Jumat, 03 Agustus 2012

Ketika Hati Jungkir Balik

KETIKA HATI JUNGKIR BALIK
Gadis itu berlari sekuat tenaga mengejar ketertinggalan bus antarkota yang membawa sang pemuda, kekasihnya pergi jauh ke ibu kota. Gadis itu berteriak-teriak bak orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya dan memintanya untuk tetap tinggal tapi bus itu melaju begitu cepat hingga ia musnah dari pandangan gadis itu. Gadis itu terjatuh bersimpuh menangis.
Yak, adegan di atas memang sebuah take adegan sinetron terbaru Vika. Vika Oen, artis pendatang baru yang tengah naik daun. Sinetron stripping, tiga kali menjadi video klip grup band ternama, model iklan sampo dan sabun mandi.
"Yak! Kita break dulu!" ucap sang sutradara. 
Vika segera mengambil posisi duduk yang nyaman untuk dia bersandar melepas lelah sebentar. Kemudian asistennya bernama Beby alias Bagas menghampirinya untuk  memberikan sebotol air mineral dan mengipasi Vika.
"Semangat bangkek hari ini, Cyin? Kalo iye gini terus pasti makmur deh, iye," celetuk Beby.
Vika tersenyum lebar. 
"Beb, abis gini temenin gue ke stasiun, ya?" pinta Vika usai menenggak air mineral dari botol di tangannya. "Jemput Farhan dari Surabaya, liburan dia ke sini," lanjut Vika sambil menenggak air lagi.
"APAHH??!!" seru Beby mengagetkan Vika hingga ia menyemburkan air dari mulutnya keluar. "Adik iye yang super duper ganteng macem Nadzar Rizky itu dateng ke sini??!!"
"Elo kira-kira dong, Beb! Gue jantungan gimana?" protes Vika menabok Beby. "Elo juga musti inget, gue haramin elo deket-deket Farhan. Maaf-maaf kata nih, Beb, adik gue punya orientasi seksual lurus. Pacarnya elo tahu, wuhh, super bohay ketimbang gue," tukas Vika pedas.
Beby mencibir. "Terserah iye bilang apa, deh, Cyin... yang penting gue bakal dandan sekece badai ketemu Farhan, hihihi,"
Vika mengalihkan pandangannya ke arah lain tersenyum asal. Apa pun usahanya untuk bisa menghentikan keinginan Beby, asistennya itu tak akan pernah gentar. Selalu maju, never give up. Tapi ia juga tahu pasti Beby hanya melakukan itu sesaat saja. It's mean hal serupa juga akan ia lakukan terhadap lelaki yang sama beningnya dengan adiknya. 
Sang sutradara beberapa menit kemudian menyapa Vika, memintanya untuk berkenalan dengan seseorang yang wajahnya begitu asing namun memesona segar bagi Vika, pun Beby.
"Hai, Vika!" sapa lelaki itu mengulurkan tangannya bersalaman dengan Vika.
Vika sigap membalasnya. "Hai, emmm..." Vika mencoba mengenali tapi tetap tak bisa karena ia memang tak pernah kenal sebelumnya.
"Edgar," sahut lelaki itu.
"Beliau putra sulung pak Edi yang akan menggantikan beliau memimpin  Citra Sinema," tungkas si sutrada menjelaskan. Citra Sinema, PH yang memekerjakan Vika sebagai artisnya. "Baru nyelesaikan studi  masternya di Boston," 
Beby ber-oh ria terkesima melihat anak bosnya. Mulutnya berkomat-kamit tak karuan memuji ketampanan lelaki tulen di depannya. Vika juga hanya ber-oh plus berusaha tersenyum manis. Senyumnya memang manis dengan lesung di kedua pipinya.
***
"Barang-barang elo banyak banget sih, Han!" keluh Vika membantu adiknya mengangkut tas dan kardus ke bagasi taksi. "Nggak lagi berniat migrasi ke apartemen gue, kan?" 
"Berisik lo Mbak! Itu tas isinya oleh-oleh dari mami. Segala macam masakan mami ada di situ, tuh, tuh, di kardus oranye itu. Terus tas kresek itu isinya segala macam keripik, keripik rambak, ketela ungu, pisang dan semuanya. Gue aslinya juga ogah, masa' cowok bawa ginian? Ribet! Tapi demi elo kakak tercinta, gue lakukan! Kalo enggak gue sudah dikira kurir pengantar barang!" celoteh Farhan merapikan barang-barang di bagasi. Usai itu dia dan Vika, termasuk Beby yang sedari tadi ngiler mandangin Farhan masuk ke dalam taksi.
"Mbak, temen lo itu udah disuntik rabies belom?" ucap Farhan di samping supir. Ia tak nyaman dengan tatapan Beby yang begitu bergairah. Sementara Beby tak jua urung mengalihkan pandangan. Ia bahkan seolah tak mendengar ucapan Farhan yang begitu menusuk telinga. Like sister, like brother. Dua bersaudara itu memang berbakat untuk menjadi kritikus atau bahkan penghina kelas ulung. Tapi sebenarnya mereka hanya bercanda. 
Setelah sedikit bercek-cok, taksi yang mereka tumpangi pun melaju menuju apartemen Vika. Sayangnya di pertengahan jalan, ada sedikit masalah menimpa taksi mereka. Taksi mereka bergesekan dengan sebuah mobil mewah keluaran pabrik mobil sporty dari Italia. 
Vika dan supir taksi keluar ketika mereka tahu pengendara mobil "lawan" keluar.
"Yang bener dong, Pak bawa taksinya!" protes salah seorang lelaki berkaus putih polos dan berkerah "V" menunjukkan sisi maskulin sebagian dadanya.
"Loh, Mas, mobil Mas duluan yang nyalip saya nggak aturan. Saya nyetirnya udah bener," sanggah si supir taksi.
Vika sibuk melihat seksama lelaki yang sedang mengomel itu. Sedetik kemudian ia terperangah. Lelaki ini!!
"Terus maunya gimana, Mas?" tanya Vika tegas.
Lelaki itu menoleh ke arah Vika. Dia juga tak kalah terperanjat dari Vika.
"Mau gue? Elo ganti rugi gesekan yang udah ngerusak cat mobil gue!" sahut lelaki itu.
"Oke, gue ganti. Nomor rekening elo berapa? Gue transfer habis ini,"
"Gaya bener lo!" ejek lelaki itu. "Oh, gue lupa, elo kan sudah jadi artis terkenal ya, jadi gunungan lembar rupiah elo juga banyak. Iya, iya, gue lupa," 
Vika menghujamkan tatapannya tajam ke arah lelaki itu.
"Sekalipun harus menguras tabungan gue, itu lebih baik ketimbang gue berurusan lama-lama sama lelaki busuk macem elo! Cepetan kasih tahu rekening elo!" Vika tak sabar ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini.
Kemudian lelaki lain yang lebih rapi penampilannya muncul dan menyela pembicaraan mereka berdua. "Hei, berisik banget, sih?" tanya lelaki itu. Vika kedua kalinya kaget. "Loh, Vika!" seru lelaki itu. 
"Iya, Mas Edgar. Ada sedikit masalah," kata Vika.
"Oke, oke, Dit, mending diselesaikan secara damai, deh. Elo jangan suka main otot dan toak mulu, ya. Inget umur!" kata Edgar. "Lagian, masa' elo nggak  tahu, Vika ini artis PH kita. Kita tadi juga buru-buru, nggak bener juga jalannya. Jadi, bapak taksi nggak salah juga," Edgar berpihak pada supir taksi dan Vika.
Vika terhenyak. PH kita? Lelaki busuk yang dia sebut tadi siapanya Edgar? Edgar siapanya lelaki busuk itu? Kalau begitu, lelaki busuk itu ada kaitannya sama PH yang menaunginya? Vika menatap Edgar dan lelaki busuk itu ke kanan dan ke kiri bergantian.
Tanya Vika yang tergambar jelas dari raut wajahnya dijawab oleh Edgar. Edgar memerkenalkan lelaki busuk -demikian Vika menyebut- adalah adiknya, Radit.
Vika merasa kepalanya berkunang-kunang. Kenapa dunia ini begitu sempit? Radit, lelaki congkak teman SMA-nya dulu adik seorang tampan seperti Edgar dan anak dari Pak Edi, produser tersohor di negeri ini. Vika mau jungkir balik seketika untuk menyadarkan dirinya sendiri terhadap kenyataan yang ada tapi jelas itu tak mungkin.
***
Beberapa hari berikutnya di tempat syuting sinetron stripping Vika, Edgar berjalan ke arah Vika yang sedang break  syuting sembari membawa dua botol minuman isotonik. Ia menyapa Vika dan menyerahkan satu botol untuk Vika.
"Maafin Radit kemarin, ya? Dia aslinya baik, kok,"
Psstt!! Baik? 
"Tapi memang agak kekanak-kanakan,"
Asli. Dulu begitu dan kayaknya sekarang juga. Kemarin saja sikapnya nggak bijak banget, apalagi sama gue. Selalu nyolot. Dua lima tahun masih tetep gitu aja. Cih!
"Elo tahu nggak kita saudara beda ibu?"
Vika memutar kepalanya cepat ke arah Edgar. Dua alasan. Pertama, fakta yang memang mengejutkan. Kedua, Edgar begitu jujur membuka hal bersifat pribadi.
"Kita beda ibu tapi gue sayang banget sama dia," Edgar membuka lebih dalam tabir hubungannya dan Radit. "Dia anak kedua dari istri kedua papa dan didiagnosa sebagai anak dengan temper tantrum. Tahu kan, temper tantrum?" Edgar memandang Vika. Vika menggeleng tapi ia yakin pernah mendengar istilah itu. "Bukan masalah yang amat serius tapi memang merepotkan juga. Jadi, dia itu kalau ada mau harus segera dituruti, kalo enggak dia pasti marah-marah, teriak-teriak. Dan setiap kali pinginya nggak terpenuhi, dia bakal ngancem marah dan nangis kejer-kejer. Itu terjadi pas dia masih anak-anak dan berulang selama itu. Tapi katanya sih, seiring beranjak dewasa hal itu bisa saja menghilang tapi yah, gue mencoba meyakini. Tapi terkadang pribadi impulsifnya masih kelihatan. Dia juga nggak terlalu bagus kontrol emosi kalo sudah tersulut emosinya. Gue harap suatu hari ada yang bisa menjinakkan perangainya, hehehe,"
"Dikira hewan buas, dijinakkan? Hahaha. Ada-ada saja nih, Mas Edgar," tungkas Vika. Kemudian  ia tercenung. Temper tantrum? Hemm... mungkin... bisa jadi kelakuan nakal Radit ketika SMA itu salah satu gejalanya yang masih tertinggal. Atau mungkin saja bukan. Tapi beralih ke gangguan perilaku lainnya? Siapa yang tahu? Iya, Vika ingat pas SMA Radit dikenal sebagai siswa super nakal dari kalangan parlente. Bolos sekolah, tidur pas mata pelajaran berlangsung bahkan ketika ujian, suka ngerjain siswa-siswa minoritas semacam mereka yang kutu buku atau lebih terlihat pendiam mungkin lebih tepatnya suka nge-bully kali ya dan semua maunya harus dianggap perintah yang wajib dilaksanakan. Ekstrimnya dia tukang tawuran di luar sekolah. Ah, entahlah! Ada hubungannya atau tidak dengan keterangan Edgar, yang pasti di antara dirinya dan Radit telah terjadi suatu peristiwa yang tak bisa dimaafkan Vika begitu saja. Jengkel setengah mati. Ya terhadap dirinya sendiri, ya terhadap Radit.
"Oh, iya, katanya kalian saling kenal? Radit juga nyebut elo beruang buruk rupa, elo bilang dia lelaki busuk, bener? Kalian sudah kenal lama?"
"Lama, Mas!" seru Vika. "Dan amat mendalam!" lanjutnya berapi-api teringat jengkelnya pada Radit.
Alis Edgar terangkat sebelah.
"Lelaki busuk eh, maksudnya Radit itu... teman sekolah saya pas SMA di Surabaya sebelum  saya sempat pindah ke Banjar tahun berikutnya. Dia itu...  suuuupppperrr trouble maker! Dan satu hal yang nggak bisa saya maafin dari dia..." Vika hampir nyeplos begitu saja, seketika ia menghentikan ucapannya.
"Apa?" tanya Edgar.
Vika lekas menggeleng kuat-kuat dan meringis. Tapi Edgar terus mendesaknya dengan begitu halus tapi akurat tepat sasaran. Akhirnya, Vika menceritakan semua yang ia alami bersama Radit beberapa tahun silam
Vika merasa benar-benar dungu bisa menyukai lelaki tipe bad boy seperti Radit kala itu. Semata-mata karena aksi Radit itu begitu memesonanya. Ya, dirinya siswi yang tak pernah melanggar satu pun aturan sekolah yang menyukai siswa badung yang menentang semua peraturan yang ada. Kalau bukan orang dungu apa coba? Tapi itulah yang dirasakan Vika. Hingga akhirnya suatu hari Vika diam-diam menyelipkan sebuah puisi romantis untuk Radit. Tapi kejamnya Radit membacakan puisi itu di hadapan semua siswa seantero SMA ketika turnamen futsal berlangsung di gedung serba guna sekola mereka. Sontak wajah Vika memerah padam. Malu tak tertahankan dan amarah yang tak terperikan lagi. Plus luka yang menyayat hati ketika Radit mengolok-oloknya sebagai beruang buruk rupa. Semenjak itu rasa cinta Vika berputar 180 derajat berubah jadi benci. Sampai detik ini.
Edgar dan Vika impas. Edgar bercerita siapa dirinya, siapa Radit dan Vika membeberkan siapa dirinya hingga bisa mengenal Radit. Singkat cerita semenjak percakapan lebih dalam ini, keduanya semakin dekat.
***
Pagi-pagi sekali Vika mampir ke rumah Edgar sebelum berangkat syuting. Pastinya itu juga rumah Radit. Vika sengaja membawakan sekotak bubur untuk Edgar yang kabarnya sedang sakit. Keduanya sekarang rekan dekat, jadi Vika memberikan perhatian untuk rekan dekatnya itu.
Vika memencet bel tak jauh dari pagar rumah Edgar. Beberapa detik kemudian keluar lah Radit dari garasi dengan hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek dengan muka penuh oli, hitam-hitam. Ia mendorong pintu harmonika garasinya. Vika setengah menahan ketawa dan sempat berpikir gila,"Nih, orang sejak kapan jadi berotot bagus begini? Keren juga." Lalu Vika segera menggeleng-gelengkan kepala cepat membuyarkan pikiran konyolnya itu, sebelum Radit mendapatinya tengah mengaguminya.
"Elo?" tanya Radit. "Ngapain pagi-pagi ke sini?"
"Mau ngasih ini buat Edgar." Vika menunjukkan kotak yang dibawanya, mendekati Radit yang ada di ambang pintu garasi mobilnya. "Semalem dia bilang dia sakit, jadi gue bawain bubur buat dia." 
Radit menerima kotak kue itu dari Vika dan menaruhnya di sebuah kursi panjang di pinggir tembok garasi mobilnya.
"Perhatian banget? Lo lagi usaha cari muka di depan Edgar?" 
"Ih, biarin! Suka-suka gue, apa urusan elo?"
"Ngimpi lo!" Radit ketus sembari sibuk dengan mesin mobilnya.
"Kalo iya dia suka sama gue, gimana? Pada akhirnya elo harus terima,"
"Berisik lo beruang buruk rupa!" kata Radit membuat Vika kaget. Radit menatapnya tajam. "Mulut lo makin comel ya semenjak jadi artis! Butuh disekolahin, tuh!" Radit membuang obengnya kemudian menatap Vika. "Atau perlu gue yang nyekolahin tuh, mulut?" Radit mendadak menarik kepala Vika, mendekatkan wajahnya pada wajah Vika. Sepersekian senti jarak bibirnya dan bibir Vika, begitu dekat.
Vika beringsut segera, mendorong tubuh Radit menjauh.
"Gue nyesel pernah ngenal elo!" Vika bersuara lantang.
"Gue nggak ngelakuin apa-apa. Tapi nyaris, sih! Tapi gue nggak sebejat yang elo kira, beruang buruk rupa!!" Suara Radit meninggi, sementara Vika makin menjauh.
***
Pekan ini Edgar kembali sehat. Dia kembali beraktivitas di PH milik ayahnya yang sekarang ia kelola. Hari ini sinetron yang dibintangi Vika akan syuting di daerah pegunugan teh. Semua kru dan pemain pendukung sinetron itu segera berangkat pada sore harinya untuk beristirahat semalam saja sebelum esok harinya syuting. Edgar turun langsung memantau jalannya syuting yang ternyata menduduki rating tertinggi di hati penikmat tayangan sinetron di Indonesia. Radit juga ikut dalam rombongan ini. Meski tak terlalu terganggu dengan keberadaan Radit tapi setiap kali bertemu Radit, Vika tetap merasa tak nyaman bahkan merasa terancam. 
Dua hari berlalu.
Malam ini jam dinding menunjukkan pukul tujuh, hawa dingin sudah teramat menusuk tubuh-tubuh mereka yang bekerja malam hari, para artis, kru dan manajemen sinetron yang memasangkan Vika sebagai tokoh utamanya.
Syuting akan dimulai kembali sekitar pukul delapan. Vika menyempatkan diri beristirahat dan menghangatkan diri. Beberapa detik kemudian ia ke kamar kecil dan usai itu ia tak sengaja melihat dua orang lelaki tengah duduk bermesraan seolah tengah melepas rindu di sebuah gazebo. Vika mengucek-ucek kedua matanya. Benar kah yang dilihatnya dua orang sesama jenis?
Vika penasaran dan mencoba memastikan siapa dua lelaki itu. Dan ketika tahu salah seorang lelaki itu, Vika hendak berteriak tapi tiba-tiba sebuah tangan membungkam mulutnya dari belakang. Sosok itu segera menyeret Vika bersembunyi di balik semak-semak.
"Lepasin!!" pinta Vika meronta. Ia kemudian terbelalak ketika tahu itu Radit.
"Sssstttt, diem!!! Elo bisa ketahuan Edgar!"
"Iya, tapi nggak usah kayak gini, pakai nikem orang dari belakang! "
"Heheh, sori, sori, nggak sengaja. Jangan berisik! Ayo ikut gue!"
"Kemana?"
"Ah, selalu berisik lo, cepetan!"
"Dari dulu yang berisik dan badung itu elo, bukan gue. Gua paling diem dan patuh, tahu!"
Radit menyosorkan mulutnya. Vika tahu artinya dan segera menutup mulutnya erat-erat.
"Elo berisik, gue sosor lo!" ancam Radit.
Mereka berdua pun menyingkir ke tempat yang lebih jauh dari Edgar dan "pasangan"nya. Di dekat bawah temaran lampu taman, duduk berdua di sebuah bangku semen cukup untuk berdua.
"Mau ngapain lo di tempat sepi gini? Pasti elo punya niat jahat sama gue!" tuduh Vika.
"Parno banget sih, lo? Diapa-apain elo tetep beruang buruk rupa yang punya pantat segede beruang eh, salah panda kali ya yang super ge--"
Vika spontan menginjak kaki Radit. 
"Aduh! Sialan lo, nginjek-nginjek kaki. Jadi cewek jangan sadi-sadis, dong!"
"Gue? Sadis? Terus kata-kata elo barusan itu nggak sadis? Itu pelecehan! Seharusnya gue laporin elo ke komnas perlindungan wanita. Dari dulu harusnya,"
"Sori, sori,"
"Bisanya bilang sori. Apa upaya elo nebus kesalahan elo sama gue? Nggak ada,"
"Iya, gue ngaku salah. Puas?" Vika menggeleng mantab. "Gue salah keterlaluan sama elo. Makanya gue ngajak elo ke sini. Minta maaf, juga ngasih tahu bahwa yang elo lihat tadi adalah alasan kenapa elo sama Edgar itu nggak mungkin bersatu. Dia suka sesama lelaki,"
Vika terperanjat tapi tak terlalu seperti pertama mendapati Edgar tadi.
"Nggak mungkin. Mana mungkin?"
"Mungkin aja lah. Dia hidup lama di negara liberal. Kemungkinan bergaya hidup seperti itu besar banget. Dan itu sudah jadi kenyataan. Elo harus terima dan gue minta elo berhenti berharap sama dia,"
"Tapi masa nggak ada harapan?"
"Masih. Tapi bukan sama dia,"
"Sama siapa?"
"Sama gue. Hem?" tawar Radit sambil menaik-turunkan alisnya.
Vika tersenyum sadis. "Elo? Elo lupa elo pernah nolak gue sampai bikin malu gue di depan umum? Lupa lo? Kenapa sekarang elo niat banget sama gue?"
"Ya gue suka sama elo, gimana dong? Elo mau ngelarang? Ya gue tahu gue keliru dulunya tapi asal elo tahu pas itu gue nggak setulusnya mau ngehina elo. Gue nyesel setelah hari itu. Aslinya... elo nggak jelek-jelek banget, kok. Serius. Hanya saja perlu banyak permak, hehehe,"
Vika mendengus.
"Tapi nggak seharusnya elo bilang sebegitu menyakitkan di depan anak-anak, Radit...."
"Elo marah?" tanya Radit sembari memutar posisi tubuhnya menghadap Vika.
"Ya, iyalah gue marah!" balas Vika sambil menghindar dan salah tingkah.
"Maaf," suara Radit tampak tulus. 
Vika menatapnya dengan kedua mata yang siap merebakkan air mata.
"Rasanya belum cukup, Dit. Gue bener-bener malu waktu itu. Cowok yang gue sukai pas itu ngehina gue di depan banyak orang. Harga diri gue jatuh, Dit," Vika mulai berat bersuara. 
"Apa yang perlu gue lakukan untuk menebus kesalahan gue? Memulihkan rasa sakit harga diri elo?" tanya Radit menatap Vika lekat.
"Cukupkah ini..." Radit mengecup bibir Vika yang baginya menawan sejak dulu. Vika memasrahkan diri tak lagi meronta seperti di depan rumah Radit tempo hari.
"Sudah lebih baik?" tanya Radit melepas kecupannya.
Vika menggeleng lemah.
"Bukan ini, Dit. Tapi... tapi kenapa begini? Kenapa elo suka bikin hati gue jungkir balik, sih? Dulu elo nolak gue sekarang elo deketin gue,"
"Elo tuh, yang bikin gue jungkir balik saltoan. Gue nyesel pas itu ngehina elo. Walau dulu elo gendut, elo masih menawan aslinya. Sampai sekarang, elo menawan tak terbantahkan," tutur Radit. "Maafin gue ya, Vik? Please! Jangan bikin hati gue jungkir balik patah hati lagi, ya? Gue bener-bener nyesel ngatain elo beruang buruk rupa pas itu, sampai elo pindah sekolah gue nggak bisa maafin diri gue sendiri karena nggak sempet minta maaf. Sialnya awal kita ketemu setelah lama berpisah, gue belum bisa bersikap manis sama elo tapi gue pingin banget tapi gue bingung. Elo juga malah deket sama Edgar," ujar Radit meyakinkan Vika. 
Vika seolah terhipnotis. Radit menatapnya lekat jauh ke dalam. Radit mantab mengucapkan kalimat mujarab itu dan membuat hatinya luluh.
"Gue ralat, ya?" kata Vika. "Gue rasa ini cukup untuk tanda minta maaf." Vika memeluk  Radit erat. Selama ini ia memang memendam amarah tak terelakan tapi ia juga tak bisa berbohong ia masih mengharapkan Radit kembali padanya dengan kabar yang lebih membahagiakan. Mengembalikan hatinya ke posisi semula, tak lagi jungkir balik, tapi kembali merasakan cinta yang bersemi dan tumbuh subur meninggi. 
***


2 komentar:

  1. bagus , kunjungi blog saya juga ya mba , http://shrynt.blogspot.com/ ;)

    BalasHapus
  2. thanks ya kunjungannya... oke, meluncur ke snaa :)

    BalasHapus

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)