Rabu, 13 Juni 2012

cerpen "Mari Kita Coba"



 “Sinttaaaaaa....” teriak mamanya.
Sinta segera berlari dari kamar mandi.
“Iya, Mah? Kenapa sih, teriak-teriak? Bikin poop Sinta nggak tenang aja,” kata Sinta sembari membenahi celananya.
“Apa ini??” kata mamanya sebal sambil menyodorkan isi kotak kue yang diambilnya sejam lalu.
“Kue, Mah,” jawab Sinta santai.
“Perhatikan! Masa’ mau buat bingkisan ke lamaran isinya kue ulang tahun, sih, Sinta...???”
Sinta mengamati kue sejenak. Sinta menyadari kebenaran bahwa di atas kue itu tertulis ‘Happy 50th, Beautiful Grandma’ dan seketika mata Sinta melotot.
“Jadi, ceritanya Sinta salah ambil pesenan??” tanya Sinta.
“Ya, iyalah salah! Ayo, sekarang kamu segera kembali ke sana! Acara lamaran kakak sepupu kamu nanti malam jam 7, sekarang sudah jam empat. Kita juga belum beres-beres dan dandan. Ayo buruan kamu tukar lagi,” dumel mamanya.
“Iya, yah, Ma. Bentar Sinta Be-A-Be dulu ya, kebelet. Lima menit aja, Mah. Lima menit. Okey? Santai ya, Mah, santai...”
Sinta segera menuju kamar mandi melanjutkan ‘aktivitas’nya.
Beberapa menit kemudian Sinta sampai di toko bakery yang tak jauh dari rumahnya. Ia segera menyampaikan kekeliruan yang telah terjadi tadi. Dan ternyata menurut pramuniaga yang lain kue yang diambil pramuniaga yang melayani Sinta salah karena kesamaan nama pemesan. Menurut pramuniaga yang mengetahui kekeliruan itu kue Sinta tertukar dengan kue milik seorang lelaki yang sama-sama mengambil kue atas nama Rahma. Bedanya satunya ibu A. Rahma satunya ibu Rahma A. Sialnya petugas kala itu tidak mencantumkan alamat juga pada pesanan yang sudah jadi sehingga kue pesanan itu tertukar.
“Terus mbak? Gimana dong? Acara sepupu saya nanti jam 7 lho, masa’ jam segini bingkisan belom saya antar...” protes Sinta.
“Saya coba menghubungi pelanggan kami yang mungkin tertukar juga kue pesenannya. Sabar bentar ya, Mbak...” kata si pramuniaga.
Sinta menunggu kabar tentang orang yang membawa kue yang seharusnya jadi haknya. Tapi Sinta menunggu sampai nyaris maghrib, orang itu tak kunjung datang. Sinta jadi cemas ditambah mamanya menelepon setiap lima menit sekali.
“Mbak, begini saja. Kasih saya apapun jenis kue yang ada di sini yang pantes untuk bingkisan lamaran. Oke? Saya nggak sabar nunggu orang lama-lama,”
“Waduh, Mbak, kuenya tinggal cake kecil-kecil begini dan kalau dibuat bingkisan lamaran apa pantas? Lagian juga hampir habis, kami sebentar lagi juga tutup,”
“Waduh, Mbak, ya nggak tahu gimana caranya Mbak tanggung jawab atas ketidakpuasan konsumen. Mama saya bertahun-tahun langganan di sini, Mbak,” kata Sinta dengan suara agak lantang.
Sinta sudah gondok setengah mati. Menunggu orang lama dan ketidakbertanggungjawaban pihak toko membuatnya geram bukan main.
Sinta mencoba sabar sepuluh menit lagi tapi tak bisa. Ia harus segera beranjak dari toko itu. Ia pergi setelah berkata pada pramuniaga untuk melupakan kejadian itu dan meminta uang ganti rugi dari pihak toko kue.
Sinta sampai di rumah dan mamanya memandangnya heran dan agak cemas.
“Loh, kok nggak bawa apa-apa? Mana kuenya?” tanya mamanya di pintu rumahnya.
“Ilang dibawa orang, Mah. Orang yang ngebawa kue Mama nggak dateng-dateng buat nganterin kuenya. Sinta capek Mah, nungguin di sana. Sinta juga sebel sama keteledoran pelayan tokonya. Lain kali Mama jangan pesen di situ lagi. Buat sendiri aja, nanti Sinta bantuin,” jawab Sinta.
“Terus sekarang gimana? Mama sudah janji bawa kuenya. Sinta, gimana, dong?” tanya mamanya cemas.
“Mah, di luar sana masih banyak toko kue buka. Kalo emang nggak ada yang pantes buat ke lamaran, belikan aja donat di gerai kopi yang biasanya Sinta beli, Mah. Gitu aja repot. Santai dikit dong, Mah. Namanya juga musibah. Udah ah, Sinta mau mandi,” sahut Sinta mencoba lebih santai ketimbang mamanya.
@@@
Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sinta dan mamanya sudah rapi segera berangkat ke acara lamaran saudara mereka.
Ketika Sinta sudah siap menancap gas mobilnya tiba-tiba ada seorang lelaki menggedor kaca pintu mobilnya. Mimik wajah Sinta dan mamanya panik. Nampaknya lelaki itu menydari kepanikan Sinta dan mamanya karena tak jua segera membukakan kaca pintu mobilnya. Lelaki itu pun mengangkat sebuah kotak yang seperti kotak kue. Sinta segera membuak kaca mobilnya.
“A-a-ada ap-apa, Mas?” tanya Sinta tergagap.
“Ini kue punya Mbak, kan? Ketuker Mbak sama punya mama saya. Ini,” kata lelaki itu sambil menyodorkan kotak kue pada Sinta.
“Wah, Mas, terima kasih banyak, ya...” kata mama Sinta ketika Sinta menerima kotak kue itu.
Mama Sinta segera mengecek isi kotak itu.
“Iya, ini kue pesenan saya,”
Thanks ya, Mas. Oh, ya, kami pergi dulu soalnya sudah ditunggu,”
“Oh, iya, Mbak, silakan. Hati-hati di jalan,” kata lelaki itu tersenyum ramah.
@@@
“Lelaki yang ketuker kuenya sama kita kemarin ganteng lho, Sin,” celetuk mama Sinta ketika mereka berdua menonton serial drama Korea sore hari.
Mata Sinta melirik ke arah mamanya.
“Trus?” tanya Sinta datar.
“Kamu nggak tertarik?” tanya mamanya dengan genit.
“Enggak,”
“Serius?”
“Dua rius,”
“Kenapa begitu?”
“Nggak tahu,”
“Kamu masih doyan laki, kan? Eits, mama kasih tahu, jangan hanya karena ayahmu pergi nggak peduli sama kita lalu kamu anti sama laki, ya. Jangan begitu. Kamu masih muda, kamu punya banyak kesempatan mengenal lelaki manapun yang kamu mau. Dari situ kamu akan belajar banyak karakter lelaki dan akhirnya bisa memiliki calon terbaik suami kamu,” tutur mamanya membuat Sinta terbisu.
“Males ah, Ma. Semua lelaki sama aja, sama jahatnya. Cuman ngutamain fisik, menuntut pasangannya ini dan itu trus kalo habis manis, sepah dibuang. Ahhh, lelaki mana ada bagus-bagusnya,” tungkas Sinta.
“Dulu mama juga berpikir seperti itu, makanya mama melarang kamu pacaran selama ini. Tapi setelah mama pikir sekarang, usia kamu sudah dua tujuh, Sin. Mama dulu seumur kamu sudah punya anak kamu umur empat tahun. Mama nggak pengen kamu hidup sendirian kelak. Harus ada lelaki yang bisa menjaga kamu dan membimbing kamu dunia-akhirat,” lanjut mamanya.
Sinta diam sejenak kemudian ia meneteskan air mata. Ia berpikir yang dikatakan mamanya benar juga, selama 27 ia ada di dunia, dikurangi masa lahir sampai SD yang kira-kira 12 tahun jadi 15 tahun, ternyata ia jomblo. Lelaki yang mendekatinya pun tidak ada. Dan setiap kali ia menyukai lelaki pasti bertepuk sebelah tangan, baik karena si lelaki tidak tahu kalau dia suka karena Sinta memilih diam ketika menyukai lelaki, karena lelaki menolak mentah-mentah ketika tahu tanpa sengaja bahwa Sinta menyukainya atau karena si lelaki sudah berdua dengan wanita lain. Oouuccchhhh...sakit!!!
Sial bener nasib gue!!!
“Kalau jodoh nanti pasti ketemu, Mah. Terpenting sekarang kebahagiaan Mama. Mama mau naik haji, kan? Sebentar lagi insyaAlloh semua terwujud,”
“Materi sudah kamu raih, pendidikan tinggi di tangan dan mama rasa kepribadian kamu juga sudah pantas untuk mendapatkan jodoh. Segeralah mencari pasangan hidup, Sinta. Mama pengen nimang cucu. Kamu kan, anak mama satu-satunya,” kata mama Sinta tersenyum sambil meneteskan air mata di pipi dan memegang tangan Sinta.
Sinta memeluk mamanya segera.
Ya, Alloh...aku selalu memanfaatkan saat-saat memeluk mama. Aku tak mau moment seperti ini menjadi kenangan semata kelak. Aku ingin memeluk mama selamanya. Aku korbankan kebahagiaanku untuk mama seperti mama mengorbankan sebagian besar kebahagiaannya untukku, walau itu tak akan pernah cukup. Aku mencintai mama, ya Alloh. Sehatkan dia dan barokahi hidupnya dunia-akhirat.
“Suatu hari, mama akan menimang cucu dariku. Kita tunggu waktu yang tepat ya, Ma,” kata Sinta lirih di telinga mamanya.
“Amin,” sahut mamanya.
@@@
 Sinta sibuk mengawasi distribusi barang-barang branded yang siap diekspor ke luar negeri. Ia sibuk sampai akhirnya ia melupakan jam istirahat. Ia baru sadar ketika seorang rekan kerja sekaligus sahabatnya datang mengingatkan.
“Pak Tiyok, waktunya jam makan siang. Kode buat karyawan yang lain ya, saya ke dalam dulu,” kaa Sinta kepada salah seorang kepala gudang.
“Oke, Mbak Sinta...” sahut lelaki setengah baya itu sembil tersenyum ramah pada Sinta. Sinta pun membalas lelaki baik hati dan jujur itu.
Sinta segera membuka bekal makan siangnya di meja kerjanya.
“Bawa bekal lagi, Sin?” tanya Luki.
“Iya, nih. Mama lagi semangat bikin bekal. Hahaha,” kata Sinta.
“Dimakan di kantin aja, yok. Sekalian nemenin aku makan,”
“Ehmm, gitu ya? Oke, deh,” Sinta mengiyakan tawaran Luki.
Mereka berdua akhirnya pergi ke kantin kantor. Di sana mereka makan bersama dan saling incip makan siang satu sama lain.
“Mama kamu jago masak ya, Sin? Keren. Mamaku mah, nggak pernah masak di rumah. Jadinya seringnya beli. Bosen!” kata Luki.
“Makanya kamu aja yang pinter masak. Enak lho kalo bisa masak sendiri, seenggaknya bisa irit uang jajan, kita juga bisa menentukan takaran segala macam kebutuhan gizi, protein atau segala macem buat kesehatan kita,”
“Gaya bener kamu, kayak pakar kesehatan gizi. By the way, liat ke arah jam sembilan deh, ada yang merhatiin kamu sedari tadi, tuh!” kata Luki membuat Sinta sontak menoleh.
“Yeee...jangan frontal dadakan gitu....” protes Luki.
“Kenapa emangnya kalo noleh langsung?”
“Ya, kan, nggak enak sama orangnya. Tapi beneran dia merhatiin kamu dari tadi. Dia kan, manager Ha-Er-De yang baru. Tahu nggak kamu kabar baru?”
Sinta menggelengkan kepala kuat sambil mengunyah makanannya.
“Tapi dia nampaknya masih muda, beda-beda tipislah sama kita,” kata Sinta.
“Usia bukan ukuran kalo otak dan kapabilitasnya mumpuni sebagai leader. Nampaknya banyak program baru untuk perombakan sistem yang lebih bagus untuk perusahaan kita ini,”
“Sok tahu kamu,” tuding Sinta.
“Orangnya kelihatan cerdas dan kreatif, Sin. Nampaknya nggak sombong juga kok, semacam pemimpin yang kharismatik dan siap melakukan perubahan lebih baik,”
“Lebai kamu, ah! Udah makan tuh, siomay! Keburu dingin keburu eneg,” kata Sinta mengabaikan kata-kata Luki tapi matanya melirik lagi ke lelaki yang dimaksud Luki. Tiba-tiba Sinta merasa tidak asing dengan lelaki itu.
@@@
Lima bulan berlalu...
“Sinta, sudah tiga lelaki yang mencoba mendekati kamu bahkan ada yang berniat serius melamar, dia temen kamu pas sekolah, nggak ada satupun yang kamu kehendaki,”
“Mamah...Sinta emang nggak ada perasaan sama mereka, masa’ mau dipaksain?” tungkas Sinta.
“Mereka tampan dan mapan, agamanya juga cukup bagus, apa yang kurang?”
“Hati. Hati Sinta, Mah, nggak buat salah satu di antara  mereka,”
“Kamu mau tipe lelaki seperti apa?”
Sinta mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu dan bingung.
“Sinta pamit istirahat dulu ya, Mah? Capek,” izin Sinta lalu meninggalkan mamanya sendiri di ruang keluarga.
Di dalam kamar Sinta menerawang kembali ke beberapa minggu silam tentang dia dan manager baru HRD bernama Tommy. Tommy adalah lelaki yang beberapa bulan lalu membawa kue yang menjadi hak Sinta dan juga sebaliknya. Tak disangkanya ia akan bertemu dengan Tommy dan terlibat suatu perasaan yang sulit dijabarkan dan mengganggu konsentrasi Sinta sehari-hari jika bertemu Tommy di kantor tanpa sengaja.
...
Sinta harus lembur malam ini karena laporannya harus disetor besok pagi. Laptopnya rusak sehingga ia harus ngebut dengan komputer kantor. Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Perut Sinta sudah ‘bersuara’ minta diisi. Sinta akhirnya berjalan keluar kantor untuk mencari makan sekalian menghirup udara di luar.
Sinta melewati lorong demi lorong kantornya setelah melewati beberapa anak tangga dari lantai tiga ke lantai satu. ternyata bukan hanya dia saja yang sedang lembur malam itu. Setiap lantai masih ada penghuninya sibuk di depan laptop. Itu membuatnya lega sehingga tidak merasa horor lembur malam itu.
Tiba di lantai satu Sinta kebelet ke toilet, akhirnya ia pergi ke kamar kecil yang tempatnya dekat dengan parkir mobil di samping gedung kantor. Usai dari toilet ia hendak segera keluar area kantor sambil jalan kaki mencari makan. Tapi tiba-tiba ada suara aneh dari suatu sudut arah. Di balik bangunan toilet tertutup bongkahan besi-besi tua bekas lemari, meja atau kursi kantor. Sinta sempat berpikir horor tapi masa’ sih. Suara itu begitu nyata senyata-nyatanya suara manusia. Sinta memberanikan diri mengendap-endap tanpa suara mencoba mengetahui sumber suara aneh itu. Dan o’ow..pemandangan tak senonoh ada di depan matanya dari sela-sela tumpukan besi-besi tua. Sinta hendak melabrak pelaku adegan tak senonoh itu tapi tiba-tiba dari belakang ada yang menarik tangannya dan membuatnya terhuyung jatuh menimpa tubuh sosok yang menarik lengannya itu. Sinta melotot.
“P-pak...” suara Sinta terhenti karena tangan orang di depannya menutup mulutnya.
“Diem. Dan jangan berusaha untuk nyamperin mereka,” suara lelaki itu lirih. Sinta mengangguk.
Keduanya berdiri dan mengambil posisi sedikit minggir supaya tidak ketahuan orang yang sedang beradegan tak senonoh.
“Maaf ngagetin,” kata orang itu yang ternyata Tommy.
“Bapak kok, ada di sini. Bapak ngintip mereka juga? Sejak kapan Bapak ada di belakang saya?” tanya Sinta.
“Enggak, siapa bilang? justru saya ngikutin kamu, ngapain ke tempat sepi begini,”
“Lha suara mereka aneh ternyata begituan,” suara Sinta agak lantang dan segera ditutup oleh tangan Tommy.
“Siapa ituu??!!” suara lelaki di sebelah sana.
Tommy segera menarik Sinta ke suatu sudut yang lebih tidak terlihat oleh siapapun di dalam sebuah gudang kecil di bawah meja yang tak jauh dari tempat mereka mengintip tadi.
Suara lelaki yang berbuat mesum semakin mendekat ke arah mereka. Tommy memepet tubuh Sinta dan membungkam mulut Sinta dan mengisyaratkan pada Sinta untuk diam. Setelah dirasa lelaki yang kepergok mesum itu menjauh, Sinta meminta Tommy melepaskan dekapannya. Sinta segera mengambil nafas cepat-cepat, rasanya sesak sekali.
“Pak, badan segede gitu bikin saya nyaris mampus,” omel Sinta lirih.
“Ya, maaf. Jangan keras-keras makanya. Kamu mau ngapain, sih?”
“Itu Reno, Pak, tunangannya Luki. Masa’ dia begitu sama cewek lain??!! Bener-bener bejat! Lelaki emang sama aja jahatnya, huh!!” lanjut Sinta.
“Ehem, saya lelaki tapi nggak begitu,” kata Tommy.
“Mana saya bisa jamin. Saya nggak kenal Bapak, ya maklum Bapak membela diri,”
“Kalau begitu semua wanita sama saja, matre dan penipu ulung,”
“Enak aja! Sori, ya, saya enggak. Sekalipun saya matre, saya kerja keras sendiri nggak morotin uang orang! Catet itu!”
“Masa’? Saya kan, nggak kenal kamu, mana saya bisa jamin?”
“Ih, kok dibalik, sih?!”
Sinta sebal seketika pada Tommy.
...
Hari Minggu yang cerah. Sinta dan mamanya tidak melewatkan kesempatan itu untuk melakukan gowes bareng keliling kompleks lalu ke area car free day.
“Mah, nanti sempetin sarapan pecel di deket taman Sari Kenanga  ya, Mah? Lama nggak makan pecel,” teriak Sinta yang bersepeda di depan mamanya.
“Oke, sayang!” sahut mamanya keras.
Sinta menoleh lagi cepat.
“Tumben mama romantis? Biasanya manggil Sinta endut!” kata Sinta lagi. Mamanya hanya tersenyum manis.
Mereka berdua menjadi pasangan mama dan anak yang bahagia dan kompak kapan saja.
Beberapa menit sebelum sampai di area car free day ternyata Sinta mendapat musibah. Ia sengaja belakangan menuju area car free day karena ia hendak membeli minum di sebuah minimarket dan mamanya menunggu di area car free day. Usai membeli minum, Sinta siap mengayuh sepedanya dan hendak menyeberang sebuah perempatan jalan. Tapi, tiba-tiba dari arah berlawanan ada sebuah mobil box yang melaju kencang dan nyaris menabrak Sinta. Sekalipun tidak menabrak Sinta tapi membuat Sinta hilang keseimbangan dan ia terjatuh keras membentur trotoar. Kepalanya berdarah, kakinya nyeri dan lecet terkena badan sepedanya. Sinta mengaduh-aduh tapi apa daya, jalanan sepi. Mobil box tadi juga sudah hilang dari penglihatan.
“Sinta??!!!” suara seorang lelaki mengagetkannya.
“Pak Tommy??! Bapak di sini?”
“Kamu kenapa?” tanya tommy spontan mengabaikan sepeda santainya.
“Terserempet mobil barusan,” jawab Sinta lemas.
“Ya, sudah naik ke punggung saya gih, saya gendong kamu,” tawar Tommy.
“Eng-enggak usah, Pak! Saya masih bisa jalan, kok,”
“Ayok, jangan babibu lagi,” kata Tommy.
Sinta pun mengiykan tawaran Tommy.
“Kita kemana?” tanya Sinta.
“Ke mobil saya. Saya antar kamu pulang. Sepeda kamu biar dibawa temen saya ke dalam mobil,”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Kita nyusul mama saya dulu di car free day, ya? nggak papa, kan? Tapi kalo Bapak capek saya bisa turun sekarang, kok,”
“Nggak papahh! Wah, kamu berat juga ya, ‘Ndut” kata Tommy.
“Apaaa??!! Ya, sudah saya turun daripada nggak ikhlas,” Sinta gondok.
“Eh, jangan! Kaki kamu sakit, kepala kamu juga berdarah begitu. Nggak papa, saya kuat , kok,” kata Tommy sambil membenarkan posisi Sinta supaya tidak jatuh dari gendongannya.
@@@
Dan setelah pergulatan perkataan hati Sinta begitu lama akhirnya...
“Gimana, makanannya enak, kan? Memang bukan restoran mewah tapi saya sudah langganan di sini sejak lima tahun karena enak banget,” kata Tommy.
“Sumpah, Pak, eh, Mas Tom, enak banget! Nggak heran kalo seramai ini,” sahut Sinta.
“Lain kali kita jajal kuliner lain, ya?” tawar Tommy.
“Pasti!!” sahut Sinta spontan dan semangat.
“Tapi nggak ada yang cemburu kan, kalo kita jalan bareng?” tanya Tommy.
“Ada,”
“Siapa?” tanya tommy sontak merasa jantungnya nggak karuan berdebarnya.
“Pacarnya Mas Tom,” kata Sinta sambil melahap makanannya.
“Pacar saya? Hahahah, siapa?”
“Dasar ya, lelaki, suka nggak ngaku punya pasangan kalo sama cewek lain,”
“Serius, aku nggak ngerti maksud omonganmu, Sinta,”
“Sekretaris Lidya pacar Mas Tommy, kan? Saya lihat beberapa waktu lalu Mas dan Mbak Lidya pergi ke sebuah butik dan jalan-jalan berdua keliling mall,”
“Kamu nguntitin kita berdua?”
Sinta menggeleng kuat.
“Apa kamu cemburu?”
Sinta terbatuk-batuk. Segera Tommy menyodorkan minum.
“Saya cemburu?? Hahahha, ngapain cemburu? Ada-ada aja, ah,”
“Wah, enggak, ya? Padahal saya berharap kamu cemburu,”
Sinta melotot tajam ke arah mata Tommy.
“Saya cinta sama kamu, Sint,” ucap Tommy.
“Apa?” tanya Sinta tak percaya.
“Tidak ada statement kedua. Intinya, saya akan lamar kamu ke mama kamu segera,”
“APAAA???!!!” teriak Sinta spontan mengagetkan pengunjung restoran. Tommy mengkode untuk mengecilkan volume suara Sinta.
“Nggak bisa!”
“Kenapa?”
“Saya nggak suka sama Mas Tommy. Hubungan kita profesional atasan dan bawahan atau rekan kerja. Nggak lebih. Saya sudah pernah berjanji pada diri saya nggak akan pernah terlibat cinta lokasi semenjak kuliah. Rasanya menyakitkan!”
“Itu tidak akan terjadi lagi kalau kamu juga mencintai saya. Kamu sakit hati cinta lokasi karena cinta kamu bertepuk sebelah tangan, kan? Jadi, kalau sekarang kamu mencintai saya, kamu tidak akan merasakan sakit hati,”
“Mana bisa dijamin,”
Tommy menggerakkan ujung jarinya di depan Sinta ke kiri dan ke kanan.
No no no. Makanya kita coba dulu, baru kita merasakan gimana rasanya. Kamu mau jomblo sampai kapan? Tiga lelaki sudah kamu tolak, kan? Apa yang kamu cari? Hidup itu ibarat menunggu angkutan umum. Ketika kita menolak satu yang sudah datang karena tidak sesuai harapan kita dan kita menungggu angkutan selanjutnya dan selanjutnya dan kita sering menolak karena terus-terusan tidak sesuai harapan kita, kapan kita akan sampai pada tujuan kita? Bener nggak? Jadi, hanya saya yang siap menikahi kamu, menjadi imam kamu, menjadi ayah yang baik untuk anak-anak kita, menjadi menantu kesayangan mama kamu, insyaAlloh. Asal kita mencobanya dahulu,” tutur Tommy panjang.
Sinta memelankan kunyahannya dan berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Tommy benar, sekalipun ia terkadang membenci lelaki tapi ia tak bisa bohong bahwa ia juga membutuhkan sosok yang akan menjaganya selama sisa umurnya  di dunia apalagi setelah jika suatu hari nanti mamanya kembali pada Sang Khaliq.
“Kamu serius, Mas? Lalu Lidya?”
“Dia sepupuku, Sint. Jangan cemburuan gitu, ah. Percaya sama saya,” akta Tommy tersenyum manis membuat Sinta sejujurnya meleleh hatinya setiap kali melihatnya.
“Oke, kita mulai masa uji coba,” kata Sinta.
Tommy mengajak Sinta berjabat tangan.
Deal?” tanya Tommy.
Deal!” jawab Sinta tegas.
@@@









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)