Kamis, 28 November 2013

Jangan Pinang Aku!


Jangan Pinang Aku!

Sari memperhatikan seorang anak gadis di dekapan seorang ayah, sesenggukan setelah jatuh akibat berlarian kecil dan kepalanya terantuk meja. Ayahnya mengelus dan mencium kepala putri kecilnya yang berusia sekitar lima tahun itu lalu menghibur sang putri agar tak lagi menangis. Sungguh manis, pikir Sari. Hal ini sukses membuat kelenjar air matanya mengeluarkan air mata begitu saja. Terharu.
Sari teringat ayahnya dahulu ketika dirinya masih kecil juga melakukan hal serupa pada dirinya yang jatuh dari aksi perdananya mengendarai sepeda roda dua. Ayahnya meniup lukanya, mengobatinya, memlesternya dan mencium lutut Sari.
“Ya, Tuhan sembuhkan lutut putri cantikku,” ucap sang ayah sambil tersenyum pada Sari.
Ia segera memalingkan pandangannya keluar jendela bening cafe and resto Mango La Rasa, milik kekasihnya. Kemudian ia menyeka rembesan air mata di kedua pipinya yang merona ulasan blush on.
Sari lalu menyapukan pandangannya ke seluruh sudut jalanan padat dirayapi puluhan mobil dan motor berlalu-lalang. Fokusnya jatuh pada sebuah pemandangan di bibir trotoar. Ada dua bocah, lelaki dan perempuan, sedang duduk melepas lelah. Di samping mereka tergeletak tumpukan koran.
Beberapa menit kemudian datanglah seorang ibu separuh baya membawa kantong kresek besar. Terlihat ibu itu mengeluarkan bungkusan coklat, nasi bungkus. Kedua bocah itu tampak riang gembira bukan main. Tanpa pikir panjang mereka membuka bungkusan itu dan melahap nasi mereka. Sesekali mereka berdua bercanda dengan saling mengambil jatah masing-masing. Sungguh lucu.
Sari tersenyum manis. Melihat kedua bocah itu, ia jadi ingat masa kecilnya dengan Bayu, adiknya yang kini berlayar nun jauh mengarungi samudra dan menyinggahi satu benua ke benua lain. Mereka berdua juga sering berbagi bersama. Misalnya soal makanan, mereka selalu berbagai kue yang dibawa ibunya dari toko kue milik tetangga mereka, tempat ibu mereka bekerja sebagai penjaganya. Kue itu tak banyak, makanya mereka saling berbagi.
Mendadak ponsel Sari berdering keras di dekat gelas jusnya.
“Ya, Sayang?... Apa? Telat? Oh, iya, nggak apa. Aku juga nggak keburu, kok. Ini tadi meetingnya selesai lebih awal jadi jam istirahat lebih lama.” Sari terkekeh. “Apa? Aku curang? Yee, enak aja. Itulah enaknya kerja di kantorku, santai tapi serius, serius tapi santai... Oke, aku tunggu, ya? Hati-hati,” ujar Sari menerima telepon dari kekasihnya yang  terlambat datang karena harus mengurus beberapa urusan penting di cafe cabang.
Sari mengambil nafas dalam dan menghembuskannya cepat lalu terdiam sejenak. Ia teringat lagi, tujuannya bertemu Johan, kekasihnya hari ini adalah untuk melihat-lihat desain cincin pernikahan mereka tiga bulan lagi. Tiba-tiba saja cemas menyusup ke palung hatinya. Kecemasan yang sudah berulang kali ia coba bunuh tapi tetap saja datang kembali.
Sari menjalin asmara dengan Johan sejak lima tahun lalu setelah mereka diperkenalkan oleh seorang teman dekat. Mereka saling mencintai dan tampak serasi di mata semua orang. Namun, ketika banyak orang mengelu-elukan mereka pas untuk berjodoh, sebuah perasaan aneh menerpa Sari. Ia merasa tak pantas untuk Johan, seorang pengusaha cafe and resto terkenal di Surabaya, tampan, matang, berkarakter pria sejati dan berasal dari keluarga bermartabat. Sementara dirinya? Latar belakang keluarganya sungguh memiliki perbedaan  bagai sumur dan langit dengan keluarga Johan.
Sari tersentak ketika matanya mendadak gelap. Ada tangan menutupi penglihatannya.
“Johan...” ujar Sari.
Surprise!” seru Johan tersenyum lebar, lalu mengambil duduk di seberang Sari, terpisah oleh meja.
Sari mengernyit lalu berkata, “Belum ada lima menit telepon tadi, sekarang udah sampai,”
“Ya kan, kejutan, Sayang,” sahut Johan. “Oh, iya, tunggu,” lanjut Johan sambil merogoh saku celananya.
Johan mengeluarkan sebuah kotak kecil, membukanya dan menyodorkannya pada Sari.
Isi kotak itu berkilau indah. Cincin berbahan emas dan bertahtakan permata. Sari melotot menatap sepasang cincin itu.
“Katamu hari ini kita baru mau lihat cincinnya, lalu ini...” tunjuk Sari.
Johan tersenyum mantab. “Ya, aku nggak sabar untuk mewujudkannya. Aku diam-diam ambil salah satu cincin manik-manikmu lalu aku bawa sebagai contoh ukuran jari manismu, Sayang. Gimana, kamu suka? Kalau nggak pas, bisa desain ulang,” Johan bersemangat bercerita.
Sari membisu. Ajakan menikah dari Johan saja sudah membuatnya syok, apalagi cincin pernikahan mereka sudah jadi. Cemas itu makin menjadi.
Sari menelan ludah kuat-kuat lalu menggeleng pelan. Matanya menatap cincin itu.
“Kenapa, Sayang?”
“Jangan pinang aku, Jo,”
Johan tersentak. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, rencana demi rencana segera dieksekusikan, dan mendadak Sari menolak. Apa-apaan ini?
“Pikirkan kembali, Jo. Keluarga besarmu tak sepenuhnya menerimaku. Aku anak orang miskin yang punya jutaan hutang. Ayahku sering berjemawa dirinya keturunan ningrat dari garis keturunan buyutnya sehingga membuatnya selalu merasa uang turun dari langit. Belum lagi, buyutku ada yang mengidap Skizofrenia, gangguan jiwa yang sering dipandang sebagai aib kebanyakan orang. Ibuku hanya penjaga toko kue di kampung dengan adik yang mengalami retardasi mental, pamanku. Permasalahan keluargaku amatlah kompleks, Jo. Pikirkan kembali,” jelas Sari panjang lebar.
Johan menghela nafas berat lalu meminta Sari menatapnya.
“Dengarkan aku! Aku harap ini yang terakhir kali aku bicara tentang ini. Aku bukan mau menikahi orangtuamu apalagi leluhurmu. Aku nggak peduli kata orang termasuk keluarga besarku. Keluarga intiku amat setuju aku menikahimu. Orangtuaku nggak sekolot keluarga besarku, mereka sudah banyak terpengaruh gaya berpikir orang barat selama hidup di Amerika. Budaya keluarga kami, ini pernikahan dua insan manusia. Tak peduli keluarga besar. Memangnya kita minta makan dari keluarga besar? Enggak. Abaikan omongan nggak penting!”
“Nggak segampang itu, Jo,”
“Gampang. Percaya padaku! Orangtuamu mungkin punya pengalaman nggak baik di masa lalu, tapi peduli apa aku! Aku mencintaimu. Aku mau menikahimu,” tegas Johan. Kini tangan Sari sudah ada di genggaman Johan. “Tolong, Sari, jangan lagi merendahkan dirimu sendiri. Percaya dirilah! Kini kamu seorang manajer HRD sebuah perusahaan advertising besar dan ternama. Kamu punya segalanya sekarang hasil kerja kerasmu selama ini. Aku tahu jerih payahmu dari nol. Hargailah dirimu sendiri. Percaya dirilah bahwa kamu pantas untukku,”
Sari masih terpaku. Johan makin mengeratkan genggamannya.
“Menikahlah denganku! Kita mulai keluarga yang lebih baik dari yang pernah ada dalam kehidupan kita,” pinta Johan.
Tatapan Sari kini menghangat, rasa cemasnya mulai memudar. Lalu mereka berdua saling bertukar senyum menunjukkan bahwa cinta di antara mereka teramat kuat untuk bisa menghalau segala rintangan, sekarang dan nanti. Mereka berusaha  melupakan masa lalu dan menatap masa depan bersama.
Well, tampaknya Sari harus sudah mulai benar-benar memantabkan diri menjadi calon nyonya Johan Suryawiryawan.
-end-

 *Ditulis untuk lamaran lowongan kerja di penerbit Plot Point tapi nggak lolos :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)