Sari memperhatikan
seorang anak gadis di dekapan seorang ayah, sesenggukan setelah jatuh akibat berlarian
kecil dan kepalanya terantuk meja. Ayahnya mengelus dan mencium kepala putri
kecilnya yang berusia sekitar lima tahun itu lalu menghibur sang putri agar tak
lagi menangis. Sungguh manis, pikir Sari. Hal ini sukses membuat kelenjar air
matanya mengeluarkan air mata begitu saja. Terharu.
Sari teringat ayahnya
dahulu ketika dirinya masih kecil juga melakukan hal serupa pada dirinya yang
jatuh dari aksi perdananya mengendarai sepeda roda dua. Ayahnya meniup lukanya,
mengobatinya, memlesternya dan mencium lutut Sari.
“Ya, Tuhan sembuhkan
lutut putri cantikku,” ucap sang ayah sambil tersenyum pada Sari.
Ia segera memalingkan
pandangannya keluar jendela bening cafe
and resto Mango La Rasa, milik kekasihnya. Kemudian ia menyeka rembesan air
mata di kedua pipinya yang merona ulasan blush
on.
Sari lalu menyapukan
pandangannya ke seluruh sudut jalanan padat dirayapi puluhan mobil dan motor
berlalu-lalang. Fokusnya jatuh pada sebuah pemandangan di bibir trotoar. Ada
dua bocah, lelaki dan perempuan, sedang duduk melepas lelah. Di samping mereka
tergeletak tumpukan koran.
Beberapa menit kemudian
datanglah seorang ibu separuh baya membawa kantong kresek besar. Terlihat ibu
itu mengeluarkan bungkusan coklat, nasi bungkus. Kedua bocah itu tampak riang
gembira bukan main. Tanpa pikir panjang mereka membuka bungkusan itu dan
melahap nasi mereka. Sesekali mereka berdua bercanda dengan saling mengambil
jatah masing-masing. Sungguh lucu.
Sari tersenyum manis.
Melihat kedua bocah itu, ia jadi ingat masa kecilnya dengan Bayu, adiknya yang
kini berlayar nun jauh mengarungi samudra dan menyinggahi satu benua ke benua
lain. Mereka berdua juga sering berbagi bersama. Misalnya soal makanan, mereka
selalu berbagai kue yang dibawa ibunya dari toko kue milik tetangga mereka,
tempat ibu mereka bekerja sebagai penjaganya. Kue itu tak banyak, makanya
mereka saling berbagi.
Mendadak ponsel Sari
berdering keras di dekat gelas jusnya.
“Ya, Sayang?... Apa?
Telat? Oh, iya, nggak apa. Aku juga nggak keburu, kok. Ini tadi meetingnya selesai lebih awal jadi jam
istirahat lebih lama.” Sari terkekeh. “Apa? Aku curang? Yee, enak aja. Itulah
enaknya kerja di kantorku, santai tapi serius, serius tapi santai... Oke, aku
tunggu, ya? Hati-hati,” ujar Sari menerima telepon dari kekasihnya yang terlambat datang karena harus mengurus
beberapa urusan penting di cafe cabang.
Sari mengambil nafas dalam
dan menghembuskannya cepat lalu terdiam sejenak. Ia teringat lagi, tujuannya
bertemu Johan, kekasihnya hari ini adalah untuk melihat-lihat desain cincin
pernikahan mereka tiga bulan lagi. Tiba-tiba saja cemas menyusup ke palung
hatinya. Kecemasan yang sudah berulang kali ia coba bunuh tapi tetap saja
datang kembali.
Sari menjalin asmara
dengan Johan sejak lima tahun lalu setelah mereka diperkenalkan oleh seorang
teman dekat. Mereka saling mencintai dan tampak serasi di mata semua orang. Namun,
ketika banyak orang mengelu-elukan mereka pas untuk berjodoh, sebuah perasaan
aneh menerpa Sari. Ia merasa tak pantas untuk Johan, seorang pengusaha cafe and resto terkenal di Surabaya,
tampan, matang, berkarakter pria sejati dan berasal dari keluarga bermartabat.
Sementara dirinya? Latar belakang keluarganya sungguh memiliki perbedaan bagai sumur dan langit dengan keluarga Johan.
Sari tersentak ketika
matanya mendadak gelap. Ada tangan menutupi penglihatannya.
“Johan...” ujar Sari.
“Surprise!” seru Johan tersenyum lebar, lalu mengambil duduk di
seberang Sari, terpisah oleh meja.
Sari mengernyit lalu
berkata, “Belum ada lima menit telepon tadi, sekarang udah sampai,”
“Ya kan, kejutan,
Sayang,” sahut Johan. “Oh, iya, tunggu,” lanjut Johan sambil merogoh saku
celananya.
Johan mengeluarkan
sebuah kotak kecil, membukanya dan menyodorkannya pada Sari.
Isi kotak itu berkilau
indah. Cincin berbahan emas dan bertahtakan permata. Sari melotot menatap
sepasang cincin itu.
“Katamu hari ini kita
baru mau lihat cincinnya, lalu ini...” tunjuk Sari.
Johan tersenyum mantab.
“Ya, aku nggak sabar untuk mewujudkannya. Aku diam-diam ambil salah satu cincin
manik-manikmu lalu aku bawa sebagai contoh ukuran jari manismu, Sayang. Gimana,
kamu suka? Kalau nggak pas, bisa desain ulang,” Johan bersemangat bercerita.
Sari membisu. Ajakan menikah
dari Johan saja sudah membuatnya syok, apalagi cincin pernikahan mereka sudah
jadi. Cemas itu makin menjadi.
Sari menelan ludah
kuat-kuat lalu menggeleng pelan. Matanya menatap cincin itu.
“Kenapa, Sayang?”
“Jangan pinang aku,
Jo,”
Johan tersentak.
Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, rencana demi rencana segera dieksekusikan,
dan mendadak Sari menolak. Apa-apaan ini?
“Pikirkan kembali, Jo.
Keluarga besarmu tak sepenuhnya menerimaku. Aku anak orang miskin yang punya jutaan
hutang. Ayahku sering berjemawa dirinya keturunan ningrat dari garis keturunan
buyutnya sehingga membuatnya selalu merasa uang turun dari langit. Belum lagi,
buyutku ada yang mengidap Skizofrenia, gangguan jiwa yang sering dipandang
sebagai aib kebanyakan orang. Ibuku hanya penjaga toko kue di kampung dengan
adik yang mengalami retardasi mental, pamanku. Permasalahan keluargaku amatlah
kompleks, Jo. Pikirkan kembali,” jelas Sari panjang lebar.
Johan menghela nafas
berat lalu meminta Sari menatapnya.
“Dengarkan aku! Aku
harap ini yang terakhir kali aku bicara tentang ini. Aku bukan mau menikahi
orangtuamu apalagi leluhurmu. Aku nggak peduli kata orang termasuk keluarga
besarku. Keluarga intiku amat setuju aku menikahimu. Orangtuaku nggak sekolot
keluarga besarku, mereka sudah banyak terpengaruh gaya berpikir orang barat
selama hidup di Amerika. Budaya keluarga kami, ini pernikahan dua insan
manusia. Tak peduli keluarga besar. Memangnya kita minta makan dari keluarga
besar? Enggak. Abaikan omongan nggak penting!”
“Nggak segampang itu, Jo,”
“Gampang. Percaya padaku!
Orangtuamu mungkin punya pengalaman nggak baik di masa lalu, tapi peduli apa
aku! Aku mencintaimu. Aku mau menikahimu,” tegas Johan. Kini tangan Sari sudah
ada di genggaman Johan. “Tolong, Sari, jangan lagi merendahkan dirimu sendiri.
Percaya dirilah! Kini kamu seorang manajer HRD sebuah perusahaan advertising besar dan ternama. Kamu
punya segalanya sekarang hasil kerja kerasmu selama ini. Aku tahu jerih payahmu
dari nol. Hargailah dirimu sendiri. Percaya dirilah bahwa kamu pantas untukku,”
Sari masih terpaku.
Johan makin mengeratkan genggamannya.
“Menikahlah denganku!
Kita mulai keluarga yang lebih baik dari yang pernah ada dalam kehidupan kita,”
pinta Johan.
Tatapan Sari kini
menghangat, rasa cemasnya mulai memudar. Lalu mereka berdua saling bertukar
senyum menunjukkan bahwa cinta di antara mereka teramat kuat untuk bisa
menghalau segala rintangan, sekarang dan nanti. Mereka berusaha melupakan masa lalu dan menatap masa depan
bersama.
Well,
tampaknya Sari harus sudah mulai benar-benar memantabkan diri menjadi calon
nyonya Johan Suryawiryawan.
-end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)