“Ck-ck-ck, come on!” ajak Maha pada Rani. Ia melempar ekspresi mengajak Rani
makan siang.
“Iya, bentar. Gue beres-beres ini
sebentar,” sahut Rani.
Rani segera membereskan meja kerjanya
kemudian pergi makan siang dengan sahabatnya di luar area kantor.
“Gue mau makan mie ayam di seberang sono,”
celetuk Rani.
“Oke, gue pengen nasi rawon di
sebelahnya,” sahut Maha.
Mereka berdua berjalan melawan panasnya
terik matahari siang itu dan berbagai debu dan asap tak sehat kendaraan yang
berlalu lalang di tengah kota itu.
“Heran gue, jalanan selebar dan seramai
ini kenapa nggak ada jembatan penyeberangan, sih? Dari ujung jalan sono sampai
ke pangakal sono, ga ada zebra cross
kek, minimal!” dumel Maha.
Rani hanya tersenyum kecil melihat
sahabatnya sering ngomel-ngomel sendiri terhadap segala sesuatu yang tidak
sesuai dengan kehendak hatinya.
“Dan lebih herannya, kenapa gue bisa
temenan sama elu yang kerjanya senyam-senyum sendiri begitu setiap kali gue
ngedumel. Lu kira gue lagi ngelawak apa?” tandas Maha.
“Ngomel aja terus sampai kita balik kerja
lagi. Hehehehe,” ujar Rani sesampainya mereka selesai menyeberang dan berada di
warung yang mereka kunjungi.
Kedua sahabat ini bertemu setelah mereka
bekerja di sebuah perusahaan provider telepon seluler ternama di bagian human resources development-nya. Mereka
berdua pribadi yang 180 derajat berbeda. Maha berkepribadian tipe koleris yang
selalu berapi-api dan ekspresif dalam menyampaikan pendapat dan perasaan
sementara Rani berkepribadian plegmatis yang cinta damai dan lebih cenderung
agak pendiam tapi perasaannya cukup sensitif.
Kehidupan pribadi mereka berdua juga cukup
berbeda nasib. Maha beruntung soal keluarga yang cukup berada dan soal asmara
yang disukai banyak lelaki. Setiap ia usai putus dengan pacarnya ia segera
mendapatkan penggantinya. Sementara Rani, keluarganya bukan keluarga
berkecukupan dan soal asmara tak ada yang bisa diceritakan atau dibanggakan siapa
kekasihnya atau mantan kekasihnya selama ini. Ia cukup dingin dengan lelaki
urusan asmara semenjak ia menjadi korban perselingkuhan yang dilakukan pacarnya
ketika kuliah.
Rani dan Maha menikmati makan siang mereka
berdua sembari mengobrol hal apapun yang dapat dijadikan topik obrolan.
“Ran, besok bos baru kita dateng.
Denger-denger dia manajer HRD teladan di kantor pusat sono. Dia mutasi ke sini
untuk perbaikan di kantor kita,” celetuk Maha.
“Perbaikan macam apa? Perasaan pak Tommy
sudah bekerja dengan baik, kita sejahtera dipegang pak Tommy,” sahut Rani.
Maha mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
“Mas, mana minumnya? Kok, lama, sih? Saya
sudah dower kepedesan, nih!” teriak Maha kepada penjual nasi rawon.
“Minum punya gue aja dulu, nih!” kata Rani
menyodorkan es kelapa mudanya.
“Wah, makasih, Ran,”
Maha segera meminum es kelapa muda Rani dan ow-ow,
langsung habis airnya, tinggal ampasnya kelapa muda.
“Mahaaaa...”
“Tenang aja, nanti gue ganti,”
Dasar mereka berdua sahabat yang sama-sama
penggemar makanan pedas.
@@@
Seminggu berlalu. Rani sekarang mulai
tertular kebiasaan Maha yang ngedumel mulu. Semua karena manajer HRD yang baru
bernama Iras. Sikapnya bossy dan
menyebalkan. Segala sesuatu harus sempurna sedetil-detilnya. Tak ada toleransi
pada kekeliruan sedikitpun.
“Tuh, orang ibunya ngidam apa sih,
perfeksionis begitu? Lagaknya songong lagi. Angkuh! Kelihatan dari wajahnya
yang selalu terangkat terus tanpa mau menunduk sebentar. Ciri orang angkuh! Dan
sialnya gue yang selalu jadi sasaran bulan-bulanannya dia. Semua yang gue
lakuin salah. Kurang ini kurang itu. Kerjain aja sendiri kalo mau sempurna!!”
dumel Rani.
Nampaknya Rani melakukan kesalahan fatal
ngedumel begitu di depan ruangan Iras. Ia tak menyadari Iras berdiri di
belakangnya.
“Kamu saja yang keluar dari kantor ini
kalo tidak mau diatur, tidak mau disiplin!!” ujar Iras mengagetkan Rani. Rani
terbelalak.
“Mulai hari ini sampai seminggu ke depan
kamu harus lembur karena menjelek-jelekkan atasan seperti itu tadi,”
“Apa, Pak??!”
“Laksanakan perintah! Kamu sendiri yang
mempersulit pekerjaan kamu,”
Iras manajer baru itu segera berlalu
meninggalkan Rani.
@@@
Rani sedang dalam masa hukuman pemberian
Iras. Ia harus lembur sampai malam untuk menyelesaikan tugas-tugas segera yang
jatuh tempo penyelesainnya mustinya masih dua minggu lagi tapi waktunya
diperpendek oleh Iras dan ditimpahkan kepada Rani. Dalam hati Rani berontak
tapi daripada ia keluar dari kantor dan pengangguran lebih baik dia
melaksanakan tugas itu.
Suatu malam ketika ia kerja lembur. Ia
hendak pergi mencari makan sebelum melanjutkan pekerjaan, ia menuruni anak
tangga menuju keluar kantor. Ketika ia berjalan sendirian, ia merasa ngeri
sendiri karena suasana kantor yang sudah begitu sepi. Sesekali ia mendengar ada
langkah kaki yang ada di belakangnya. Ia menoleh tapi ia tak mendapati seorang
pun di belakangnya. Ia mempercepat langkah kakinya tapi derap langkah kaki yang
mengikutinya juga semakin cepat dan terasa semakin dekat. Rani pun memberanikan
diri menoleh segera.
“HUAAAA!!!” teriak Rani tapi segera sebuah
tangan membungkam mulut Rani.
“Apaan, sih, teriak-teriak??!” kata lelaki
itu ternyata Iras.
“Habis Bapak ngagetin saya. kenapa Bapak
seperti mengendap-endap mengikuti saya?”
“Siapa yang mengendap-endap ngikutin kamu?
Ge-er kamu!”
“Oh, ya, sudah. Saya permisi,” kata Rani
hendak pergi tapi Iras menahan pundak Rani.
Rani membelalakkan mata. Tak pernah ada
lelaki yang menyentuh pundaknya kecuali ayahnya, bahkan mantan pacarnya tak
pernah. Ia segera menepis tangan Iras. Iras terkaget.
“M-ma-maaf, Pak. Ada apa?” tanya Rani tak
berani menatap Iras.
“Kamu bicara sama lantai apa sama saya? Kenapa
mata kamu ngelihat bawah? Tatap dong, mata saya!” suruh Iras.
“Saya nggak suka sama orang yang kalo
ngomong sama saya matanya kemana-mana karena itu mengartikan hati dan pikiran
orang itu kemana-mana,” lanjut Iras.
“Belum tentu, Pak. Ada orang yang memang
tak bisa melakukan itu. Jadi, jangan menyamaratakan semua orang yang tak
melihat mata lawan bicara seperti itu,” tungkas Rani.
“Oh, ya? Ah, sudahlah, saya tak mau
berdebat di saat saya kelaparan. Kamu mau cari makan, kan? Ajak saya juga, ya?”
kata Iras sambil berjalan mendahului Rani yang masih diam tak mengerti alur
berpikir orang itu. Terkadang baik, terkadang seperti singa yang siap menerkam
orang lain, apalagi matanya seperti burung hantu yang super belok menatap tajam
ke dalam. Jadi, Iras itu perpaduan singa dan burung hantu yang menyeramkan
untuk Rani.
Iras dan Rani makan di warung makan
pinggir jalan dekat dengan kantor mereka. Rani memperhatikan Iras yang begitu
lahap makan ayam bakar yang dipesannya. Makannya begitu membuat iri orang lain.
Begitu lahapnya.
“Kenapa ngelihatin saya begitu? Kamu punya
ikan sendiri untuk dimakan, jangan ngelirik punya orang lain, dong!” kata Iras
ketika mengetahui Rani memperhatikannya.
Rani kagok dengan perkataan Iras kemudian
tersenyum, terdengar lucu karena seperti perkataan anak kecil yang ogah
bagiannya direbut kawannya.
“Senyuman nggak akan membuatmu kenyang.
Cepat makan dan cepat bekerja lagi! Tugasmu banyak. Kamu harus memenuhi target penyelesaian
tugas minggu depan,” lanjut Iras.
Rani menarik garis senyuman di wajahnya
pada posisi manyun. Senyuman itu lenyap berganti suasana hati jengkel. Lelaki
di hadapannya sungguh menyebalkan.
@@@
Rani baru bangun dari tidurnya setelah
semalaman begadang menyelesaikan tugas hukuman terakhirnya yang diberikan Iras
kepadanya. Ini memang hari Minggu tapi iras tak memberi kompensasi hari libur
untuk Rani menyelesaikan hukumannya. Kejam! Tepat jam lima subuh tadi pagi ia
mengirim email kepada Iras sebagai pertanda bahwa tugasnya yang merupakan
hukuman dari Iras selesai hari itu juga. Dan setelah mengirim email, Rani tidur
lagi sampai jam 9 pagi.
Suara orang mengetuk pintu berulang kali
terdengar tapi Rani tak bangun-bangun. Rani dalam kondisi setengah sadar justru
menganggapnya hanya lanjutan mimpinya Iras datang ke kontrakannya mengetuk
pintu. Rani tidur lagi.
Ponsel Rani berdering. Berulang kali tapi
Rani tak juga bangun. Semakin lama suara dering ponselnya semaki berisik. Akhirnya
ia mengangkat teleponnya.
“Iya, halo. Siapa? Ada apa?” tanya Rani
dengan suara berat.
“Suaramu
seksi ya kalau bangun tidur...SEKARANG SUDAH JAM BERAPA MASIH TIDUR, HAH???”
Rani segera bangun.
“Pak Iras???!!!”
“Iya,
saya. Bukain pintu! Saya di depan sekarang.”
Rani kelabakan sendiri. Iras datang tanpa
diduga. Darimana Iras tahu kontrakannya? Lalu ngapain dia menemui Rani di hari
Minggu. Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaaa???? Rani segera mencuci mukanya dan
merapikan dirinya. Ia juga merapikan ruang tamu kontrakannya yang berantakan karena
tak sempat ia bereskan setelah begadang semalaman.
Rani membukakan pintu untuk Iras. Di
depannya sudah berdiri Iras dengan mata menatap Rani tajam.
Ah,
mata ini bikin gue nggak konsen. Nggak konsen karena takut sekaligus agak
terkesima. Jujur.
“Kamu ceroboh banget pagar depan nggak
dikunci lalu tidur susah dibangunin. Saya sudah puluhan kali ngetok pintu dan
telpon kamu tapi kamu nggak bangun juga. Kalo tiba-tiba penjahat masuk dan
memperkosa kamu gimana, hah? Ceroboh!” celoteh Iras.
Rani bergidik sendiri sambil melipatkan kedua
tangannya di depan dadanya.
“Kita sarapan berdiri di depan pintu
begini? Cepat, persilakan saya masuk dan kita makan. Saya sudah sangat lapar,” kata
Iras.
Rani mempersilakan Iras masuk. Lalu tanpa
banyak kata-kata lagi Iras meraih makanannya dan makan, ia juga menyuruh Rani
memakan sarapan yang sudah ia belikan untuk Rani.
“Makan aja, nggak saya racun kok,
makanannya. Jangan ngelihatin saya curiga begitu, dong!”
Rani segera memakan makanannya dan
memalingkan pandangannnya dari Iras.
Baik
sekali beli sarapan buat gue. ah... apa sih, maunya orang ini? Sedikit baik,
sedetik ke depan taring singanya keluar.
@@@
Hari demi hari dilalui Rani seperti di
surga dunia tapi dengan segera dilempar ke neraka dunia, jadi berasa bola pingpong
yang dilempar dan ditampik kesana-kemari. Bagaimana tidak, semenjak Iras menjadi
bosnya, tak pernah sekalipun Iras membiarkan hidupnya nyaman baik selama di
kantor maupun di luar kantor. Iras selalu berusaha untuk masuk ke dalam lingkaran
hidupnya tapi sikapnya tak pernah bisa ditebak apa maksudnya.
Rani ingin bertanya maksud dan tujuan Iras
bersikap seperti itu tapi Rani nggak berani. Dan seiring kejengkelan yang
sering muncul di hati Rani, perasaan lain tubmuh begitu halus tak terasa di
sisi lain hati Rani. Jatuh cinta. Rani ragu memutuskan itu cinta atau bukan
karena Rani takut sakit hati lagi. Ketika ia menegaskan bahwa ia jatuh cinta
pada seseorang, ternyata orang itu tak memiliki perasaan yang sama dengannya.
Ia takut sakit hati.
Tapi, pada akhirnya Rani memantabkan hati
bahwa ia memang menaruh hati pada Iras tak peduli Iras merasakannya atau tidak.
Mulai sekarang ia tak akan peduli orang yang dicintainya juga mencintainya atau
tidak. Terasa sakit memang tapi mau gimana lagi. Pikir Rani. Akan tetapi,
ketika Rani memantabkan hati seperti itu, masalah lain datang dan itu muncul dari
sahabatnya sendiri. Maha. Beberapa minggu terakhir, ia sering melihat Maha dan
Iras dekat baik di kantor maupun di luar kantor. Sikap Iras begitu berbeda kepada
Maha, lembut dan penuh canda senyuman. Itu berbanding terbalik dengan sikap
Iras kepadanya. Dan, hati Rani memupus. Seperti guci jatuh dari atap lemari
yang tinggi ke lantai keras pecah berkeping-keping. Baru saja dia merasakan
cinta sudah sakit lagi. Sekarang Rani sudah habis pikir atas rencana Tuhan
terkait lelaki yang menjadi tambatan hatinya. Tuhan suka sekali mempermainkan
hatinya selama ini. Rani menangis. Kesakitan Rani semakin dipertegas ketika Maha
menanyakan keseriusan pernyataan Rani pada awal-awal Iras baru bekerja di
kantor mereka.
“Kamu
serius nggak suka sama Iras?”
“Ya,
iyalah. Kenapa? Elu mau? Embat aja! Lelaki seperti itu bukan tipe gue!”
Itulah pernyataan Rani beberapa bulan lalu
tapi sekarang ia tak kuasa mengatakan itu lagi ketika Maha bertanya.
“Tentu saja. Elo suka sama Iras? Silakan,
jangan khawatirin gue,” kata Rani berat.
Maha dapat membaca raut wajah tak rela
dari Rani. Ia sadar betul sahabatnya, Rani sungguh-sungguh mencintai Iras.
“Jangan menyesal jika dia menjadi milik
orang lain atau bahkan menjadi milik gue, Ran. Elo nggak pernah mau jujur sama perasaan
elo sendiri. Mana dia tahu kalo elo suka sama dia,” tungkas Maha.
Rani berusaha keras menahan tangis di depan Maha.
@@@
“Bilang aja kamu cemburu waktu saya jalan
bareng Maha!” tuduh Iras pada Rani.
Rani tersenyum sinis tapi hatinya jelas
menangis.
“Untuk apa saya merasa cemburu? Tidak ada
alasan khusus yang mendasari itu,” tungkas Rani.
“Mata kamu bohong! Kalau kamu nggak
cemburu seharusnya kamu berani menatap mata saya!”
Rani tersentak. Menatap mata seseorang
adalah tindakan yang tak pernah ia lakukan. Ia tak mampu melihat kedua bola
mata lawan bicaranya berlama-lama apalagi untuk urusan seserius ini, persoalan
hati.
“Ini kebiasaan. Saya memang tak terbiasa
menatap mata orang dalam waktu lama ketika bicara,”
“Bad
habit!!”
“Lalu? Kamu menyadari saya memiliki banyak
kebiasaan buruk, pemarah, tak bisa berterus terang, ceroboh, lalu apalagi?
Kenapa kamu menyudutkan saya dengan pertanyaan cemburu dan semacamnya?? Kenapa
kamu masih saja bertahan di lingkaran hidup saya hah??!! Kenapa???”. Rani mulai
melantangkan suaranya di hadapan Iras.
Rani bernafas cepat dan terengah-engah
setelah merasa meluapkan separuh isi hatinya. Separuhnya lagi, ia tak bisa
mengatakan.
“Mulai sekarang, menjauhlah dari lingkaran
hidup saya!” lanjut Rani.
“Saya nggak mau!” tungkas Iras. Rani
menatap Iras tajam.
“Kalau begitu, saya yang akan memaksa kamu
untuk keluar jauh-jauh dari lingkaran itu,” kata Rani.
“Kamu yakin? Kamu yakin akan mengeluarkan
saya jauh-jauh? Saya nggak yakin, tuh. Saya justru yakin kamu akan menarik saya
dekat-dekat dengan inti lingkaran hidup kamu,” ujar Iras masih dengan
kepercayaan-diriannya yang tinggi.
“Lakukan saja yang kamu mau tapi saya
tidak akan mengikuti aturan main kamu lagi. Ingat baik-baik, saya akan mambuat
kamu menjauh dari lingkaran itu!” kata Rani sembari pergi meninggalkan Iras
pergi.
Kemudian Maha datang. Mata Maha menyapu
setiap sudut ruangan seolah mencari-cari seserang.
“Rani mana? Katanya dia sudah di sini pas
aku telpon tadi,” tanya Maha.
“Sudah pergi,” jawab Iras santai.
“Hah? Kenapa?” tanya Maha.
“Biarin. Sesekali dia harus dikasih
pelajaran biar nggak gampang ngambek untuk hal sepele dan untuk hal-hal yang
terjadi karena kesalahan dia sendiri yang tak bisa mengungkapkan apa yang dia
mau,” jawab Iras.
“Iras...” ucap Maha.
“Kalau dia mau hidup denganku dia harus
bisa berterus terang apapun itu, sekecil dan sebesar apapun persoalan yang
ada,” kata Ira.
“Dia pasti marah kan, barusan?? Elo
ngomong apa aja ke dia? Tujuan kita ke sini itu memperbaiki hubungan kalian dan
mencoba membuat kalian jujur satu sama lain bahwa kalian memang ada perasaan
satu sama lain. Dan satu lagi, elo menuntut Rani berterus terang atas segala
sesuatu yang terjadi, tapi elo sendiri nggak pernah mengatakan sejujurnya bahwa
elo juga cinta sama dia. Dia itu nungguin elo menyatakannya. Dia sudah berjanji
pada diri sendiri tak akan pernah mengungkapkan perasaannya terlebih dulu pada
lelaki,” jelas Maha.
“Apa dia tidak cukup bisa memahami
perlakuanku selama ini mencintai dia sampai gila aku memikirkan semua ini!!!”
tandas Iras.
“Selama ini ia merasa sudah melakukan
berulang kali kesalahan mengartikan sikap lelaki ke dia. Dikiranya lelaki itu
menyukai dia tapi ternyata tidak. Dia nggak mau jatuh ke lubang yang sama,”
“Tapi, aku lubang yang berbeda. Dia tak
akan pernah sakit hati kalau jatuh ke lubang yang aku miliki. Tapi dia tak bisa
melihat itu,”
“Belum. Karena elo tak bisa menegaskan
bahwa kamu ingin memiliki hatinya selamanya,”
Iras terdiam sambil memakan makan
malamnya. Ia pun menyuruh Maha memakan makanan di depannya yang sudah mereka
pesan. Sekalipun makanan malam itu enak tapi suasana hati mereka tak nyaman.
Iras gamang mengenai tindakannya kepada Rani. Ia sungguh gila mencintai wanita
itu tapi ia sendiri sulit bagaimana memulai menegaskan bahwa ia ingim
menjadikan Rani sebagai the one and only wanita
yang akan menjadi pendamping hidup dan ibu bagi keturunannya kelak.Dan Maha
makin bingung menyatukan Iras dan Rani yang sama-sama menahan perasaan.
@@@
Rani sudah memasukkan semua barang-barangnya
ke dalam bagasi taksi dan bersegera pergi ke stasiun kereta api untuk menuju
kota kelahirannya, Blitar, tepat pukul sepuluh pagi.
Selama perjalanan menuju stasiun dia
mengingat-ingat kembali semua yang ia alami di tempatnya bekerja termasuk di
dalamnya kisah yang sangat berpengaruh besar pada perasaannya beberapa waktu
terakhir bersama Maha dan Iras. Ia menangis.
Ini
mungkin tindakan bodoh memutuskan pergi dari persoalan yang tak ada
penyelesaian jalan keluarnya. Tapi, menurutku membiarkan mereka berdua bersatu
adalah penyelesaian dari segala persoalan. Akulah yang menjadi penghalang
bersatunya mereka. Tuhan...selalu seperti ini. Aku mencintai lelaki yang
hatinya milik orang lain. Aku berharap terlalu jauh memiliki lelaki seperti
itu. Aku bermimpi terlalu tinggi. Bego! Bego! Begooooo!!!
Tapi
aku musti kuat. Aku sudah sering ngalamin sakit hati mustinya sudah kebal. Aku
kuat. Aku kuat. Aku kuat.
Rani sudah sampai di stasiun kota. Ia
sedang menunggu kereta tujuan Blitar datang. Sesekali ia mencoba mengajak
bicara ibu-ibu atau bapak-bapak yang duduk di sebelahnya. Sesekali ia juga
menenggak teh botol yang ia beli di minimarket di stasiun kota.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Satu
panggilan dari Maha.
“Hei! Ada apa telpon?” suara Rani mencoba
berbohong pada Maha.
“Ada
apa-ada apa?? Maksud lo apa? Lo nggak masuk kerja? Ada sidak dadakan dari manajer,” sahut Maha dari seberang sana.
“Si Singa Iras, kan? Pasti dia marah-marah
lagi, kan? Hhh!!”
“Kok,
elo bisa bilang begitu, sih? Kedengeran orangnya dihukum lagi lo ‘ntar,”
“Hahaha... hukum aja kalo bisa. Gue pikir
dia sudah nggak akan bisa ngehukum gue dan maki-maki gue selamanya, deh!
Hahahaha,” kata Rani sambil tertawa tapi hatinya tak berniat untuk tertawa
lepas.
“Sekarang
lo dimana? Ini sudah jam sembilan tapi lo belum juga nongol? Lo sakit atau
gimana?”
“Gue dalam keadaan baik-baik tapi gue
nggak bisa bilang gue lagi dimana. Nanti elo juga bakal tahu. Sudah ya, gue mau
cari sarapan dulu sebelum perjalanan panjang mencari udara segar. Daaa....”
ujar Rani bohon lalu menutup telponnya. Ia ingin menangis seketika tapi ia tak
bisa.
Baru beberapa detik Rani memutur telepon
Maha, Maha sudah telepon lagi.
“Kenapa lagi sih, Maha? Gue kan, sudah
bilang, gue mau cari sarapan dulu,” kata Rani.
“Kamu
bisa makan dengan senang hati sementara kamu sudah menyakiti hati orang lain?
Wanita macam apa kamu tega membiarkan hati orang lain sakit sementara kamu
berniat bersenang-senang mencari udara segar?? JAWAB!!!”
Rani kaget seketika. Itu suara Iras.
Karakter suara dan aksen pelafalan tiap kata itu kembali bersuara lantang di
telinganya. Kenapa sosok itu selalu melemparkan suara-suara dengan nada tinggi
dan tak pernah ramah padanya.
Hhh,
apa yang dia bilang, gue nyakitin hati orang lain? Yang ada gue yang sering
tersakiti!!!
“Sekarang
juga kembali ke kantor. Saya tidak menyetujui pengunduran diri kamu.” suruh Iras.
“Maaf, kali ini saya nggak bisa menuruti
mau Bapak. Saya sudah menegaskan bahwa saya yang akan membuat Bapak jauh dari
lingkaran hidup saya,”
“Kenapa
kamu mencampuradukkan urusan kantor dengan pribadi?? Sekarang katakan, dimana
kamu sekarang!!”
“Maaf, saya nggak bisa mengatakannya. Ini
cara satu-satunya agar Bapak menjauh dari lingakran hidup saya,”
“JANGAN
BUAT SAYA GILA DENGAN PERASAAN INI!!! KATAKAN DIMANA KAMU SEKARANG!!! KAMU MAU
SINGA TIDUR MENUNJUKKAN AMARAHNYA, HAH???!!!”
“Lakukan yang kamu mau, saya tidak akan
peduli!”
Rani menutup telponnya dan mematikan
ponselnya. Ia menangis akhirnya.
Kamu
membuat segalanya rumit, Ras. Apa maumu meninggikan dan menjatuhkan perasaanku?
Aku hampir mengira kamu memiliki perasaan yang sama denganku tapi ternyata
semua perhatian tercurah kepada Maha, sahabatku sendiri. Dan kamu selalu bicara
berbelit-belit membuatku merasa menjadi orang terbodoh dan tertakut untuk
mengartikan semua sikap dan perkataanmu. Perasaan macam apa yang membuatmu
gila?? Kalau memang dirimu mencintaku, datang padaku dan bersikap ramahlah
padaku. Yakinkan aku bahwa hatimu untukku tapi kalau semuanya begini, aku makin
yakin bahwa hatimu bukan untukku.
@@@
Kereta tujuan Blitar sudah datang, Rani
beranjak dari tempat duduknya untuk segera masuk ke dalam kereta. Ketika ia
menunjukkan tiket kereta kepada petugas di pintu masuk menuju kereta, petugas
kereta itu mengatakan bahwa Rani tak bisa pergi sekarang.
“Loh, kenapa, Pak?”
Seorang petugas keamanan menghampiri Rani
dan petugas pemeriksa tiket kereta.
“Mbak Rani Hapsari?”
Rani mengangguk.
“Mari ikut saya ke kantor keamanan!” kata
petugas keamanan itu.
“Loh, salah saya apa, Pak?”
“Nanti kita bicarakan di kantor, Mbak.
Mari...,”
Rani dan petugas keamanan itu berjalan
menuju kantor keamanan stasiun. Sesampainya di sana, Rani dipersilakan masuk
dan duduk.
“Sebentar, ya, Mbak, saya panggil orang
yang berkepentingan dengan Mbak,” kata petugas keamanan itu meninggalkan Rani
sendiri.
Rani sudah cemas bukan main. Dirasanya dia
tak melakukan kesalahan apapun tapi mengapa ia sampai dibawa ke kantor
keamanan.
Tiba-tiba seseorang masuk dan duduk di
meja di hadapan Rani. Rani mendongakkan kepalanya dan ia kaget.
“Kenapa? Kaget? Atau terkesima dengan
ketampananku?” tanya lelaki itu.
Siapa lagi kalau bukan Iras yang memiki tingkat
percaya diri tinggi tapi dia tak menunjukkan bahwa ia sedang menggoda Rani. Ia memasang
tampang angkuh dan menatap Rani.Rani segera memalingkan tatapannya, ia tak bisa
menatap sorotan tajam Iras.
“Maaf, keretanya sebentar lagi mau
berangkat,” kata Rani segera beranjak dari tempat duduknya tapi Iras menahan
langkah Rani dengan menghadangkan tubuhnya yang tinggi di depan Rani hingga
Rani agak terpental karena menabrak tubuh Iras yang tegap itu.
“Kembali ke kantor!” suruh Iras.
“Pak Wijaya sudah menyetujui surat
pengunduran diri saya,”
“Aku atasan kamu. Dia hanya wakil.
Seharusnya dia meminta izinku untuk menyetujui surat itu,”
Suasana hening sejenak. Rani memecahnya
dengan langkah keluar ruangan dan meraih kopernya untuk menuju kereta. Iras
mencegahnya dan segera memeluk Rani dari belakang.
“Jangan pergi! Aku mohon, kembalilah
padaku. Jadilah wanita yang paling dekat denganku,”
“Aku nggak bisa,”
“Kalau begitu, jadilah wanitaku selamanya.
Wanitaku dan wanita untuk anak-anakku kelak,”
Rani terdiam dan menangis tak percaya Iras
mengatakan itu.
“Pikirkan baik-baik. Wanita yang layak
untukmu bukan aku tapi Maha,”
“Cukup. Hentikan semuanya. Bisakah kamu
menghentikan kebiasaanmu yang tak bisa mengungkapkan perasaan dan sedikit-sedikit
marah lalu pergi lari dari kenyataan? Aku sakit mendapat perlakuan seperti ini.
Mengertilah aku sakit melihatmu tak bicara sepatah katapun tentang perasaanmu
padaku lalu kamu cemburu begitu saja pada orang lain tanpa mau mendengar
penjelasan sebenarnya. Bisakah kamu melakukan itu untukku? Jangan buat aku
menjadi orang tolol karena takut mengartikan perasaanmu padaku. Tapi aku yakin,
kamu mencintaiku tapi kamu tak berani mengatakannya,”
Rani hanya bisa menangis, ia berusaha
melepas pelukan Iras tapi Iras tetap bertahan memeluk Rani.
“Lepaskan aku! Aku akan mengatakan
semuanya. Tanganmu terlalu besar dan kuat menahan nafasku,” kata Rani.
Iras melepas pelukannya. Kemudian Rani
mengajak Iras duduk di bangku dekat mereka.
Setelah mencoba menghapus air matanya,
Rani mencoba bicara segalanya pada Iras.
“Kamu bilang, kamu merasa tolol
mengartikan sikapku? Itulah yang aku alami selama ini. Kamu mencoba
berinteraksi sesering mungkin denganku tapi penyampaianmu selalu dingin, tak
ramah sementara dengan Maha sekalipun tak sesering yang kamu lakukan padaku
tapi kamu selalu baik terhadapnya. Itu membuatku sangat merasa bodoh. Apa
maumu?? Tapi aku nggak bisa bertanya hal itu ke kamu. Aku nggak berani. Aku
takut kamu mengatakan aku wanita yang tak tahu diri atau terlalu pede bertanya
hal semacam itu. Dan akhirnya aku berpikir kalian berdua memiliki perasaan satu
sama lain sehingga aku memutuskan untuk pergi saja. Aku bukan wanita yang
sangat kuat untuk menghdapai semua. Jadi aku putuskan mengundurkan diri. Memang
hal bodoh lari dari masalah tapi menurutku ini jalan terbaik untuk
meneyelesaikan masalah. Menyatukan kalian dan lenyap dari hadapan kalian itu
solusi yang baik,”
“Baik? Baik untuk siapa? Tak ada yang baik
jika kamu pergi. Aku dan Maha tak memiliki hubungan yang spesial. Justru aku
mengejarmu atas bantuan dia. Dia yang paling ingin menyatukan kita berdua. Apa
kamu tidak menyadari itu? Hhh, jelas saja kamu nggak menyadari itu karena emosi
yang kamu dulukan,”
Rani meninju lengan Iras.
“Lho, bener, kan? Kamu selalu tersinggung
tapi kamu mengatakan kamu nggak apa-apa. Akhirnya seperti ini kan, kamu menelan
kesakitan yang kamu buat sendiri padahal itu belum tentu benar,”
Rani meresapi perkataan Iras. Benar. Tak
ada yang salah dari ucapan Iras.
Iras merangkul Rani dan memaksa Rani
bersandar pada tubuhnya. Tapi Rani memberontak menolak. Tapi Iras terus
memaksanya.
“Diem aja di situ! Bahu dan dada ini akan
selalu ada setiap kali kamu butuh. Kalau perlu peluk sekalian agar kamu merasa
lega karena tak sendiri menghadapi semuanya. Datanglah kapan saja pada tubuh
ini karena tubuh ini punya hati yang hanya terpatri namamu,” ujar Iras sambil
tersenyum tapi ia tak menatap Rani.
Rani tersenyum sambil menyeka air matanya.
“Kalau aku datang untuk mencakar dan
menggigit tubuh ini?”
“Kamu macan apa manusia pakai nyakar sama
nggigit segala, ha? Hahahha...,”
“Iya aku macan, nyonya singa seperti di
Lion King itu,” kata Rani sambil membalas pelukan Iras.
“I
love you,” ucap Iras sambil mengecup kepala Rani.
“Pulang kampungnya minggu depan aja,
sekalian long weekend. Aku akan lamar
kamu ke orang tua kamu,” tambah Iras.
“Secepat itu?” tanya Rani.
“Umurku sudah kepala tiga, aku mau segera
menikah dan punya anak,”
“Aku nggak mau secepat itu. Umurku masih
dua lima,”
“Kenapa enggak? Umur segitu umur-umur
reproduktif sehat untuk wanita. Jadi kita bisa bikin anak banyak, hahhaha,”
Rani menimpuk kepala Iras dengan tasnya.
“Aduh!” keluh Iras.
“Otakmu ngeres!” kata Rani.
“Siapa yang ngeres? Itu fakta. Ah, sudahlah.
Jangan mengajakku berdebat di saat lapar. Aku belum sarapan tadi. Ayo cari makan
dan segera ke kantor! Maha sudah ngomel-ngomel kamu meninggalkan pekerjaan ke
dia,”
Mereka berdua berjalan menuju parkir mobil
untuk segera kembali ke kantor.
Iras menggandeng tangan Rani erat pertanda
ia tak ingin melepaskan wanita pujaan hatinya lagi sampai kapanpun.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)