Jumat, 03 Agustus 2012

cerpen "Pasangan (tak hanya) Semalam"


PASANGAN (TAK HANYA) SEMALAM

Malam sudah menyapa sejak tiga jam lalu. Suasananya semakin sunyi di lantai dua rumah dimana Damay kost. Sebagian besar penghuninya memanfaatkan liburan akhir pekan panjangnya di kota kelahiran masing-masing, hanya tinggal Damay dan seorang teman kostnya yang berkamar di lantai satu yang sedang diapeli pacarnya. Ia baru saja pulang dari rumah sakit. Ia memasuki kamarnya yang pengab karena terkunci dan lampu mati selama ia tinggal pergi bekerja. Ia nyalakan lampu dan kipas angin berdiri untuk mengurangi kepengaban udara di kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri di tempat tidurnya. Ia menghela nafas dalam dan bersyukur pekerjaannya dalam seminggu terakhir berjalan dengan lancar. Lalu ia beranjak meraih fotonya bersama keluarganya, ayah, ibu dan dua adiknya yang selama ini ia pajang di meja.
“Damay belum bisa pulang Ayah, Ibu. Terima kasih sudah mendoakan Damay selama ini. Ayah sama ibu nggak perlu khawatir akan masa depan Fauzi dan Arimbi. Ayah sama ibu juga nggak akan susah payah mengerjakan sawah sendiri. Damay akan memenuhi semua kebutuhan ayah dan ibu. Akan Damay ganti dengan yang lebih bagus dan layak buat kalian semua,” gumam Damay sambil meneteskan air mata.
Damay kembali merebahkan tubuhnya. Ia merasa bangga karena cita-citanya menjadi dokter spesialis bedah jantung tercapai. Hampir setahun yang lalu ia diwisuda dan mendapat penghargaan sebagai lulusan termuda dalam profesi dokter ahli. Lalu ia menaruh kembali foto itu di mejanya. Tiba-tiba Ara, rekan kerjanya sekaligus sahabatnya semenjak awal kuliah S1 masuk begitu saja.
“Hai, Bu Dokter! Selamat, ya? Maaf ya, nggak datang ke wisudamu. Katanya bapak ibumu juga nggak bisa datang, ya? Kasihan…,” kata Ara mendekati Damay.
“Kamu juga sih, milih tanggal ijab qabul bareng sama aku wisuda. Aku jadi sendirian. Ngomong-ngomong beruntung banget sih, kamu dapet suami kayak dokter Arya? Nggak cerita-cerita juga kalau selama ini kalian saling cinta. Eh, tiba-tiba kawin gitu aja,” kata Damay.
“Ah,…jangan begitu! Aku juga iri sama kamu yang bisa kayak sekarang di usia muda. Mantab, deh! Makanya, habis gini hunting calon suami, hahahah…,” kelakar Ara.
Damay melirik Ara dan mulai merasa sedikit sebal jika Ara sudah membicarakan soal lawan jenis, pasangan, pacaran dan semacamnya. Lalu, ia menghela nafas dalam dan melepaskannya dengan segera.
 “Aku sudah coba membuka hati sama cowok, berusaha nggak jutek, memperluas jaringan pertemanan tapi tetep saja nggak ada cowok yang tertarik,” kata Damay memelas.
“Tunggu dulu deh, kamu inget sama omongan kamu kan, waktu masih awal semester S1 dulu bahwa kamu nggak akan pacaran sebelum mapan? Nah, sekarang kamu sudah mapan jadi apalagi? Cari dong, pasangan yang tepat!” balas Ara.
“Masalahnya sampai sekarang nggak ada tanda-tanda ada cowok suka sama aku,” keluh Damay.
Makanya, jangan berdiam diri! Biasanya orang yang sudah nyaman sama pekerjaannya jadi lupa sama kebutuhan satu itu. Jadi, sebelum kamu bener-bener merasa hidupmu hampa nggak ada pasangan mending cepetan, deh!” cerocos Ara.
Damay diam sejenak nampak berpikir dalam-dalam mengenai pernyataan sahabatnya itu. Ia sendiri terkadang merasa sudah habis pikir bagaimana menarik perhatian lelaki. Padahal sejauh ini ia sudah berusaha untuk memperbaiki dari segi fisik dan karakternya yang menurutnya memang tidak ciamik. Tetapi, kenapa sampai sekarang satupun makhluk berlabel le-la-ki nggak ada yang menyukai dia? Seandainya hidup ini memang mengenal istilah reinkarnasi, Damay heran, hasil reinkarnasi siapa sih, sebenarnya dia sampai nasibnya begini? Jangan-jangan di kehidupan sebelumnya dia juga nggak terlalu beruntung soal asmara, ataukah ini sebuah kutukan di masa lalu?
Kenapa aku nggak punya aura pemikat seperti cewek lain, sih?

Senin yang cerah. Tidak ada kata I hate Monday lagi dalam kamus hidup Damay. Tepat pukul setengah delapan pagi ia sudah ada di kantin rumah sakit untuk makan bubur ayam kesukaannya.
“Saya tungguin di sini deh, biar saya bawa sendiri. Nggak perlu diantar ke meja,” kata Damay pada penjual bubur ayam.
Beberapa menit kemudian buburnya sudah jadi, Damay membalikkan badan hendak menuju meja makan. Tapi sial, seseorang menabraknya sehingga bubur ayamnya menumpahi pakaiannya dan pakaian orang itu.
“Waduh... kotor juga nih, baju,” keluh lelaki yang ditabrak Damay.
“Wah, maaf ya, Mas! Saya nggak sengaja. Ini, ini, tisunya,” kata Damay cepat-cepat mengambil tisu di meja terdekat dengan dirinya.
“Hati-hati dong, Mbak! Jalan matanya nggak dipake, ya?” kata lelaki itu pelan tapi menusuk tajam.
“Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mas!”
“Maaf doang nggak cukup,”
“Terus?”
“Cucikan baju saya!”
Damay melotot. Ia merasa agak terhina. Baru kali ini ada orang lain menyuruhnya nyuci baju begitu saja.
“Gimana?!” tanya lelaki itu sewot memecah keheningan Damay yang sedang berpikir sekaligus sebal.
“Oke,” jawab Damay akhirnya mengiyakan.
Memang dia yang salah jadi dia yang bertanggungjawab. Lagipula, Damay nggak mau berlama-lama beradu mulut dengan orang, itu bukan karakternya. Terlebih waktu masih pagi, kok, sudah berantem sama orang.

“Dokter memanggil saya?” tanya Damay saat memasuki ruangan dokter Rahardjo.
“Silakan masuk, Dokter Damay!” kata dokter Rahardjo. Dan Damay pun duduk.
“Perkenalkan ini saudara Denny Permana. Dia baru lulus. Dia yang akan menjadi asisten kamu. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik,” tutur dokter Rahardjo.
Saat Damay menolehkan wajahnya pada lelaki yang duduk di sampingnya baik Damay maupun si lelaki terperanjat kaget.
“KAMU???!!” kata keduanya.
“Oh, kalian sudah saling kenal? Bagus kalau begitu. Tidak ada masalah lagi, kan? Dokter Damay nanti akan menjelaskan tugas kamu, Den,” kata dokter Rahardjo sembari meninggalkan ruangannya.
“Dok, saya belum butuh asisten. Justru saya yang seharusnya masih jadi asisten dokter senior seperti dokter karena jam terbang saya belum banyak. Lagian, kalau dia jadi asisten kan, mustinya untuk dokter yang lebih senior dari saya,” jelas Damay merasa kaget dengan keputusan dokter kepala rumah sakit itu.
“Saya sudah mempertimbangkan ini. Jadi, selamat bekerja sama, ya?” kata dokter Rahardjo
Damay dan lelaki bernama Denny itu keluar dari ruangan dokter Rahardjo.
“Ide paman cemerlang juga jadiin aku asisten kamu. Tapi, yang aku heran masa’ cewek model kamu begini sudah dokter spesialis, sih? Hahahha, nggak ada tampang-tampang dokter,” ejek Denny.
Damay mengepalkan kedua tangan, baginya begitu menyebalkan juga lelaki di hadapannya saat ini. Ia mengambil nafas terpaksa dan dalam dan menghembuskannya pelan pertanda mencoba sabar dengan Denny.
“Intinya, kita berdua akan sering bertemu dan itu artinya tidak sulit untuk memintamu bertanggungjawab mencuci bajuku, kan?” kata Denny mengingatkan peristiwa tadi pagi di kantin rumah sakit.
Ingin rasanya Damay menonjok muka Denny tapi itu tak mungkin, ia juga tak memiliki cukup keberanian melakukan tindakan kasar terhadap orang lain. Ia pun memilih pergi.
“Permisi, saya masih banyak pekerjaan. Kalau kamu memang mau jadi asisten saya, ikuti aturan main saya. Jangan banyak bicara!” kata Damay melangkah pergi.
“Hei, aku belum selesai bicara! Apa begitu caranya  bersopan-santun dengan orang lain, hah??!! Hei, Damay!” teriak Denny pada Damay yang terus melangkah tak sedikitpun menoleh ke belakang.
Dia orang kesekian yang menyebalkan yang ada di hidupku. Tapi dia termenyebalkan sebagai lelaki! Bicara kasar dan lantang dengan wanita, menyuruh orang lain seenaknya jelas bukan lelaki yang punya poin plus di mataku. Sekalipun ketampanannya seperti jawara ajang pemilihan mister internasional tapi dengan sikapnya seperti itu poin ketampanannya turun jadi 30%!

Tidak bisa dipungkiri bahwa mau tak mau Damay dan Denny harus bekerja sama. Untuk sementara waktu Denny harus “mengabdi” pada Damay. Meskipun begitu, double D –begitu orang menyebut- ini cukup profesional dalam pekerjaan. Lama-lama mereka terbiasa hidup dengan kebiasaan masing-masing pihak dalam pekerjaan. Hingga suatu hari, Damay mulai berpikir.
 Lelaki macam dia bisa membuatku gila karena selalu merepres kemarahan dan kejengkelanku. Sampai kapan aku ngelakuin ini semua? Lama-lama bisa gila juga.
“TOK! TOK! TOK!” suara pintu kamar Damay yang terbuka diketuk oleh Olla, teman kost-nya.
“Hei, La! Masuk! Kenapa?”
“Ini Mbak, ada undangan pernikahan nih, buat Mbak Damay. Tadi di meja ruang tamu,” kata Olla sembari menyerahkan kartu undangan itu.
“Oh, thanks, ya, La,” ucap Damay tersenyum.
Olla membalasnya dengan anggukan dan senyuman kemudian ia pergi.
Kartu undangan itu tertuju untuk Damay. Ternyata itu dari Ara, sahabatnya yang akan menggelar acara resepsi pernikahannya.
Kenapa Ara nggak serahin langsung ke aku?
Damay tersenyum melihat kartu undangan pernikahan itu. Kapan dia akan seperti itu? Usianya sekarang sudah 26 tahun, sudah lebih satu tahun dari target usia akan menikah. Hatinya setengah menyesali setengah tidak. Sedikit menyesal karena semua sahabatnya sudah menikah, hanya ia saja yang belum menikah. Jangankan menikah, menemukan calon pendamping hidup saja belum. Tidak menyesal karena ia bangga bisa meraih cita-citanya untuk membahagiakan kedua orang tuanya di rumah. Tapi, sejujurnya ia ingin sekali bisa segera bertemu jodohnya setidaknya untuk dalam waktu dekat pacaran aja dulu, deh. Sekalipun nantinya tidak berjodoh, setidaknya ia sekali aja merasakan menjalin hubungan dengan lawan jenis sebelum benar-benar menemukan jodoh. Rasanya ia emang ngebet banget untuk berelasi intim dengan lawan jenis. Tapi dengan siapa? Nggak ada lelaki yang mendekatinya. Untuk saat ini, lelaki yang cukup dekat dan sering berinteraksi dengannya adalah Denny. Tapi, ah... sekalipun Denny menyebalkan, lelaki itu cukup membuatnya minder jika sedang berjalan bersama. Denny begitu kharismatik untuk menarik perhatian kaum hawa. Ia tidak memungkiri itu. Dan, itulah yang membuat Damay enggan untuk ber-ide gila melobi Denny menjadi pasangannya semalam saja untuk pergi ke resepsi pernikahan Ara. Tapi, jika dia berhasil menjadikan Denny pasangannya ke acara itu kan, jadi kebanggaan juga.
Ahh, tapi percuma cuman semalem doang. Sama aja bohong, dong. Tapi, gue pengen!
Kepribadian impulsif Damay ‘hidup’ seketika. Malu, malu deh, sekalian. Ia segera menelpon Denny dan mengajaknya bertemu besok pagi jam setengah delapan di depan kantin rumah sakit.

Jam di tangan kiri Damay sudah menunjukkan pukul setengah delapan  pagi tapi Denny belum juga datang. Damay ingin mengirim pesan untuk Denny tapi ia urung mengirimnya karena menurutnya permintaannya semalam sudah cukup jelas di telpon.
Damay menunggu dua puluh menit lagi dan sudah berlalu tapi Denny tak jua datang. Damay mulai merasa sebal dan nampaknya semesta semakin mendukung suasana hati Damay. Sedari tadi subuh, langit memang sudah mendung petang tinggal mengguyurkan saja air hujan ke bumi. Dan sekarang ini sudah menurunkan hujan gerimis.
“Waduh, hujan. Mana nggak bawa payung lagi. Gimana, nih? Kantin ruang dokter mana jauh, banyak nggak beratap lagi,” gumam Damay panik.
Akhirnya Damay menudungkan jaket yang dikenakannya ke atas kepalanya dan segera berlari menuju gedung dimana ruangan kerjanya berada. Sesampainya di sana ia segera merapikan diri. Ia pun ngedumel bahwa semuanya karena Denny nggak memenuhi janjinya sanggup menemuinya pagi ini.
Damay berjalan menuju ruang kerjanya yang juga menjadi satu dengan ruang kerja dokter lain khusus bagian bedah jantung. Belum ada orang sama sekali di sana. Ia pun menghempaskan dirinya di tempat duduk empuknya dan segera mengoceh melampiaskan kejengkelannya pada Denny.
“Apa aku urungkan saja niatku itu, ya? Daripada ditolak mentah-mentah? Ah, okelah, batal! Lagian dia sudah bikin jengkel puluhan kali tapi kenapa aku masih bisa maafin dia?? Ahh... sadar dong, May!! Kamu sudah banyak makan ati sama itu orang!!” dumel Damay.
Pintu terbuka dan masuklah Denny dengan seorang dokter wanita seangkatan dengan Damay menjadi dokter spesialis jantung. Nampak keduanya bersenda gurau. Kemudian Denny duduk di sebelah meja kerja Damay dan menyapa Damay dengan santainya. Jelas hal ini membuat Damay jengkel setengah hidup. Bisa-bisanya bermuka seolah tak berdosa seperti itu padahal sudah mengecewakan Damay pagi ini.
“Oh, ya, Dok, maaf saya nggak bisa nemuin Dokter tadi karena sempat terjebak hujan. Untungnya ada Dokter Lina tadi nawarin tebengan. Makasih ya, Dok!” kata Denny pada Damay kemudian mengucapkan terima kasih dan tersenyum pada dokter Lina.
“Oh, iya, sama-sama. Cuman gitu aja, kok,” sahut dokter Lina.
Damay tak berekspresi apapun. Ia hanya menjawab,”Oh, begitu. Iya, nggak apa,”
“Tapi, memangnya kalian berdua janjian ketemu tadi? Wah, kalian diem-diem cinlok, ya? Hahahah,” kelakar Lina.
“Ah, enggak, kok, Dok! Apaan, sih?” elak Damay segera.
“Tapi, kok, salah tingkah begitu,” sindir Denny tersenyum centil.
Raut wajah Damay memerah bak udang goreng segera. Betapa malunya dia saat itu.
Denny... awas kamu!!

Malam resepsi pernikahan Ara dan dokter Arya pun tiba. Damay akhirnya datang tanpa pasangan. Ya, biarkan saja daripada ia pusing akibat hasratnya ingin memiliki pasangan segera. Di pesta itu banyak kalangan dokter yang datang dan tak terkecuali Denny. Damay sengaja agak menyembunyikan diri dari pandangan Denny supaya tidak menjadi bahan sindiran Denny. Lelaki itu baginya semakin minus untuk dikatakan lelaki tampan karena suka menyindir mentah-mentah di hadapan orang lain, membuat Damay malu. Bagi Damay, ketampanan Denny sudah berkurang 20% lagi dan sekarang ketampanan Denny hanya berkadar 50%.
Meski sengaja menyembunyikan diri dari Denny tapi pandangan Damay tidak terlepas sedikitpun dari Denny. Ia terus mengintai segela gerak-gerik Denny. Termasuk ketika Denny sedang bersama dokter Lina. Entah kenapa tiba-tiba Damay merasa amat sangat benci pemandangan itu.
Kenapa si Lina, sih? Teman seperjuanganku selama kuliah dan bekerja. Dan sekarang jadi musuhku soal lelaki.
Damay tiba-tiba berkaca-kaca memandangi keduanya.
Ah, aku mikir apa, sih? Musuh? Itu artinya aku suka sama si kunyuk Denny dan bersaing dengan Lina? Mana mungkin aku bersaing sama Lina. Dia jelas lebih cocok dengan Denny. Aduh... aku nggak bisa terus-terusan di sini. Semakin lama akan semakin membuatku stres. Lebih baik aku segera pergi.
Damay segera keluar gedung dan menelepon taksi untuk ia pulang. Sesampainya di kost ia segera merebahkan diri di kasur dan menangis. Kenapa begitu menyakitkannya melihat Denny dan Lina tadi.
Beberapa menit kemudian ada telpon dari Denny. Melihat nama Denny di layar ponselnya, Damay segera mematikan ponselnya. Ia teramat sebal pada Denny. Kemudian ia melanjutkan menangisnya sampai benar-benar seolah-olah menguras air matanya.
Tiga puluh menit berlalu. Damay sudah merasa lega karena sudah meluapkan kesedihan dan kejengkelannya dengan menangis. Lalu, ada seorang teman kost-nya mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa ada tamu untuk Damay. Ketika Damay bertanya siapa, teman kost-nya juga tidak tahu siapa lelaki yang menjadi tamu Damay. Damay segera merapikan diri, ia membersihkan mukanya dengan pembersih make up lalu menemui tamu yang dimaksud teman sekost-nya. Damay kaget ketika tahu siapa orang itu.
“Kok, belom dandan, sih? Resepsi dokter Arya dan temanmu Ara sudah dimulai sejam lalu, lho. Ayo! Aku tunggu di sini, ya?” ucap Denny.
“Sori, aku nggak enak badan. Aku sudah ngabarin Ara kok, kalo aku nggak bisa dateng,” kata Damay jelas berbohong.
Denny menatap Damay membuat Damay salah tingkah.
“Kamu sudah ganti baju begitu. Tinggal poles mukamu. Ayo, cepetan! Aku berbaik hati njemput, lho. Jangan bikin tenagaku sia-sia ke sini.,” kata Denny.
Nggak ada yang nyuruh kamu njemput aku, tuh! Dan kalo kamu nggak ikhlas begitu, mending kamu pulang aja. Sori, aku mau istirahat. Lebih baik kamu pergi sendiri aja,” sahut Damay hendka menutup pintu tapi Denny menahan pintu itu agar tak tertutup.
Denny meletakkan telapak tangannya di jidat Damay. Damay segera menepisnya.
“Apa-apaan, sih?”
“Suhu tubuhmu biasa aja. Dan sepengetahuanku kamu sedang nggak nyeri haid karena siklus haidmu baru selesai minggu lalu. Jadi, tidak ada alasan nggak enak badan,”
Damay melotot tajam. Bagaimana Denny sedemikian tahu detil tentang dirinya sampai ke siklus haid segala.
Damay berusaha menutup pintunya lagi tapi tenaga Denny lebih kuat untuk menahannya.
“Tunggu!” kata Denny sambil menatap tajam Damay.
Damay makin salah tingkah.
“Kamu pikir aku nggak tahu semuanya? Kamu tadi dateng kan, dan pulang cepat? Kenapa? Lalu, kenapa matamu sembab, hah?! Nangisin apa kamu? Aku? Kenapa kamu bohong dengan perasaanmu sendiri? Sayang bilang aja sayang! Kenapa dipendem segala, hah? Aku nggak suka ya, cara kamu menahan-nahan perasaanmu itu menyebalkan tahu nggak??!!” kata Denny dengan suara lantang dan tegas.
“Kamu pikir aku juga nggak tahu niatmu ingin berpasangan denganku datang ke resepsi temanmu itu?? Kenapa kamu urung menyampaikan niatmu, hah??!! Nyalimu terlalu buruk!” lanjut Denny.
“Bisa kita bicara di luar aja? Nggak enak didenger temen-temen kost,” kata Damay sambil menarik Denny menuju ke taman tempat kost Damay.
“Lalu, seandainya aku bilang semuanya ke kamu, responmu gimana?” tanya Damay.
“Dengerin baik-baik kata demi kataku ini. Jangankan pasangan semalem ke resepsi pernikahan, pasangan selamanya aku sanggup dan aku mau sekali. Aku cinta sama kamu, May,”
Damay kaget bukan main. Ia tak dapat mendefinisikan dengan jelas perasaannya kala itu. Denny menyatakan perasaannya.
“Kita pergi sekarang. Jadikan aku pasanganmu. Bukan hanya semalam tapi banyak malam selama kita mampu melaluinya bersama dan itu akan kita mulai malam ini juga,” lanjut Denny sembari memegang pundak Damay.
Damay masih tak percaya.
“Kamu nggak sedang bercanda, kan? Kamu nggak ngerjain aku, kan?” tanya Damay.
“Aku lelaki pantang berdusta apalagi urusan hati,” tegas Denny.
Damay menangis tapi kali ini tangis bahagia. Ia memegang erat kedua tangan Denny.
“Sekarang dandan yang cantik, kita pergi ke resepsi sahabatmu,” suruh Denny.
Dan semenjak itu mereka menjadi pasangan tak hanya semalam tapi berbanyak malam mereka habiskan berdua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)