Kamis, 28 November 2013

I'm a Shadow

credit

Risa menggigit bibir bawahnya berulang kali. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Kedua tangannya mengepal-membuka bergantian selama lima menit terakhir. Sementara itu sorot matanya tertuju pada sosok bocah kelas satu di sebuah Sekolah Dasar (SD) inklusi[1] swasta. Bocah itu berkulit kuning langsat, rambut lurus yang terjurai sesekali menutupi wajahnya, senyumnya mengembang, langkah kakinya ke sana-sini, kedua tangannya mengayun tak tentu arah dan ia sedang berkejaran dengan teman sekelasnya. Dan bocah ini mengingatkan Risa pada seseorang yang menjadi sumber kecemasannya beberapa waktu terakhir.
Risa menatap anak itu dengan perasaan berkecamuk sampai ia lupa anak didiknya memanggil-manggil namanya dengan pelafalan yang tak jelas. Akhirnya, si anak didiknya bernama Nanda memeluknya secara mendadak, membuyarkan keterpakuan Risa.
“Hei! Apa, Nak?” tanya Risa lembut sambil merangkul Nanda.
“Eee... hihu... hain hola,” suara Nanda tak begitu jelas sambil menunjuk-nunjuk ke arah guru olah raga yang menggamit bola di antara lengan dan pinggul kanannya. Risa mengerti, Nanda ingin main bola. Nanda memang hobi main bola.
Nanda menunjuk sekali lagi. Risa memegang kedua pundak Nanda. “Nanda, ikut olah raga dulu, ya?” kata Risa.
“Apa?” tanya Nanda. Hanya kata itu yang sering terdengar jelas dari mulut Nanda.
“Nanda-ikut-olah raga. Main-bolanya-nanti-pas-istirahat. Oke?” usul Risa sambil mencoba gerakan tangan juga kalimat yang terputus-putus agar Nanda paham.
“Iyha,” sahut Nanda.
Sekalipun Nanda mengiyakan tapi ia malah menggelayutkan diri pada Risa. Risa sigap menyuruhnya untuk segera bergabung dengan teman yang lain.
Come on, Nanda! Olah raga dulu, baru main bola,” tegas Risa sambil menggiring Nanda ke arah barisan anak kelas dua berlabel kelas 2 (dua) Climbing.
Nanda masih bermalas-malasan. Maklum, moodnya kadang tak menentu. Kalau sudah malas, maunya menggelayutkan diri tapi jika Risa tak mau menjadi tempat ia bermanja diri maka Nanda bisa berteriak membentak dan mogok mengerjakan tugas di kelas.
Risa memaksa Nanda berdiri tegap dan “menyusupkan”nya di tengah barisan supaya Nanda tak lari dari barisan dan menuju dirinya. Setidaknya dulu pertama kali Risa menjadi shadow teacher (guru pendamping untuk Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK) untuk Nanda, Nanda sering bertingkah seperti itu. Belum lagi Nanda yang suka membelot  ketika pelajaran sedang berlangsung. Fokus Nanda sering terpecah ke mana-mana, padahal sebenarnya ia bisa memahami materi yang diajarkan. Walau memang, Nanda tidak bisa dengan jelas melafalkan kata, tidak bisa membaca, menulis apalagi menghitung. Semuanya berakar dari kejang ketika ia balita yang berimbas pada saraf pusatnya. Saraf pusat yang terganggu membuat perkembangan kognitif dan motoriknya tak maksimal. Sampai sekarang Nanda berusia delapan tahun tapi kemampuan kognitif dan mentalnya seperti anak berusia TK.
Nanda. Siswa laki-laki dengan learning disability atau hambatan belajar. Belum ada diagnosa ia menderita apa, orangtuanya juga hanya membawa Nanda ke terapi fisik “membenahi” saraf di sekitar otot leher untuk membantu kelancaran wicaranya. Risa juga tak bisa mendiagnosa Nanda kenapa, apalagi memberikan intervensi macam apa pun. Dia bukan psikolog yang berlisensi memberikan itu. Ia lulusan S1 Psikologi yang hanya berhak mengaplikasikan ilmu semasa kuliahnya, minimal mata kuliah “modifikasi perilaku”.
Nanda memang harus mendapatkan modifikasi perilaku, salah satunya terkait toilet training. Di rumah ia mau ke toilet sendiri untuk buang air, sementara di sekolah ia memakai popok –karena pembiasaan orangtua yang mengatakan Nanda takut bilang ke guru kalau ia mau buang air-. Akibatnya Risa harus siap mengganti popok Nanda ketika Nanda poop atau pipisnya sudah merembes ke pakaian terluarnya.  Hal ini membuat Risa stres mulanya. Tapi setelah masuk bulan kedua, Risa sudah bisa mengendalikan rasa tegang dan cemasnya terhadap segala konsekuensi menjadi shadow teacher Nanda, profesi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Baik, sekarang Risa sudah bisa mengatasi Nanda yang nyaris saja tidak bersemangat mengikuti pelajaran olahraga. Kini tampaknya Nanda sudah hanyut dalam riuh riang bersama kawan-kawannya. Risa lega. Tapi tiba-tiba saja ada yang menarik-narik kemejanya. Betapa mata Risa hendak copot keluar ketika tahu siapa yang melakukannya.
“Itu!!” suara anak lelaki itu dengan aura wajah garang dan menunjuk ke arah temannya.
Risa menoleh ke arah teman anak lelaki itu. Teman anak lelaki itu menjulur-julurkan lidah ke anak lelaki di samping Risa. Sementara anak lelaki di samping Risa sudah bersiap melayangkan bogem mentahnya. Risa pun melerai keduanya.
No, no, no! Nggak boleh bertengkar, ya? Itu pelanggaran,” kata Risa sembari ujung jarinya bergerak ke kanan-ke kiri kepada kedua anak itu.
Setelah dirasa keduanya tak bersitenggang, si teman berlari ke arah lain, Risa mengelus punggung anak lelaki tadi dengan hati-hati. Rasa tegang dan cemas kembali menerpa Risa karena bocah itu adalah anak yang diamatinya sedari tadi.
“Nama kamu siapa?”
“Viko,”
“Oh, Viko,” sahut Risa mencoba tersenyum lembut. “Viko, nggak boleh berantem ya sama temen. Kalau berantem nanti Viko nggak punya temen lagi,”
“Dia dulu!” sergah Viko.
“Iya, tapi jangan dibales sama pukul, ya? Bilang, jangan pukul aku! Jangan berantem ya, nanti nggak punya temen, loh. Nggak bisa main sama-sama,” jelas Risa sebisanya. Ia juga tak banyak pengalaman menjadi guru yang baik dan benar seperti apa, apalagi untuk anak-anak SD, terutama ABK yang masih membutuhkan role model tepat dan benar agar bisa menjamin perkembangan perilaku dan karakter yang baik di jenjang pendidikan selanjutnya dan kesehariannya.
“Nah, sekarang Viko kembali ke kelompok kelas satu. Olahraganya belum selesai. Sana! Ke pak Samsul, ya?” suruh Risa.
“Sama Ibu,” pinta Viko menyentuh hati Risa. Risa tak menyangka saja. Padahal baru kali ini dia berinteraksi dengan Viko.
Risa menuruti Viko dan “menyerahkan” Viko pada guru olah raga kelas satu.
Risa membalikkan badan hendak pergi tapi Viko menarik kuat kemeja Risa.
“Apa, Viko?”
Viko melambaikan tangan, memberi tanda agar Risa menunduk.
Risa menunduk dan CUPP! Viko mencium pipi Risa. Risa mendelik lalu tertegun. Sedetik kemudian ia menyunggingkan senyumnya. Ia mengelus lembut dagu Viko.
“Olah raga dulu ya, Nak! Semangat!” kata Risa mengepalkan kedua tangan memberi semangat.
Viko tersenyum lebar lalu berpaling ke arah pak Samsul. Sementara Risa berjalan ke arah gazebo, lebih dekat dengan gerombolan anak kelas dua. Ia duduk dengan tatapan mata kosong tapi pikirannya kembali berkecamuk. Perasaannya juga tak bisa didefinisikan secara pasti. Tangannya mengelus-elus pipi kanannya yang dicium Viko.
#
Risa kelojotan di atas kasur. Ia meringkuk memegangi perutnya. Perutnya bermasalah karena kemarin seharian makan pedas dari pagi sampai malam.
Keadaan dirinya bertambah kacau karena pertemuan yang sungguh tak terduga dengan sosok yang ia lihat dalam diri Viko tadi siang.
Kali ini bertatapan langsung dengan sosok itu membuat perasaan Risa menjadi tak keruan. Nyaris sembilan tahun lamanya mereka tak berjumpa semenjak kematian kakak perempuan Risa satu-satunya. Kala itu Risa masih duduk di bangku SMA kelas sepuluh.
Ale. Aleandro Sukotjo. Lelaki cinta pertama dan terakhir Siska, kakak perempuan Risa. Cinta pertama ketika mereka menjadi rekan kerja di sebuah bank swasta. Cinta terakhir untuk Siska sebelum kepergiannya karena kecelakaan maut.
Kini lelaki itu sudah menjelma sebagai lelaki dewasa dengan seorang anak lelaki tampan walau memiliki wajah  mongolism, wajah khas anak Down Syndrome[2].
Ya, Viko Aleandro Putra adalah anak dengan Down Syndrome.
Risa tak menyangkanya. Sekian tahun tak pernah bersua, tak pernah memperoleh kabar tentang Ale, kali ini Tuhan mempertemukan keduanya dengan status yang sudah berbeda. Dan... dengan kondisi yang... ah, Risa speechless. Ale-Viko-Down Syndrome.
 “Risa!” seru Ale ketika bertatap muka dengan Risa. Ia terkejut.
Risa juga terperanjat. Seketika ia mengambil langkah sejengkal ke belakang. Ia tak mau bersua dengan Ale atau setidaknya jangan sekarang. Tapi tubuh Risa terpancang di tempat. Entah, kakinya seolah tak mau bergerak untuk segera berlari. Tapi ia ingin sekali berlari. Tapi mana mungkin, Ale semakin dekat saja jaraknya.
“Risa, kan?” tanya Ale memastikan. Risa mengangguk bak robot. Tersenyum pun kaku.
“Apa kabar?” tanya Ale bersemangat, senyumnya merekah. Tangannya memegang pundak Risa mantab kemudian melepaskannya pelan.
“B-ba-baik, Mas,” Risa cepat merespon tapi kikuk.
“Bapak sama ibu apa kabar?”
“Baik,”
“Kamu ngapain di sini?”
“Aku jadi shadow teacher di sini,”
“Oh, ya? Kelas berapa? Anakku juga di sini,”
“Iya tahu,” Risa nyeplos begitu saja. Ya, dia memang tahu kalau Viko anak Ale karena sebelumnya Risa sudah terlebih dulu dikagetkan pada minggu-minggu pertama ia bekerja. Ia melihat Ale nyaris tiap hari berjalan berdampingan dengan Viko sampai depan pintu kelas dan bertemu shadow teacher-nya. Tampaknya Ale tak menyadari itu. Jelas saja, Risa selalu menyembunyikan dirinya dari Ale. “Beberapa waktu lalu tahu Mas nganter,” imbuh Risa.
“Iya. Namanya Viko, masih kelas satu,”
“Kebetulan nih, kita ketemu. Pulang sekolah ada waktu? Makan siang bareng, yuk! Sama Viko juga. Kamu pulangnya sama kayak Viko, kan, jam dua belas?”
Risa menelan ludah. Secara tiba-tiba jantungnya berpacu lebih kencang. Ia ingin menolak tapi tak punya alasannya, berbohong sekalipun tak bisa. Di hati kecilnya, ia juga ingin menjalin kembali silaturahim yang sempat terputus selama ini. Lagipula perasaan maha dahsyat bertahun-tahun lalu itu ternyata tak pernah musnah sama sekali. Tapi rasa malu teramat sangat pada Ale sesaat setelah Siska pergi, tak bisa Risa lupakan.
Risa tahu tindakannya kala itu konyol, menawarkan diri menjadi pelipur lara Ale atas kepergian Siska, kakak kandungnya sendiri. Risa dengan lantang menyatakan ia juga mencintai Ale. Jelas, ini adalah cinta terlarang. Mencintai pacar saudara sendiri. Tapi Risa tak bisa dengan mudah mengontrol perasaannya. Terlebih ketika Ale jatuh terpuruk sepeninggal Siska.
Risa menyesal setelah waktu itu berlalu. Beban malu tak terperikan dan rasa bersalah pada mendiang Siska. Risa kalut dengan perasaannya sendiri. Sementara itu Ale pergi bak ditelan bumi. Kisah asmara Risa yang bertepuk sebelah tangan tinggal cerita.
Tapi kini ia dihadapkan pada masa lalu itu. Mungkinkah hanya akan menjadi cerita -lagi- seperti sebelumnya? Risa akan membuktikannya seiring berjalannya waktu. Dimulai dengan cerita makan siang bersama.
Ale menepati janjinya mengajak Risa makan siang di sebuah restoran sehat di tengah kota Surabaya. Ale, Risa dan Viko.
Ketika mereka bertiga bertemu, Viko berseru kegirangan.
“Horeee, Ibu ikut makan,” seru Viko sambil terlihat gemas mencengkeram tangan Risa.
“Sayang, jangan gitu. Tangannya bu Risa nanti sakit,” kata Viko.
“Nggak kok, Mas. Dia gemes paling,” sahut Risa. “Ya, Viko? Viko gemes sama bu Risa?” tanya Risa pada Viko.
Viko tersenyum lebar.
Mereka berdua duduk bertiga di suatu sudut restoran dan segera memesan makanan. Di sana ada makanan yang bisa menjadi alternatif untuk anak Down Syndrome, sehingga Ale tak perlu khawatir mengajak makan Viko di sana.
Risa mencoba membuka pembicaraan basa-basi dengan Ale. “Emm... Mas... kita bertiga di sini nggak apa-apa?” tanya Risa berbelit, berharap Ale paham.
“Jelas nggak apa-apalah. Atau kamu yang kenapa-kenapa? Sudah izin cowok kamu belum?”
Risa melotot kemudian mukanya memerah. “Ah, Mas... cowok apaan? Aku nggak apa-apa, kok. Emm.. maksudku... mama, mamanya Viko,”
“Ouh, sorry, sorry... nggak apa-apa. Virni sudah meninggal sejak Viko masih bayi,”
Risa tertegun. Meninggal? Sejak bayi? Lelaki dewasa muda yang tampan dan duda dengan anak Down Syndrome. Seketika Risa merasakan suasana masa lalu. Rasa pedih nan pilu menyelimuti Ale dan seolah menjalar ke hati Risa pula.
“Entah ya... kenapa Tuhan selalu mengambil orang yang aku cintai,” celetuk Ale tersenyum pilu. Tampak ia memaksakan diri tersenyum.
Risa menelan ludah dan otaknya berpikir kata-kata apa yang tepat untuk menghibur Ale. Yang jelas bukan melakukan kekonyolannya waktu dulu.
“Sabar, Mas. Nggak ada hamba yang disayang Tuhan tanpa diberi ujian dan cobaan. Kenaikan derajat kehidupan, Mas,”
Ale tersenyum menatap Risa.
“Jadi, kamu jadi shadow teacher? Gimana rasanya?” tanya Ale mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya, gitu deh. Butuh kesabaran ekstra,”
“Sudah lama?”
“Dua bulan,”
“Kenapa pilih jadi shadow teacher?”
“Ya, ini sinkron banget sama kuliahku dulu, psikologi klinis. Aplikasi ilmu lah. Tapi aslinya aku pengen kerja di bagian HRD, Mas. Aku pengen jadi wanita karir,”
“Ya, ditelateni aja, Ris. Beramal ilmu. Siapa tahu ke depan kamu bisa lebih dari ini. Yang penting di sini,” Ale menepuk dadanya. “Keikhlasan dan kesungguhan hati. Jangan lupa berdoa dan berserah, biar Tuhan yang bertindak terbaik buat kamu. Aku sekarang usaha restoran loh, Ris. Aku keluar dari bank. Aku pengen wiraswasta sendiri,”
“Oh, ya? Jadi cita-cita bareng mbak Siska dulu masih ada, ya? Kesampaian sekarang?” tanya Risa. Ale mengangguk tersenyum simpul.
“Pa! Papa! Ini!” teriak Viko dari kejauhan menunjuk ikan Arwana di sebuah akuarium besar di suatu sudut restoran yang lain. Ale melambai dan mengacungkan jempol.
Beberapa menit kemudian setelah mereka bercengkerama, Ale melambaikan tangan ke arah belakang Risa. Risa ikut menoleh.
Risa melongo, takjub. Seorang wanita berjalan mendekat ke meja mereka. Nun ayu tiada terkira.
“Hai, Hunny, maaf terlambat. Ada meeting,” ucap wanita itu sembari mencium pipi kiri dan kanan Ale.
Risa merasa hatinya terbakar hebat. Dan kini kuncup yang semula bersemangat untuk mekar kini layu, lesu, kuyu.
No problem. Hun, ini gurunya Viko. Adik teman dekatku dulu,”
Risa mengerucutkan kelopak matanya sedikit tersinggung.
Wanita itu melempar senyuman pada Risa dan mengulurkan tangan.
“Andien,”
“Risa,”
Keduanya tersenyum. Tapi Risa jelas tersenyum yang dipaksakan.
“Dia calon ibu Viko, Ris,” tegas Viko membuat Risa merasa bumi meledak bak teori Big Bang, BOOM!!!
Lidah Risa kelu nan kaku. “Ja-jadi... Mbak Andien calonnya Mas Ale?” tanyanya untuk memastikan.
Mereka berdua mengangguk tersenyum menambah sayatan luka di kuncup bunga yang telah layu. Rasanya kini kursi dengan busa empuk yang didudukinya  juga terasa seperti berduri tajam, membuat pantat Risa ingin segera beranjak mencuat jauh.
“Oohh.. begitu...” Risa mengambil nafas berat.
Kini kuncup itu mati.
“Selamat, ya,” sambung Risa.
“Terima kasih. Nanti undangannya nyusul. Dateng, ya?” tukas Ale.
Risa mengangguk tersenyum tapi hatinya pedih.
“Bu, ayo ke sini!” Viko datang tiba-tiba dan langsung menyeret tangan Risa.
Sementara Andien mencoba menyapa Viko dengan lembut tapi justru Viko membentak Andien.
“Huh! Nggak mau!!” bentak Viko.
“Viko!” sentak papanya.
“Huh!” suara Viko pada papanya. “Ayo, lihat ikan! Sana!” Viko menyeret terus tangan Risa dan sebelah tangannya menunjuk ke akuarium besar.
Risa mengikuti langkah Viko. Sedikit ada kelegaan. Setidaknya untuk detik ini karena ia tak tahan melihat Ale bersandingan dengan wanita yang lebih sempurna darinya.
Risa larut bermain dengan Viko bahkan makan semeja dengan Viko, terpisah dari Ale dan Andien. Sesekali Risa mencuri pandang ke arah mereka berdua. Pediiihhh.
Ternyata baik dulu maupun sekarang Risa tiada artinya di hati Ale. Menjadi bayangan kakaknya untuk bisa dicintai Ale juga tak bisa. Tapi apa untungnya menjadi sebuah bayangan? Maya, kelihatan riil tapi bukan yang sebenarnya. Terkecuali guru bayangan. Mereka riil dan amat penting untuk bisa membantu para ABK bisa struggle di kehidupan sehari-hari khususnya di sekolah, bisa  memahami materi di sekolah umum, bersosialisasi dengan teman-teman mereka yang “normal” dan bisa hidup layaknya orang “normal” juga.
Ya, dari sekian banyak “bayangan” yang diketahui Risa, hanya jadi guru bayangan atau shadow teacher lah yang paling nyata baginya.
Risa tersentak bangun dari pikirannya yang berkecamuk tentang Ale tadi siang setelah ponselnya menyalak keras di dekat kepalanya.
Satu panggilan masuk dari pak Fahmi, guru di kelas Nanda.
“Halo, Bu Risa?”
“Ya, Pak Fahmi? Ada apa?”
“Besok pulang sekolah free nggak?”
“Kayaknya iya. Kenapa, ya?”
“Mau nonton NBL[3] besok? Saya ada tiket free entry, VIP, Bu. Beberapa waktu lalu Bu Risa bilang suka nonton basket, jadi saya ngajak Bu Risa. Bu Risa masih suka nonton NBL, kan?”
“Wah! Mau banget, Pak!” suara Risa kegirangan.
“Kalau begitu besok ketemu sepulang sekolah, ya?”
“Oke,”
Beep. Suara telepon terputus.
Senyum Risa mengembang karena diajak nonton pak guru paling ganteng satu sekolah. Aduh... rasanya mulasnya hilang, kegalauan patah hati karena Ale hilang. Mudah-mudahan bukan hanya sementara.
Semoga aku bisa benar-benar move on ke depannya. Aku memang shadow teacher, tapi bukan berarti aku harus jadi bayangan untuk sisi hidupku yang lain. Heeemmm... asmara... deritanya tiada akhir, kata  Cu Pat Kai. Ya, sudahlah... sekarang waktunya senang-senang dengan semua yang aku miliki. Termasuk pekerjaan mulia untuk ABK. Lagipula  jodoh nggak akan lari ke mana.
-end-


*Ditulis untuk event lomba menulis  Love In The City: Pilih Karir atau Jodoh? oleh @nbc_ipb tapi nggak lolos :') dan sekarang ikutan Moment to Remember 2013 dengan tema karir



[1] Sekolah regular (biasa) yang menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. (sumber: http://upikke.staff.ipb.ac.id/2011/06/07/sekolah-inklusi-bagaimanakah/)
[2] Suatu kelainan kromosom pada kromosom 21 di mana terjadi penambahan jumlah kromosom sehingga menyebabkan gangguan keterbelakangan mental pada anak (sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/29/11191896/Teori.Baru.Penyebab.Down.Syndrome ) 
[3] National Basketball League, liga basket tertinggi di Indonesia.

1 komentar:

  1. Shadow teacher. Nice. Aku juga dulu berhubungan dnegan profesi ini wkt msh jd tim psikolog sekolah. Semangat terus. :')

    BalasHapus

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)