Minggu, 13 September 2015

GEDEBUK

sumber
Jaranan, jaranan, jarané jaran Tèji ... Sing numpak Mas Ngabèhi, sing ngiring para abdi ... Jrèk jrèk nong, Jrèk jrèk gung, Jrèk è jrèk turut lurung ... Gedebuk krincing (2x) ... Thok thok ... Gedebuk jedhèr


Angguk-angguk. Geleng-geleng. Tak sadar kepalaku bergerak kecil mengikuti alunan lagu jaranan ini. Tentu sajalah, sudah tiga belas tahun aku tak menonton kesenian tari jaranan—disebut juga kuda lumping! Tidak peduli matahari sedang terik menebar panasnya, toh, di atasku ada juluran ranting-ranting kokoh beringin tua kompleks punden desaku ini. Pun aku dan ratusan penonton kesenian ini, tidak merasakan sedikit saja aura mistis. Padahal asal kalian tahu, di sebelah utara persis punden, ada permakaman leluhur pembabat alas desa kami. Dan alasan kami semua berkumpul di sini, menonton pertunjukan jaranan dalam rangka memperingati acara tahunan bersih desa pada bulan Suro1 begini.
Tapi ... satu saja yang membuatku (cukup) sumpek.
“Kamu yakin kesenian ini asli dari Kediri?” tanya si Raksasa Botak—badannya menjulang mencolok di antara seluruh penonton yang hadir, ditambah kepala plontos kinclong—setengah berteriak. Bicaranya cukup lancar tapi masih berlogat daerah asalnya.
Mulutku mencibir. Kalau saja bukan bule ganteng, tak kupedulikan dia. Namanya Max, asli Australia, dan berumur 27 tahun. Lebih tua dua tahun dariku. Dia adalah tutor kursus bahasa Inggris di Kampung Inggris Pare. Dia indekos di rumahku, bersama dengan para karyawan laki-laki dari pabrik kayu yang tak jauh dari rumahku. Gayanya kasual, terkesan cuek. Tapi setelah kalian mengenalnya, ngocol sekali. Tapi, justru itu masalahnya! Dari dulu aku risih dengan lelaki selengean—tak peduli lengannya yang berotot menonjol itu, mengundang rasa ingin gelendotan.
“Iya. Walau banyak daerah seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, bahkan sampai Jawa Tengah, punya kesenian serupa. Dan meskipun lagu yang kamu dengar ini penciptanya orang Jawa Tengah, Ki Hadi Sukatno, seniman yang gemar menciptakan lagu dan cerita daerah khusus anak-anak,” balasku.
“Coba ceritakan padaku lebih banyak tentang jaranan!” pintanya saat kami berimpitan dengan penonton lain, dari mulai bocah sampai mbah-mbah.
Kulipat kedua tangan di depan dada. Kukumpulkan tenaga untuk bersuara lebih keras, beradu dengan dentuman gamelan yang ada. Suara-suara itu, plus suara sinden menyanyikan langsung lagu jaranan tadi, mengiringi tarian empat lelaki yang bertelanjang dada, bercelana hitam sepanjang lutut yang dililit batik, kepala diikat batik berwarna dasar hitam, dan wajah dirias sedemikian rupa. Di antara kaki mereka sudah ada replika kuda dari anyaman bambu yang dihias apik. Salah satu tangan mereka memegangi replika kuda itu, sedangkan yang satunya memegang pecut. Dientakkan pecut itu ke tanah, terdengar nyaring, melengking, secara singkat namun berulang kali. Tak lupa diiringi gerincing gelang kaki.
“Kesenian ini konon untuk memperingati perpindahan Dewi Sekartaji ke Wengker—katanya sekarang namanya Ponorogo—setelah menikah. Eh, yang kuceritakan ini seingatku dari salah satu versi yang pernah disampaikan mendiang kakekku, ya? Nah, Dewi Sekartaji itu putri kerajaan Kediri. Cantik bukan main. Sayangnya, tidak mau menikah, malah berniat menjadi pertapa. Tapi, ayahnya, Raja Airlangga, memaksanya menikah,” paparku masih fase permulaan.
Max manggut-manggut sambil menunduk, membuat wajah kami berdekatan. Mau tak mau aku deg-degan. Kudorong pelan wajahnya kembali naik sambil memelototinya. Eh, dia malah menyengir. Sejurus itu, ada ibu-ibu yang menyerebot kami. Max sigap menangkap tubuhku yang terhuyung. Duh, merinding bulu romaku!
Untuk menghilangkan rasa canggung, kulanjutkan legenda dari kesenian jaranan ini. Sedangkan Max mengaktifkan ponsel canggih layar lebarnya untuk memfoto-foto. Kupingnya masih terpasang mendengarkan aku, sepertinya.
“Banyak yang melamar Dewi Sekartaji, dari yang namanya Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus utusan Singo Barong dari Blitar, dan beberapa yang lain, aku lupa siapa saja. Oleh karena itu, Dewi Sekartaji membuat sayembara untuk menciptakan kesenian yang belum pernah ada di Pulau Jawa. Nah, di sisi lain, tidak disangka para pelamar itu bertemu di tengah perjalanan. Berperanglah mereka satu sama lain. Pemenangnya si Klono Sewandono,” jelasku.
“Singkat cerita, Klono Sewandono meminta Singo Barong mengiringi pernikahannya dengan Dewi Sekartaji ke Wengker melewati bawah tanah dan diiringi musik dari bambu dan besi. Bambu itu kini ‘bertransformasi’ menjadi jaranan dan terompet, sedangkan besi menjadi kenong—alat musik kecil warna emas yang punya tonjolan di tengah itu.” Disusul tanganku menunjuk-nunjuk ke arah pemain kenong dari kejauhan.
Saat asyik-asyiknya bercerita, kudengar Max tertawa terpingkal-pingkal. Lantas, menyodorkan ponselnya padaku. “See, ditulis di sini, nama lain Dewi Sekartaji adalah Dewi Songgo Langit atau Galuh Candra Kirana. Your name is Galuh Candra Kirana. Kamu menyamakan dirimu dengan seorang putri? Buahaha ... buahaha ....” Tawanya meledak menyedot banyak perhatian. Kurang ajar juga bule ini diam-diam mencari tahu sendiri. Kenapa menyuruhku capai-capai cerita?!
“Itu nama pemberian mendiang kakekku. Jangan menghinanya, Max!” sergahku sambil berkacak pinggang.
Max pun mengatupkan mulutnya, juga mengucap maaf. Namun, maaf saja tak cukup. Kepala mengilapnya terkena buah busuk dari beringin yang menaungi kami. Langsung membercak merah.
Giliranku terbahak-bahak. “Karma, Sir! Untung bukan tahi burung.”
No problem,” tukasnya tersenyum genit. Betulan sinting orang ini. Dimarahi tambah membanyol. Huft! Tapi melihatnya membersihkan kepala dengan tangan telanjang, aku risih. Kuberikan tisu yang ada di saku celana jinsku.
Sejurus itu, kami kembali fokus ke pertunjukkan di depan kami. Oh, ternyata para penari tadi sudah masuk fase puncak jaranan. Mereka kesurupan! Ada yang meloncat ke sana-sini. Ada yang mendelik meraung-raung menghampiri para penonton di segala sisi—kami semua membentuk lingkaran besar selama pertunjukan berlangsung sambil berdiri, tapi ada pula yang duduk di tanah beralaskan sandal sendiri atau koran. Yang mengerikan itu, penari kesurupan yang memakan silet, beling2, dan bunga, secara bergantian. Ajaibnya, penari itu tidak terluka sama sekali.
“Wow, apa itu seenak daging ayam?” komentar Max sedikit berjingkat.
Kurasakan getaran aneh dalam mulutku, sambil melipat-lipat mukaku ini. Walaupun ngeri, aku tetap menikmati. Tapi saat asyik melihat atraksi itu, penari lain tiba-tiba menarikku sampai terjerembap di tanah. Namun, penari dengan tatapan nyalang itu, terus melesak di antara kerumunan penonton.
Wooo, dikandani ojo suit-suit!”3 seru banyak orang pada seorang pemuda berumur sekitar belasan tahun, yang diseret oleh penari yang ‘membantingku’ tadi. Padahal sempat kulihat, semula pemuda itu berlari.
Konon yang kudengar, selama pertunjukan jaranan ada larangan orang bersiul. Penari yang kesurupan akan merasa kupingnya panas sehingga menghampiri orang yang bersiul, sekadar memberitahu supaya tidak begitu lagi. Tapi jika pesiul itu lari, penari kesurupan itu akan mencarinya sampai dapat, bisa jadi memukulnya dengan kuda-kudaan yang ditungganginya.
Max menghampiriku. “Kamu tidak apa-apa? Ayo, kubantu berdiri!”
Tapi belum sempat kujawab, tubuhku sudah membubung.
“Turunkan aku! Malu, tahu! Wah, kamu harus kursus bahasa Indonesia supaya bisa membedakan ‘membantu berdiri’ dan ‘menggendong’!” cecarku.
“Kamu lambat sekali, sih. Tapi, bukan masalah kalau kamu yang mengajariku. Kamu kan, guru bahasa Indonesia,” timpalnya mengedipkan sebelah mata. Jail sekali orang ini!
**
Max membawaku ke rumah warga yang ada tepat di depan lokasi punden. Kebetulan, jalanan di sekitar punden ini tidak seramai jalan raya. Jalanannya masih belum teraspal mulus. Selain itu, punden ini dikelilingi perkampungan padat penduduk. Sehingga jarak dari punden ke rumah itu hanya sekitar lima belas langkah menyeberang.
Sesampainya di rumah gedong sederhana itu, pemiliknya mempersilakan kami masuk ke ruang tamu. Di sana, Max mengobati sikuku yang sedikit berdarah. Kami tak lupa berterima kasih pada ibu-ibu separuh baya pemilik rumah yang telah menyediakan air putih dan obat P3K. Selain itu, beliau menyarankan supaya kami beristirahat dulu di rumahnya.
“Baru kali ini aku melihat kesenian anarkis seperti tadi,” cetus Max saat kami duduk menghadap ke area punden, dari balik kaca jendela gelap rumah ini.
Sambil membenahi kuciran kuda rambut hitamku, kutimpali Max. “Bukan anarkis, Max. Memang budaya satu ini, sarat nuansa mistis dan sakral. Kakekku bilang, jaranan itu selain dari kata dasar ‘jaran’ yang artinya kuda—representasi kuda asli untuk mengiringi perpindahan Dewi Sekartaji tadi—juga bisa bermakna ‘belajaro sing tenanan’ atau belajarlah yang sungguh-sungguh. Maka tidak heran, orang-orang yang mengadakan kesenian jaranan sebagian ada yang merupakan nazar mereka. Misal, kamu ingin jadi master dalam bidang bahasa tapi tidak lulus-lulus. Nah, kamu berjanji jika lulus, kamu akan menggelar jaranan.”
Kulihat mulut lelaki itu membentuk huruf O.
“Jaranan juga bisa diselenggarakan untuk acara khitanan—kamu tahu kan, khitan?” tanyaku memastikan, seraya kumajukan tubuhku mengimbanginya, yang duduk dengan menumpukan kedua sikunya di atas paha yang terlapisi celana kargo pendek berwarna krem.
Dia mengangguk cepat.
“Bisa juga untuk pesta pernikahan atau acara bersih desa begini. Macam-macamlah. Tapi memang semakin ke sini, pertunjukan jaranan tidak banyak digelar. Soalnya, tergeser dengan budaya luar. Ini problem tersendiri bagi peguyuban mereka. Sehingga kelompok-kelompok kesenian jaranan yang ada, harus mengolah otak supaya bisa bersaing dengan budaya bule.” Mataku menyipit sinis padanya saat mengatakan ‘budaya bule’.
Max terkekeh. Aih, mengapa tawanya renyah dan indah, ya? Kugelengkan kepalaku cepat-cepat sambil lanjut mengoceh. “Mungkin memang ada jaranan yang sudah diiringi musik campursari atau dangdut masa kini, pun tariannya lebih kreatif. Tapi ruh asli kesenian jaranan kalau sudah begitu, jadi berkurang.” Sambil perlahan kusandarkan kembali tubuhku ke sandaran kursi.
Max menawariku minum. Mungkin dia tahu tenggorokanku kembali kering ‘mendongenginya’. Untuk pertama kali, kurasakan tatapannya meneduhkan sekali. Tak kunafikan ketampanannya. Lagi pula, selama tiga bulan tinggal di lingkungan yang sama, dia selalu bersikap baik. Dan yang kudengar dari ibuku, dia sudah lima tahun tinggal di Indonesia. Katanya, cinta mati pada Indonesia semenjak duduk di bangku SMA, pasca berlibur bersama saudaranya ke Bali. Tahun pertama ‘terdampar’ di Bali, akhirnya dia melanglang buana kembali. Tiba di Kediri, tepatnya Pare—lima belas menit berkendaraan motor dari desaku—saat Kampung Inggris menggaungkan namanya seperti sekarang.
Oh, iya, kuberi tahu. Aku punya sebutan untuknya selain Raksasa Botak, yaitu ‘Si Gundul Pencinta Si Berduri’. Ceritanya begini pada suatu malam.
“Saya suka atmosfer Pare dan sekitarnya, Bu. Tapi, saya lebih cinta Desa Gadungan ini—walau bukan bagian Kecamatan Pare—karena duriannya yang sangat enak sekali!” serunya pada ibuku.
Hem ... kupikir waktu itu dia sedang menyogok ibuku memberikan durian gratis dari hasil musim panen kebun kami. Tapi lucu sekali, sih. Yang kutahu dari film ‘Eat, Pray, Love’, tokoh Felipe (Javier Bardem)—lawan main Liz Gilbert (Julia Roberts)—mengatakan durian itu, “... that taste like dirty feet.” Sehingga kusimpulkan, bule tidak suka durian. Mungkin komentar Ibu benar kala itu, “Kamu tidak boleh gebyah uyah4 menilai orang, Nduk.
Baiklah, terlepas dari kegenitannya itu, Max berhati baik, tahu caranya bersopan santun sesuai kebudayan kami, dan punya semangat untuk berbagi ilmu. Hem ... lelaki idaman! Duh, Gusti ... otakku senewen, nih!
“Kirana, itu kenapa?” Max menunjuk guratan sepanjang lima sentimeter bekas jahitan di punggung tangan kananku. Tanganku baru saja kugunakan untuk menopang dagu merenungkan sosok lelaki di sampingku ini.
“Oh, ini.” Lantas, kuceritakan sejarah luka itu.
Tiga belas tahun lalu, aku berhasil masuk SMP favorit. Untuk bisa masuk SMP favorit di seluruh Kabupaten Kediri, aku harus melalui ujian kelulusan SD yang ‘tidak mudah’. Aku sakit Typus akibat kuforsir tenaga untuk belajar. Sehingga aku sendiri bertekad, jika sembuh, lulus, dan masuk SMP favorit, kuminta bapakku yang waktu itu menjabat kepala desa, untuk menggelar jaranan besar-besaran di seluruh penjuru desa ini. Sebab semenjak kakekku meninggal saat aku kelas tiga SD, aku sudah tidak pernah melihat kesenian jaranan, yang waktu itu masih cukup sering diadakan di banyak acara, bukan hanya bersih desa.
Pertunjukan itu terlaksana dengan meriah. Saat para penari mulai menari dan kesurupan, aku mendekat. Ibu sudah melarangku, tapi aku nekat. Terus, aku tidak tahu bagaimana kronologis pastinya, ada penari yang membabi buta menyerudukku dan meninggalkan sayatan di tanganku.
“Lukanya cukup dalam. Jahitannya juga membekas sampai sekarang,” tuturku pada Max yang tampak saksama memperhatikan.
Max tiba-tiba mengusap lembut bekas luka itu. Kontan saja, aku tidak bisa membedakan antara bunyi tabuhan gendang di punden sana dengan degupan jantungku sendiri. Namun, detik berikutnya segera dia lepaskan. Dia kembali menatap ke luar rumah.
I think someday I will held jaranan.” Max mencetus.
Kedua alisku terangkat. “Untuk?”
Celebrate wedding party.”
Justru sekarang mataku melotot mau copot.
Lantas, mata biru Max memandangiku. “Kirana, kukira sudah waktunya aku mengatakan yang sejujurnya. Maafkan semua keusilanku. Aku hanya ingin dekat denganmu. Dan ...”
“Dan?” Mulutku lekas menyela.
“Ummm... how should I tell you?” tukasnya terlihat malu-malu.
Tell me that you love me. Aduh ... ingin kucabik-cabik sendiri otakku ini!
“Dan ... memintamu membantuku menyatakan cinta pada Sukma.”
Hening. Mulutku terbuka lebih lebar. Mataku mendelik. Kesadaranku seakan melayang entah ke mana untuk sekian detik. Kemudian jatuh tersungkur di tanah (alias tersadar) manakala tangan Max mengibas ringan di depan wajahku.
“Sukma, ya?” tanyaku pelan dan getir sekali. Max jatuh cinta pada sahabatku sejak SMA, yang juga rekannya mengajar kursus Bahasa Inggris? Yang juga merekomendasikan rumah indekos orangtuaku padanya? Astaga ... kenapa tidak pernah kusadari ini?!
Max mengangguk dengan mimik wajah penuh harap, laksana bocah yang menginginkan mainan dari orangtuanya. Tapi dalam hati, kuumpat-umpat ekspresi itu sebagai kekonyolan terbesar yang pernah kutemui. Lelaki seganteng dia meminta bantuan mak comblang? Dicomblangin dengan sahabatku sendiri? Menyedihkan sekali hidupku ini, ya?
“Akan kucoba,” tukasku menyengir perih. Walau aku sempat muak pada sikap Max, sekaligus mengaguminya diam-diam, tapi tak bisa kutahan hatinya yang sudah memilih. Sukma yang cantik, anggun, dan cerdas. Representasi kecantikan wanita Indonesia, walau hidup di kota kecil begini.
Lalu, aku? Aku hanya bisa menjejali telingaku dengan bagian terakhir
(versi lain) lagu jaranan—tapi nadanya masih sama—yang kini riuh terdengar. Ternyata, hidupku belum semujur Dewi Sekartaji yang diminati banyak lelaki. Pedih.

Jaranan, jaranan, jarané jaran koré ... Ora ono kendaliné ... Jarané mlayu déwé ... Jrèk jrèk nong, Jrèk jrèk gung, Jrèk è jrèk turut lurung ... Gedebuk krincing (2x) ... Thok thok ... Gedebuk jedhèr

1 Bulan pertama dalam kalender Jawa, yang juga sering dianggap bulan keramat oleh masyarakat Jawa
2 Pecahan kaca, porselen, dan barang pecah belah lainnya
3 Wooo, dibilangin jangan bersiul!
4 Menyamaratakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)