credit |
Risa menggigit bibir
bawahnya berulang kali. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Kedua tangannya
mengepal-membuka bergantian selama lima menit terakhir. Sementara itu sorot
matanya tertuju pada sosok bocah kelas satu di sebuah Sekolah Dasar (SD) inklusi[1]
swasta. Bocah itu berkulit kuning langsat, rambut lurus yang terjurai sesekali
menutupi wajahnya, senyumnya mengembang, langkah kakinya ke sana-sini, kedua
tangannya mengayun tak tentu arah dan ia sedang berkejaran dengan teman
sekelasnya. Dan bocah ini mengingatkan Risa pada seseorang yang menjadi sumber
kecemasannya beberapa waktu terakhir.
Risa menatap anak itu
dengan perasaan berkecamuk sampai ia lupa anak didiknya memanggil-manggil
namanya dengan pelafalan yang tak jelas. Akhirnya, si anak didiknya bernama
Nanda memeluknya secara mendadak, membuyarkan keterpakuan Risa.
“Hei! Apa, Nak?” tanya
Risa lembut sambil merangkul Nanda.
“Eee... hihu... hain hola,”
suara Nanda tak begitu jelas sambil menunjuk-nunjuk ke arah guru olah raga yang
menggamit bola di antara lengan dan pinggul kanannya. Risa mengerti, Nanda
ingin main bola. Nanda memang hobi main bola.
Nanda menunjuk sekali
lagi. Risa memegang kedua pundak Nanda. “Nanda, ikut olah raga dulu, ya?” kata
Risa.
“Apa?” tanya Nanda.
Hanya kata itu yang sering terdengar jelas dari mulut Nanda.
“Nanda-ikut-olah raga.
Main-bolanya-nanti-pas-istirahat. Oke?” usul Risa sambil mencoba gerakan tangan
juga kalimat yang terputus-putus agar Nanda paham.
“Iyha,” sahut Nanda.
Sekalipun Nanda
mengiyakan tapi ia malah menggelayutkan diri pada Risa. Risa sigap menyuruhnya
untuk segera bergabung dengan teman yang lain.
“Come on, Nanda! Olah raga dulu, baru main bola,” tegas Risa sambil
menggiring Nanda ke arah barisan anak kelas dua berlabel kelas 2 (dua) Climbing.
Nanda masih
bermalas-malasan. Maklum, moodnya
kadang tak menentu. Kalau sudah malas, maunya menggelayutkan diri tapi jika
Risa tak mau menjadi tempat ia bermanja diri maka Nanda bisa berteriak
membentak dan mogok mengerjakan tugas di kelas.
Risa memaksa Nanda
berdiri tegap dan “menyusupkan”nya di tengah barisan supaya Nanda tak lari dari
barisan dan menuju dirinya. Setidaknya dulu pertama kali Risa menjadi shadow teacher (guru pendamping untuk Anak
Berkebutuhan Khusus atau ABK) untuk Nanda, Nanda sering bertingkah seperti itu.
Belum lagi Nanda yang suka membelot ketika pelajaran sedang berlangsung. Fokus
Nanda sering terpecah ke mana-mana, padahal sebenarnya ia bisa memahami materi
yang diajarkan. Walau memang, Nanda tidak bisa dengan jelas melafalkan kata,
tidak bisa membaca, menulis apalagi menghitung. Semuanya berakar dari kejang
ketika ia balita yang berimbas pada saraf pusatnya. Saraf pusat yang terganggu
membuat perkembangan kognitif dan motoriknya tak maksimal. Sampai sekarang
Nanda berusia delapan tahun tapi kemampuan kognitif dan mentalnya seperti anak
berusia TK.
Nanda. Siswa laki-laki
dengan learning disability atau
hambatan belajar. Belum ada diagnosa ia menderita apa, orangtuanya juga hanya
membawa Nanda ke terapi fisik “membenahi” saraf di sekitar otot leher untuk
membantu kelancaran wicaranya. Risa juga tak bisa mendiagnosa Nanda kenapa, apalagi
memberikan intervensi macam apa pun. Dia bukan psikolog yang berlisensi
memberikan itu. Ia lulusan S1 Psikologi yang hanya berhak mengaplikasikan ilmu semasa kuliahnya, minimal mata
kuliah “modifikasi perilaku”.
Nanda memang harus mendapatkan
modifikasi perilaku, salah satunya terkait toilet
training. Di rumah ia mau ke toilet sendiri untuk buang air, sementara di
sekolah ia memakai popok –karena pembiasaan orangtua yang mengatakan Nanda
takut bilang ke guru kalau ia mau buang air-. Akibatnya Risa harus siap
mengganti popok Nanda ketika Nanda poop
atau pipisnya sudah merembes ke pakaian terluarnya. Hal ini membuat Risa stres mulanya. Tapi setelah
masuk bulan kedua, Risa sudah bisa mengendalikan rasa tegang dan cemasnya
terhadap segala konsekuensi menjadi shadow
teacher Nanda, profesi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Baik, sekarang Risa
sudah bisa mengatasi Nanda yang nyaris saja tidak bersemangat mengikuti
pelajaran olahraga. Kini tampaknya Nanda sudah hanyut dalam riuh riang bersama
kawan-kawannya. Risa lega. Tapi tiba-tiba saja ada yang menarik-narik
kemejanya. Betapa mata Risa hendak copot keluar ketika tahu siapa yang
melakukannya.
“Itu!!” suara anak
lelaki itu dengan aura wajah garang dan menunjuk ke arah temannya.
Risa menoleh ke arah
teman anak lelaki itu. Teman anak lelaki itu menjulur-julurkan lidah ke anak
lelaki di samping Risa. Sementara anak lelaki di samping Risa sudah bersiap
melayangkan bogem mentahnya. Risa pun melerai keduanya.
“No, no, no! Nggak boleh bertengkar, ya? Itu pelanggaran,” kata Risa
sembari ujung jarinya bergerak ke kanan-ke kiri kepada kedua anak itu.
Setelah dirasa keduanya
tak bersitenggang, si teman berlari ke arah lain, Risa mengelus punggung anak
lelaki tadi dengan hati-hati. Rasa tegang dan cemas kembali menerpa Risa karena
bocah itu adalah anak yang diamatinya sedari tadi.
“Nama kamu siapa?”
“Viko,”
“Oh, Viko,” sahut Risa
mencoba tersenyum lembut. “Viko, nggak boleh berantem ya sama temen. Kalau
berantem nanti Viko nggak punya temen lagi,”
“Dia dulu!” sergah
Viko.
“Iya, tapi jangan
dibales sama pukul, ya? Bilang, jangan
pukul aku! Jangan berantem ya, nanti nggak punya temen, loh. Nggak bisa
main sama-sama,” jelas Risa sebisanya. Ia juga tak banyak pengalaman menjadi
guru yang baik dan benar seperti apa, apalagi untuk anak-anak SD, terutama ABK
yang masih membutuhkan role model
tepat dan benar agar bisa menjamin perkembangan perilaku dan karakter yang baik
di jenjang pendidikan selanjutnya dan kesehariannya.
“Nah, sekarang Viko
kembali ke kelompok kelas satu. Olahraganya belum selesai. Sana! Ke pak Samsul,
ya?” suruh Risa.
“Sama Ibu,” pinta Viko
menyentuh hati Risa. Risa tak menyangka saja. Padahal baru kali ini dia
berinteraksi dengan Viko.
Risa menuruti Viko dan
“menyerahkan” Viko pada guru olah raga kelas satu.
Risa membalikkan badan
hendak pergi tapi Viko menarik kuat kemeja Risa.
“Apa, Viko?”
Viko melambaikan tangan,
memberi tanda agar Risa menunduk.
Risa menunduk dan CUPP!
Viko mencium pipi Risa. Risa mendelik lalu tertegun. Sedetik kemudian ia
menyunggingkan senyumnya. Ia mengelus lembut dagu Viko.
“Olah raga dulu ya,
Nak! Semangat!” kata Risa mengepalkan kedua tangan memberi semangat.
Viko tersenyum lebar
lalu berpaling ke arah pak Samsul. Sementara Risa berjalan ke arah gazebo,
lebih dekat dengan gerombolan anak kelas dua. Ia duduk dengan tatapan mata
kosong tapi pikirannya kembali berkecamuk. Perasaannya juga tak bisa
didefinisikan secara pasti. Tangannya mengelus-elus pipi kanannya yang dicium
Viko.
#
Risa kelojotan di atas
kasur. Ia meringkuk memegangi perutnya. Perutnya bermasalah karena kemarin
seharian makan pedas dari pagi sampai malam.
Keadaan dirinya bertambah
kacau karena pertemuan yang sungguh tak terduga dengan sosok yang ia lihat
dalam diri Viko tadi siang.
Kali ini bertatapan langsung
dengan sosok itu membuat perasaan Risa menjadi tak keruan. Nyaris sembilan
tahun lamanya mereka tak berjumpa semenjak kematian kakak perempuan Risa
satu-satunya. Kala itu Risa masih duduk di bangku SMA kelas sepuluh.
Ale. Aleandro Sukotjo.
Lelaki cinta pertama dan terakhir Siska, kakak perempuan Risa. Cinta pertama
ketika mereka menjadi rekan kerja di sebuah bank swasta. Cinta terakhir untuk Siska
sebelum kepergiannya karena kecelakaan maut.
Kini lelaki itu sudah
menjelma sebagai lelaki dewasa dengan seorang anak lelaki tampan walau memiliki
wajah mongolism, wajah khas anak Down Syndrome[2].
Ya, Viko Aleandro Putra
adalah anak dengan Down Syndrome.
Risa tak menyangkanya.
Sekian tahun tak pernah bersua, tak pernah memperoleh kabar tentang Ale, kali
ini Tuhan mempertemukan keduanya dengan status yang sudah berbeda. Dan...
dengan kondisi yang... ah, Risa speechless.
Ale-Viko-Down Syndrome.
“Risa!” seru Ale ketika bertatap muka dengan
Risa. Ia terkejut.
Risa juga terperanjat.
Seketika ia mengambil langkah sejengkal ke belakang. Ia tak mau bersua dengan
Ale atau setidaknya jangan sekarang. Tapi tubuh Risa terpancang di tempat.
Entah, kakinya seolah tak mau bergerak untuk segera berlari. Tapi ia ingin
sekali berlari. Tapi mana mungkin, Ale semakin dekat saja jaraknya.
“Risa, kan?” tanya Ale
memastikan. Risa mengangguk bak robot. Tersenyum pun kaku.
“Apa kabar?” tanya Ale
bersemangat, senyumnya merekah. Tangannya memegang pundak Risa mantab kemudian
melepaskannya pelan.
“B-ba-baik, Mas,” Risa
cepat merespon tapi kikuk.
“Bapak sama ibu apa
kabar?”
“Baik,”
“Kamu ngapain di sini?”
“Aku jadi shadow teacher di sini,”
“Oh, ya? Kelas berapa?
Anakku juga di sini,”
“Iya tahu,” Risa
nyeplos begitu saja. Ya, dia memang tahu kalau Viko anak Ale karena sebelumnya
Risa sudah terlebih dulu dikagetkan pada minggu-minggu pertama ia bekerja. Ia
melihat Ale nyaris tiap hari berjalan berdampingan dengan Viko sampai depan pintu
kelas dan bertemu shadow teacher-nya.
Tampaknya Ale tak menyadari itu. Jelas saja, Risa selalu menyembunyikan dirinya
dari Ale. “Beberapa waktu lalu tahu Mas nganter,” imbuh Risa.
“Iya. Namanya Viko,
masih kelas satu,”
“Kebetulan nih, kita
ketemu. Pulang sekolah ada waktu? Makan siang bareng, yuk! Sama Viko juga. Kamu
pulangnya sama kayak Viko, kan, jam dua belas?”
Risa menelan ludah.
Secara tiba-tiba jantungnya berpacu lebih kencang. Ia ingin menolak tapi tak
punya alasannya, berbohong sekalipun tak bisa. Di hati kecilnya, ia juga ingin
menjalin kembali silaturahim yang sempat terputus selama ini. Lagipula perasaan
maha dahsyat bertahun-tahun lalu itu ternyata tak pernah musnah sama sekali. Tapi
rasa malu teramat sangat pada Ale sesaat setelah Siska pergi, tak bisa Risa
lupakan.
Risa tahu tindakannya
kala itu konyol, menawarkan diri menjadi pelipur lara Ale atas kepergian Siska,
kakak kandungnya sendiri. Risa dengan lantang menyatakan ia juga mencintai Ale.
Jelas, ini adalah cinta terlarang. Mencintai pacar saudara sendiri. Tapi Risa
tak bisa dengan mudah mengontrol perasaannya. Terlebih ketika Ale jatuh
terpuruk sepeninggal Siska.
Risa menyesal setelah
waktu itu berlalu. Beban malu tak terperikan dan rasa bersalah pada mendiang
Siska. Risa kalut dengan perasaannya sendiri. Sementara itu Ale pergi bak
ditelan bumi. Kisah asmara Risa yang bertepuk sebelah tangan tinggal cerita.
Tapi kini ia dihadapkan
pada masa lalu itu. Mungkinkah hanya akan menjadi cerita -lagi- seperti
sebelumnya? Risa akan membuktikannya seiring berjalannya waktu. Dimulai dengan
cerita makan siang bersama.
Ale menepati janjinya
mengajak Risa makan siang di sebuah restoran sehat di tengah kota Surabaya.
Ale, Risa dan Viko.
Ketika mereka bertiga
bertemu, Viko berseru kegirangan.
“Horeee, Ibu ikut
makan,” seru Viko sambil terlihat gemas mencengkeram tangan Risa.
“Sayang, jangan gitu.
Tangannya bu Risa nanti sakit,” kata Viko.
“Nggak kok, Mas. Dia
gemes paling,” sahut Risa. “Ya, Viko? Viko gemes sama bu Risa?” tanya Risa pada
Viko.
Viko tersenyum lebar.
Mereka berdua duduk bertiga
di suatu sudut restoran dan segera memesan makanan. Di sana ada makanan yang
bisa menjadi alternatif untuk anak Down Syndrome,
sehingga Ale tak perlu khawatir mengajak makan Viko di sana.
Risa mencoba membuka
pembicaraan basa-basi dengan Ale. “Emm... Mas... kita bertiga di sini nggak
apa-apa?” tanya Risa berbelit, berharap Ale paham.
“Jelas nggak apa-apalah.
Atau kamu yang kenapa-kenapa? Sudah izin cowok kamu belum?”
Risa melotot kemudian
mukanya memerah. “Ah, Mas... cowok apaan? Aku nggak apa-apa, kok. Emm..
maksudku... mama, mamanya Viko,”
“Ouh, sorry, sorry... nggak apa-apa. Virni
sudah meninggal sejak Viko masih bayi,”
Risa tertegun.
Meninggal? Sejak bayi? Lelaki dewasa
muda yang tampan dan duda dengan anak Down
Syndrome. Seketika Risa merasakan suasana masa lalu. Rasa pedih nan pilu
menyelimuti Ale dan seolah menjalar ke hati Risa pula.
“Entah ya... kenapa
Tuhan selalu mengambil orang yang aku cintai,” celetuk Ale tersenyum pilu.
Tampak ia memaksakan diri tersenyum.
Risa menelan ludah dan
otaknya berpikir kata-kata apa yang tepat untuk menghibur Ale. Yang jelas bukan
melakukan kekonyolannya waktu dulu.
“Sabar, Mas. Nggak ada
hamba yang disayang Tuhan tanpa diberi ujian dan cobaan. Kenaikan derajat
kehidupan, Mas,”
Ale tersenyum menatap
Risa.
“Jadi, kamu jadi shadow teacher? Gimana rasanya?” tanya
Ale mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya, gitu deh. Butuh
kesabaran ekstra,”
“Sudah lama?”
“Dua bulan,”
“Kenapa pilih jadi shadow teacher?”
“Ya, ini sinkron banget
sama kuliahku dulu, psikologi klinis. Aplikasi ilmu lah. Tapi aslinya aku
pengen kerja di bagian HRD, Mas. Aku pengen jadi wanita karir,”
“Ya, ditelateni aja,
Ris. Beramal ilmu. Siapa tahu ke depan kamu bisa lebih dari ini. Yang penting
di sini,” Ale menepuk dadanya. “Keikhlasan dan kesungguhan hati. Jangan lupa
berdoa dan berserah, biar Tuhan yang bertindak terbaik buat kamu. Aku sekarang
usaha restoran loh, Ris. Aku keluar dari bank. Aku pengen wiraswasta sendiri,”
“Oh, ya? Jadi cita-cita
bareng mbak Siska dulu masih ada, ya? Kesampaian sekarang?” tanya Risa. Ale
mengangguk tersenyum simpul.
“Pa! Papa! Ini!” teriak
Viko dari kejauhan menunjuk ikan Arwana di sebuah akuarium besar di suatu sudut
restoran yang lain. Ale melambai dan mengacungkan jempol.
Beberapa menit kemudian
setelah mereka bercengkerama, Ale melambaikan tangan ke arah belakang Risa.
Risa ikut menoleh.
Risa melongo, takjub. Seorang
wanita berjalan mendekat ke meja mereka. Nun ayu tiada terkira.
“Hai, Hunny, maaf terlambat. Ada meeting,” ucap wanita itu sembari
mencium pipi kiri dan kanan Ale.
Risa merasa hatinya
terbakar hebat. Dan kini kuncup yang semula bersemangat untuk mekar kini layu,
lesu, kuyu.
“No problem. Hun, ini
gurunya Viko. Adik teman dekatku dulu,”
Risa mengerucutkan
kelopak matanya sedikit tersinggung.
Wanita itu melempar
senyuman pada Risa dan mengulurkan tangan.
“Andien,”
“Risa,”
Keduanya tersenyum.
Tapi Risa jelas tersenyum yang dipaksakan.
“Dia calon ibu Viko,
Ris,” tegas Viko membuat Risa merasa bumi meledak bak teori Big Bang, BOOM!!!
Lidah Risa kelu nan
kaku. “Ja-jadi... Mbak Andien calonnya Mas Ale?” tanyanya untuk memastikan.
Mereka berdua
mengangguk tersenyum menambah sayatan luka di kuncup bunga yang telah layu. Rasanya
kini kursi dengan busa empuk yang didudukinya
juga terasa seperti berduri tajam, membuat pantat Risa ingin segera
beranjak mencuat jauh.
“Oohh.. begitu...” Risa
mengambil nafas berat.
Kini kuncup itu mati.
“Selamat, ya,” sambung
Risa.
“Terima kasih. Nanti undangannya
nyusul. Dateng, ya?” tukas Ale.
Risa mengangguk
tersenyum tapi hatinya pedih.
“Bu, ayo ke sini!” Viko
datang tiba-tiba dan langsung menyeret tangan Risa.
Sementara Andien
mencoba menyapa Viko dengan lembut tapi justru Viko membentak Andien.
“Huh! Nggak mau!!”
bentak Viko.
“Viko!” sentak papanya.
“Huh!” suara Viko pada
papanya. “Ayo, lihat ikan! Sana!” Viko menyeret terus tangan Risa dan sebelah
tangannya menunjuk ke akuarium besar.
Risa mengikuti langkah
Viko. Sedikit ada kelegaan. Setidaknya untuk detik ini karena ia tak tahan
melihat Ale bersandingan dengan wanita yang lebih sempurna darinya.
Risa larut bermain
dengan Viko bahkan makan semeja dengan Viko, terpisah dari Ale dan Andien.
Sesekali Risa mencuri pandang ke arah mereka berdua. Pediiihhh.
Ternyata baik dulu
maupun sekarang Risa tiada artinya di hati Ale. Menjadi bayangan kakaknya untuk
bisa dicintai Ale juga tak bisa. Tapi apa untungnya menjadi sebuah bayangan?
Maya, kelihatan riil tapi bukan yang sebenarnya. Terkecuali guru bayangan.
Mereka riil dan amat penting untuk bisa membantu para ABK bisa struggle di kehidupan sehari-hari
khususnya di sekolah, bisa memahami
materi di sekolah umum, bersosialisasi dengan teman-teman mereka yang “normal”
dan bisa hidup layaknya orang “normal” juga.
Ya, dari sekian banyak
“bayangan” yang diketahui Risa, hanya jadi guru bayangan atau shadow teacher lah yang paling nyata
baginya.
Risa tersentak bangun
dari pikirannya yang berkecamuk tentang Ale tadi siang setelah ponselnya menyalak
keras di dekat kepalanya.
Satu panggilan masuk
dari pak Fahmi, guru di kelas Nanda.
“Halo,
Bu Risa?”
“Ya, Pak Fahmi? Ada
apa?”
“Besok
pulang sekolah free
nggak?”
“Kayaknya iya. Kenapa,
ya?”
“Mau
nonton NBL[3]
besok? Saya ada tiket free entry, VIP, Bu. Beberapa waktu lalu Bu Risa bilang suka nonton basket, jadi
saya ngajak Bu Risa. Bu Risa masih suka nonton NBL, kan?”
“Wah! Mau banget, Pak!”
suara Risa kegirangan.
“Kalau
begitu besok ketemu sepulang sekolah, ya?”
“Oke,”
Beep.
Suara telepon terputus.
Senyum Risa mengembang
karena diajak nonton pak guru paling ganteng satu sekolah. Aduh... rasanya
mulasnya hilang, kegalauan patah hati karena Ale hilang. Mudah-mudahan bukan
hanya sementara.
Semoga
aku bisa benar-benar move on ke depannya. Aku memang shadow teacher, tapi bukan berarti aku harus jadi bayangan untuk sisi hidupku yang lain.
Heeemmm... asmara... deritanya tiada akhir, kata Cu Pat Kai. Ya, sudahlah... sekarang waktunya senang-senang dengan semua yang aku
miliki. Termasuk pekerjaan mulia untuk ABK. Lagipula jodoh nggak akan lari ke mana.
-end-
*Ditulis untuk event lomba menulis Love In The City: Pilih Karir atau Jodoh? oleh @nbc_ipb tapi nggak lolos :') dan sekarang ikutan Moment to Remember 2013 dengan tema karir
[1] Sekolah regular (biasa) yang
menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan
pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK)
dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana
prasarananya. (sumber: http://upikke.staff.ipb.ac.id/2011/06/07/sekolah-inklusi-bagaimanakah/)
[2] Suatu kelainan kromosom pada
kromosom 21 di mana terjadi penambahan jumlah kromosom sehingga menyebabkan
gangguan keterbelakangan mental pada anak (sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/29/11191896/Teori.Baru.Penyebab.Down.Syndrome )
Shadow teacher. Nice. Aku juga dulu berhubungan dnegan profesi ini wkt msh jd tim psikolog sekolah. Semangat terus. :')
BalasHapus