UNTUK PEREMPUANKU
Galuh
kepanasan menunggui ban motornya selesai ditambal dalam perjalanannya dari
Kediri ke Surabaya.
“Pak,
masih lama nambalnya?” tanya Galuh pada tukang tambal ban sembari ia mengusap
keringat yang menetes di pipinya.
“Sedikit
lagi ya, Mbak!” kata bapak itu.
Ketika
Galuh dan penambal itu asyik ngobrol, tiba-tiba berhentilah seorang lelaki yang
kira-kira usianya tak terpaut jauh dengan Galuh menuntun motornya. Lelaki itu
meminta tolong pada si penambal ban untuk menambal bannya juga.
Lelaki
itu duduk di sebelah Galuh. Galuh memasang tampang ramah setengah tersenyum eh,
si cowok itu langsung membuang muka. Langsung hati Galuh menjadi dongkol. Tak
berapa, si bapak tambal ban mengatakan pada Galuh bahwa ban motornya sudah
selesai ditambal. Usai memberikan upah, Galuh segera pergi melanjutkan
perjalanannya.
JJJ
Galuh
menikmati jalan-jalannya di sebuah mall besar di Surabaya. Ia sendirian. Usai
lelah berjalan-jalan mengelilingi mall, ia keluar gedung besar berisi beraneka
macam barang kebutuhan manusia itu. Galuh mulai merasa perutnya lapar. Kebetulan
tak jauh dari mall itu terdapat deretan kedai kuliner. Di sanalah salah seorang
teman karibnya membuka lapak kuliner kesukaan Galuh. Dari kejauhan ia melihat
temannya sedang menjadi kasir.
“Hallo,
Retha!!!” seru Galuh mengagetkan temannya.
“Kamu,
Luh!” sahut Retha.
“Pesen
paket 3 nggak pake’ pete, ya? Nggak pakai lama, ya? Aku tunggu di
bangku sini, ya?” kata Galuh sambil menunjuk sebuah bangku makan yang tak jauh
dari tempat Retha berjualan. Retha hanya mengangguk.
Galuh
duduk di tempat yang dikehendakinya disusul oleh Retha.
“Habis
jalan-jalan apa langsung ke sini tadi?” tanya Retha duduk di depan Galuh.
“Dari
olah raga keliling mall. Hahahha....,” kelakar Galuh.
“Tetep
aja pelit, kamu ini! Sudah jadi dosen dengan bayaran memuaskan masih aja kalo
ke mall, nggak pernah beli apapun!”
“Bukan
pelit tapi berhemat!!”
“Berhemat
katanya! Numpuk pundi-pundi uang bener ya, kamu!”
“Iya
dong! Demi masa depan cerah. Habis gini, aku investasikan ke tanah, perkebunan
sawit, dan emas! Kan, harganya sering mahal, tuh! Kaya deh, gue!”
“Materialistis
tetep...”
“Dari
pada gue morotin lelaki,” tegas Galuh disambut tawa Retha.
Mereka
bicara mengenai masa-masa indah saat mereka kuliah dulu sampai makanan yang
dipesan Galuh datang.
“Silakan,
Mbak!” kata si waitress lelaki yang
mengantarkan pesanan Galuh.
“Loh,
Mas, aku kan, pesennya nggak pakai
pete di sambelnya??” protes Galuh.
Waitress
yang sudah memalingkan langkahnya menuju ke dapur kembali pada Galuh.
“Di
catatannya kan, nggak ada tambahan,
Mbak!”
“Nggak mau tahu! Saya mau diganti
sambelnya!” protes Galuh lagi.
Retha
menyuruh lelaki itu segera mengganti sambal itu. Lelaki itupun segera mengambil
mangkuk kecil sambal itu tapi entah kenapa ia melakukan kesalahan dengan menumpahkan
sambal itu ke baju Galuh.
“Waduh!!!
Gimana sih, Mas??!!” kata Galuh sigap berdiri. Dia benar-benar tak tahan dengan
bau pete itu. Dia memang sangat membenci makanan pete itu.
“Maaf,
Mbak, nggak sengaja!”
“Nggak sengaja, nggak sengaja, makanya buka tuh, mata!!” omel Galuh sambil menarik
topi yang dikenakan lelaki itu.
Ketika
Galuh tahu dengan pasti bagaimana wajah waitress
itu, Galuh melotot kaget. Begitu pula si lelaki. Ternyata lelaki itu adalah
lelaki beberapa hari lalu yang ia temui di tambal ban di daerah Krian. Dengan
sigap lelaki itu mengambil topinya dari tangan Galuh dan memakainya. Sementara
Galuh tetap melongo.
“Tunggu
sebentar ya, Mbak! Pesanan segera datang!” kata si lelaki itu segera pergi dari
hadapan Galuh.
“Sori
ya, Luh! Dia memang baru di sini jadi agak serampangan juga!” kata Retha tapi
Galuh masih terbengong-bengong sekalipun Retha melambai-lambaikan tangannya di
depan wajah Galuh.
“Galuh!!”
kata Retha menepuk bahu Galuh. Galuh pun tersadar.
“Eh,
ya, Retha! Sori. Sori,”
“Kok,
elo mandangin Tama sampai segitunya? Kalian kenal?” tanya Retha. Galuh
menggeleng kuat.
JJJ
Lelaki seganteng dia kok, jadi waitress, sih?? Pantesnya jadi manajer, direktur,
pengusaha gitu. Hhhmmm...tapi sayang juteknya itu yang nggak nahan. Buktinya waktu sama-sama nunggu di tukang tambal ban, nggak sedikitpun dia berbasa-basi ngajak ngobrol.
Selalu aku yang mencoba berbasa-basi.
Galuh
berkutat dengan pikirannya tentang waitress
bernama Tama itu padahal ia sedang mengikuti rapat departemen di fakultas dia
bekerja. Parahnya sampai ia tak menyadari tangannya nyemplung ke teh setengah
panas ketika ia hendak mengambil mouse laptopnya.
“Aduh!!”
keluh Galuh membuat semua orang memandang ke arahnya.
“Ehem!
Ibu Galuh, ada masalah?” tanya ketua rapat yang tak lain adalah ketua
departemen dimana Galuh mengajar.
“Oh,
enggak, Pak! Tidak ada masalah
apa-apa! Saya setuju-setuju saja!” kata Galuh yang dirasa nggak nyambung oleh yang lain.
“Setuju
apa? Kita tidak membahas setuju tidak setuju, Bu!” sahut si ketua membuat Galuh
menahan malu bukan main. Junior yang memalukan.
Usai
rapat Galuh segera mengajar. Selama kurang lebih dua jam setengah dia mengajar.
Lalu ia merasa lapar. Otaknya mengarah pada makanan kesukaannya di kedai Retha.
Akhirnya ia menelepon Retha untuk mengantarkan makanan padanya.
“Eh,
Retha...kalo boleh, yang nganter si Tama, ya?” pinta Galuh agak malu-malu.
“Kenapa
harus dia? Dia kan, bukan kurir. Lagian ada dua orang kurir yang nganggur,”
sahut Retha dari seberang sana.
“Retha...please....”
“Okeh.
Okeh,”
Galuh
kegirangan mendengar persetujuan Retha. Ia tersenyum-senyum sendiri sambil
memutar-mutarkan diri di kursi putarnya hingga tangannya terantuk meja. Dan ia
mengeluh kesakitan.
Butuh
waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk Galuh mendapatkan makanannya dan
pastinya bertemu dengan Tama. Mulanya yang menyampaikan makan siangnya adalah office boy tapi Galuh segera ngacir
keluar kantor menyusul si pengantar pesanannya yang ia yakin pasti Tama.
“Eh,
Mas! Mas! Tunggu dulu!” kata Galuh menghentikan lelaki yang berseragam khas
kedai Retha yang mulai men-starter
motornya. Lelaki itu menoleh dan ternyata benar, itu Tama.
“Ehm,
Mas kok, nggak masuk tadi?” tanya
Galuh malu-malu.
“Bukannya
sudah ada O-Be?” tanya balik Tama datar.
“Ehm,
iya, sih! Tapi,...”
“Maaf,
saya masih banyak pekerjaan!” kata Tama memotong pembicaraan Galuh.
“Kamu
itu kenapa, sih, selalu jutek sama saya? Belagu banget, ya, kamu??!!” omel
Galuh.
“Saya
nggak banyak waktu untuk basa-basi!”
kata Tama lalu pergi dari pandangan Galuh.
Galuh
dongkol bukan main. Tangannya mengepal kesal. Lalu ia segera masuk ke kantor
dan memakan dengan kesal pesanannya.
JJJ
“Tapi
kan, nggak usah jutek begitu! Kalo
dia bermuka masam begitu, pelangganmu pada kabur semua,” keluh Galuh pada Retha
melalui telepon.
“Ya,
maklum saja, Luh. Lagi ada masalah besar. Dia ditinggal kawin sama tunangannya.
Jadi, yang aku denger dari karyawanku yang lain, tunangannya itu hamil duluan
sama sahabatnya. Hati pacar mana yang nggak
sakit digituin? Terus dia sempet kenal alkohol gitu beberapa bulan lalu.
Sekarang sih, sudah agak baikan,” jelas Retha.
“Ih,
kamu kok, berani terima karyawan pecandu alkohol begitu?”
“Ya,
dia kan, sudah sadar dan yang penting dia nggak
bikin kisruh. Kasihan kalo dikucilkan. Setiap manusia berhak diperlakukan
selayaknya manusia. Tama juga manusia,”
“Ya,
sudahlah kalau begitu. Aku mau nglanjutin tugas buat besok ngajar. Malem,” kata
Galuh sambil memutus hubungan teleponnya dengan Retha.
Kasihan banget Tama. Ditinggal
begitu sadisnya sama tunangannya. Pantesan dia dingin sama cewek, pasti di
otaknya semua cewek itu sekejam mantan tunangannya. Padahal, aku kan, nggak begitu. Pengen rasanya nyembuhin lukanya
tapi kalo gue didepak sebelum beraksi ya, pasti malu banget aku. Lagian...aku
ini kenapa sih, selalu nyosor duluan. Ngebet duluan. Ibarat lagunya Sheila On 7
ost. 30 Hari Mencari Cinta, berjudul Untuk Perempuan, aku bunga yang
menghampiri kumbang padahal jelas itu mustahil. Yang ada kumbang menghampiri
bunga. Terlalu sering aku melakukan itu dan hasilnya selalu nol besar. Nggak
ada satupun lelaki yang suka sama aku.
Masa’ sekarang aku mengulanginya lagi? Ah, aku mikir apa sih? Masih banyak hal
yang butuh aku perhatikan.
Galuh
segera menyentuh laptopnya dan mengerjakan tugas-tugasnya untuk esok hari.
Beberapa menit kemudian seorang warga menggedor-gedor pintu rumah kontrakannya,
berteriak minta tolong. Galuh segera keluar rumah menanyakan apa yang
terjadi. Menurut lelaki setengah baya
itu, ada seorang lelaki kecelakaan. Lelaki setengah baya yang meminta tolong
itu meminta Galuh mengambil segelas air minum untuk lelaki yang kecelakaan itu
sekaligus obat untuk megobati lukanya. Galuh segera mengambil apa yang
dibutuhkan tersebut dan segera ke tepi jalan melihat separah apakah lelaki yang
kecelakaan itu.
Galuh
menembus kerumunan orang yang mengelilingi lelaki yang mengalami kecelakaan
itu. Betapa kagetnya Galuh ketika tahu siapa lelaki itu.
“Tama??!!”
seru Galuh.
“Mbak
Galuh tahu siapa dia?” tanya seorang warga. Galuh mengangguk.
“Ya,
sudah biar dia istirahat sebentar di rumah Mbak Galuh,” lanjut warga tersebut.
Kemudian Galuh meminta tolong pada warga sekitar untuk membawa Tama ke ruang
tamunya.
Galuh
masih membersihkan darah yang keluar dari pelipis Tama.
“Pelan-pelan!”
pinta Tama agak membentak.
“Iya.
Ini sudah pelan,” sahut Galuh.
“Jadi
cewek nggak ada halus-halusnya sama
sekali! Kecentilan! Ngapain ngaku-ngaku temenku??!” lanjut Tama.
Galuh
yang tersinggung langsung menekan pelipis Tama sampai Tama mengerang kesakitan.
“Niat
nggak sih, nolongin??!!” tanya Tama
dengan lantang.
“Mulutmu
itu nggak sopan!! Aku cuman niat
nolongin. Nggak lebih!!!” balas Galuh
nggak mau kalah lantang.
“Obatin
aja lukamu. Dan lima belas menit lagi silakan pulang!” tambah Galuh sambil
melirik jam dinding yang menunjuk hampir pukul sepuluh malam. Lalu ia beranjak
dari tempat duduk. Tapi, Tama menarik tangan Galuh hingga Galuh terpaksa duduk
di samping Tama kembali. Untuk beberapa detik Tama menatap Galuh tajam dan
dalam. Galuh menjadi salah tingkah dan
segera mengalihkan pandangan.
“Jangan
setengah-setengah melakukan sesuatu! Selesaikan pertolonganmu ke aku!” suruh
Tama. Galuh pun segera melanjutkan pertolongannya pada Tama.
JJJ
Semenjak
kejadian kecelakaan malam itu yang membuat Tama akhirnya bermalam di rumah
Galuh, hubungan mereka menjadi dekat. Galuh jelas merasa senang akhirnya dia
dekat dengan orang yang disukainya. Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Tepat
pukul empat sore di hari Sabtu, Galuh sudah duduk manis menanti kedatangan Tama
di taman kota. Kebetulan Galuh tak sedang mengajar dan Tama hanya bekerja
setengah hari saja. Tak lama berselang, Tama datang membawa seikat bunga.
“Hai!”
sapa Tama.
“Hai!”
sahut Galuh.
“Lama
nunggunya? Maaf, tadi banyak pelanggan. Oh, ya, ini buat kamu!” kata Tama
sambil menyerahkan bunga yang dibawanya pada Galuh. Galuh menerimanya dengan
senang hati.
“Makasih,”
sahut Galuh. Lalu ia mempersilakan Tama duduk di sampingnya tapi Tama menolak.
Tama memilih berdiri di depan Galuh.
“Langsung
saja, Luh! Aku ke sini cuman mau tanya, kamu cinta sama aku?” tanya Tama
menohok hati Galuh. Jelas Galuh salah tingkah.
“I-i-i-iya,”
sahut Galuh.
Aduh, lagi-lagi aku yang duluan
bilang cinta. Padahal aku janji bakal bikin Tama yang bilang cinta duluan ke
aku. Pertanda apa ini??
“Kamu
tahu, Luh? Wanita itu mahal harganya. Tak seharusnya dia mengemis cinta. Tak
seharusnya dia mengejar cinta. Bukankan selama ini kumbang yang menghampiri
bunga? Mana mungkin bunga yang tak bisa berpindah tempat menghampiri kumbang
yang pintar terbang kesana-kemari? Hargailah dirimu sendiri. Apalagi kamu
seorang dosen yang disegani banyak orang. Jangan sampai reputasimu runtuh
karena mengejar lelaki,” tutur Tama yang membuat sakit hati Galuh.
“Selesai
ceramahnya? Perlu kamu tahu, sekalipun aku berusaha mengejar cinta tapi aku nggak pernah mengemis cinta. Kamu lulus
SD nggak, sih? Arti kata mengemis?
Meminta-minta, memohon-mohon, persis seperti pengemis jalanan. Apa kamu pernah
melihat aku seperti itu? Kalaupun sikapku yang berusaha dekat dengan kamu, kamu
anggap wujud mengemis, kamu picik, Tam! Bener-bener picik!!” balas Galuh.
Galuh
kemudian pergi sambil meneteskan air mata dan membuang bunga yang diberikan
Tama tadi. Ia menginjak bunga itu. Hatinya hancur dikatai Tama seperti itu.
Ternyata langkahnya salah kaprah mendekati lelaki. Padahal wanita lain yang
melakukan hal lebih gila, bisa mendapatkan cinta lelaki, bisa dihargai lelaki
yang dicintainya. Galuh mengutuk perbuatannya sendiri. Ia terus larut dalam
kehancurannya.
JJJ
Dua
bulan berlalu. Selama itu pula, Galuh tidak pernah memesan makanan apalagi
datang ke kedai Retha. Galuh bertekad menjauhi semua berbau Tama. Niatnya
didukung dengan datangnya tawaran berlibur ke Singapura bersama dosen seniornya
dalam seminggu.
Galuh
berangkat ke Singapura. Selama perjalanan di pesawat, Galuh hanya mendengarkan
lagu Untuk Perempuan milik Sheila On
7.
Jangan mengejarnya/ Jangan
mencarinya/ Dia yang kan menemukanmu/ Kau mekar di hatinya/ Di hari yang tepat//
Jangan mengejarku/ Jangan mencariku/ Aku yang kan menemukanmu/ Kau mekar di
hatiku/ Di hari yang tepat// Reff: Tidaklah
mawar hampiri kumbang/ Bukanlah cinta bila kau kejar/ Tenanglah tenang, dia kan
datang/ Dan memungutmu ke hatinya yang terdalam// Sibukkan harimu/ Jangan
pikirkanku/ Takdir kan menuntunku pulang kepadamu/ Di hari yang tepat.
Selama
seminggu Galuh di negeri orang untuk menyegarkan kembali pikiran dan hatinya.
Kembalinya ia dari Singapura, ia mendapati Tama duduk di teras rumahnya.
“Cari
siapa?” tanya Galuh dingin.
“Kamu,”
sahut Tama.
“Perlu
apa?” tanya Galuh lagi yang sedang sibuk membuka kunci pintu rumahnya.
“Bisa
kita bicara sebentar?” tanya Tama.
Galuh
menghadap Tama.
“Apa
lagi? Belum puas menghinaku sebagai pengemis cinta? Maaf ya, aku bukan objek
penderitamu. Untukku tak mendapatkanmu bukan perihal besar,” ujar Galuh lancar
tapi hatinya sebenarnya berat.
“Maafkan
aku! Aku salah. Aku hanya belum siap menerima wanita lain. Tapi kali ini aku
tak akan menyia-nyiakanmu. Itu pun kalau kamu masih merasakan perasaan itu,”
“Itu!”
Tama
mengernyitkan dahi.
“Itu
kesalahan terbesarmu. Kalimat terakhirmu itu. Kamu menunggu aku menyatakan
aku-masih-cinta-kamu. Kamu nggak ada effort bikin aku jatuh cinta lagi dan
lagi sama kamu. Untuk apa aku masih menyimpan rasa itu? Buang-buang tenaga,”
Galuh
repot memasukkan kopernya ke dalam rumah dan akhirnya selesai sudah. Ia sudah
bisa fokus pada Tama.
“Apalagi?
Kalau tak ada lagi pembicaraan penting, silakan pergi! Aku capek,”
“Aku
sayang kamu, Luh. Aku cinta,” tegas Tama.
“Katakan
itu ketika kamu sudah benar-benar yakin dan kamu sudah punya amunisi meyakinkan
aku untuk tidak menerima cinta dari orang lain. Oke? Pikirkan dengan tenang,
pikiran yang jernih, jiwa yang bersih. Silakan pulang, Mas Tama!” celoteh Galuh
tersenyum kecut.
Galuh
menutup pintu rumahnya setelah ia mengucap permisi pada Tama ia akan menutup pintu.
Dari balik pintu Galuh menumpahkan air mata segera. Ia berhasil tegar dan jual
mahal di hadapan Tama. Tapi hatinya menolak. Ia masih menyimpan rasa itu pada
Tama. Tak mudah bagi Galuh untuk melupakan perasaannya sebegitu cepat.
Di
luar rumahnya Tama belum beranjak. Ia juga tak menyangka kali ini Galuh menjaga
harga diri yang sudah ia jatuhkan tempo hari. Ia menyesal. Kini dia benar-benar
tak ingin kehilangan Galuh. Perempuan yang ia yakini sebagai bunga “ajaib” yang
akan membuatnya tak pernah kehabisan madu untuk bertahan hidup. Ia kumbang yang
mulai melabuhkan diri dengan mantab pada hati Galuh.
“Jadilah
perempuanku, Luh. Terimalah aku,” gumam Tama lalu beranjak pergi.
JJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)