan jaranan
dalam rangka memperingati acara tahunan bersih desa pada bulan Suro1
begini.
Tapi ... satu saja
yang membuatku (cukup) sumpek.
“Kamu yakin
kesenian ini asli dari Kediri?” tanya si Raksasa Botak—badannya
menjulang mencolok di antara seluruh penonton yang hadir, ditambah
kepala plontos kinclong—setengah berteriak. Bicaranya cukup lancar
tapi masih berlogat daerah asalnya.
Mulutku mencibir.
Kalau saja bukan bule ganteng, tak kupedulikan dia. Namanya Max, asli
Australia, dan berumur 27 tahun. Lebih tua dua tahun dariku. Dia
adalah tutor kursus bahasa Inggris di Kampung Inggris Pare. Dia
indekos di rumahku, bersama dengan para karyawan laki-laki dari
pabrik kayu yang tak jauh dari rumahku. Gayanya kasual, terkesan
cuek. Tapi setelah kalian mengenalnya, ngocol
sekali. Tapi, justru itu masalahnya! Dari dulu aku risih dengan
lelaki selengean—tak peduli lengannya yang berotot menonjol itu,
mengundang rasa ingin gelendotan.
“Iya. Walau banyak
daerah seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, bahkan sampai Jawa
Tengah, punya kesenian serupa. Dan meskipun lagu yang kamu dengar ini
penciptanya orang Jawa Tengah, Ki Hadi Sukatno, seniman yang gemar
menciptakan lagu dan cerita daerah khusus anak-anak,” balasku.
“Coba ceritakan
padaku lebih banyak tentang jaranan!” pintanya saat kami berimpitan
dengan penonton lain, dari mulai bocah sampai mbah-mbah.
Kulipat kedua tangan
di depan dada. Kukumpulkan tenaga untuk bersuara lebih keras, beradu
dengan dentuman gamelan yang ada. Suara-suara itu, plus suara sinden
menyanyikan langsung lagu jaranan tadi, mengiringi tarian empat
lelaki yang bertelanjang dada, bercelana hitam sepanjang lutut yang
dililit batik, kepala diikat batik berwarna dasar hitam, dan wajah
dirias sedemikian rupa. Di antara kaki mereka sudah ada replika kuda
dari anyaman bambu yang dihias apik. Salah satu tangan mereka
memegangi replika kuda itu, sedangkan yang satunya memegang pecut.
Dientakkan pecut itu ke tanah, terdengar nyaring, melengking, secara
singkat namun berulang kali. Tak lupa diiringi gerincing gelang kaki.
“Kesenian ini
konon untuk memperingati perpindahan Dewi Sekartaji ke
Wengker—katanya sekarang namanya Ponorogo—setelah menikah. Eh,
yang kuceritakan ini seingatku dari salah satu versi yang pernah
disampaikan mendiang kakekku, ya? Nah, Dewi Sekartaji itu putri
kerajaan Kediri. Cantik bukan main. Sayangnya, tidak mau menikah,
malah berniat menjadi pertapa. Tapi, ayahnya, Raja Airlangga,
memaksanya menikah,” paparku masih fase permulaan.
Max manggut-manggut
sambil menunduk, membuat wajah kami berdekatan. Mau tak mau aku
deg-degan. Kudorong pelan wajahnya kembali naik sambil memelototinya.
Eh, dia malah menyengir. Sejurus itu, ada ibu-ibu yang menyerebot
kami. Max sigap menangkap tubuhku yang terhuyung. Duh, merinding bulu
romaku!
Untuk menghilangkan
rasa canggung, kulanjutkan legenda dari kesenian jaranan ini.
Sedangkan Max mengaktifkan ponsel canggih layar lebarnya untuk
memfoto-foto. Kupingnya masih terpasang mendengarkan aku, sepertinya.
“Banyak yang
melamar Dewi Sekartaji, dari yang namanya Klono
Sewandono
dari
Wengker, Toh Bagus utusan Singo Barong dari Blitar, dan
beberapa yang lain, aku lupa siapa saja. Oleh karena itu, Dewi
Sekartaji membuat sayembara untuk menciptakan kesenian yang belum
pernah ada di Pulau Jawa. Nah, di sisi lain, tidak disangka para
pelamar itu bertemu di tengah perjalanan. Berperanglah mereka satu
sama lain. Pemenangnya si Klono Sewandono,” jelasku.
“Singkat cerita,
Klono Sewandono meminta Singo Barong mengiringi pernikahannya dengan
Dewi Sekartaji ke Wengker melewati bawah tanah dan diiringi musik
dari bambu dan besi. Bambu itu kini ‘bertransformasi’ menjadi
jaranan dan terompet, sedangkan besi menjadi kenong—alat musik
kecil warna emas yang punya tonjolan di tengah itu.” Disusul
tanganku menunjuk-nunjuk ke arah pemain kenong dari kejauhan.
Saat asyik-asyiknya
bercerita, kudengar Max tertawa terpingkal-pingkal. Lantas,
menyodorkan ponselnya padaku. “See,
ditulis di sini, nama lain Dewi Sekartaji adalah Dewi Songgo Langit
atau Galuh Candra Kirana. Your
name is Galuh
Candra Kirana. Kamu menyamakan dirimu dengan seorang putri? Buahaha
... buahaha ....” Tawanya meledak menyedot banyak perhatian. Kurang
ajar juga bule ini diam-diam mencari tahu sendiri. Kenapa menyuruhku
capai-capai cerita?!
“Itu nama
pemberian mendiang kakekku. Jangan menghinanya, Max!” sergahku
sambil berkacak pinggang.
Max pun mengatupkan
mulutnya, juga mengucap maaf. Namun, maaf saja tak cukup. Kepala
mengilapnya terkena buah busuk dari beringin yang menaungi kami.
Langsung membercak merah.
Giliranku
terbahak-bahak. “Karma, Sir!
Untung bukan tahi burung.”
“No problem,”
tukasnya tersenyum genit. Betulan sinting orang ini. Dimarahi tambah
membanyol. Huft! Tapi melihatnya membersihkan kepala dengan tangan
telanjang, aku risih. Kuberikan tisu yang ada di saku celana jinsku.
Sejurus itu, kami
kembali fokus ke pertunjukkan di depan kami. Oh, ternyata para penari
tadi sudah masuk fase puncak jaranan. Mereka kesurupan! Ada yang
meloncat ke sana-sini. Ada yang mendelik meraung-raung menghampiri
para penonton di segala sisi—kami semua membentuk lingkaran besar
selama pertunjukan berlangsung sambil berdiri, tapi ada pula yang
duduk di tanah beralaskan sandal sendiri atau koran. Yang mengerikan
itu, penari kesurupan yang memakan silet, beling2,
dan bunga, secara bergantian. Ajaibnya, penari itu tidak terluka sama
sekali.
“Wow, apa itu
seenak daging ayam?” komentar Max sedikit berjingkat.
Kurasakan getaran
aneh dalam mulutku, sambil melipat-lipat mukaku ini. Walaupun ngeri,
aku tetap menikmati. Tapi saat asyik melihat atraksi itu, penari lain
tiba-tiba menarikku sampai terjerembap di tanah. Namun, penari dengan
tatapan nyalang itu, terus melesak di antara kerumunan penonton.
“Wooo,
dikandani ojo suit-suit!”3
seru banyak orang pada seorang pemuda berumur sekitar belasan tahun,
yang diseret oleh penari yang ‘membantingku’ tadi. Padahal sempat
kulihat, semula pemuda itu berlari.
Konon yang kudengar,
selama pertunjukan jaranan ada larangan orang bersiul. Penari yang
kesurupan akan merasa kupingnya panas sehingga menghampiri orang yang
bersiul, sekadar memberitahu supaya tidak begitu lagi. Tapi jika
pesiul itu lari, penari kesurupan itu akan mencarinya sampai dapat,
bisa jadi memukulnya dengan kuda-kudaan yang ditungganginya.
Max menghampiriku.
“Kamu tidak apa-apa? Ayo, kubantu berdiri!”
Tapi belum sempat
kujawab, tubuhku sudah membubung.
“Turunkan aku!
Malu, tahu! Wah, kamu harus kursus bahasa Indonesia supaya bisa
membedakan ‘membantu berdiri’ dan ‘menggendong’!” cecarku.
“Kamu lambat
sekali, sih. Tapi, bukan masalah kalau kamu yang mengajariku. Kamu
kan, guru bahasa Indonesia,” timpalnya mengedipkan sebelah mata.
Jail sekali orang ini!
**
Max membawaku ke
rumah warga yang ada tepat di depan lokasi punden. Kebetulan, jalanan
di sekitar punden ini tidak seramai jalan raya. Jalanannya masih
belum teraspal mulus. Selain itu, punden ini dikelilingi perkampungan
padat penduduk. Sehingga jarak dari punden ke rumah itu hanya sekitar
lima belas langkah menyeberang.
Sesampainya di rumah
gedong sederhana itu, pemiliknya mempersilakan kami masuk ke ruang
tamu. Di sana, Max mengobati sikuku yang sedikit berdarah. Kami tak
lupa berterima kasih pada ibu-ibu separuh baya pemilik rumah yang
telah menyediakan air putih dan obat P3K. Selain itu, beliau
menyarankan supaya kami beristirahat dulu di rumahnya.
“Baru kali ini aku
melihat kesenian anarkis seperti tadi,” cetus Max saat kami duduk
menghadap ke area punden, dari balik kaca jendela gelap rumah ini.
Sambil membenahi
kuciran kuda rambut hitamku, kutimpali Max. “Bukan anarkis, Max.
Memang budaya satu ini, sarat nuansa mistis dan sakral. Kakekku
bilang, jaranan itu selain dari kata dasar ‘jaran’ yang artinya
kuda—representasi kuda asli untuk mengiringi perpindahan Dewi
Sekartaji tadi—juga bisa bermakna ‘belajaro
sing tenanan’
atau belajarlah yang sungguh-sungguh. Maka tidak heran, orang-orang
yang mengadakan kesenian jaranan sebagian ada yang merupakan nazar
mereka. Misal, kamu ingin jadi master dalam bidang bahasa tapi tidak
lulus-lulus. Nah, kamu berjanji jika lulus, kamu akan menggelar
jaranan.”
Kulihat mulut lelaki
itu membentuk huruf O.
“Jaranan juga bisa
diselenggarakan untuk acara khitanan—kamu tahu kan, khitan?”
tanyaku memastikan, seraya kumajukan tubuhku mengimbanginya, yang
duduk dengan menumpukan kedua sikunya di atas paha yang terlapisi
celana kargo pendek berwarna krem.
Dia mengangguk
cepat.
“Bisa juga untuk
pesta pernikahan atau acara bersih desa begini. Macam-macamlah. Tapi
memang semakin ke sini, pertunjukan jaranan tidak banyak digelar.
Soalnya, tergeser dengan budaya luar. Ini problem tersendiri bagi
peguyuban mereka. Sehingga kelompok-kelompok kesenian jaranan yang
ada, harus mengolah otak supaya bisa bersaing dengan budaya bule.”
Mataku menyipit sinis padanya saat mengatakan ‘budaya bule’.
Max terkekeh. Aih,
mengapa tawanya renyah dan indah, ya? Kugelengkan kepalaku
cepat-cepat sambil lanjut mengoceh. “Mungkin memang ada jaranan
yang sudah diiringi musik campursari atau dangdut masa kini, pun
tariannya lebih kreatif. Tapi ruh asli kesenian jaranan kalau sudah
begitu, jadi berkurang.” Sambil perlahan kusandarkan kembali
tubuhku ke sandaran kursi.
Max menawariku
minum. Mungkin dia tahu tenggorokanku kembali kering
‘mendongenginya’. Untuk pertama kali, kurasakan tatapannya
meneduhkan sekali. Tak kunafikan ketampanannya. Lagi pula, selama
tiga bulan tinggal di lingkungan yang sama, dia selalu bersikap baik.
Dan yang kudengar dari ibuku, dia sudah lima tahun tinggal di
Indonesia. Katanya, cinta mati pada Indonesia semenjak duduk di
bangku SMA, pasca berlibur bersama saudaranya ke Bali. Tahun pertama
‘terdampar’ di Bali, akhirnya dia melanglang buana kembali. Tiba
di Kediri, tepatnya Pare—lima belas menit berkendaraan motor dari
desaku—saat Kampung Inggris menggaungkan namanya seperti sekarang.
Oh, iya, kuberi
tahu. Aku punya sebutan untuknya selain Raksasa Botak, yaitu ‘Si
Gundul Pencinta Si Berduri’. Ceritanya begini pada suatu malam.
“Saya suka
atmosfer Pare dan sekitarnya, Bu. Tapi, saya lebih cinta Desa
Gadungan ini—walau bukan bagian Kecamatan Pare—karena duriannya
yang sangat enak sekali!” serunya pada ibuku.
Hem ... kupikir
waktu itu dia sedang menyogok ibuku memberikan durian gratis dari
hasil musim panen kebun kami. Tapi lucu sekali, sih. Yang kutahu dari
film ‘Eat, Pray, Love’, tokoh Felipe (Javier Bardem)—lawan main
Liz Gilbert (Julia Roberts)—mengatakan durian itu, “... that
taste like dirty feet.”
Sehingga kusimpulkan, bule tidak suka durian. Mungkin komentar Ibu
benar kala itu, “Kamu tidak boleh gebyah
uyah4
menilai orang, Nduk.”
Baiklah, terlepas
dari kegenitannya itu, Max berhati baik, tahu caranya bersopan santun
sesuai kebudayan kami, dan punya semangat untuk berbagi ilmu. Hem ...
lelaki idaman! Duh, Gusti ... otakku senewen, nih!
“Kirana, itu
kenapa?” Max menunjuk guratan sepanjang lima sentimeter bekas
jahitan di punggung tangan kananku. Tanganku baru saja kugunakan
untuk menopang dagu merenungkan sosok lelaki di sampingku ini.
“Oh, ini.”
Lantas, kuceritakan sejarah luka itu.
Tiga belas tahun
lalu, aku berhasil masuk SMP favorit. Untuk bisa masuk SMP favorit di
seluruh Kabupaten Kediri, aku harus melalui ujian kelulusan SD yang
‘tidak mudah’. Aku sakit Typus
akibat kuforsir tenaga untuk belajar. Sehingga aku sendiri bertekad,
jika sembuh, lulus, dan masuk SMP favorit, kuminta bapakku yang waktu
itu menjabat kepala desa, untuk menggelar jaranan besar-besaran di
seluruh penjuru desa ini. Sebab semenjak kakekku meninggal saat aku
kelas tiga SD, aku sudah tidak pernah melihat kesenian jaranan, yang
waktu itu masih cukup sering diadakan di banyak acara, bukan hanya
bersih desa.
Pertunjukan itu
terlaksana dengan meriah. Saat para penari mulai menari dan
kesurupan, aku mendekat. Ibu sudah melarangku, tapi aku nekat. Terus,
aku tidak tahu bagaimana kronologis pastinya, ada penari yang membabi
buta menyerudukku dan meninggalkan sayatan di tanganku.
“Lukanya cukup
dalam. Jahitannya juga membekas sampai sekarang,” tuturku pada Max
yang tampak saksama memperhatikan.
Max tiba-tiba
mengusap lembut bekas luka itu. Kontan saja, aku tidak bisa
membedakan antara bunyi tabuhan gendang di punden sana dengan degupan
jantungku sendiri. Namun, detik berikutnya segera dia lepaskan. Dia
kembali menatap ke luar rumah.
“I think
someday I will held
jaranan.” Max mencetus.
Kedua alisku
terangkat. “Untuk?”
“Celebrate
wedding party.”
Justru sekarang
mataku melotot mau copot.
Lantas, mata biru
Max memandangiku. “Kirana, kukira sudah waktunya aku mengatakan
yang sejujurnya. Maafkan semua keusilanku. Aku hanya ingin dekat
denganmu. Dan ...”
“Dan?” Mulutku
lekas menyela.
“Ummm... how
should I tell you?”
tukasnya terlihat malu-malu.
Tell me that you
love me. Aduh
... ingin kucabik-cabik sendiri otakku ini!
“Dan ... memintamu
membantuku menyatakan cinta pada Sukma.”
Hening. Mulutku
terbuka lebih lebar. Mataku mendelik. Kesadaranku seakan melayang
entah ke mana untuk sekian detik. Kemudian jatuh tersungkur di tanah
(alias tersadar) manakala tangan Max mengibas ringan di depan
wajahku.
“Sukma, ya?”
tanyaku pelan dan getir sekali. Max jatuh cinta pada sahabatku sejak
SMA, yang juga rekannya mengajar kursus Bahasa Inggris? Yang juga
merekomendasikan rumah indekos orangtuaku padanya? Astaga ... kenapa
tidak pernah kusadari ini?!
Max mengangguk
dengan mimik wajah penuh harap, laksana bocah yang menginginkan
mainan dari orangtuanya. Tapi dalam hati, kuumpat-umpat ekspresi itu
sebagai kekonyolan terbesar yang pernah kutemui. Lelaki seganteng dia
meminta bantuan mak comblang? Dicomblangin dengan sahabatku sendiri?
Menyedihkan sekali hidupku ini, ya?
“Akan kucoba,”
tukasku menyengir perih. Walau aku sempat muak pada sikap Max,
sekaligus mengaguminya diam-diam, tapi tak bisa kutahan hatinya yang
sudah memilih. Sukma yang cantik, anggun, dan cerdas. Representasi
kecantikan wanita Indonesia, walau hidup di kota kecil begini.
Lalu, aku? Aku hanya
bisa menjejali telingaku dengan bagian terakhir
(versi lain) lagu jaranan—tapi nadanya masih sama—yang kini riuh terdengar. Ternyata, hidupku belum semujur Dewi Sekartaji yang diminati banyak lelaki. Pedih.
(versi lain) lagu jaranan—tapi nadanya masih sama—yang kini riuh terdengar. Ternyata, hidupku belum semujur Dewi Sekartaji yang diminati banyak lelaki. Pedih.
Jaranan,
jaranan, jarané jaran koré ... Ora
ono kendaliné
... Jarané
mlayu déwé
... Jrèk jrèk nong, Jrèk jrèk gung, Jrèk è jrèk turut lurung
... Gedebuk krincing (2x) ... Thok thok ... Gedebuk jedhèr
1
Bulan pertama dalam kalender Jawa, yang juga sering dianggap bulan
keramat oleh masyarakat Jawa
2
Pecahan kaca, porselen, dan barang pecah belah lainnya
3
Wooo, dibilangin jangan bersiul!
4
Menyamaratakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)