Kamis, 28 November 2013

Bersyukur Lebih Baik

credit
Maret 2013 lalu aku lulus menyandang gelar Sarjana Psikologi. Kini, aku melihat teman-temanku sudah bekerja cukup mapan dan ada pula yang melanjutkan kuliah profesi. Sementara aku? Aku memang sudah bekerja tapi belumlah mapan.
Kalian tahu? Aku ini wisudawan berpredikat cum laude tapi aku hanya shadow teacher atau guru pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sementara teman-temanku bekerja di kantoran, berkemeja rapi, berkutat dengan semua hal berbau HRD, berangkat pagi dan pulang sore.
Aku geram. Ini tak adil! Aku juga mau seperti teman-temanku. Tapi aku agak sial, aku gagal masuk perusahaan yang cukup besar pilihanku. Akhirnya aku berdo’a, “Ya Allah, berikan segera aku pekerjaan untuk meringankan beban kedua orangtuaku tapi berikan aku pekerjaan yang aku ikhlasi, Engkau barokahi,”. Kemudian tawaran menjadi shadow teacher datang dari seorang kawan. Aku serta-merta menerimanya karena aku butuh uang untuk diriku sendiri walau kenyataannya gajiku tidak sebesar Upah Minimum Rakyat (UMR) Surabaya. Mulanya aku pede saja. Tapi setelah dua bulan menjalaninya, ketidakpuasan dan kejengkelan mulai memberondongku!
ABK yang aku dampingi mengalami learning disability karena sistem otaknya mengalami gangguan kejang ketika balita. Akibatnya, kemampuan kognitif dan motoriknya terganggu. ABK ini walaupun berusia delapan tahun dan duduk di kelas dua SD tapi seperti anak TK. Ia belum bisa sepenuhnya membaca, menulis dan menghitung. Mewarnai saja berupa coretan dan sering tabrak garis sana-sini. Problem seperti ini mungkin masih bisa aku atasi meskipun terkadang aku merasa tensi darahku naik mendadak, geram! –tapi aku tak membencinya-. Nah, problem lainnya yang membuatku stres adalah masalahnya dengan toilet training. Dia pipis dan poop di popoknya lalu aku harus menggantikannya! Duh! Seperti hari ini. Ini bukan pertama kalinya aku menggantikan popoknya tapi hari ini aku melihatnya terbengong-bengong dan justru menginjak-injak pelan poop-nya! Aku langsung muntah sejadi-jadinya. Spontan aku mengomel, “Nak, kamu kalau pengen poop bilang!”. Ouuhh, aku seharusnya sadar diri, dinasehati berapa kali pun, anak itu tak akan pernah bisa mengatakannya padaku. Why? Kata bundanya, dia takut bilang, makanya orangtuanya membiasakannya menggunakan popok. Padahal di rumah tidak begitu. Selain itu, dia terhambat dalam wicaranya.
Jadi shadow teacher itu ternyata susah. Tapi tergantung ABK yang didampingi. Ada pula ABK yang anteng dan penurut. Makanya ada shadow teacher yang nyaman dengan pekerjaan itu dengan upah yang hanya setengah UMR Surabaya. Sementara aku? Helooo, aku lulusan universitas ternama se-Indonesia Timur, masa seolah kerja sosial dengan upah minim??! Padahal aku mau jadi wanita karir di kantoran. Tapi dengan start pengalaman pekerjaan seperti ini apakah bisa menjadi batu loncatan yang baik untuk karirku ke depan? Sesak rasanya. Tapi Tuhan Maha Pengasih. Terkadang kalau stres menemani murid ABK-ku belajar, nanti ketika jam istirahat aku bercanda-tawa dengan anak-anak lain yang “normal” dan lucu. Lalu ketika pulang sekolah aku sering berpapasan dengan pemulung yang mengais sampah sepanjang aku berjalan pulang, aku berpikir, “Berapa sih, upah yang mereka dapatkan? Pasti untuk membiayai dirinya sendiri tak cukup, apalagi keluarganya? Jadi, aku lebih beruntung dong digaji sejuta. Aku juga tak perlu bingung membayar uang kost karena ada bude yang berbaik hati menampungku di rantau. Tapi aku lulusan S1, teman-temanku gajinya dua juta,”. Gejolak hati seperti ini sering aku alami sampai tak terasa air mataku mengalir.
Aku jadi berpikir janji Tuhan itu pasti. Siapa yang bersabar dan mensyukuri nikmat Tuhan, maka akan ditambah  kenikmatannya. Aku belajar bersabar dan berempati pada ABK-ku atau ABK lain. Mereka anak-anak istimewa untuk siapapun karena sebagai bahan introspeksi bagi kita, khususnya diriku bahwa kita yang “sempurna” ini harus lebih bisa optimis dan memanfaatkan segala pemberian Tuhan dengan baik.
Aku memang ingin bekerja kantoran nantinya, tapi sahabatku benar bahwa aku diberi kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu psikologi klinisku terlebih dahulu, psikologi yang juga membahas ABK-ABK itu.
Tuhan sudah memberikan yang aku do’akan dan usahakan. Artinya, jika aku ingin lebih, maka aku harus lebih giat berusaha dan terus yakin bahwa Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya. Selain itu aku memang harus lebih banyak bersyukur, agar damai jiwaku.
-end-
*Ditulis untuk event buku #MyDream oleh Penerbit Diva Press dan lolos :) dengan catatan nama akun twitterku @agustinsudjono berganti jadi @agustin_sudjono
*Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyudutkan pihak mana pun. Mohon maaf sebesar-besarnya bila ada kata yang kurang berkenan. Tulisan ini murni berbagi kisah pelajaran untuk diambil sisi positifnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)