Rabu, 20 Februari 2013

Bertemu Pengantri Kematian



Bertemu pengantri kematian

Pembaca, ini tulisan kedua gue pada hari Senin, 18 Februari 2013. Gue tulis ini karena gue pengen cerita perihal kematian. Kenapa tiba-tiba ngomongin kematian? Kematian bukan topik tabu atau langka karena sesungguhnya kematian lekat dengan setiap pribadi yang hidup. Ada hidup, pasti ada mati. Itu cerita klasik. Karena itulah hukum Tuhan yang berlaku.
Oke, to the point. Jadi, pagi tadi sekitar pukul ... pukul berapa ya.. ya katakan rentang setengah enam pagi sampai jam tujuh kurang. Gue lupa. Pas itu gue ada di depan toko milik bude gue, entah mau nyapu atau sekedar sepintas lalu aja. Fokus mata gue ke arah tukang becak yang rumahnya depan toko bude gue pas dan sering mangkal di pos jaga deket toko gue pas. Beliau nampak buru-buru banget dan seolah memanggil orang jauh di belakang gue. Gue fokus tapi gue cuek. Alah palingan pelanggan biasa. Tapi lalu fokus mata gue kembali ke tukang becak itu dan kali ini penumpang di atasnya. Gue fokus karena penumpangnya sedang dalam kondisi mengaduh-aduh lemas bersandarkan bantal yang ada di belakang kepalanya yang nyandar ke becak. Kenapa orang itu? Maksud gue sakit apa ya orang itu? Parah mungkin ya. Okeii.. padahal semalem itu atau kemarin malemnya lagi gue tahu beliau masih jalan-jalan dan duduk-duduk di tetangga bude gue. Malah sempet nyamperin tukang jualan tahu tek-tek keliling. Nah, kemudian beliau naik becak dianter istrinya naik becak itu tadi. Lalu... ya sudahlah... gue prihatin. Kasihan sakit. Sudah itu saja fokusku.
Beberapa jam berlalu... sekarang 11.14 WIB. Mungkin sekitar sejam yang lalu gue baru balik ngajak jalan-jalan keponakan gue yang cowok, adiknya Jasmine, Ero namanya. –profesi serabutan gue sekarang adalah pengasuh anak-anak, tepatnya keponakan gue sendiri. Lumayan... belajar jadi ibu, hahahaii- kemudian gue tahu banyak ibu-ibu yang bawa nampan plus kain penutup. Itu tandanya mereka habis ta’ziyah dong... dan alamakjaannn... –ala tulang togu di sinetron haji sulam tukang bubur naik haji- itu bener. Gue perhatikan arah mereka jalan. Gue sih, nggak tahu pasti ya apa kaitannya arah mereka jalan, ta’ziyah trus tiba-tiba kepikiran bapak-bapak yang jadi topik paragraf sebelumnya. Cuman setelah usut punya usut tanya ke bude, iyaaappp... bapak-bapak berinisial H yang gue sebut di paragraf di atas lah yang meninggal dunia! Innalillahi wainnaillaihi roji’un. Otak gue nggak habis pikir. Kematian. memang bener-bener lekat di diri manusia. Entah seberapa dekat. Mungkin ibarat kematian itu sebuah benarng tajam yang begitu melekat di urat nadi manusia, ia siap “beraksi” begitu saja dengan menekan atau menggores benang itu di urat nadi ketika waktunya tiba. MasyaAllah.
Hal semacam ini bukan pertama kalinya gue alami. Baru ketemu orangnya beberapa waktu lalu, tiba-tiba sudah dipanggil Tuhan itu bukan hal langka tapi yang bener-bener beda beberapa jam sebelum meninggal, masih mengaduh-aduh lalu beberapa jam kemudian meninggal,... Allahu akbar... baru kali ini. Mungkin pas gue tahu beliau mengaduh-aduh tadi di becak, kasat mata gue nggak mampu melihat bahwa malaikat pencabut nyawa sudah mendampingi beliau. Gue nggak kenal beliau. Tapi untuk beliau, ya Rabbi... ampunilah dosa-dosa beliau, terimalah amal-ibadah beliau. Untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga sabar dan kuat. Kuatkanlah iman, islam dan ihsan mereka jika mereka bertauhid tapi jika belum berikan mereka hidayah ya, Rabbi.
Kejadian di atas aslinya ngingetin gue pribadi untuk banyak ingat kematian dan segera memperbaiki diri karena kematian amat sangat begitu dekat dengan gue. Padahal gue sering meminta kematian sama Tuhan karena saking gue pernah dalam kondisi di bawah yang bikin gue ngrasa nggak tahan ngejalani hidup. Tapi ternyata Tuhan berkata lain, sampai detik ini gue masih hidup, gue dikasih segala yang gue butuhkan walau nggak semua keinginan gue diberikan. Gue masih bisa memeluk ibu dan ayah gue, masih bisa ngelus kepala adik-adik gue. Masih bisa berinteraksi sama sahabat-sahabat gue. Dan mereka semua sering gue sakiti tapi gue nggak sanggup jika mereka-mereka pergi. Begitu juga dengan Tuhan dan kematian. Gue sering minta kematian datang ke gue padahal gue juga nggak sanggup nanggung kesendirian di alam kubur sendirian. Gue nggak sanggup nanggung kesakitan di sana. Pengab, sendirian, sesak, gelap. Dan tak ada kesempatan memperbaiki diri. Dan tak ada yang bisa jadi tempat gue mengadu menangis lagi.
Gue, dan Anda, Anda, Anda juga Anda, dan mereka yang masih menghirup oksigen sungguh merupakan pengantri kematian yang setia, baik dikehendaki maupun tidak, suka maupun tidak. Bapak-bapak itu tadi pengantri entah nomor ke berapa dalam antrian kematian. Namanya sudah tertulis jelas di daftar buku kematian makhluk Tuhan di dunia ini. Gue dan siapapun yang masih hidup, namanya masih samar-samar di daftar buku kematian itu, tinggal menunggu titah Sang Khaliq terhadap malaikat pencabut nyawa.
Ini refleksi diri untuk diri pribadi gue, semoga lebih dekat sama Sang Khaliq. Belajar ikhlas dan taat beribadah. Meninggalkan yang munkar, mengabdikan diri pada Illahi Rabbi. Kami mohon petunjukMu ya, Rabbi... ampuni kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)