Jumat, 03 Agustus 2012

cerpen "Untuk Perempuanku"


UNTUK PEREMPUANKU

Galuh kepanasan menunggui ban motornya selesai ditambal dalam perjalanannya dari Kediri ke Surabaya.
“Pak, masih lama nambalnya?” tanya Galuh pada tukang tambal ban sembari ia mengusap keringat yang menetes di pipinya.
“Sedikit lagi ya, Mbak!” kata bapak itu.
Ketika Galuh dan penambal itu asyik ngobrol, tiba-tiba berhentilah seorang lelaki yang kira-kira usianya tak terpaut jauh dengan Galuh menuntun motornya. Lelaki itu meminta tolong pada si penambal ban untuk menambal bannya juga.
Lelaki itu duduk di sebelah Galuh. Galuh memasang tampang ramah setengah tersenyum eh, si cowok itu langsung membuang muka. Langsung hati Galuh menjadi dongkol. Tak berapa, si bapak tambal ban mengatakan pada Galuh bahwa ban motornya sudah selesai ditambal. Usai memberikan upah, Galuh segera pergi melanjutkan perjalanannya.
JJJ
Galuh menikmati jalan-jalannya di sebuah mall besar di Surabaya. Ia sendirian. Usai lelah berjalan-jalan mengelilingi mall, ia keluar gedung besar berisi beraneka macam barang kebutuhan manusia itu. Galuh mulai merasa perutnya lapar. Kebetulan tak jauh dari mall itu terdapat deretan kedai kuliner. Di sanalah salah seorang teman karibnya membuka lapak kuliner kesukaan Galuh. Dari kejauhan ia melihat temannya sedang menjadi kasir.
“Hallo, Retha!!!” seru Galuh mengagetkan temannya.
“Kamu, Luh!” sahut Retha.
“Pesen paket 3 nggak pake’ pete, ya? Nggak pakai lama, ya? Aku tunggu di bangku sini, ya?” kata Galuh sambil menunjuk sebuah bangku makan yang tak jauh dari tempat Retha berjualan. Retha hanya mengangguk.
Galuh duduk di tempat yang dikehendakinya disusul oleh Retha.
“Habis jalan-jalan apa langsung ke sini tadi?” tanya Retha duduk di depan Galuh.
“Dari olah raga keliling mall. Hahahha....,” kelakar Galuh.
“Tetep aja pelit, kamu ini! Sudah jadi dosen dengan bayaran memuaskan masih aja kalo ke mall, nggak pernah beli apapun!”
“Bukan pelit tapi berhemat!!”
“Berhemat katanya! Numpuk pundi-pundi uang bener ya, kamu!”
“Iya dong! Demi masa depan cerah. Habis gini, aku investasikan ke tanah, perkebunan sawit, dan emas! Kan, harganya sering mahal, tuh! Kaya deh, gue!”
“Materialistis tetep...”
“Dari pada gue morotin lelaki,” tegas Galuh disambut tawa Retha.
Mereka bicara mengenai masa-masa indah saat mereka kuliah dulu sampai makanan yang dipesan Galuh datang.
“Silakan, Mbak!” kata si waitress lelaki yang mengantarkan pesanan Galuh.
“Loh, Mas, aku kan, pesennya nggak pakai pete di sambelnya??” protes Galuh.
Waitress yang sudah memalingkan langkahnya menuju ke dapur kembali pada Galuh.
“Di catatannya kan, nggak ada tambahan, Mbak!”
Nggak mau tahu! Saya mau diganti sambelnya!” protes Galuh lagi.
Retha menyuruh lelaki itu segera mengganti sambal itu. Lelaki itupun segera mengambil mangkuk kecil sambal itu tapi entah kenapa ia melakukan kesalahan dengan menumpahkan sambal itu ke baju Galuh.
“Waduh!!! Gimana sih, Mas??!!” kata Galuh sigap berdiri. Dia benar-benar tak tahan dengan bau pete itu. Dia memang sangat membenci makanan pete itu.
“Maaf, Mbak, nggak sengaja!”
Nggak sengaja, nggak sengaja, makanya buka tuh, mata!!” omel Galuh sambil menarik topi yang dikenakan lelaki itu.
Ketika Galuh tahu dengan pasti bagaimana wajah waitress itu, Galuh melotot kaget. Begitu pula si lelaki. Ternyata lelaki itu adalah lelaki beberapa hari lalu yang ia temui di tambal ban di daerah Krian. Dengan sigap lelaki itu mengambil topinya dari tangan Galuh dan memakainya. Sementara Galuh tetap melongo.
“Tunggu sebentar ya, Mbak! Pesanan segera datang!” kata si lelaki itu segera pergi dari hadapan Galuh.
“Sori ya, Luh! Dia memang baru di sini jadi agak serampangan juga!” kata Retha tapi Galuh masih terbengong-bengong sekalipun Retha melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Galuh.
“Galuh!!” kata Retha menepuk bahu Galuh. Galuh pun tersadar.
“Eh, ya, Retha! Sori. Sori,”
“Kok, elo mandangin Tama sampai segitunya? Kalian kenal?” tanya Retha. Galuh menggeleng kuat.
JJJ
Lelaki seganteng dia kok, jadi waitress, sih?? Pantesnya jadi manajer, direktur, pengusaha gitu. Hhhmmm...tapi sayang juteknya itu yang nggak nahan. Buktinya waktu  sama-sama nunggu di tukang tambal ban, nggak sedikitpun dia berbasa-basi ngajak ngobrol. Selalu aku yang mencoba berbasa-basi.
Galuh berkutat dengan pikirannya tentang waitress bernama Tama itu padahal ia sedang mengikuti rapat departemen di fakultas dia bekerja. Parahnya sampai ia tak menyadari tangannya nyemplung ke teh setengah panas ketika ia hendak mengambil mouse laptopnya.
“Aduh!!” keluh Galuh membuat semua orang memandang ke arahnya.
“Ehem! Ibu Galuh, ada masalah?” tanya ketua rapat yang tak lain adalah ketua departemen dimana Galuh mengajar.
“Oh, enggak, Pak! Tidak ada masalah apa-apa! Saya setuju-setuju saja!” kata Galuh yang dirasa nggak nyambung oleh yang lain.
“Setuju apa? Kita tidak membahas setuju tidak setuju, Bu!” sahut si ketua membuat Galuh menahan malu bukan main. Junior yang memalukan.
Usai rapat Galuh segera mengajar. Selama kurang lebih dua jam setengah dia mengajar. Lalu ia merasa lapar. Otaknya mengarah pada makanan kesukaannya di kedai Retha. Akhirnya ia menelepon Retha untuk mengantarkan makanan padanya.
“Eh, Retha...kalo boleh, yang nganter si Tama, ya?” pinta Galuh agak malu-malu.
“Kenapa harus dia? Dia kan, bukan kurir. Lagian ada dua orang kurir yang nganggur,” sahut Retha dari seberang sana.
“Retha...please....”
“Okeh. Okeh,”
Galuh kegirangan mendengar persetujuan Retha. Ia tersenyum-senyum sendiri sambil memutar-mutarkan diri di kursi putarnya hingga tangannya terantuk meja. Dan ia mengeluh kesakitan.
Butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk Galuh mendapatkan makanannya dan pastinya bertemu dengan Tama. Mulanya yang menyampaikan makan siangnya adalah office boy tapi Galuh segera ngacir keluar kantor menyusul si pengantar pesanannya yang ia yakin pasti Tama.
“Eh, Mas! Mas! Tunggu dulu!” kata Galuh menghentikan lelaki yang berseragam khas kedai Retha yang mulai men-starter motornya. Lelaki itu menoleh dan ternyata benar, itu Tama.
“Ehm, Mas kok, nggak masuk tadi?” tanya Galuh malu-malu.
“Bukannya sudah ada O-Be?” tanya balik Tama datar.
“Ehm, iya, sih! Tapi,...”
“Maaf, saya masih banyak pekerjaan!” kata Tama memotong pembicaraan Galuh.
“Kamu itu kenapa, sih, selalu jutek sama saya? Belagu banget, ya, kamu??!!” omel Galuh.
“Saya nggak banyak waktu untuk basa-basi!” kata Tama lalu pergi dari pandangan Galuh.
Galuh dongkol bukan main. Tangannya mengepal kesal. Lalu ia segera masuk ke kantor dan memakan dengan kesal pesanannya.
JJJ
“Tapi kan, nggak usah jutek begitu! Kalo dia bermuka masam begitu, pelangganmu pada kabur semua,” keluh Galuh pada Retha melalui telepon.
“Ya, maklum saja, Luh. Lagi ada masalah besar. Dia ditinggal kawin sama tunangannya. Jadi, yang aku denger dari karyawanku yang lain, tunangannya itu hamil duluan sama sahabatnya. Hati pacar mana yang nggak sakit digituin? Terus dia sempet kenal alkohol gitu beberapa bulan lalu. Sekarang sih, sudah agak baikan,” jelas Retha.
“Ih, kamu kok, berani terima karyawan pecandu alkohol begitu?”
“Ya, dia kan, sudah sadar dan yang penting dia nggak bikin kisruh. Kasihan kalo dikucilkan. Setiap manusia berhak diperlakukan selayaknya manusia. Tama juga manusia,”
“Ya, sudahlah kalau begitu. Aku mau nglanjutin tugas buat besok ngajar. Malem,” kata Galuh sambil memutus hubungan teleponnya dengan Retha.
Kasihan banget Tama. Ditinggal begitu sadisnya sama tunangannya. Pantesan dia dingin sama cewek, pasti di otaknya semua cewek itu sekejam mantan tunangannya. Padahal, aku kan, nggak begitu. Pengen rasanya nyembuhin lukanya tapi kalo gue didepak sebelum beraksi ya, pasti malu banget aku. Lagian...aku ini kenapa sih, selalu nyosor duluan. Ngebet duluan. Ibarat lagunya Sheila On 7 ost. 30 Hari Mencari Cinta, berjudul Untuk Perempuan, aku bunga yang menghampiri kumbang padahal jelas itu mustahil. Yang ada kumbang menghampiri bunga. Terlalu sering aku melakukan itu dan hasilnya selalu nol besar. Nggak ada satupun lelaki yang suka sama aku. Masa’ sekarang aku mengulanginya lagi? Ah, aku mikir apa sih? Masih banyak hal yang butuh aku perhatikan.
Galuh segera menyentuh laptopnya dan mengerjakan tugas-tugasnya untuk esok hari. Beberapa menit kemudian seorang warga menggedor-gedor pintu rumah kontrakannya, berteriak minta tolong. Galuh segera keluar rumah menanyakan apa yang terjadi.  Menurut lelaki setengah baya itu, ada seorang lelaki kecelakaan. Lelaki setengah baya yang meminta tolong itu meminta Galuh mengambil segelas air minum untuk lelaki yang kecelakaan itu sekaligus obat untuk megobati lukanya. Galuh segera mengambil apa yang dibutuhkan tersebut dan segera ke tepi jalan melihat separah apakah lelaki yang kecelakaan itu.
Galuh menembus kerumunan orang yang mengelilingi lelaki yang mengalami kecelakaan itu. Betapa kagetnya Galuh ketika tahu siapa lelaki itu.
“Tama??!!” seru Galuh.
“Mbak Galuh tahu siapa dia?” tanya seorang warga. Galuh mengangguk.
“Ya, sudah biar dia istirahat sebentar di rumah Mbak Galuh,” lanjut warga tersebut. Kemudian Galuh meminta tolong pada warga sekitar untuk membawa Tama ke ruang tamunya.
Galuh masih membersihkan darah yang keluar dari pelipis Tama.
“Pelan-pelan!” pinta Tama agak membentak.
“Iya. Ini sudah pelan,” sahut Galuh.
“Jadi cewek nggak ada halus-halusnya sama sekali! Kecentilan! Ngapain ngaku-ngaku temenku??!” lanjut Tama.
Galuh yang tersinggung langsung menekan pelipis Tama sampai Tama mengerang kesakitan.
“Niat nggak sih, nolongin??!!” tanya Tama dengan lantang.
“Mulutmu itu nggak sopan!! Aku cuman niat nolongin. Nggak lebih!!!” balas Galuh nggak mau kalah lantang.
“Obatin aja lukamu. Dan lima belas menit lagi silakan pulang!” tambah Galuh sambil melirik jam dinding yang menunjuk hampir pukul sepuluh malam. Lalu ia beranjak dari tempat duduk. Tapi, Tama menarik tangan Galuh hingga Galuh terpaksa duduk di samping Tama kembali. Untuk beberapa detik Tama menatap Galuh tajam dan dalam. Galuh  menjadi salah tingkah dan segera mengalihkan pandangan.
“Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu! Selesaikan pertolonganmu ke aku!” suruh Tama. Galuh pun segera melanjutkan pertolongannya pada Tama.
JJJ
Semenjak kejadian kecelakaan malam itu yang membuat Tama akhirnya bermalam di rumah Galuh, hubungan mereka menjadi dekat. Galuh jelas merasa senang akhirnya dia dekat dengan orang yang disukainya. Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Tepat pukul empat sore di hari Sabtu, Galuh sudah duduk manis menanti kedatangan Tama di taman kota. Kebetulan Galuh tak sedang mengajar dan Tama hanya bekerja setengah hari saja. Tak lama berselang, Tama datang membawa seikat bunga.
“Hai!” sapa Tama.
“Hai!” sahut Galuh.
“Lama nunggunya? Maaf, tadi banyak pelanggan. Oh, ya, ini buat kamu!” kata Tama sambil menyerahkan bunga yang dibawanya pada Galuh. Galuh menerimanya dengan senang hati.
“Makasih,” sahut Galuh. Lalu ia mempersilakan Tama duduk di sampingnya tapi Tama menolak. Tama memilih berdiri di depan Galuh.
“Langsung saja, Luh! Aku ke sini cuman mau tanya, kamu cinta sama aku?” tanya Tama menohok hati Galuh. Jelas Galuh salah tingkah.
“I-i-i-iya,” sahut Galuh.
Aduh, lagi-lagi aku yang duluan bilang cinta. Padahal aku janji bakal bikin Tama yang bilang cinta duluan ke aku. Pertanda apa ini??
“Kamu tahu, Luh? Wanita itu mahal harganya. Tak seharusnya dia mengemis cinta. Tak seharusnya dia mengejar cinta. Bukankan selama ini kumbang yang menghampiri bunga? Mana mungkin bunga yang tak bisa berpindah tempat menghampiri kumbang yang pintar terbang kesana-kemari? Hargailah dirimu sendiri. Apalagi kamu seorang dosen yang disegani banyak orang. Jangan sampai reputasimu runtuh karena mengejar lelaki,” tutur Tama yang membuat sakit hati Galuh.
“Selesai ceramahnya? Perlu kamu tahu, sekalipun aku berusaha mengejar cinta tapi aku nggak pernah mengemis cinta. Kamu lulus SD nggak, sih? Arti kata mengemis? Meminta-minta, memohon-mohon, persis seperti pengemis jalanan. Apa kamu pernah melihat aku seperti itu? Kalaupun sikapku yang berusaha dekat dengan kamu, kamu anggap wujud mengemis, kamu picik, Tam! Bener-bener picik!!” balas Galuh.
Galuh kemudian pergi sambil meneteskan air mata dan membuang bunga yang diberikan Tama tadi. Ia menginjak bunga itu. Hatinya hancur dikatai Tama seperti itu. Ternyata langkahnya salah kaprah mendekati lelaki. Padahal wanita lain yang melakukan hal lebih gila, bisa mendapatkan cinta lelaki, bisa dihargai lelaki yang dicintainya. Galuh mengutuk perbuatannya sendiri. Ia terus larut dalam kehancurannya.
JJJ
Dua bulan berlalu. Selama itu pula, Galuh tidak pernah memesan makanan apalagi datang ke kedai Retha. Galuh bertekad menjauhi semua berbau Tama. Niatnya didukung dengan datangnya tawaran berlibur ke Singapura bersama dosen seniornya dalam seminggu.
Galuh berangkat ke Singapura. Selama perjalanan di pesawat, Galuh hanya mendengarkan lagu Untuk Perempuan milik Sheila On 7.
Jangan mengejarnya/ Jangan mencarinya/ Dia yang kan menemukanmu/ Kau mekar di hatinya/ Di hari yang tepat// Jangan mengejarku/ Jangan mencariku/ Aku yang kan menemukanmu/ Kau mekar di hatiku/ Di hari yang tepat// Reff:      Tidaklah mawar hampiri kumbang/ Bukanlah cinta bila kau kejar/ Tenanglah tenang, dia kan datang/ Dan memungutmu ke hatinya yang terdalam// Sibukkan harimu/ Jangan pikirkanku/ Takdir kan menuntunku pulang kepadamu/ Di hari yang tepat.
Selama seminggu Galuh di negeri orang untuk menyegarkan kembali pikiran dan hatinya. Kembalinya ia dari Singapura, ia mendapati Tama duduk di teras rumahnya.
“Cari siapa?” tanya Galuh dingin.
“Kamu,” sahut Tama.
“Perlu apa?” tanya Galuh lagi yang sedang sibuk membuka kunci pintu rumahnya.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Tama.
Galuh menghadap Tama.
“Apa lagi? Belum puas menghinaku sebagai pengemis cinta? Maaf ya, aku bukan objek penderitamu. Untukku tak mendapatkanmu bukan perihal besar,” ujar Galuh lancar tapi hatinya sebenarnya berat.
“Maafkan aku! Aku salah. Aku hanya belum siap menerima wanita lain. Tapi kali ini aku tak akan menyia-nyiakanmu. Itu pun kalau kamu masih merasakan perasaan itu,”
 “Itu!”
Tama mengernyitkan dahi.
“Itu kesalahan terbesarmu. Kalimat terakhirmu itu. Kamu menunggu aku menyatakan aku-masih-cinta-kamu. Kamu nggak ada effort bikin aku jatuh cinta lagi dan lagi sama kamu. Untuk apa aku masih menyimpan rasa itu? Buang-buang tenaga,”
Galuh repot memasukkan kopernya ke dalam rumah dan akhirnya selesai sudah. Ia sudah bisa fokus pada Tama.
“Apalagi? Kalau tak ada lagi pembicaraan penting, silakan pergi! Aku capek,”
“Aku sayang kamu, Luh. Aku cinta,” tegas Tama.
“Katakan itu ketika kamu sudah benar-benar yakin dan kamu sudah punya amunisi meyakinkan aku untuk tidak menerima cinta dari orang lain. Oke? Pikirkan dengan tenang, pikiran yang jernih, jiwa yang bersih. Silakan pulang, Mas Tama!” celoteh Galuh tersenyum kecut.
Galuh menutup pintu rumahnya setelah ia mengucap permisi pada Tama ia akan menutup pintu. Dari balik pintu Galuh menumpahkan air mata segera. Ia berhasil tegar dan jual mahal di hadapan Tama. Tapi hatinya menolak. Ia masih menyimpan rasa itu pada Tama. Tak mudah bagi Galuh untuk melupakan perasaannya sebegitu cepat.
Di luar rumahnya Tama belum beranjak. Ia juga tak menyangka kali ini Galuh menjaga harga diri yang sudah ia jatuhkan tempo hari. Ia menyesal. Kini dia benar-benar tak ingin kehilangan Galuh. Perempuan yang ia yakini sebagai bunga “ajaib” yang akan membuatnya tak pernah kehabisan madu untuk bertahan hidup. Ia kumbang yang mulai melabuhkan diri dengan mantab pada hati Galuh.
“Jadilah perempuanku, Luh. Terimalah aku,” gumam Tama lalu beranjak pergi.
JJJ



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)