Pandangan:
pertama vs kedua
Ini bukan kemauan Ayu.
Lulus sarjana lalu tiba-tiba jadi pembantu rumah tangga. Ooohhh...mau ditaruh
mana muka Ayu? Ya, nggak dipungkiri,
memalukan iya rasanya. Masa’ lulusan sarjana ujung-ujungnya jadi pembantu.
Mending kalo murni pembantu di rumah sendiri aliasnya jadi ibu rumah tangga
biasa setelah menikah, lah ini? Pembantu di rumah tangga orang lain! O-ow...
Ayu ucap istighfar kuat-kuat dan banyak-banyak.
Demi mengurus
cacing-cacing di usus perutnya dan menyambung kehidupan kedua orang tua dan
adik-adiknya di kampung, Ayu terpaksa rela menjadi pembantu sementara waktu
sampai ia benar-benar mendapatkan pekerjaan yang mapan dari sekian banyak
lamaran yang sudah ia kirimkan.
Pekerjaan pembantu
sudah Ayu jalani nyaris dua minggu tapi rasa malu dan tak rela masih
menyelimuti hari Ayu.
Cuman
segini? Padahal aku punya impian bisa jadi wanita karir yang berangkat pagi dan
pulang malam untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Tapi... kerjaan ini
sebenarnya sama saja, kerja mulai subuh dan berhenti jam sepuluh malam.
Oh....bukan ini Ya, Tuhan yang kumau. Kerja di kantor, memakai pakaian rapi,
otak digunakan sebagaimana mestinya, ya selayaknya wanita kantoran, itu yang
kumau. Bukan baju seadanya, kain pel, kemucing, sabun cuci piring, detergen...oh...
Tuhan...kutukan apa iniiii????
Ayu memasang tampang
muka kusutnya dan dalam hati ia memendam kejengkelan tak berarah kemana ia akan
jengkel karena memang ini bukan salah siapa-siapa. Ia menggerakkan gagang kain
pelnya sesuka hati seiring dengan kejengkelannya dan akibatnya...
“BRUUKK!!” suara
seseorang terpeleset jatuh.
“Waduh, Den Mas Robbi,
maaf ya, saya nggak sengaja. Maaf,”
Ayu bergegas mencoba
memberikan pertolongan pada majikannya yang tampan nan berkharisma itu.
“Kamu!” ucap Robbi
datar memandangi Ayu yang takut. “Kecerobohan ke berapa ini? Rapikan segera!
Aku bisa berdiri sendiri,”
Ayu merasa sangat
bersalah atas kejadian itu dan sekuat tenaga meminta maaf. Robbi menuju
kamarnya sambil tertatih-tatih. Ayu bergegas pergi ke belakang usai menyelesaikan
tugas ngepelnya. Ia kemudian menghampiri mbok Parti yang sedang memasak untuk
makan malam anggota keluarga majikan mereka yang terdiri hanya seorang ibu dan
dua anak lelakinya yang salah satunya akan segera menikah dalam waktu dekat.
Untungnya bukan lelaki bernama Robbi. Pikir Ayu. Melainkan adiknya yang tak
kalah tampan dari Robbi. Tapi, bedanya, Roki masih memiliki daya humor cukup
bagus dibandingkan kakaknya yang sering beraut wajah datar cenderung dingin.
Ayu meraih pisau tajam
untuk mengiris sayuran yang akan dimasak. Sementara hatinya masih kacau merasa
sangat bersalah tapi perminta maafannya tak diterima oleh orang lain, akhirnya
berdampak pada kejadian berdarah. Tangan Ayu terisi hingga darahnya mengucur
cukup deras.
“Aduh. Darahnya banyak
lagi!” keluhnya.
“Gimana to, Nduk? Ayo ndang bersihkan dulu sana!
Di deket kulkas ada kotak P3K, ambil hansaplas di sana! Makanya jangan sambil
nglamun kalo ngiris-ngiris itu,” ujar mbok Parti.
Ayu bergegas mencuci
tangannya dan mengambil hansaplas sesuai instruksi mbok Parti. Tapi, kok, ya
sialnya kotak P3K ditaruh di tempat yang tak terjangkau oleh tinggi badannya.
Terpaksa ia mengambil kursi untuk naik dan mengambil kotak P3K. Sembari tangan
kanannya mencoba meraih kota P3K, tangan kiri Ayu masih mengeluarkan darah
walau tidak sampai mengucur deras.
Kotak P3K tak kunjung
teraih tiba-tiba seseorang menyenggol tubuhnya dan terjatuhlah Ayu menimpa
tubuh orang yang menabraknya. Betapa malunya Ayu ketika tahu siapa yang
ditimpanya. Robbi!!!
Entah magnet macam apa
yang membuat keduanya terdiam terpaku memandangai bola mata masing-masing. Ayu
menelan ludah. Ini persis seperti di FTV-FTV di tivi itu.
“Kita begini sampai
kapan? Kalau terjadi apa-apa dengan posisi begini, bagaimana?” kata Robbi
membuat Ayu malu bukan main. Terkadang konten ucapan Robbi agak genit menggoda
tapi ekspresi wajahnya tetap datar saja.
Ayu segera bangkit dan
meminta maaf pada Robbi.
@@@
Robbi.
Robbi. Robbi. Ibu Elsa itu ngidam apa ya, dulu punya anak setampan itu? Tapi
bagaimana pola asuhnya sampai dia sedatar itu, seolah nggak punya rasa. Atau
cuman pencitraan aja biar terlihat oke di mata wanita? Biasanya lelaki yang
bikin cewek klepek-klepek kan, yang cool-cool gitu. Rasa penasaran bikin mereka
meleleh. Dan aku masuk ke dalam golongan cewek seperti itu. Ahhh....
Tiba-tiba pintu kamar
Ayu diketuk oleh seorang wanita. Ternyata mbok Parti. Ayu segera bergegas
keluar kamar.
“Ada apa, Mbok?” tanya
Ayu.
“Disuruh ibuk ke ruang
makan. Cepetan, ya?”
Usai merapikan diri,
Ayu bergegas ke ruang makan.
“Iya, Buk, Ibuk manggil
saya?” tanya Ayu.
“Oh, ini Yuk, kamu ikut
mas Robbi ke pertokoan depan sana, ya? Tolong kamu belikan kotak kue yang
kemarin kamu beli sama ibuk,” kata majikan Ayu.
Robbi dan Ayu pergi
berdua naik motor ke pertokoan di ujung gang perumahan mereka. Ayu turun duluan
dan berjalan ke arah toko yang dimaksud majikannya tapi tiba-tiba Robbi
memanggil Ayu.
“Kenapa, Mas?”
“Tunggu,” kata Robbi
sambil melepas jaketnya.
“Pakek nih, jaket! Merah,
tuh!” kata Robbi lirih di telinga Ayu dan tangannya melingkarkan jaketnya di
bagian belakang tubuh Ayu.
Ayu spontan malu bukan
main. Dia sedang datang bulan dan tembus. Oh,...memalukan!
“Makasih, Mas!” sahut
Ayu.
Mereka pun segera
membeli keperluan seperti yang disampaikan ibunya Robbi.
Usai itu mereka
bergegas pulang. Sesampainya di rumah Ayu meminta maaf pada Robbi karena sudah
mengotori jok motor Robbi.
“Segera cuci, ya? Tiga
hari lagi mau aku pakai keluar kota,” suruh Robbi. Ayu mengangguk, masih
menahan malu.
@@@
Dua minggu berlalu. Acara
resepsi pernikahan Roki, adik Robbi, majikan Ayu berlangsung. Kali ini Ayu
dipercaya jadi penerima tamu. Ia didandani dengan sangat cantik kali ini.
Setidaknya cukup membuat majikannya Robbi terpukau walau berbohong
memungkirinya.
“Ayu!!” kata seorang
lelaki setengah bertampang bule.
Ayu menoleh dan matanya
terbelalak.
“Kamu kenal dia, Co?”
tanya Robbi yang ada di samping lelaki itu.
“Ya, iyalah, Brad! Dia itu penulis cukup terkenal.
Blognya juga sudah lebih dari ratusan ribu viewer.
Tanya aja ke dia,”
Lelaki bernama Marco
merupakan rekan baik Robbi dan Roki itu menghampiri Ayu.
“Hei, Ayu. Inget dong,
sama gue? Blogger dengan nama Marco
Antony,”
Ayu gelagepan. Ia tak
tahu harus berkata apa. Kedoknya terbuka.
“Gimana wisudamu
kemarin? You looks so pretty, Yu! Congratulation, ya? Aku lihat postingannya
di blogmu. Kok, nggak nulis lagi? Aku
nunggu, lho, cerita romansanya,” lanjut Marco.
Ayu tersenyum dan menerima
uluran tangan Marco dan berjabat tangan.
“Makasih. Emm, masih off dulu.”
Ayu masih salah tingkah
bagaimana harus bersikap di depan Robbi yang ia bohongi tentang identitasnya.
Robbi menatap Ayu tajam
dan tak terbaca bagaimana ekspresinya.
@@@
Ayu merasa bersalah
karena tak berterus terang tentang siapa dirinya sebenarnya kepada keluarga
Robbi. Tapi apa untungnya juga ia menyampaikan bahwa ia lulusan sarjana dan
seorang penulis yang sudah cukup lama beredar di dunia maya? Toh, yang ia kerjakan hanya perkerjaan
rumah tangga. Sementara ini hanya Robbi yang tahu siapa Ayu sebenarnya. Tapi hal ini membuat Ayu sangat resah
bagaimana menjelaskannya kepada Robbi.
Suatu malam yang
menjadi awal kerusakan suasana hubungan Ayu dan Robbi.
“Aku ketrima di
perusahaan provider itu dan aku harus berhenti dari kerjaan ini. Itu juga
sesuai janjiku sendiri bahwa aku akan berhenti jadi pembantu setelah dapet
kerjaan tetap. Tapi, bagaimana aku mengakhirinya? Terutama sama dia,” kata Ayu
pada Alin, sahabatnya di seberang sana.
“Ehmm, katakan saja kamu dapat kerjaan baru di tempat lain. Beres, kan?”
“Kalau mereka tanya
kerja apaan? Dimana?”
“Katakan
apa adanya. Kamu kerja dimana aja itu sudah cukup. Baru kalau mereka menyuruhmu
jujur ya, lakukan. Jujur lebih baik. Toh, jujurmu ini bukan mengenai suatu hal
yang buruk. Bukan perihal kriminal,”
“Begitu, ya? Semoga aku
siap menghadapi segala konsekuensinya,”
“Pasti bisa. Eh, by the way,
Robbi? Sudah kamu sampaikan kamu suka dia?”
“Apah??? Edan! Nggak mungkin lah! Mau ditaruh mana mukaku? Majikan sama pembantu.
Mending aku malu ketimbang dimalu-maluin. Aku sendiri juga belum yakin apakah
ini benar cinta. Kamu tahu, aku sering tergoda yang lebih bagus. Ingin seperti
Denny Sumargo, ingin seperti Adipati Dolken, ingin seperti Rizal Al Idrus,
seperti Fauzi Badillah, Novak Djokovic alah hahaha... Kan, nggak mungkin sebanyak itu dalam satu sosok. Ya, sudah lah, aku mau
beres-beres lagi. Ini pekerjaanku membabu terakhir sebelum akhirnya beneran
jadi wanita karir, hehehe. Doakan aku ya, Lin! Bye...”. Ayu memutus sambungan telepon dengan Alin.
Usai menelpon Alin, Ayu
bergegas masuk ke dalam rumah tapi langkahnya terhenti oleh Robbi yang menghadangnya di depan pintu.
Ayu kaget dan ia
berharap Robbi tak mendengar percakapannya tadi.
“Permisi, Den Mas, saya
mau lewat,”
“Jadi, yang dikatakan
Marco itu benar? Ayu Santika, penulis, sarjana universitas ternama?” tanya
Robbi.
Ayu terdiam sejenak. Ia
mengambil nafas dalam menguatkan hati untuk jujur. Kemudian ia mengangguk
menatap Robbi.
“Kenapa kamu bohong?”
“Semua itu nggak ada artinya kalau cuman jadi
pembantu. Betul, kan?”
“Betul. Cuman aku nggak habis pikir, why? Nggak ada pekerjaan
lain apa? Dan jelas-jelas kamu menyembunyikan identitas kamu dari kami semua,”
“Intinya, ijazahku tak
penting untuk pekerjaan ini, Mas. Dan aku minta maaf kalau itu memang
kekeliruan. Tapi aku butuh dan peluang pekerjaan ini yang datang ke aku saat
aku butuh. Pembantu bukan pekerjaan hina, kan?”
Robbi diam menatap Ayu
membuat Ayu salah tingkah. Ia mengambil nafas dalam dan menghembuskannya cepat.
“Kapan kamu pergi?”
celetuknya.
“Segera. Mungkin
besok,”
“Sebaiknya memang
begitu. Lebih cepat lebih bagus,”
Robbi melenggang masuk
ke dalam rumah. Tiba-tiba Ayu merasakan hatinya sakit. Ia pikir Robbi akan
menahannya. Ah, tapi memang benar. Robbi tak pernah menaruh barang secuil
perhatian kepadanya. Robbi memandangnya seperti pembantu biasa yang baru saja
membuat kesalahan, “penipuan”.
“Kenapa aku sakit
begini? Ini sakit hati karena ia tak peduli padaku yang selama ini menaruh
simpati padanya atau sakit hati pembantu yang merasa tak diperhatikan
juragannya? Ah, Ayu wake up! He isn’t care about you! Dia sama dengan
lelaki lain yang tak pernah berselera menjadikanmu sebagai wanitanya!” gumam
Ayu sendiri lalu ia pergi ke kamarnya.
@@@
Enam bulan berlalu. Ayu
sudah tak lagi bekerja menjadi pembantu. Ia memulai hidup baru dengan pekerjaan
yang lebih mapan dengan gaji cukup menggiurkan tapi pas sesuai dengan kualifikasinya
sebagai fresh graduate.
Semenjak malam itu ia
meminta maaf pada ibu Robbi tanpa mengatakan dengan jelas kenapa minta maaf,
rasanya Ayu masih merasa menanggung dosa karena tak berterus terang tentang
siapa dirinya kepada ibu Robbi. Dan persoalan hati, ternyata sosok Robbi
tertanam kuat di memori. Memenuhi memori otaknya tanpa bisa dihapus. Ayu juga
tidak menyangka kenapa cinta pandangan pertamanya bisa bertahan selama ini. Biasanya
kalau dia suka pada seseorang dan ternyata bertepuk sebelah tangan, rasa
sukanya tak lebih dari tiga bulan. Ia akan segera move on mencari gebetan lain. Tapi ini berbeda. Bahkan ketika ada
teman sekantornya menawarkan hati untuk jadi pelengkap separuh hati Ayu yang
masih kosong, Ayu terkesan menjauh.
Suatu malam tepat malam
minggu, Ayu pergi dengan Rikaz, teman sekantornya yang menaruh hati padanya.
Intinya, Ayu mencoba kencan dengan Rikaz, siapa tahu ia bisa melupakan Robbi.
Ayu memaksakan diri padahal ia sudah merasa tidak enak badan sejak Subuh tadi.
Nyeri haid tak tertahankan datang membuat Ayu seperti merasakan panas-dingin
keringat keluar bukan main. Mulanya tak
begini tapi setelah ia dan Rikaz berada di festival jajanan di sebuah pusat
perbelanjaan besar di kotanya, Ayu merasakan itu.
Fisik Ayu tak dapat
berbohong, ia pucat. Tapi ia mengaku pada Rikaz tidak apa-apa. Rikaz menawarkan
pulang tapi Ayu menolak. Ia memaksa untuk tetap berkeliling area festival
jajanan untuk menepis rasa sakit itu. Entah, kesurupan setan apa hingga Ayu
rela berjalan-jalan padahal dirinya sakit.
Ayu dan Rikaz terus
berjalan hingga fokus mata Ayu berhenti pada satu titik. Sosok Robbi, ya, dia
melihat sosok Robbi berdiri di tengah kerumunan orang menawarkan slebaran
kertas dan mengenakan celemek. Ayu baru ingat, sebelum dia berhenti jadi
pembantu, ia mendengar Robbi sedang merintis usaha kuliner makanan khas Banjar.
“Cari tempat lain aja,
yuk, Kaz!” ajak Ayu dengan mata masih menatap ke arah Robbi.
“Kedai itu aja belum
kita datengin, Yu,” kata Rikaz. Ayu ngotot mengajak Rikaz pergi.
Terlambat. Ayu
terlambat menghindari Robbi. Robbi cepat mengetahui sepasang bola mata Ayu yang
sedang menatap ke arahnya. Tapi Ayu justru bergegas pergi, menyeret Rikaz
pergi. Rikaz bingung.
Setelah dirasa aman
dari penglihatan Robbi, Ayu berkata,”Aku sudah nggak tahan, Kaz. Kita pulang saja, ya?” kata Ayu.
“Oke, kamu tunggu di
sini dulu ya, aku ambil mobil bentar. Duduk di situ dulu, ya, kalau nggak kuat berdiri. Tenang, kita segera
pulang,” kata Rikaz khawatir terjadi apa-apa pada Ayu. Ayu mengangguk pelan.
Ayu menunggu Rikaz
mengambil mobilnya dalam kondisi lemas, perutnya sakit melilit. Keringatnya
keluar tak karuan di sekujur tubuh. Baru kali ini dia merasakan nyeri datang
bulan begini, di waktu yang tak tepat. Mata Ayu kemudian mulai
berkunang-kunang, penglihatannya mengabur, perlahan. Lalu keseimbangan tubuhnya
melemah dan.... ia melihat raut wajah, wajah Robbi dengan buram. Yakin tak
yakin. Tubuhnya terasa disangga oleh seseorang. Mungkinkah itu Robbi?
“Ayu! Ayu!” panggil
sosok itu tapi Ayu makin gelap penglihatannya. Ia tak sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian
Ayu siuman. Matanya masih berusaha mengenali area sekitar dirinya berada. Ia
baru sadar ia ada di mobil ambulans. Di depan matanya tepat ada segurat wajah spontan
membuat jantung hatinya berdegup cepat. Cepat sekali seolah jantungnya hendak
copot. Wajah itu mengamati Ayu.
“Sudah enakan?” tanya
lelaki di depannya. Robbi. Suaranya lembut ramah. Ayu mengangguk lemah.
“Bertemu denganku saja pingsan, bagaimana
kalau kamu bertemu Novak Djokovic, hah?”kata Robbi menyindir Ayu dengan
menyebut petenis idola Ayu itu.
Ayu masih terdiam. Ia
masih berusaha mengumpulkan tenaga untuk mengeluarkan sepatah dan
berpatah-patah kata untuk Robbi.
“Kalau sudah merasa
enakan, segera rapikan dirimu! Pacarmu sudah menunggu di luar. Jangan lupa,
ikat celemek itu di pinggangmu!” kata Robbi.
Ayu melirik ke
tubuhnya. Otaknya segera mengerti maksud kalimat terakhir Robbi. Matanya
melotot pada Robbi dan perlahan normal.
“Maaf, Mas!” ucap Ayu.
Ia membuat ulah lagi dengan kejadian yang sama. Ulah “tamu” bulanannya.
“Nggak apa. Tapi segera cuci, besok aku pakai lagi,” tungkas Robbi.
Ayu melaksanakan
perintah Robbi dan bergegas keluar ambulans dipapah oleh Robbi.
“Sebaiknya kamu rajin
olah raga, konsumsi makanan sehat, jangan stres dan minum obat. Dan selalu
berpikir positif. Selalu prepare pada
hari pertama. Kalau perlu periksa ke dokter. Kamu sering seperti ini kan, pada
hari pertama,” cerocos Robbi selama membantu Ayu berjalan ke arah Rikaz.
Ayu heran dan segera
menatap Robbi.
“Kelihatannya aku cuek,
tapi aku perhatian untuk hal sedetail itu. Aku sudah pernah kehilangan wanita
karena kanker rahim, jadi jangan terulang kedua kali,”
“Naudzubillah!” spontan Ayu mengeluarkan kata itu.
“Makanya lebih baik
segera periksa ke dokter,”
“Tapi ini pertama
kalinya sampai pingsan,”
“Ke berapa kali,
intinya kalau masih begini, segera periksa! Apa perlu aku yang antar?”
Ayu salah tingkah. Ia
menggeleng.
“Pacarmu tampan,”
celetuk Robbi.
“Bukan,”
“Bukan apa? Bukan
pacarmu? Tapi dia menggandeng tanganmu dari tadi kita bertemu. Dia juga cemas
sekali kamu pingsan,”
“Enggak,”
“Apanya enggak? Yang jelas dong, bicaranya,”
“Dia bukan pacarku. Dia
melakukan itu ya, itu haknya dia,”
“Lalu hak kamu? Hak
kamu untuk menolak dipegang-pegang oleh orang yang tidak kamu cintai?”
Ayu berhenti berjalan.
Kalimat tanya Robbi barusan agak mengusik kenyamanan Ayu.
“Lelaki yang aku cintai
juga tak begitu saja berhak memegang-megangku,”
“Jadi, aku tak berhak?”
Ayu menautkan kedua
alisnya.
“Sekalipun kamu
melarangku, aku akan tetap melakukannya. Bahkan seperti ini pun akan
kulakukan,” kata Robbi kemudian segera mendekap tubuh Ayu. Ayu kaget.
“Mas,” ucap Ayu.
“Hanya sebatas ini. Nggak lebih, kok. Yang lebih kulakukan
ketika kita sah suami-istri,”
“Kenapa tiba-tiba
berkata seperti ini?”
Robbi akhirnya berkata
apapun yang ia tahu selama enam bulan berlalu tentang Ayu dan sebelumnya. Ia
tahu Ayu sering memperhatikannya diam-diam semasa masih menjadi pembantu di
rumahnya. Ia juga tahu maksud percakapan Ayu dan temannya di ponsel sehari
sebelum Ayu berhenti bekerja di rumahnya. Robbi paham benar setiap cerita
romansa dan puisi yang ditulis Ayu di blognya setelah berhenti jadi pembantu
mengarah kepada dirinya. Robbi peka semuanya. Mulanya Robbi mengabaikan itu. Ia
meremehkan “cinta pandangan pertama” yang diagung-agungkan Ayu untuknya. Robbi
butuh banyak bukti bahwa Ayu benar-benar mencintainya. Dan Ayu membuktikannya
selama enam bulan terakhir tak pernah bersua dengan dirinya. Robbi semakin
mantab terpesona pada Ayu walau hanya memandangi potret Ayu di blog Ayu saja.
Berulang kali ia menatap dan sebanyak itu pula rasanya semakin bertumbuh subur.
Ia jatuh cinta pada Ayu, mantan“pembantu”nya.
“Maaf. Aku butuh proses
untuk menyadari semuanya,” ucap Robbi. Ia melepas pelukannya.
“Tak masalah.
Kesabaranku berbuah manis,” sahut Ayu tersenyum.
Robbi menggenggam kedua
tangan Ayu.
“Menikahlah denganku! Kita
ukir sejarah baru menjadi Habibie dan Ainun edisi baru,” tutur Robbi.
Ayu tersenyum tapi ia
meneteskan air mata.
“Kita beda kasta,” kata
Ayu.
“Kasta itu buatan
manusia, Tuhan membuat kemustahilan manusia menjadi kenyataan. Aku
mencintaimu,” tungkas Robbi.
“Aku harus percaya?”
“Harus! Kamu pernah
tahu aku berbohong?”
Ayu mengangkat kedua
bahunya.
“Aku bukan majikan
pembohong. Kecuali saat kamu pergi dulu, aku menyuruhmu pergi aslinya aku tak
rela. Soalnya nggak ada yang buatin
aku kopi setiap hari lagi,” ujar Robbi tersenyum sambil memencet hidung Ayu.
“Ini pasti bohong!
Aslinya Mas suka, kan? Alibi!” goda Ayu.
“Yang pasti aku jujur
soal perasaanku ini. Aku nggak
main-main melamarmu,” tegas Robbi.
Keduanya bertatapan
jauh ke dalam bola mata masing-masing. Ayu percaya, cinta pandangan pertama itu
ada walaupun ia harus bersabar menuai hasilnya menunggu kebenarannya itu. Robbi
tetap percaya, cinta butuh proses dan terkadang juga membuat sedikit menyesal
karena agak terlambat menyadari sampai orang yang dicintai nyaris lenyap. Tapi,
Tuhan sudah terlebih dahulu menuliskan takdir manusia jauh sebelum manusia
berupa segumpal daging dan bernyawa. Jodoh akan bertemu pada saat yang tepat.
Setepat waktu yang sekarang Robbi dan Ayu nikmati.
Gerimis pun turun
merayakan cerita romansa yang dimulai malam itu. Dan satu hati yang lain harus
merelakan orang yang dicintai bahagia dengan jodohnya. Satu hati itu akan
menemukan jodohnya di lain tempat, lain waktu, segera atau masih harus
menunggu. Rikaz.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)