Jumat, 03 Agustus 2012

cerpen "Rani’s The Lion King"



“Ck-ck-ck, come on!” ajak Maha pada Rani. Ia melempar ekspresi mengajak Rani makan siang.
“Iya, bentar. Gue beres-beres ini sebentar,” sahut Rani.
Rani segera membereskan meja kerjanya kemudian pergi makan siang dengan sahabatnya di luar area kantor.
“Gue mau makan mie ayam di seberang sono,” celetuk Rani.
“Oke, gue pengen nasi rawon di sebelahnya,” sahut Maha.
Mereka berdua berjalan melawan panasnya terik matahari siang itu dan berbagai debu dan asap tak sehat kendaraan yang berlalu lalang di tengah kota itu.
“Heran gue, jalanan selebar dan seramai ini kenapa nggak ada jembatan penyeberangan, sih? Dari ujung jalan sono sampai ke pangakal sono, ga ada zebra cross kek, minimal!” dumel Maha.
Rani hanya tersenyum kecil melihat sahabatnya sering ngomel-ngomel sendiri terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya.
“Dan lebih herannya, kenapa gue bisa temenan sama elu yang kerjanya senyam-senyum sendiri begitu setiap kali gue ngedumel. Lu kira gue lagi ngelawak apa?” tandas Maha.
“Ngomel aja terus sampai kita balik kerja lagi. Hehehehe,” ujar Rani sesampainya mereka selesai menyeberang dan berada di warung yang mereka kunjungi.
Kedua sahabat ini bertemu setelah mereka bekerja di sebuah perusahaan provider telepon seluler ternama di bagian human resources development-nya. Mereka berdua pribadi yang 180 derajat berbeda. Maha berkepribadian tipe koleris yang selalu berapi-api dan ekspresif dalam menyampaikan pendapat dan perasaan sementara Rani berkepribadian plegmatis yang cinta damai dan lebih cenderung agak pendiam tapi perasaannya cukup sensitif.
Kehidupan pribadi mereka berdua juga cukup berbeda nasib. Maha beruntung soal keluarga yang cukup berada dan soal asmara yang disukai banyak lelaki. Setiap ia usai putus dengan pacarnya ia segera mendapatkan penggantinya. Sementara Rani, keluarganya bukan keluarga berkecukupan dan soal asmara tak ada yang bisa diceritakan atau dibanggakan siapa kekasihnya atau mantan kekasihnya selama ini. Ia cukup dingin dengan lelaki urusan asmara semenjak ia menjadi korban perselingkuhan yang dilakukan pacarnya ketika kuliah.
Rani dan Maha menikmati makan siang mereka berdua sembari mengobrol hal apapun yang dapat dijadikan topik obrolan.
“Ran, besok bos baru kita dateng. Denger-denger dia manajer HRD teladan di kantor pusat sono. Dia mutasi ke sini untuk perbaikan di kantor kita,” celetuk Maha.
“Perbaikan macam apa? Perasaan pak Tommy sudah bekerja dengan baik, kita sejahtera dipegang pak Tommy,” sahut Rani.
Maha mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
“Mas, mana minumnya? Kok, lama, sih? Saya sudah dower kepedesan, nih!” teriak Maha kepada penjual nasi rawon.
“Minum punya gue aja dulu, nih!” kata Rani menyodorkan es kelapa mudanya.
“Wah, makasih, Ran,”
 Maha segera meminum es kelapa muda Rani dan ow-ow, langsung habis airnya, tinggal ampasnya kelapa muda.
“Mahaaaa...”
“Tenang aja, nanti gue ganti,”
Dasar mereka berdua sahabat yang sama-sama penggemar makanan pedas.
@@@
Seminggu berlalu. Rani sekarang mulai tertular kebiasaan Maha yang ngedumel mulu. Semua karena manajer HRD yang baru bernama Iras. Sikapnya bossy dan menyebalkan. Segala sesuatu harus sempurna sedetil-detilnya. Tak ada toleransi pada kekeliruan sedikitpun.
“Tuh, orang ibunya ngidam apa sih, perfeksionis begitu? Lagaknya songong lagi. Angkuh! Kelihatan dari wajahnya yang selalu terangkat terus tanpa mau menunduk sebentar. Ciri orang angkuh! Dan sialnya gue yang selalu jadi sasaran bulan-bulanannya dia. Semua yang gue lakuin salah. Kurang ini kurang itu. Kerjain aja sendiri kalo mau sempurna!!” dumel Rani.
Nampaknya Rani melakukan kesalahan fatal ngedumel begitu di depan ruangan Iras. Ia tak menyadari Iras berdiri di belakangnya.
“Kamu saja yang keluar dari kantor ini kalo tidak mau diatur, tidak mau disiplin!!” ujar Iras mengagetkan Rani. Rani terbelalak.
“Mulai hari ini sampai seminggu ke depan kamu harus lembur karena menjelek-jelekkan atasan seperti itu tadi,”
“Apa, Pak??!”
“Laksanakan perintah! Kamu sendiri yang mempersulit pekerjaan kamu,”
Iras manajer baru itu segera berlalu meninggalkan Rani.
@@@
Rani sedang dalam masa hukuman pemberian Iras. Ia harus lembur sampai malam untuk menyelesaikan tugas-tugas segera yang jatuh tempo penyelesainnya mustinya masih dua minggu lagi tapi waktunya diperpendek oleh Iras dan ditimpahkan kepada Rani. Dalam hati Rani berontak tapi daripada ia keluar dari kantor dan pengangguran lebih baik dia melaksanakan tugas itu.
Suatu malam ketika ia kerja lembur. Ia hendak pergi mencari makan sebelum melanjutkan pekerjaan, ia menuruni anak tangga menuju keluar kantor. Ketika ia berjalan sendirian, ia merasa ngeri sendiri karena suasana kantor yang sudah begitu sepi. Sesekali ia mendengar ada langkah kaki yang ada di belakangnya. Ia menoleh tapi ia tak mendapati seorang pun di belakangnya. Ia mempercepat langkah kakinya tapi derap langkah kaki yang mengikutinya juga semakin cepat dan terasa semakin dekat. Rani pun memberanikan diri menoleh segera.
“HUAAAA!!!” teriak Rani tapi segera sebuah tangan membungkam mulut Rani.
“Apaan, sih, teriak-teriak??!” kata lelaki itu ternyata Iras.
“Habis Bapak ngagetin saya. kenapa Bapak seperti mengendap-endap mengikuti saya?”
“Siapa yang mengendap-endap ngikutin kamu? Ge-er kamu!”
“Oh, ya, sudah. Saya permisi,” kata Rani hendak pergi tapi Iras menahan pundak Rani.
Rani membelalakkan mata. Tak pernah ada lelaki yang menyentuh pundaknya kecuali ayahnya, bahkan mantan pacarnya tak pernah. Ia segera menepis tangan Iras. Iras terkaget.
“M-ma-maaf, Pak. Ada apa?” tanya Rani tak berani menatap Iras.
“Kamu bicara sama lantai apa sama saya? Kenapa mata kamu ngelihat bawah? Tatap dong, mata saya!” suruh Iras.
“Saya nggak suka sama orang yang kalo ngomong sama saya matanya kemana-mana karena itu mengartikan hati dan pikiran orang itu kemana-mana,” lanjut Iras.
“Belum tentu, Pak. Ada orang yang memang tak bisa melakukan itu. Jadi, jangan menyamaratakan semua orang yang tak melihat mata lawan bicara seperti itu,” tungkas Rani.
“Oh, ya? Ah, sudahlah, saya tak mau berdebat di saat saya kelaparan. Kamu mau cari makan, kan? Ajak saya juga, ya?” kata Iras sambil berjalan mendahului Rani yang masih diam tak mengerti alur berpikir orang itu. Terkadang baik, terkadang seperti singa yang siap menerkam orang lain, apalagi matanya seperti burung hantu yang super belok menatap tajam ke dalam. Jadi, Iras itu perpaduan singa dan burung hantu yang menyeramkan untuk Rani.
Iras dan Rani makan di warung makan pinggir jalan dekat dengan kantor mereka. Rani memperhatikan Iras yang begitu lahap makan ayam bakar yang dipesannya. Makannya begitu membuat iri orang lain. Begitu lahapnya.
“Kenapa ngelihatin saya begitu? Kamu punya ikan sendiri untuk dimakan, jangan ngelirik punya orang lain, dong!” kata Iras ketika mengetahui Rani memperhatikannya.
Rani kagok dengan perkataan Iras kemudian tersenyum, terdengar lucu karena seperti perkataan anak kecil yang ogah bagiannya direbut kawannya.
“Senyuman nggak akan membuatmu kenyang. Cepat makan dan cepat bekerja lagi! Tugasmu banyak. Kamu harus memenuhi target penyelesaian tugas minggu depan,” lanjut Iras.
Rani menarik garis senyuman di wajahnya pada posisi manyun. Senyuman itu lenyap berganti suasana hati jengkel. Lelaki di hadapannya sungguh menyebalkan.
@@@
Rani baru bangun dari tidurnya setelah semalaman begadang menyelesaikan tugas hukuman terakhirnya yang diberikan Iras kepadanya. Ini memang hari Minggu tapi iras tak memberi kompensasi hari libur untuk Rani menyelesaikan hukumannya. Kejam! Tepat jam lima subuh tadi pagi ia mengirim email kepada Iras sebagai pertanda bahwa tugasnya yang merupakan hukuman dari Iras selesai hari itu juga. Dan setelah mengirim email, Rani tidur lagi sampai jam 9 pagi.
Suara orang mengetuk pintu berulang kali terdengar tapi Rani tak bangun-bangun. Rani dalam kondisi setengah sadar justru menganggapnya hanya lanjutan mimpinya Iras datang ke kontrakannya mengetuk pintu. Rani tidur lagi.
Ponsel Rani berdering. Berulang kali tapi Rani tak juga bangun. Semakin lama suara dering ponselnya semaki berisik. Akhirnya ia mengangkat teleponnya.
“Iya, halo. Siapa? Ada apa?” tanya Rani dengan suara berat.
“Suaramu seksi ya kalau bangun tidur...SEKARANG SUDAH JAM BERAPA MASIH TIDUR, HAH???”
Rani segera bangun.
“Pak Iras???!!!”
“Iya, saya. Bukain pintu! Saya di depan sekarang.”
Rani kelabakan sendiri. Iras datang tanpa diduga. Darimana Iras tahu kontrakannya? Lalu ngapain dia menemui Rani di hari Minggu. Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaaa???? Rani segera mencuci mukanya dan merapikan dirinya. Ia juga merapikan ruang tamu kontrakannya yang berantakan karena tak sempat ia bereskan setelah begadang semalaman.
Rani membukakan pintu untuk Iras. Di depannya sudah berdiri Iras dengan mata menatap Rani tajam.
Ah, mata ini bikin gue nggak konsen. Nggak konsen karena takut sekaligus agak terkesima. Jujur.
“Kamu ceroboh banget pagar depan nggak dikunci lalu tidur susah dibangunin. Saya sudah puluhan kali ngetok pintu dan telpon kamu tapi kamu nggak bangun juga. Kalo tiba-tiba penjahat masuk dan memperkosa kamu gimana, hah? Ceroboh!” celoteh Iras.
Rani bergidik sendiri sambil melipatkan kedua tangannya di depan dadanya.
“Kita sarapan berdiri di depan pintu begini? Cepat, persilakan saya masuk dan kita makan. Saya sudah sangat lapar,” kata Iras.
Rani mempersilakan Iras masuk. Lalu tanpa banyak kata-kata lagi Iras meraih makanannya dan makan, ia juga menyuruh Rani memakan sarapan yang sudah ia belikan untuk Rani.
“Makan aja, nggak saya racun kok, makanannya. Jangan ngelihatin saya curiga begitu, dong!”
Rani segera memakan makanannya dan memalingkan pandangannnya dari Iras.
Baik sekali beli sarapan buat gue. ah... apa sih, maunya orang ini? Sedikit baik, sedetik ke depan taring singanya keluar.
@@@
Hari demi hari dilalui Rani seperti di surga dunia tapi dengan segera dilempar ke neraka dunia, jadi berasa bola pingpong yang dilempar dan ditampik kesana-kemari. Bagaimana tidak, semenjak Iras menjadi bosnya, tak pernah sekalipun Iras membiarkan hidupnya nyaman baik selama di kantor maupun di luar kantor. Iras selalu berusaha untuk masuk ke dalam lingkaran hidupnya tapi sikapnya tak pernah bisa ditebak apa maksudnya.
Rani ingin bertanya maksud dan tujuan Iras bersikap seperti itu tapi Rani nggak berani. Dan seiring kejengkelan yang sering muncul di hati Rani, perasaan lain tubmuh begitu halus tak terasa di sisi lain hati Rani. Jatuh cinta. Rani ragu memutuskan itu cinta atau bukan karena Rani takut sakit hati lagi. Ketika ia menegaskan bahwa ia jatuh cinta pada seseorang, ternyata orang itu tak memiliki perasaan yang sama dengannya. Ia takut sakit hati.
Tapi, pada akhirnya Rani memantabkan hati bahwa ia memang menaruh hati pada Iras tak peduli Iras merasakannya atau tidak. Mulai sekarang ia tak akan peduli orang yang dicintainya juga mencintainya atau tidak. Terasa sakit memang tapi mau gimana lagi. Pikir Rani. Akan tetapi, ketika Rani memantabkan hati seperti itu, masalah lain datang dan itu muncul dari sahabatnya sendiri. Maha. Beberapa minggu terakhir, ia sering melihat Maha dan Iras dekat baik di kantor maupun di luar kantor. Sikap Iras begitu berbeda kepada Maha, lembut dan penuh canda senyuman. Itu berbanding terbalik dengan sikap Iras kepadanya. Dan, hati Rani memupus. Seperti guci jatuh dari atap lemari yang tinggi ke lantai keras pecah berkeping-keping. Baru saja dia merasakan cinta sudah sakit lagi. Sekarang Rani sudah habis pikir atas rencana Tuhan terkait lelaki yang menjadi tambatan hatinya. Tuhan suka sekali mempermainkan hatinya selama ini. Rani menangis. Kesakitan Rani semakin dipertegas ketika Maha menanyakan keseriusan pernyataan Rani pada awal-awal Iras baru bekerja di kantor mereka.
“Kamu serius nggak suka sama Iras?”
“Ya, iyalah. Kenapa? Elu mau? Embat aja! Lelaki seperti itu bukan tipe gue!”
 Itulah pernyataan Rani beberapa bulan lalu tapi sekarang ia tak kuasa mengatakan itu lagi ketika Maha bertanya.
“Tentu saja. Elo suka sama Iras? Silakan, jangan khawatirin gue,” kata Rani berat.
Maha dapat membaca raut wajah tak rela dari Rani. Ia sadar betul sahabatnya, Rani sungguh-sungguh mencintai Iras.
“Jangan menyesal jika dia menjadi milik orang lain atau bahkan menjadi milik gue, Ran. Elo nggak pernah mau jujur sama perasaan elo sendiri. Mana dia tahu kalo elo suka sama dia,” tungkas Maha.
Rani berusaha keras menahan tangis  di depan Maha.
@@@
“Bilang aja kamu cemburu waktu saya jalan bareng Maha!” tuduh Iras pada Rani.
Rani tersenyum sinis tapi hatinya jelas menangis.
“Untuk apa saya merasa cemburu? Tidak ada alasan khusus yang mendasari itu,” tungkas Rani.
“Mata kamu bohong! Kalau kamu nggak cemburu seharusnya kamu berani menatap mata saya!”
Rani tersentak. Menatap mata seseorang adalah tindakan yang tak pernah ia lakukan. Ia tak mampu melihat kedua bola mata lawan bicaranya berlama-lama apalagi untuk urusan seserius ini, persoalan hati.
“Ini kebiasaan. Saya memang tak terbiasa menatap mata orang dalam waktu lama ketika bicara,”
Bad habit!!
“Lalu? Kamu menyadari saya memiliki banyak kebiasaan buruk, pemarah, tak bisa berterus terang, ceroboh, lalu apalagi? Kenapa kamu menyudutkan saya dengan pertanyaan cemburu dan semacamnya?? Kenapa kamu masih saja bertahan di lingkaran hidup saya hah??!! Kenapa???”. Rani mulai melantangkan suaranya di hadapan Iras.
Rani bernafas cepat dan terengah-engah setelah merasa meluapkan separuh isi hatinya. Separuhnya lagi, ia tak bisa mengatakan.
“Mulai sekarang, menjauhlah dari lingkaran hidup saya!” lanjut Rani.
“Saya nggak mau!” tungkas Iras. Rani menatap Iras tajam.
“Kalau begitu, saya yang akan memaksa kamu untuk keluar jauh-jauh dari lingkaran itu,” kata Rani.
“Kamu yakin? Kamu yakin akan mengeluarkan saya jauh-jauh? Saya nggak yakin, tuh. Saya justru yakin kamu akan menarik saya dekat-dekat dengan inti lingkaran hidup kamu,” ujar Iras masih dengan kepercayaan-diriannya yang tinggi.
“Lakukan saja yang kamu mau tapi saya tidak akan mengikuti aturan main kamu lagi. Ingat baik-baik, saya akan mambuat kamu menjauh dari lingkaran itu!” kata Rani sembari pergi meninggalkan Iras pergi.
Kemudian Maha datang. Mata Maha menyapu setiap sudut ruangan seolah mencari-cari seserang.
“Rani mana? Katanya dia sudah di sini pas aku telpon tadi,” tanya Maha.
“Sudah pergi,” jawab Iras santai.
“Hah? Kenapa?” tanya Maha.
“Biarin. Sesekali dia harus dikasih pelajaran biar nggak gampang ngambek untuk hal sepele dan untuk hal-hal yang terjadi karena kesalahan dia sendiri yang tak bisa mengungkapkan apa yang dia mau,” jawab Iras.
“Iras...” ucap Maha.
“Kalau dia mau hidup denganku dia harus bisa berterus terang apapun itu, sekecil dan sebesar apapun persoalan yang ada,” kata Ira.
“Dia pasti marah kan, barusan?? Elo ngomong apa aja ke dia? Tujuan kita ke sini itu memperbaiki hubungan kalian dan mencoba membuat kalian jujur satu sama lain bahwa kalian memang ada perasaan satu sama lain. Dan satu lagi, elo menuntut Rani berterus terang atas segala sesuatu yang terjadi, tapi elo sendiri nggak pernah mengatakan sejujurnya bahwa elo juga cinta sama dia. Dia itu nungguin elo menyatakannya. Dia sudah berjanji pada diri sendiri tak akan pernah mengungkapkan perasaannya terlebih dulu pada lelaki,” jelas Maha.
“Apa dia tidak cukup bisa memahami perlakuanku selama ini mencintai dia sampai gila aku memikirkan semua ini!!!” tandas Iras.
“Selama ini ia merasa sudah melakukan berulang kali kesalahan mengartikan sikap lelaki ke dia. Dikiranya lelaki itu menyukai dia tapi ternyata tidak. Dia nggak mau jatuh ke lubang yang sama,”
“Tapi, aku lubang yang berbeda. Dia tak akan pernah sakit hati kalau jatuh ke lubang yang aku miliki. Tapi dia tak bisa melihat itu,”
“Belum. Karena elo tak bisa menegaskan bahwa kamu ingin memiliki hatinya selamanya,”
Iras terdiam sambil memakan makan malamnya. Ia pun menyuruh Maha memakan makanan di depannya yang sudah mereka pesan. Sekalipun makanan malam itu enak tapi suasana hati mereka tak nyaman. Iras gamang mengenai tindakannya kepada Rani. Ia sungguh gila mencintai wanita itu tapi ia sendiri sulit bagaimana memulai menegaskan bahwa ia ingim menjadikan Rani sebagai the one and only wanita yang akan menjadi pendamping hidup dan ibu bagi keturunannya kelak.Dan Maha makin bingung menyatukan Iras dan Rani yang sama-sama menahan perasaan.
@@@
Rani sudah memasukkan semua barang-barangnya ke dalam bagasi taksi dan bersegera pergi ke stasiun kereta api untuk menuju kota kelahirannya, Blitar, tepat pukul sepuluh pagi.
Selama perjalanan menuju stasiun dia mengingat-ingat kembali semua yang ia alami di tempatnya bekerja termasuk di dalamnya kisah yang sangat berpengaruh besar pada perasaannya beberapa waktu terakhir bersama Maha dan Iras. Ia menangis.
Ini mungkin tindakan bodoh memutuskan pergi dari persoalan yang tak ada penyelesaian jalan keluarnya. Tapi, menurutku membiarkan mereka berdua bersatu adalah penyelesaian dari segala persoalan. Akulah yang menjadi penghalang bersatunya mereka. Tuhan...selalu seperti ini. Aku mencintai lelaki yang hatinya milik orang lain. Aku berharap terlalu jauh memiliki lelaki seperti itu. Aku bermimpi terlalu tinggi. Bego! Bego! Begooooo!!!
Tapi aku musti kuat. Aku sudah sering ngalamin sakit hati mustinya sudah kebal. Aku kuat. Aku kuat. Aku kuat.
Rani sudah sampai di stasiun kota. Ia sedang menunggu kereta tujuan Blitar datang. Sesekali ia mencoba mengajak bicara ibu-ibu atau bapak-bapak yang duduk di sebelahnya. Sesekali ia juga menenggak teh botol yang ia beli di minimarket di stasiun kota.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Satu panggilan dari Maha.
“Hei! Ada apa telpon?” suara Rani mencoba berbohong pada Maha.
“Ada apa-ada apa?? Maksud lo apa? Lo nggak masuk kerja? Ada sidak dadakan dari manajer,” sahut Maha dari seberang sana.
“Si Singa Iras, kan? Pasti dia marah-marah lagi, kan? Hhh!!”
“Kok, elo bisa bilang begitu, sih? Kedengeran orangnya dihukum lagi lo ‘ntar,”
“Hahaha... hukum aja kalo bisa. Gue pikir dia sudah nggak akan bisa ngehukum gue dan maki-maki gue selamanya, deh! Hahahaha,” kata Rani sambil tertawa tapi hatinya tak berniat untuk tertawa lepas.
“Sekarang lo dimana? Ini sudah jam sembilan tapi lo belum juga nongol? Lo sakit atau gimana?”
“Gue dalam keadaan baik-baik tapi gue nggak bisa bilang gue lagi dimana. Nanti elo juga bakal tahu. Sudah ya, gue mau cari sarapan dulu sebelum perjalanan panjang mencari udara segar. Daaa....” ujar Rani bohon lalu menutup telponnya. Ia ingin menangis seketika tapi ia tak bisa.
Baru beberapa detik Rani memutur telepon Maha, Maha sudah telepon lagi.
“Kenapa lagi sih, Maha? Gue kan, sudah bilang, gue mau cari sarapan dulu,” kata Rani.
“Kamu bisa makan dengan senang hati sementara kamu sudah menyakiti hati orang lain? Wanita macam apa kamu tega membiarkan hati orang lain sakit sementara kamu berniat bersenang-senang mencari udara segar?? JAWAB!!!”
Rani kaget seketika. Itu suara Iras. Karakter suara dan aksen pelafalan tiap kata itu kembali bersuara lantang di telinganya. Kenapa sosok itu selalu melemparkan suara-suara dengan nada tinggi dan tak pernah ramah padanya.
Hhh, apa yang dia bilang, gue nyakitin hati orang lain? Yang ada gue yang sering tersakiti!!!
“Sekarang juga kembali ke kantor. Saya tidak menyetujui pengunduran diri kamu.” suruh Iras.
“Maaf, kali ini saya nggak bisa menuruti mau Bapak. Saya sudah menegaskan bahwa saya yang akan membuat Bapak jauh dari lingkaran hidup saya,”
“Kenapa kamu mencampuradukkan urusan kantor dengan pribadi?? Sekarang katakan, dimana kamu sekarang!!”
“Maaf, saya nggak bisa mengatakannya. Ini cara satu-satunya agar Bapak menjauh dari lingakran hidup saya,”
“JANGAN BUAT SAYA GILA DENGAN PERASAAN INI!!! KATAKAN DIMANA KAMU SEKARANG!!! KAMU MAU SINGA TIDUR MENUNJUKKAN AMARAHNYA, HAH???!!!”
“Lakukan yang kamu mau, saya tidak akan peduli!”
Rani menutup telponnya dan mematikan ponselnya. Ia menangis akhirnya.
Kamu membuat segalanya rumit, Ras. Apa maumu meninggikan dan menjatuhkan perasaanku? Aku hampir mengira kamu memiliki perasaan yang sama denganku tapi ternyata semua perhatian tercurah kepada Maha, sahabatku sendiri. Dan kamu selalu bicara berbelit-belit membuatku merasa menjadi orang terbodoh dan tertakut untuk mengartikan semua sikap dan perkataanmu. Perasaan macam apa yang membuatmu gila?? Kalau memang dirimu mencintaku, datang padaku dan bersikap ramahlah padaku. Yakinkan aku bahwa hatimu untukku tapi kalau semuanya begini, aku makin yakin bahwa hatimu bukan untukku.
@@@
Kereta tujuan Blitar sudah datang, Rani beranjak dari tempat duduknya untuk segera masuk ke dalam kereta. Ketika ia menunjukkan tiket kereta kepada petugas di pintu masuk menuju kereta, petugas kereta itu mengatakan bahwa Rani tak bisa pergi sekarang.
“Loh, kenapa, Pak?”
Seorang petugas keamanan menghampiri Rani dan petugas pemeriksa tiket kereta.
“Mbak Rani Hapsari?”
Rani mengangguk.
“Mari ikut saya ke kantor keamanan!” kata petugas keamanan itu.
“Loh, salah saya apa, Pak?”
“Nanti kita bicarakan di kantor, Mbak. Mari...,”
Rani dan petugas keamanan itu berjalan menuju kantor keamanan stasiun. Sesampainya di sana, Rani dipersilakan masuk dan duduk.
“Sebentar, ya, Mbak, saya panggil orang yang berkepentingan dengan Mbak,” kata petugas keamanan itu meninggalkan Rani sendiri.
Rani sudah cemas bukan main. Dirasanya dia tak melakukan kesalahan apapun tapi mengapa ia sampai dibawa ke kantor keamanan.
Tiba-tiba seseorang masuk dan duduk di meja di hadapan Rani. Rani mendongakkan kepalanya dan ia kaget.
“Kenapa? Kaget? Atau terkesima dengan ketampananku?” tanya lelaki itu.
Siapa lagi kalau bukan Iras yang memiki tingkat percaya diri tinggi tapi dia tak menunjukkan bahwa ia sedang menggoda Rani. Ia memasang tampang angkuh dan menatap Rani.Rani segera memalingkan tatapannya, ia tak bisa menatap sorotan tajam Iras.
“Maaf, keretanya sebentar lagi mau berangkat,” kata Rani segera beranjak dari tempat duduknya tapi Iras menahan langkah Rani dengan menghadangkan tubuhnya yang tinggi di depan Rani hingga Rani agak terpental karena menabrak tubuh Iras yang tegap itu.
“Kembali ke kantor!” suruh Iras.
“Pak Wijaya sudah menyetujui surat pengunduran diri saya,”
“Aku atasan kamu. Dia hanya wakil. Seharusnya dia meminta izinku untuk menyetujui surat itu,”
Suasana hening sejenak. Rani memecahnya dengan langkah keluar ruangan dan meraih kopernya untuk menuju kereta. Iras mencegahnya dan segera memeluk Rani dari belakang.
“Jangan pergi! Aku mohon, kembalilah padaku. Jadilah wanita yang paling dekat denganku,”
“Aku nggak bisa,”
“Kalau begitu, jadilah wanitaku selamanya. Wanitaku dan wanita untuk anak-anakku kelak,”
Rani terdiam dan menangis tak percaya Iras mengatakan itu.
“Pikirkan baik-baik. Wanita yang layak untukmu bukan aku tapi Maha,”
“Cukup. Hentikan semuanya. Bisakah kamu menghentikan kebiasaanmu yang tak bisa mengungkapkan perasaan dan sedikit-sedikit marah lalu pergi lari dari kenyataan? Aku sakit mendapat perlakuan seperti ini. Mengertilah aku sakit melihatmu tak bicara sepatah katapun tentang perasaanmu padaku lalu kamu cemburu begitu saja pada orang lain tanpa mau mendengar penjelasan sebenarnya. Bisakah kamu melakukan itu untukku? Jangan buat aku menjadi orang tolol karena takut mengartikan perasaanmu padaku. Tapi aku yakin, kamu mencintaiku tapi kamu tak berani mengatakannya,”
Rani hanya bisa menangis, ia berusaha melepas pelukan Iras tapi Iras tetap bertahan memeluk Rani.
“Lepaskan aku! Aku akan mengatakan semuanya. Tanganmu terlalu besar dan kuat menahan nafasku,” kata Rani.
Iras melepas pelukannya. Kemudian Rani mengajak Iras duduk di bangku dekat mereka.
Setelah mencoba menghapus air matanya, Rani mencoba bicara segalanya pada Iras.
“Kamu bilang, kamu merasa tolol mengartikan sikapku? Itulah yang aku alami selama ini. Kamu mencoba berinteraksi sesering mungkin denganku tapi penyampaianmu selalu dingin, tak ramah sementara dengan Maha sekalipun tak sesering yang kamu lakukan padaku tapi kamu selalu baik terhadapnya. Itu membuatku sangat merasa bodoh. Apa maumu?? Tapi aku nggak bisa bertanya hal itu ke kamu. Aku nggak berani. Aku takut kamu mengatakan aku wanita yang tak tahu diri atau terlalu pede bertanya hal semacam itu. Dan akhirnya aku berpikir kalian berdua memiliki perasaan satu sama lain sehingga aku memutuskan untuk pergi saja. Aku bukan wanita yang sangat kuat untuk menghdapai semua. Jadi aku putuskan mengundurkan diri. Memang hal bodoh lari dari masalah tapi menurutku ini jalan terbaik untuk meneyelesaikan masalah. Menyatukan kalian dan lenyap dari hadapan kalian itu solusi yang baik,”
“Baik? Baik untuk siapa? Tak ada yang baik jika kamu pergi. Aku dan Maha tak memiliki hubungan yang spesial. Justru aku mengejarmu atas bantuan dia. Dia yang paling ingin menyatukan kita berdua. Apa kamu tidak menyadari itu? Hhh, jelas saja kamu nggak menyadari itu karena emosi yang kamu dulukan,”
Rani meninju lengan Iras.
“Lho, bener, kan? Kamu selalu tersinggung tapi kamu mengatakan kamu nggak apa-apa. Akhirnya seperti ini kan, kamu menelan kesakitan yang kamu buat sendiri padahal itu belum tentu benar,”
Rani meresapi perkataan Iras. Benar. Tak ada yang salah dari ucapan Iras.
Iras merangkul Rani dan memaksa Rani bersandar pada tubuhnya. Tapi Rani memberontak menolak. Tapi Iras terus memaksanya.
“Diem aja di situ! Bahu dan dada ini akan selalu ada setiap kali kamu butuh. Kalau perlu peluk sekalian agar kamu merasa lega karena tak sendiri menghadapi semuanya. Datanglah kapan saja pada tubuh ini karena tubuh ini punya hati yang hanya terpatri namamu,” ujar Iras sambil tersenyum tapi ia tak menatap Rani.
Rani tersenyum sambil menyeka air matanya.
“Kalau aku datang untuk mencakar dan menggigit tubuh ini?”
“Kamu macan apa manusia pakai nyakar sama nggigit segala, ha? Hahahha...,”
“Iya aku macan, nyonya singa seperti di Lion King itu,” kata Rani sambil membalas pelukan Iras.
I love you,” ucap Iras sambil mengecup kepala Rani.
“Pulang kampungnya minggu depan aja, sekalian long weekend. Aku akan lamar kamu ke orang tua kamu,” tambah Iras.
“Secepat itu?” tanya Rani.
“Umurku sudah kepala tiga, aku mau segera menikah dan punya anak,”
“Aku nggak mau secepat itu. Umurku masih dua lima,”
“Kenapa enggak? Umur segitu umur-umur reproduktif sehat untuk wanita. Jadi kita bisa bikin anak banyak, hahhaha,”
Rani menimpuk kepala Iras dengan tasnya.
“Aduh!” keluh Iras.
“Otakmu ngeres!” kata Rani.
“Siapa yang ngeres? Itu fakta. Ah, sudahlah. Jangan mengajakku berdebat di saat lapar. Aku belum sarapan tadi. Ayo cari makan dan segera ke kantor! Maha sudah ngomel-ngomel kamu meninggalkan pekerjaan ke dia,”
Mereka berdua berjalan menuju parkir mobil untuk segera kembali ke kantor.
Iras menggandeng tangan Rani erat pertanda ia tak ingin melepaskan wanita pujaan hatinya lagi sampai kapanpun.
@@@



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)