Senin, 04 Februari 2013

Pandangan: pertama vs kedua



Pandangan: pertama vs kedua

Ini bukan kemauan Ayu. Lulus sarjana lalu tiba-tiba jadi pembantu rumah tangga. Ooohhh...mau ditaruh mana muka Ayu? Ya, nggak dipungkiri, memalukan iya rasanya. Masa’ lulusan sarjana ujung-ujungnya jadi pembantu. Mending kalo murni pembantu di rumah sendiri aliasnya jadi ibu rumah tangga biasa setelah menikah, lah ini? Pembantu di rumah tangga orang lain! O-ow... Ayu ucap istighfar kuat-kuat dan banyak-banyak.
Demi mengurus cacing-cacing di usus perutnya dan menyambung kehidupan kedua orang tua dan adik-adiknya di kampung, Ayu terpaksa rela menjadi pembantu sementara waktu sampai ia benar-benar mendapatkan pekerjaan yang mapan dari sekian banyak lamaran yang sudah ia kirimkan.
Pekerjaan pembantu sudah Ayu jalani nyaris dua minggu tapi rasa malu dan tak rela masih menyelimuti hari Ayu.
Cuman segini? Padahal aku punya impian bisa jadi wanita karir yang berangkat pagi dan pulang malam untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Tapi... kerjaan ini sebenarnya sama saja, kerja mulai subuh dan berhenti jam sepuluh malam. Oh....bukan ini Ya, Tuhan yang kumau. Kerja di kantor, memakai pakaian rapi, otak digunakan sebagaimana mestinya, ya selayaknya wanita kantoran, itu yang kumau. Bukan baju seadanya, kain pel, kemucing, sabun cuci piring, detergen...oh... Tuhan...kutukan apa iniiii????
Ayu memasang tampang muka kusutnya dan dalam hati ia memendam kejengkelan tak berarah kemana ia akan jengkel karena memang ini bukan salah siapa-siapa. Ia menggerakkan gagang kain pelnya sesuka hati seiring dengan kejengkelannya dan akibatnya...
“BRUUKK!!” suara seseorang terpeleset jatuh.
“Waduh, Den Mas Robbi, maaf ya, saya nggak sengaja. Maaf,”
Ayu bergegas mencoba memberikan pertolongan pada majikannya yang tampan nan berkharisma itu.
“Kamu!” ucap Robbi datar memandangi Ayu yang takut. “Kecerobohan ke berapa ini? Rapikan segera! Aku bisa berdiri sendiri,”
Ayu merasa sangat bersalah atas kejadian itu dan sekuat tenaga meminta maaf. Robbi menuju kamarnya sambil tertatih-tatih. Ayu bergegas pergi ke belakang usai menyelesaikan tugas ngepelnya. Ia kemudian menghampiri mbok Parti yang sedang memasak untuk makan malam anggota keluarga majikan mereka yang terdiri hanya seorang ibu dan dua anak lelakinya yang salah satunya akan segera menikah dalam waktu dekat. Untungnya bukan lelaki bernama Robbi. Pikir Ayu. Melainkan adiknya yang tak kalah tampan dari Robbi. Tapi, bedanya, Roki masih memiliki daya humor cukup bagus dibandingkan kakaknya yang sering beraut wajah datar cenderung dingin.
Ayu meraih pisau tajam untuk mengiris sayuran yang akan dimasak. Sementara hatinya masih kacau merasa sangat bersalah tapi perminta maafannya tak diterima oleh orang lain, akhirnya berdampak pada kejadian berdarah. Tangan Ayu terisi hingga darahnya mengucur cukup deras.
“Aduh. Darahnya banyak lagi!” keluhnya.
“Gimana to, Nduk? Ayo ndang bersihkan dulu sana! Di deket kulkas ada kotak P3K, ambil hansaplas di sana! Makanya jangan sambil nglamun kalo ngiris-ngiris itu,” ujar mbok Parti.
Ayu bergegas mencuci tangannya dan mengambil hansaplas sesuai instruksi mbok Parti. Tapi, kok, ya sialnya kotak P3K ditaruh di tempat yang tak terjangkau oleh tinggi badannya. Terpaksa ia mengambil kursi untuk naik dan mengambil kotak P3K. Sembari tangan kanannya mencoba meraih kota P3K, tangan kiri Ayu masih mengeluarkan darah walau tidak sampai mengucur deras.
Kotak P3K tak kunjung teraih tiba-tiba seseorang menyenggol tubuhnya dan terjatuhlah Ayu menimpa tubuh orang yang menabraknya. Betapa malunya Ayu ketika tahu siapa yang ditimpanya. Robbi!!!
Entah magnet macam apa yang membuat keduanya terdiam terpaku memandangai bola mata masing-masing. Ayu menelan ludah. Ini persis seperti di FTV-FTV di tivi itu.
“Kita begini sampai kapan? Kalau terjadi apa-apa dengan posisi begini, bagaimana?” kata Robbi membuat Ayu malu bukan main. Terkadang konten ucapan Robbi agak genit menggoda tapi ekspresi wajahnya tetap datar saja.
Ayu segera bangkit dan meminta maaf pada Robbi.
@@@
Robbi. Robbi. Robbi. Ibu Elsa itu ngidam apa ya, dulu punya anak setampan itu? Tapi bagaimana pola asuhnya sampai dia sedatar itu, seolah nggak punya rasa. Atau cuman pencitraan aja biar terlihat oke di mata wanita? Biasanya lelaki yang bikin cewek klepek-klepek kan, yang cool-cool gitu. Rasa penasaran bikin mereka meleleh. Dan aku masuk ke dalam golongan cewek seperti itu. Ahhh....
Tiba-tiba pintu kamar Ayu diketuk oleh seorang wanita. Ternyata mbok Parti. Ayu segera bergegas keluar kamar.
“Ada apa, Mbok?” tanya Ayu.
“Disuruh ibuk ke ruang makan. Cepetan, ya?”
Usai merapikan diri, Ayu bergegas ke ruang makan.
“Iya, Buk, Ibuk manggil saya?” tanya Ayu.
“Oh, ini Yuk, kamu ikut mas Robbi ke pertokoan depan sana, ya? Tolong kamu belikan kotak kue yang kemarin kamu beli sama ibuk,” kata majikan Ayu.
Robbi dan Ayu pergi berdua naik motor ke pertokoan di ujung gang perumahan mereka. Ayu turun duluan dan berjalan ke arah toko yang dimaksud majikannya tapi tiba-tiba Robbi memanggil Ayu.
“Kenapa, Mas?”
“Tunggu,” kata Robbi sambil melepas jaketnya.
“Pakek nih, jaket! Merah, tuh!” kata Robbi lirih di telinga Ayu dan tangannya melingkarkan jaketnya di bagian belakang tubuh Ayu.
Ayu spontan malu bukan main. Dia sedang datang bulan dan tembus. Oh,...memalukan!
“Makasih, Mas!” sahut Ayu.
Mereka pun segera membeli keperluan seperti yang disampaikan ibunya Robbi.
Usai itu mereka bergegas pulang. Sesampainya di rumah Ayu meminta maaf pada Robbi karena sudah mengotori jok motor Robbi.
“Segera cuci, ya? Tiga hari lagi mau aku pakai keluar kota,” suruh Robbi. Ayu mengangguk, masih menahan malu.
@@@
Dua minggu berlalu. Acara resepsi pernikahan Roki, adik Robbi, majikan Ayu berlangsung. Kali ini Ayu dipercaya jadi penerima tamu. Ia didandani dengan sangat cantik kali ini. Setidaknya cukup membuat majikannya Robbi terpukau walau berbohong memungkirinya.
“Ayu!!” kata seorang lelaki setengah bertampang bule.
Ayu menoleh dan matanya terbelalak.
“Kamu kenal dia, Co?” tanya Robbi yang ada di samping lelaki itu.
“Ya, iyalah, Brad! Dia itu penulis cukup terkenal. Blognya juga sudah lebih dari ratusan ribu viewer. Tanya aja ke dia,”
Lelaki bernama Marco merupakan rekan baik Robbi dan Roki itu menghampiri Ayu.
“Hei, Ayu. Inget dong, sama gue? Blogger dengan nama Marco Antony,”
Ayu gelagepan. Ia tak tahu harus berkata apa. Kedoknya terbuka.
“Gimana wisudamu kemarin? You looks so pretty, Yu! Congratulation, ya? Aku lihat postingannya di blogmu. Kok, nggak nulis lagi? Aku nunggu, lho, cerita romansanya,” lanjut Marco.
Ayu tersenyum dan menerima uluran tangan Marco dan berjabat tangan.
“Makasih. Emm, masih off dulu.”
Ayu masih salah tingkah bagaimana harus bersikap di depan Robbi yang ia bohongi tentang identitasnya.
Robbi menatap Ayu tajam dan tak terbaca bagaimana ekspresinya.
@@@
Ayu merasa bersalah karena tak berterus terang tentang siapa dirinya sebenarnya kepada keluarga Robbi. Tapi apa untungnya juga ia menyampaikan bahwa ia lulusan sarjana dan seorang penulis yang sudah cukup lama beredar di dunia maya? Toh, yang ia kerjakan hanya perkerjaan rumah tangga. Sementara ini hanya Robbi yang tahu siapa Ayu sebenarnya.  Tapi hal ini membuat Ayu sangat resah bagaimana menjelaskannya kepada Robbi.
Suatu malam yang menjadi awal kerusakan suasana hubungan Ayu dan Robbi.
“Aku ketrima di perusahaan provider itu dan aku harus berhenti dari kerjaan ini. Itu juga sesuai janjiku sendiri bahwa aku akan berhenti jadi pembantu setelah dapet kerjaan tetap. Tapi, bagaimana aku mengakhirinya? Terutama sama dia,” kata Ayu pada Alin, sahabatnya di seberang sana.
Ehmm, katakan saja kamu dapat kerjaan baru di tempat lain. Beres, kan?
“Kalau mereka tanya kerja apaan? Dimana?”
 “Katakan apa adanya. Kamu kerja dimana aja itu sudah cukup. Baru kalau mereka menyuruhmu jujur ya, lakukan. Jujur lebih baik. Toh, jujurmu ini bukan mengenai suatu hal yang buruk. Bukan perihal kriminal,
“Begitu, ya? Semoga aku siap menghadapi segala konsekuensinya,”
Pasti bisa. Eh, by the way, Robbi? Sudah kamu sampaikan kamu suka dia?”
“Apah??? Edan! Nggak mungkin lah! Mau ditaruh mana mukaku? Majikan sama pembantu. Mending aku malu ketimbang dimalu-maluin. Aku sendiri juga belum yakin apakah ini benar cinta. Kamu tahu, aku sering tergoda yang lebih bagus. Ingin seperti Denny Sumargo, ingin seperti Adipati Dolken, ingin seperti Rizal Al Idrus, seperti Fauzi Badillah, Novak Djokovic alah hahaha... Kan, nggak mungkin sebanyak itu dalam satu sosok. Ya, sudah lah, aku mau beres-beres lagi. Ini pekerjaanku membabu terakhir sebelum akhirnya beneran jadi wanita karir, hehehe. Doakan aku ya, Lin! Bye...”. Ayu memutus sambungan telepon dengan Alin.
Usai menelpon Alin, Ayu bergegas masuk ke dalam rumah tapi langkahnya terhenti oleh Robbi  yang menghadangnya di depan pintu.
Ayu kaget dan ia berharap Robbi tak mendengar percakapannya tadi.
“Permisi, Den Mas, saya mau lewat,”
“Jadi, yang dikatakan Marco itu benar? Ayu Santika, penulis, sarjana universitas ternama?” tanya Robbi.
Ayu terdiam sejenak. Ia mengambil nafas dalam menguatkan hati untuk jujur. Kemudian ia mengangguk menatap Robbi.
“Kenapa kamu bohong?”
“Semua itu nggak ada artinya kalau cuman jadi pembantu. Betul, kan?”
“Betul. Cuman aku nggak habis pikir, why? Nggak ada pekerjaan lain apa? Dan jelas-jelas kamu menyembunyikan identitas kamu dari kami semua,”
“Intinya, ijazahku tak penting untuk pekerjaan ini, Mas. Dan aku minta maaf kalau itu memang kekeliruan. Tapi aku butuh dan peluang pekerjaan ini yang datang ke aku saat aku butuh. Pembantu bukan pekerjaan hina, kan?”
Robbi diam menatap Ayu membuat Ayu salah tingkah. Ia mengambil nafas dalam dan menghembuskannya cepat.
“Kapan kamu pergi?” celetuknya.
“Segera. Mungkin besok,”
“Sebaiknya memang begitu. Lebih cepat lebih bagus,”
Robbi melenggang masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Ayu merasakan hatinya sakit. Ia pikir Robbi akan menahannya. Ah, tapi memang benar. Robbi tak pernah menaruh barang secuil perhatian kepadanya. Robbi memandangnya seperti pembantu biasa yang baru saja membuat kesalahan, “penipuan”.
“Kenapa aku sakit begini? Ini sakit hati karena ia tak peduli padaku yang selama ini menaruh simpati padanya atau sakit hati pembantu yang merasa tak diperhatikan juragannya? Ah, Ayu wake up! He isn’t care about you! Dia sama dengan lelaki lain yang tak pernah berselera menjadikanmu sebagai wanitanya!” gumam Ayu sendiri lalu ia pergi ke kamarnya.
@@@
Enam bulan berlalu. Ayu sudah tak lagi bekerja menjadi pembantu. Ia memulai hidup baru dengan pekerjaan yang lebih mapan dengan gaji cukup menggiurkan tapi pas sesuai dengan kualifikasinya sebagai fresh graduate.
Semenjak malam itu ia meminta maaf pada ibu Robbi tanpa mengatakan dengan jelas kenapa minta maaf, rasanya Ayu masih merasa menanggung dosa karena tak berterus terang tentang siapa dirinya kepada ibu Robbi. Dan persoalan hati, ternyata sosok Robbi tertanam kuat di memori. Memenuhi memori otaknya tanpa bisa dihapus. Ayu juga tidak menyangka kenapa cinta pandangan pertamanya bisa bertahan selama ini. Biasanya kalau dia suka pada seseorang dan ternyata bertepuk sebelah tangan, rasa sukanya tak lebih dari tiga bulan. Ia akan segera move on mencari gebetan lain. Tapi ini berbeda. Bahkan ketika ada teman sekantornya menawarkan hati untuk jadi pelengkap separuh hati Ayu yang masih kosong, Ayu terkesan menjauh.
Suatu malam tepat malam minggu, Ayu pergi dengan Rikaz, teman sekantornya yang menaruh hati padanya. Intinya, Ayu mencoba kencan dengan Rikaz, siapa tahu ia bisa melupakan Robbi. Ayu memaksakan diri padahal ia sudah merasa tidak enak badan sejak Subuh tadi. Nyeri haid tak tertahankan datang membuat Ayu seperti merasakan panas-dingin keringat keluar bukan main.  Mulanya tak begini tapi setelah ia dan Rikaz berada di festival jajanan di sebuah pusat perbelanjaan besar di kotanya, Ayu merasakan itu.
Fisik Ayu tak dapat berbohong, ia pucat. Tapi ia mengaku pada Rikaz tidak apa-apa. Rikaz menawarkan pulang tapi Ayu menolak. Ia memaksa untuk tetap berkeliling area festival jajanan untuk menepis rasa sakit itu. Entah, kesurupan setan apa hingga Ayu rela berjalan-jalan padahal dirinya sakit.
Ayu dan Rikaz terus berjalan hingga fokus mata Ayu berhenti pada satu titik. Sosok Robbi, ya, dia melihat sosok Robbi berdiri di tengah kerumunan orang menawarkan slebaran kertas dan mengenakan celemek. Ayu baru ingat, sebelum dia berhenti jadi pembantu, ia mendengar Robbi sedang merintis usaha kuliner makanan khas Banjar.
“Cari tempat lain aja, yuk, Kaz!” ajak Ayu dengan mata masih menatap ke arah Robbi.
“Kedai itu aja belum kita datengin, Yu,” kata Rikaz. Ayu ngotot mengajak Rikaz pergi.
Terlambat. Ayu terlambat menghindari Robbi. Robbi cepat mengetahui sepasang bola mata Ayu yang sedang menatap ke arahnya. Tapi Ayu justru bergegas pergi, menyeret Rikaz pergi. Rikaz bingung.
Setelah dirasa aman dari penglihatan Robbi, Ayu berkata,”Aku sudah nggak tahan, Kaz. Kita pulang saja, ya?” kata Ayu.
“Oke, kamu tunggu di sini dulu ya, aku ambil mobil bentar. Duduk di situ dulu, ya, kalau nggak kuat berdiri. Tenang, kita segera pulang,” kata Rikaz khawatir terjadi apa-apa pada Ayu. Ayu mengangguk pelan.
Ayu menunggu Rikaz mengambil mobilnya dalam kondisi lemas, perutnya sakit melilit. Keringatnya keluar tak karuan di sekujur tubuh. Baru kali ini dia merasakan nyeri datang bulan begini, di waktu yang tak tepat. Mata Ayu kemudian mulai berkunang-kunang, penglihatannya mengabur, perlahan. Lalu keseimbangan tubuhnya melemah dan.... ia melihat raut wajah, wajah Robbi dengan buram. Yakin tak yakin. Tubuhnya terasa disangga oleh seseorang. Mungkinkah itu Robbi?
“Ayu! Ayu!” panggil sosok itu tapi Ayu makin gelap penglihatannya. Ia tak sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian Ayu siuman. Matanya masih berusaha mengenali area sekitar dirinya berada. Ia baru sadar ia ada di mobil ambulans. Di depan matanya tepat ada segurat wajah spontan membuat jantung hatinya berdegup cepat. Cepat sekali seolah jantungnya hendak copot. Wajah itu mengamati Ayu.
“Sudah enakan?” tanya lelaki di depannya. Robbi. Suaranya lembut ramah. Ayu mengangguk lemah.
 “Bertemu denganku saja pingsan, bagaimana kalau kamu bertemu Novak Djokovic, hah?”kata Robbi menyindir Ayu dengan menyebut petenis idola Ayu itu.
Ayu masih terdiam. Ia masih berusaha mengumpulkan tenaga untuk mengeluarkan sepatah dan berpatah-patah kata untuk Robbi.
“Kalau sudah merasa enakan, segera rapikan dirimu! Pacarmu sudah menunggu di luar. Jangan lupa, ikat celemek itu di pinggangmu!” kata Robbi.
Ayu melirik ke tubuhnya. Otaknya segera mengerti maksud kalimat terakhir Robbi. Matanya melotot pada Robbi dan perlahan normal.
“Maaf, Mas!” ucap Ayu. Ia membuat ulah lagi dengan kejadian yang sama. Ulah “tamu” bulanannya.
Nggak apa. Tapi segera cuci, besok aku pakai lagi,” tungkas Robbi.
Ayu melaksanakan perintah Robbi dan bergegas keluar ambulans dipapah oleh Robbi.
“Sebaiknya kamu rajin olah raga, konsumsi makanan sehat, jangan stres dan minum obat. Dan selalu berpikir positif. Selalu prepare pada hari pertama. Kalau perlu periksa ke dokter. Kamu sering seperti ini kan, pada hari pertama,” cerocos Robbi selama membantu Ayu berjalan ke arah Rikaz.
Ayu heran dan segera menatap Robbi.
“Kelihatannya aku cuek, tapi aku perhatian untuk hal sedetail itu. Aku sudah pernah kehilangan wanita karena kanker rahim, jadi jangan terulang kedua kali,”
Naudzubillah!” spontan Ayu mengeluarkan kata itu.
“Makanya lebih baik segera periksa ke dokter,”
“Tapi ini pertama kalinya sampai pingsan,”
“Ke berapa kali, intinya kalau masih begini, segera periksa! Apa perlu aku yang antar?”
Ayu salah tingkah. Ia menggeleng.
“Pacarmu tampan,” celetuk Robbi.
“Bukan,”
“Bukan apa? Bukan pacarmu? Tapi dia menggandeng tanganmu dari tadi kita bertemu. Dia juga cemas sekali kamu pingsan,”
Enggak,”
“Apanya enggak? Yang jelas dong, bicaranya,”
“Dia bukan pacarku. Dia melakukan itu ya, itu haknya dia,”
“Lalu hak kamu? Hak kamu untuk menolak dipegang-pegang oleh orang yang tidak kamu cintai?”
Ayu berhenti berjalan. Kalimat tanya Robbi barusan agak mengusik kenyamanan Ayu.
“Lelaki yang aku cintai juga tak begitu saja berhak memegang-megangku,”
“Jadi, aku tak berhak?”
Ayu menautkan kedua alisnya.
“Sekalipun kamu melarangku, aku akan tetap melakukannya. Bahkan seperti ini pun akan kulakukan,” kata Robbi kemudian segera mendekap tubuh Ayu. Ayu kaget.
“Mas,” ucap Ayu.
“Hanya sebatas ini. Nggak lebih, kok. Yang lebih kulakukan ketika kita sah suami-istri,”
“Kenapa tiba-tiba berkata seperti ini?”
Robbi akhirnya berkata apapun yang ia tahu selama enam bulan berlalu tentang Ayu dan sebelumnya. Ia tahu Ayu sering memperhatikannya diam-diam semasa masih menjadi pembantu di rumahnya. Ia juga tahu maksud percakapan Ayu dan temannya di ponsel sehari sebelum Ayu berhenti bekerja di rumahnya. Robbi paham benar setiap cerita romansa dan puisi yang ditulis Ayu di blognya setelah berhenti jadi pembantu mengarah kepada dirinya. Robbi peka semuanya. Mulanya Robbi mengabaikan itu. Ia meremehkan “cinta pandangan pertama” yang diagung-agungkan Ayu untuknya. Robbi butuh banyak bukti bahwa Ayu benar-benar mencintainya. Dan Ayu membuktikannya selama enam bulan terakhir tak pernah bersua dengan dirinya. Robbi semakin mantab terpesona pada Ayu walau hanya memandangi potret Ayu di blog Ayu saja. Berulang kali ia menatap dan sebanyak itu pula rasanya semakin bertumbuh subur. Ia jatuh cinta pada Ayu, mantan“pembantu”nya.
“Maaf. Aku butuh proses untuk menyadari semuanya,” ucap Robbi. Ia melepas pelukannya.
“Tak masalah. Kesabaranku berbuah manis,” sahut Ayu tersenyum.
Robbi menggenggam kedua tangan Ayu.
“Menikahlah denganku! Kita ukir sejarah baru menjadi Habibie dan Ainun edisi baru,” tutur Robbi.
Ayu tersenyum tapi ia meneteskan air mata.
“Kita beda kasta,” kata Ayu.
“Kasta itu buatan manusia, Tuhan membuat kemustahilan manusia menjadi kenyataan. Aku mencintaimu,” tungkas Robbi.
“Aku harus percaya?”
“Harus! Kamu pernah tahu aku berbohong?”
Ayu mengangkat kedua bahunya.
“Aku bukan majikan pembohong. Kecuali saat kamu pergi dulu, aku menyuruhmu pergi aslinya aku tak rela. Soalnya nggak ada yang buatin aku kopi setiap hari lagi,” ujar Robbi tersenyum sambil memencet hidung Ayu.
“Ini pasti bohong! Aslinya Mas suka, kan? Alibi!” goda Ayu.
“Yang pasti aku jujur soal perasaanku ini. Aku nggak main-main melamarmu,” tegas Robbi.
Keduanya bertatapan jauh ke dalam bola mata masing-masing. Ayu percaya, cinta pandangan pertama itu ada walaupun ia harus bersabar menuai hasilnya menunggu kebenarannya itu. Robbi tetap percaya, cinta butuh proses dan terkadang juga membuat sedikit menyesal karena agak terlambat menyadari sampai orang yang dicintai nyaris lenyap. Tapi, Tuhan sudah terlebih dahulu menuliskan takdir manusia jauh sebelum manusia berupa segumpal daging dan bernyawa. Jodoh akan bertemu pada saat yang tepat. Setepat waktu yang sekarang Robbi dan Ayu nikmati.
Gerimis pun turun merayakan cerita romansa yang dimulai malam itu. Dan satu hati yang lain harus merelakan orang yang dicintai bahagia dengan jodohnya. Satu hati itu akan menemukan jodohnya di lain tempat, lain waktu, segera atau masih harus menunggu. Rikaz.
@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)