credit |
Maret 2013 lalu aku
lulus menyandang gelar Sarjana Psikologi. Kini, aku melihat teman-temanku sudah
bekerja cukup mapan dan ada pula yang melanjutkan kuliah profesi. Sementara
aku? Aku memang sudah bekerja tapi belumlah mapan.
Kalian tahu? Aku ini
wisudawan berpredikat cum laude tapi aku
hanya shadow teacher atau guru
pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sementara teman-temanku bekerja di
kantoran, berkemeja rapi, berkutat dengan semua hal berbau HRD, berangkat pagi
dan pulang sore.
Aku geram. Ini tak
adil! Aku juga mau seperti teman-temanku. Tapi aku agak sial, aku gagal masuk
perusahaan yang cukup besar pilihanku. Akhirnya aku berdo’a, “Ya Allah, berikan
segera aku pekerjaan untuk meringankan beban kedua orangtuaku tapi berikan aku
pekerjaan yang aku ikhlasi, Engkau barokahi,”. Kemudian tawaran menjadi shadow teacher datang dari seorang kawan.
Aku serta-merta menerimanya karena aku butuh uang untuk diriku sendiri walau
kenyataannya gajiku tidak sebesar Upah Minimum Rakyat (UMR) Surabaya. Mulanya
aku pede saja. Tapi setelah dua bulan menjalaninya, ketidakpuasan dan kejengkelan
mulai memberondongku!
ABK yang aku dampingi
mengalami learning disability karena
sistem otaknya mengalami gangguan kejang ketika balita. Akibatnya, kemampuan
kognitif dan motoriknya terganggu. ABK ini walaupun berusia delapan tahun dan
duduk di kelas dua SD tapi seperti anak TK. Ia belum bisa sepenuhnya membaca,
menulis dan menghitung. Mewarnai saja berupa coretan dan sering tabrak garis
sana-sini. Problem seperti ini mungkin masih bisa aku atasi meskipun terkadang
aku merasa tensi darahku naik mendadak, geram! –tapi aku tak membencinya-. Nah,
problem lainnya yang membuatku stres adalah masalahnya dengan toilet training. Dia pipis dan poop di popoknya lalu aku harus
menggantikannya! Duh! Seperti hari ini. Ini bukan pertama kalinya aku menggantikan
popoknya tapi hari ini aku melihatnya terbengong-bengong dan justru
menginjak-injak pelan poop-nya! Aku
langsung muntah sejadi-jadinya. Spontan aku mengomel, “Nak, kamu kalau pengen poop bilang!”. Ouuhh, aku seharusnya
sadar diri, dinasehati berapa kali pun, anak itu tak akan pernah bisa
mengatakannya padaku. Why? Kata
bundanya, dia takut bilang, makanya orangtuanya membiasakannya menggunakan
popok. Padahal di rumah tidak begitu. Selain itu, dia terhambat dalam
wicaranya.
Jadi shadow teacher itu ternyata susah. Tapi
tergantung ABK yang didampingi. Ada pula ABK yang anteng dan penurut. Makanya
ada shadow teacher yang nyaman dengan
pekerjaan itu dengan upah yang hanya setengah UMR Surabaya. Sementara aku?
Helooo, aku lulusan universitas ternama se-Indonesia Timur, masa seolah kerja
sosial dengan upah minim??! Padahal aku mau jadi wanita karir di kantoran. Tapi
dengan start pengalaman pekerjaan
seperti ini apakah bisa menjadi batu loncatan yang baik untuk karirku ke depan?
Sesak rasanya. Tapi Tuhan Maha Pengasih. Terkadang kalau stres menemani murid
ABK-ku belajar, nanti ketika jam istirahat aku bercanda-tawa dengan anak-anak lain
yang “normal” dan lucu. Lalu ketika pulang sekolah aku sering berpapasan dengan
pemulung yang mengais sampah sepanjang aku berjalan pulang, aku berpikir,
“Berapa sih, upah yang mereka dapatkan? Pasti untuk membiayai dirinya sendiri
tak cukup, apalagi keluarganya? Jadi, aku lebih beruntung dong digaji sejuta. Aku
juga tak perlu bingung membayar uang kost karena ada bude yang berbaik hati
menampungku di rantau. Tapi aku lulusan S1, teman-temanku gajinya dua juta,”. Gejolak
hati seperti ini sering aku alami sampai tak terasa air mataku mengalir.
Aku jadi berpikir janji
Tuhan itu pasti. Siapa yang bersabar dan mensyukuri nikmat Tuhan, maka akan
ditambah kenikmatannya. Aku belajar
bersabar dan berempati pada ABK-ku atau ABK lain. Mereka anak-anak istimewa
untuk siapapun karena sebagai bahan introspeksi bagi kita, khususnya diriku
bahwa kita yang “sempurna” ini harus lebih bisa optimis dan memanfaatkan segala
pemberian Tuhan dengan baik.
Aku memang ingin
bekerja kantoran nantinya, tapi sahabatku benar bahwa aku diberi kesempatan
untuk mengaplikasikan ilmu psikologi klinisku terlebih dahulu, psikologi yang
juga membahas ABK-ABK itu.
Tuhan sudah memberikan
yang aku do’akan dan usahakan. Artinya, jika aku ingin lebih, maka aku harus
lebih giat berusaha dan terus yakin bahwa Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya. Selain
itu aku memang harus lebih banyak bersyukur, agar damai jiwaku.
-end-
*Ditulis untuk event buku #MyDream oleh Penerbit Diva Press dan lolos :) dengan catatan nama akun twitterku @agustinsudjono berganti jadi @agustin_sudjono
*Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyudutkan pihak mana pun. Mohon maaf sebesar-besarnya bila ada kata yang kurang berkenan. Tulisan ini murni berbagi kisah pelajaran untuk diambil sisi positifnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)