Pukul
tujuh malam, Alta keluar kantor dengan kemejanya yang kusut. Kakinya kini
beralaskan sandal ala kadarnya tapi membuatnya nyaman setelah seharian
mengenakan stilleto.
Ia
memanggil taksi dan segera meluncur ke “Cafe Sofas”, cafe dengan ciri khas sofa-sofa aneka bentuk dan
rupa yang memenuhi setiap sudut cafe tersebut.
“Dari
sekian banyak cafe, kenapa cafe ini, sih? Apanya yang move on? Ngajak cewek baru ke tempat favorit bersama mantan itu
namanya nggak move on kali, Mas.
Aduh, kenapa sih, aku menyanggupi permainan konyol Mbak Lila? Aku ini korban!”
dumel Alta berjalan menuju pintu masuk cafe tersebut.
Kalau kamu nggak suka, putuskan segera malam ini,
Al. Kamu bisa mencari lelaki lain yang kamu suka.
Seolah
ada suara yang menelusup ke dalam telinga kanan Alta.
Masalahnya Alta, sekarang nggak ada lelaki yang
kamu suka dari sekian banyak lelaki yang mengejarmu. Dan semua orang tahu bahwa
sekarang kamu mengejar bos Arif.
Ada
suara lain di telinga kiri Alta.
Tapi kan, kamu cuma pura-pura menyukainya, Alta.
Kamu nggak serius menyukainya. Ini cuma tipu daya supaya bos Arif tidak lagi
mengejar mantannya, Lila, kakakmu yang telah bersuami. Kalau bos Arif benar
jatuh cinta padamu, kamu mau apa? Padahal kamu nggak suka.
Suara
pertama kembali hadir.
Sampai kapan kamu menjomblo, Alta? Kamu butuh bahu
dan dada untuk bersandar mengistirahatkan sejenak egomu mengejar status wanita
mandiri. Bagaimanapun kamu membutuhkan lelaki yang melindungimu. Bos Arif
adalah lelaki yang tepat. Ingatlah semua usahamu ditolak mentah-mentah olehnya
tapi dia tak benar-benar mengabaikanmu setiap kali kamu butuh bantuan. Dia
pernah menyelamatkanmu dari kecelakaan maut. Dia menggendongmu yang berlumuran
darah. Dan kamu dalam setengah sadarmu mendengar dia berteriak panik bahkan
pipimu merasa air matanya menetes begitu saja di pipimu yang berdarah.
Keringatnya dan darahmu pernah menyatu.
Suara
dua menyeloroh.
Alta
menepuk-nepuk kedua telinganya. Halusinasi suara! Rasanya dirinyalah yang gila,
bukan Lila dan Galang.
“Kenapa
berdiri di sini?” Sebuah suara mengusir suara-suara tak bertuan tadi.
Alta
kaget Arif berdiri di depannya.
“Aku
mau bicara,” ujar Arif sambil menggenggam tangan Alta menuju taman di samping
sisi cafe.
Kini
keduanya terpaku bertatapan. Alta dibuat kikuk oleh tatapan mata Arif, sesekali
ia mengelus tengkuknya dan matanya menyapu sekelilingnya asal.
“Aku
tahu Lila memintamu untuk menggodaku. Mulanya aku nggak peduli tapi nggak tahu
kenapa ketika nyaris kehilanganmu ketika kecelakaan beberapa bulan lalu, aku
takut kehilangan kamu. Bahkan ketika kamu bertugas ke Malaysia selama nyaris
sebulan, aku merasa ada yang hilang. Kamu menghindariku dan aku nggak terima.
Aku membutuhkanmu, jadilah istriku,”
Alta
terperanjat, mendongak mendadak kepada Arif yang jauh lebih tinggi darinya.
“Mbak
Lila...”
“Dia
masa lalu. Waktunya aku sadar bahwa aku juga butuh wanita yang bisa menjadi
pelengkapku... kamu,” tegas Arif.
Jantung
Alta berpacu kencang. Pertama kalinya setelah delapan bulan terakhir mati-matian
membuat Arif mencintainya atas usul Lila, yang dulu mantan pacar Arif. Tapi
apakah degupan menggila ini pertanda Alta juga diam-diam jatuh hati pada Arif?
Yang jelas, Alta merasa ketegangannya selama menjomblo seolah mencair bak
gunungan es kutub yang meleleh karena global
warming. Sudah waktunya dia berdua, bersama kekasih hati.*
Whaaa....it's an honor dek....Dermaga dan Samudra dilanjutin. Thanks ya...
BalasHapusMbak Sisimaya:
BalasHapusini versi FF-nya, yg full part sdh aku kirimkan ya :) hehehe. sama-sama mbak, seneng dpt kesempatan nerusin punya mbak :)