PASANGAN (TAK
HANYA) SEMALAM
Malam sudah menyapa sejak tiga jam
lalu. Suasananya semakin sunyi di lantai dua rumah dimana Damay kost. Sebagian
besar penghuninya memanfaatkan liburan akhir pekan panjangnya di kota kelahiran
masing-masing, hanya tinggal Damay dan seorang teman kostnya yang berkamar di
lantai satu yang sedang diapeli pacarnya. Ia baru saja pulang dari rumah sakit.
Ia memasuki kamarnya yang pengab karena terkunci dan lampu mati selama ia
tinggal pergi bekerja. Ia nyalakan lampu dan kipas angin berdiri untuk
mengurangi kepengaban udara di kamarnya. Kemudian ia merebahkan
diri di tempat tidurnya. Ia menghela nafas dalam dan bersyukur pekerjaannya
dalam seminggu terakhir berjalan dengan lancar. Lalu ia beranjak meraih fotonya
bersama keluarganya, ayah, ibu dan dua adiknya yang selama ini ia pajang di
meja.
“Damay belum bisa pulang Ayah, Ibu. Terima kasih sudah
mendoakan Damay selama ini. Ayah sama ibu nggak
perlu khawatir akan masa depan Fauzi dan Arimbi. Ayah sama ibu juga nggak akan susah payah mengerjakan sawah
sendiri. Damay akan memenuhi semua kebutuhan ayah dan ibu. Akan Damay ganti
dengan yang lebih bagus dan layak buat kalian semua,” gumam Damay sambil
meneteskan air mata.
Damay kembali merebahkan tubuhnya. Ia merasa bangga
karena cita-citanya menjadi dokter spesialis bedah jantung tercapai. Hampir
setahun yang lalu ia diwisuda dan mendapat penghargaan sebagai lulusan termuda
dalam profesi dokter ahli. Lalu ia menaruh kembali foto itu di mejanya.
Tiba-tiba Ara, rekan kerjanya sekaligus sahabatnya semenjak awal kuliah S1
masuk begitu saja.
“Hai, Bu Dokter! Selamat, ya? Maaf ya, nggak datang ke wisudamu. Katanya bapak ibumu juga nggak bisa datang, ya? Kasihan…,” kata Ara mendekati Damay.
“Kamu juga sih, milih tanggal ijab qabul bareng sama aku
wisuda. Aku jadi sendirian. Ngomong-ngomong beruntung banget sih, kamu dapet
suami kayak dokter Arya? Nggak
cerita-cerita juga kalau selama ini kalian saling cinta. Eh, tiba-tiba kawin
gitu aja,” kata Damay.
“Ah,…jangan begitu! Aku juga iri sama kamu yang bisa
kayak sekarang di usia muda. Mantab, deh! Makanya, habis gini hunting calon suami, hahahah…,” kelakar
Ara.
Damay melirik Ara dan mulai merasa
sedikit sebal jika Ara sudah membicarakan soal lawan jenis, pasangan, pacaran
dan semacamnya. Lalu, ia menghela nafas dalam dan melepaskannya dengan segera.
“Aku sudah coba
membuka hati sama cowok, berusaha nggak
jutek, memperluas jaringan pertemanan tapi tetep saja nggak ada cowok yang tertarik,” kata Damay memelas.
“Tunggu dulu deh, kamu inget sama omongan kamu kan, waktu masih awal
semester S1 dulu bahwa kamu nggak
akan pacaran sebelum mapan? Nah, sekarang kamu sudah mapan jadi apalagi? Cari dong, pasangan yang tepat!”
balas Ara.
“Masalahnya sampai sekarang nggak
ada tanda-tanda ada cowok suka sama aku,” keluh Damay.
“Makanya, jangan berdiam diri! Biasanya orang yang sudah nyaman sama
pekerjaannya jadi lupa sama kebutuhan satu itu. Jadi, sebelum kamu bener-bener
merasa hidupmu hampa nggak ada
pasangan mending cepetan, deh!” cerocos Ara.
Damay diam sejenak nampak berpikir
dalam-dalam mengenai pernyataan sahabatnya itu. Ia sendiri terkadang merasa
sudah habis pikir bagaimana menarik perhatian lelaki. Padahal sejauh ini ia
sudah berusaha untuk memperbaiki dari segi fisik dan karakternya yang
menurutnya memang tidak ciamik. Tetapi, kenapa sampai sekarang satupun makhluk
berlabel le-la-ki nggak ada yang
menyukai dia? Seandainya hidup ini memang mengenal istilah reinkarnasi, Damay
heran, hasil reinkarnasi siapa sih, sebenarnya dia sampai nasibnya begini?
Jangan-jangan di kehidupan sebelumnya dia juga nggak terlalu beruntung soal asmara, ataukah ini sebuah kutukan di
masa lalu?
Kenapa aku nggak punya aura pemikat seperti cewek lain, sih?
Senin yang cerah. Tidak ada kata I hate Monday lagi dalam kamus hidup Damay. Tepat pukul setengah
delapan pagi ia sudah ada di kantin rumah sakit untuk makan bubur ayam
kesukaannya.
“Saya tungguin di sini deh, biar saya bawa sendiri. Nggak perlu diantar ke meja,” kata Damay pada
penjual bubur ayam.
Beberapa menit kemudian buburnya sudah jadi, Damay
membalikkan badan hendak menuju meja makan. Tapi sial, seseorang menabraknya
sehingga bubur ayamnya menumpahi pakaiannya dan pakaian orang itu.
“Waduh... kotor juga nih, baju,” keluh
lelaki yang ditabrak Damay.
“Wah, maaf ya, Mas! Saya nggak sengaja. Ini, ini, tisunya,” kata
Damay cepat-cepat mengambil tisu di meja terdekat dengan dirinya.
“Hati-hati dong, Mbak! Jalan matanya nggak dipake, ya?” kata lelaki itu pelan
tapi menusuk tajam.
“Sekali lagi saya minta maaf, ya,
Mas!”
“Maaf doang nggak cukup,”
“Terus?”
“Cucikan baju saya!”
Damay melotot. Ia merasa agak terhina.
Baru kali ini ada orang lain menyuruhnya nyuci baju begitu saja.
“Gimana?!” tanya lelaki itu sewot
memecah keheningan Damay yang sedang berpikir sekaligus sebal.
“Oke,” jawab Damay akhirnya
mengiyakan.
Memang dia yang salah jadi dia yang
bertanggungjawab. Lagipula, Damay nggak
mau berlama-lama beradu mulut dengan orang, itu bukan karakternya. Terlebih
waktu masih pagi, kok, sudah berantem sama orang.
“Dokter memanggil saya?” tanya Damay saat memasuki
ruangan dokter Rahardjo.
“Silakan masuk, Dokter Damay!” kata dokter Rahardjo. Dan
Damay pun duduk.
“Perkenalkan ini saudara Denny Permana. Dia baru lulus. Dia yang
akan menjadi asisten kamu. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik,”
tutur dokter Rahardjo.
Saat Damay menolehkan wajahnya pada lelaki yang duduk di
sampingnya baik Damay maupun si lelaki terperanjat kaget.
“KAMU???!!” kata keduanya.
“Oh, kalian sudah saling kenal? Bagus kalau begitu.
Tidak ada masalah lagi, kan? Dokter Damay nanti akan menjelaskan tugas kamu, Den,” kata dokter
Rahardjo sembari meninggalkan ruangannya.
“Dok, saya belum butuh asisten. Justru
saya yang seharusnya masih jadi asisten dokter senior seperti dokter karena jam
terbang saya belum banyak. Lagian, kalau dia jadi asisten kan, mustinya untuk
dokter yang lebih senior dari saya,” jelas Damay merasa kaget dengan keputusan
dokter kepala rumah sakit itu.
“Saya sudah mempertimbangkan ini.
Jadi, selamat bekerja sama, ya?” kata dokter Rahardjo
Damay dan lelaki bernama Denny itu
keluar dari ruangan dokter Rahardjo.
“Ide paman cemerlang juga jadiin aku
asisten kamu. Tapi, yang aku heran masa’ cewek model kamu begini sudah dokter
spesialis, sih? Hahahha, nggak ada
tampang-tampang dokter,” ejek Denny.
Damay mengepalkan kedua tangan,
baginya begitu menyebalkan juga lelaki di hadapannya saat ini. Ia mengambil
nafas terpaksa dan dalam dan menghembuskannya pelan pertanda mencoba sabar
dengan Denny.
“Intinya, kita berdua akan sering
bertemu dan itu artinya tidak sulit untuk memintamu bertanggungjawab mencuci
bajuku, kan?” kata Denny mengingatkan peristiwa tadi pagi di kantin rumah
sakit.
Ingin rasanya Damay menonjok muka Denny tapi itu tak mungkin, ia juga tak memiliki cukup
keberanian melakukan tindakan kasar terhadap orang lain. Ia pun memilih pergi.
“Permisi, saya masih banyak pekerjaan.
Kalau kamu memang mau jadi asisten saya, ikuti aturan main saya. Jangan banyak
bicara!” kata Damay melangkah pergi.
“Hei, aku belum selesai bicara! Apa
begitu caranya bersopan-santun dengan
orang lain, hah??!! Hei, Damay!” teriak Denny pada Damay yang terus melangkah
tak sedikitpun menoleh ke belakang.
Dia orang kesekian yang menyebalkan yang ada di hidupku. Tapi dia
termenyebalkan sebagai lelaki! Bicara kasar dan lantang dengan wanita, menyuruh
orang lain seenaknya jelas bukan lelaki yang punya poin plus di mataku.
Sekalipun ketampanannya seperti jawara ajang pemilihan mister internasional
tapi dengan sikapnya seperti itu poin ketampanannya turun jadi 30%!
Tidak bisa dipungkiri bahwa mau tak mau Damay dan Denny
harus bekerja sama. Untuk sementara waktu Denny harus “mengabdi” pada Damay.
Meskipun begitu, double D –begitu
orang menyebut- ini cukup profesional dalam pekerjaan. Lama-lama mereka
terbiasa hidup dengan kebiasaan masing-masing pihak dalam pekerjaan. Hingga suatu hari, Damay mulai
berpikir.
Lelaki macam dia bisa membuatku gila karena selalu
merepres kemarahan dan kejengkelanku. Sampai kapan aku ngelakuin ini semua?
Lama-lama bisa gila juga.
“TOK! TOK! TOK!” suara pintu kamar
Damay yang terbuka diketuk oleh Olla, teman kost-nya.
“Hei, La! Masuk! Kenapa?”
“Ini Mbak, ada undangan pernikahan
nih, buat Mbak Damay. Tadi di meja ruang tamu,” kata Olla sembari menyerahkan
kartu undangan itu.
“Oh, thanks, ya, La,” ucap Damay tersenyum.
Olla membalasnya dengan anggukan dan
senyuman kemudian ia pergi.
Kartu undangan itu tertuju untuk
Damay. Ternyata itu dari Ara, sahabatnya yang akan menggelar acara resepsi
pernikahannya.
Kenapa Ara nggak serahin langsung ke aku?
Damay tersenyum melihat kartu undangan
pernikahan itu. Kapan dia akan seperti itu? Usianya sekarang sudah 26 tahun,
sudah lebih satu tahun dari target usia akan menikah. Hatinya setengah
menyesali setengah tidak. Sedikit menyesal karena semua sahabatnya sudah
menikah, hanya ia saja yang belum menikah. Jangankan menikah, menemukan calon
pendamping hidup saja belum. Tidak menyesal karena ia bangga bisa meraih
cita-citanya untuk membahagiakan kedua orang tuanya di rumah. Tapi, sejujurnya
ia ingin sekali bisa segera bertemu jodohnya setidaknya untuk dalam waktu dekat
pacaran aja dulu, deh. Sekalipun nantinya tidak berjodoh, setidaknya ia sekali
aja merasakan menjalin hubungan dengan lawan jenis sebelum benar-benar
menemukan jodoh. Rasanya ia emang ngebet banget untuk berelasi intim dengan
lawan jenis. Tapi dengan siapa? Nggak
ada lelaki yang mendekatinya. Untuk saat ini, lelaki yang cukup dekat dan
sering berinteraksi dengannya adalah Denny. Tapi, ah... sekalipun Denny
menyebalkan, lelaki itu cukup membuatnya minder jika sedang berjalan bersama.
Denny begitu kharismatik untuk menarik perhatian kaum hawa. Ia tidak memungkiri
itu. Dan, itulah yang membuat Damay enggan untuk ber-ide gila melobi Denny
menjadi pasangannya semalam saja untuk pergi ke resepsi pernikahan Ara. Tapi,
jika dia berhasil menjadikan Denny pasangannya ke acara itu kan, jadi
kebanggaan juga.
Ahh, tapi percuma cuman semalem doang. Sama aja bohong, dong. Tapi, gue
pengen!
Kepribadian impulsif Damay ‘hidup’
seketika. Malu, malu deh, sekalian. Ia segera menelpon Denny dan mengajaknya
bertemu besok pagi jam setengah delapan di depan kantin rumah sakit.
Jam di tangan kiri Damay sudah
menunjukkan pukul setengah delapan pagi
tapi Denny belum juga datang. Damay ingin mengirim pesan untuk Denny tapi ia
urung mengirimnya karena menurutnya permintaannya semalam sudah cukup jelas di
telpon.
Damay menunggu dua puluh menit lagi
dan sudah berlalu tapi Denny tak jua datang. Damay mulai merasa sebal dan
nampaknya semesta semakin mendukung suasana hati Damay. Sedari tadi subuh,
langit memang sudah mendung petang tinggal mengguyurkan saja air hujan ke bumi.
Dan sekarang ini sudah menurunkan hujan gerimis.
“Waduh, hujan. Mana nggak bawa payung lagi. Gimana, nih?
Kantin ruang dokter mana jauh, banyak nggak
beratap lagi,” gumam Damay panik.
Akhirnya Damay menudungkan jaket yang
dikenakannya ke atas kepalanya dan segera berlari menuju gedung dimana ruangan
kerjanya berada. Sesampainya di sana ia segera merapikan diri. Ia pun ngedumel
bahwa semuanya karena Denny nggak
memenuhi janjinya sanggup menemuinya pagi ini.
Damay berjalan menuju ruang kerjanya
yang juga menjadi satu dengan ruang kerja dokter lain khusus bagian bedah
jantung. Belum ada orang sama sekali di sana. Ia pun menghempaskan dirinya di
tempat duduk empuknya dan segera mengoceh melampiaskan kejengkelannya pada
Denny.
“Apa aku urungkan saja niatku itu, ya?
Daripada ditolak mentah-mentah? Ah, okelah, batal! Lagian dia sudah bikin
jengkel puluhan kali tapi kenapa aku masih bisa maafin dia?? Ahh... sadar dong,
May!! Kamu sudah banyak makan ati sama itu orang!!” dumel Damay.
Pintu terbuka dan masuklah Denny dengan
seorang dokter wanita seangkatan dengan Damay menjadi dokter spesialis jantung.
Nampak keduanya bersenda gurau. Kemudian Denny duduk di sebelah meja kerja
Damay dan menyapa Damay dengan santainya. Jelas hal ini membuat Damay jengkel
setengah hidup. Bisa-bisanya bermuka seolah tak berdosa seperti itu padahal
sudah mengecewakan Damay pagi ini.
“Oh, ya, Dok, maaf saya nggak bisa nemuin Dokter tadi karena
sempat terjebak hujan. Untungnya ada Dokter Lina tadi nawarin tebengan. Makasih
ya, Dok!” kata Denny pada Damay kemudian mengucapkan terima kasih dan tersenyum
pada dokter Lina.
“Oh, iya, sama-sama. Cuman gitu aja,
kok,” sahut dokter Lina.
Damay tak berekspresi apapun. Ia hanya
menjawab,”Oh, begitu. Iya, nggak
apa,”
“Tapi, memangnya kalian berdua janjian
ketemu tadi? Wah, kalian diem-diem cinlok, ya? Hahahah,” kelakar Lina.
“Ah, enggak, kok, Dok! Apaan, sih?” elak Damay segera.
“Tapi, kok, salah tingkah begitu,”
sindir Denny tersenyum centil.
Raut wajah Damay memerah bak udang
goreng segera. Betapa malunya dia saat itu.
Denny... awas kamu!!
Malam resepsi pernikahan Ara dan dokter Arya pun tiba. Damay akhirnya datang tanpa pasangan. Ya, biarkan
saja daripada ia pusing akibat hasratnya ingin memiliki pasangan segera. Di
pesta itu banyak kalangan dokter yang datang dan tak terkecuali Denny. Damay
sengaja agak menyembunyikan diri dari pandangan Denny supaya tidak menjadi
bahan sindiran Denny. Lelaki itu baginya semakin minus untuk dikatakan lelaki
tampan karena suka menyindir mentah-mentah di hadapan orang lain, membuat Damay
malu. Bagi Damay, ketampanan Denny sudah berkurang 20% lagi dan sekarang
ketampanan Denny hanya berkadar 50%.
Meski sengaja menyembunyikan diri dari
Denny tapi pandangan Damay tidak terlepas sedikitpun dari Denny. Ia terus
mengintai segela gerak-gerik Denny. Termasuk ketika Denny sedang bersama dokter
Lina. Entah kenapa tiba-tiba Damay merasa amat sangat benci pemandangan itu.
Kenapa si Lina, sih? Teman seperjuanganku selama kuliah dan bekerja. Dan
sekarang jadi musuhku soal lelaki.
Damay tiba-tiba berkaca-kaca
memandangi keduanya.
Ah, aku mikir apa, sih? Musuh? Itu artinya aku suka sama si kunyuk Denny
dan bersaing dengan Lina? Mana mungkin aku bersaing sama Lina. Dia jelas lebih
cocok dengan Denny. Aduh... aku nggak bisa terus-terusan di sini. Semakin lama
akan semakin membuatku stres. Lebih baik aku segera pergi.
Damay segera keluar gedung dan
menelepon taksi untuk ia pulang. Sesampainya di kost ia segera merebahkan diri
di kasur dan menangis. Kenapa begitu menyakitkannya melihat Denny dan Lina
tadi.
Beberapa menit kemudian ada telpon
dari Denny. Melihat nama Denny di layar ponselnya, Damay segera mematikan
ponselnya. Ia teramat sebal pada Denny. Kemudian ia melanjutkan menangisnya
sampai benar-benar seolah-olah menguras air matanya.
Tiga puluh menit berlalu. Damay sudah merasa
lega karena sudah meluapkan kesedihan dan kejengkelannya dengan menangis. Lalu,
ada seorang teman kost-nya mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa ada tamu
untuk Damay. Ketika Damay bertanya siapa, teman kost-nya juga tidak tahu siapa
lelaki yang menjadi tamu Damay. Damay segera merapikan diri, ia membersihkan
mukanya dengan pembersih make up lalu
menemui tamu yang dimaksud teman sekost-nya. Damay kaget ketika tahu siapa
orang itu.
“Kok, belom dandan, sih? Resepsi
dokter Arya dan temanmu Ara sudah dimulai sejam lalu, lho. Ayo! Aku tunggu di
sini, ya?” ucap Denny.
“Sori, aku nggak enak badan. Aku sudah ngabarin Ara kok, kalo aku nggak bisa dateng,” kata Damay jelas
berbohong.
Denny menatap Damay membuat Damay
salah tingkah.
“Kamu sudah ganti baju begitu. Tinggal
poles mukamu. Ayo, cepetan! Aku berbaik hati njemput, lho. Jangan bikin
tenagaku sia-sia ke sini.,” kata Denny.
“Nggak
ada yang nyuruh kamu njemput aku, tuh! Dan kalo kamu nggak ikhlas begitu, mending kamu pulang aja. Sori, aku mau
istirahat. Lebih baik kamu pergi sendiri aja,” sahut Damay hendka menutup pintu
tapi Denny menahan pintu itu agar tak tertutup.
Denny meletakkan telapak tangannya di
jidat Damay. Damay segera menepisnya.
“Apa-apaan, sih?”
“Suhu tubuhmu biasa aja. Dan
sepengetahuanku kamu sedang nggak
nyeri haid karena siklus haidmu baru selesai minggu lalu. Jadi, tidak ada
alasan nggak enak badan,”
Damay melotot tajam. Bagaimana Denny
sedemikian tahu detil tentang dirinya sampai ke siklus haid segala.
Damay berusaha menutup pintunya lagi
tapi tenaga Denny lebih kuat untuk menahannya.
“Tunggu!” kata Denny sambil menatap
tajam Damay.
Damay makin salah tingkah.
“Kamu pikir aku nggak tahu semuanya? Kamu tadi dateng kan, dan pulang cepat?
Kenapa? Lalu, kenapa matamu sembab, hah?! Nangisin apa kamu? Aku? Kenapa kamu
bohong dengan perasaanmu sendiri? Sayang bilang aja sayang! Kenapa dipendem
segala, hah? Aku nggak suka ya, cara
kamu menahan-nahan perasaanmu itu menyebalkan tahu nggak??!!” kata Denny dengan suara lantang dan tegas.
“Kamu pikir aku juga nggak tahu niatmu ingin berpasangan
denganku datang ke resepsi temanmu itu?? Kenapa kamu urung menyampaikan niatmu,
hah??!! Nyalimu terlalu buruk!” lanjut Denny.
“Bisa kita bicara di luar aja? Nggak enak didenger temen-temen kost,”
kata Damay sambil menarik Denny menuju ke taman tempat kost Damay.
“Lalu, seandainya aku bilang semuanya
ke kamu, responmu gimana?” tanya Damay.
“Dengerin baik-baik kata demi kataku
ini. Jangankan pasangan semalem ke resepsi pernikahan, pasangan selamanya aku sanggup
dan aku mau sekali. Aku cinta sama kamu, May,”
Damay kaget bukan main. Ia tak dapat
mendefinisikan dengan jelas perasaannya kala itu. Denny menyatakan perasaannya.
“Kita pergi sekarang. Jadikan aku
pasanganmu. Bukan hanya semalam tapi banyak malam selama kita mampu melaluinya
bersama dan itu akan kita mulai malam ini juga,” lanjut Denny sembari memegang
pundak Damay.
Damay masih tak percaya.
“Kamu nggak sedang bercanda, kan? Kamu nggak ngerjain aku, kan?” tanya Damay.
“Aku lelaki pantang berdusta apalagi
urusan hati,” tegas Denny.
Damay menangis tapi kali ini tangis
bahagia. Ia memegang erat kedua tangan Denny.
“Sekarang dandan yang cantik, kita
pergi ke resepsi sahabatmu,” suruh Denny.
Dan semenjak itu mereka menjadi
pasangan tak hanya semalam tapi berbanyak malam mereka habiskan berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)