Hipotesa Oka
Hiruk-pikuk
kendaraan demi kendaraan dari roda dua hingga roda empat, dari moda transportasi umum
sampai mobil pribadi super mewah mewarnai sebuah area pertokoan. Belum lagi
badan jalan raya di depan pertokoan itu sudah banyak digunakan para pemilik
warung kaki lima untuk mengumpulkan pundi-pundi uang sehingga menambah kepadatan
lalu lintas dan tentunya menyumbang kebisingan super di sana.
Ada
sebuah pemandangan yang cukup menarik perhatian orang yang singgah lalu pergi
di area pertokoan itu –walau hanya sekelebat memandang-. Seorang gadis manis
dengan rambut
kuncir kudanya lihai mengatur kendaraan-kendaraan para pengunjung dengan
sedemikian rupa rapinya. Juru parkir atau jukir di sana menyebut namanya Dewi.
Tukang becak, sopir mobil box pengantar barang, pegawai pertokoan sampai
pengamen di sana juga menyebutkan nama yang sama. Dia memang bukan jukir tetap
dan ternama di sana tapi semua orang kenal dengan jukir bernama pak Soleh,
orangtua Dewi yang sudah nyaris delapan tahun mengais rejeki sebagai jukir di
area pertokoan itu dan hasilnya “sukses” bikin Dewi bisa
kuliah, tak sepenuhnya sih, Dewi cewek cerdas yang beruntung
mendapat beasiswa penuh kuliah.
Siang
itu pukul dua belas siang. Panasnya bukan main. Dewi justru dibuat jengkel oleh
sebuah Nissan Juke yang parkir sembarangan, mengganggu jalannya mobil lain.
Tangan Dewi sudah gatal untung memberikan “hukuman” bagi pengemudi yang
tak tahu aturan seperti itu. Matanya
juga melirik jauh ke arah pak Badri, si tukang tambal ban yang hari itu masih
mendapatkan satu pelanggan. Aksinya kali
ini bisa menambah rejeki pak Badri.
Kini
tangannya sudah sukses membuat ban depan kiri mobil mewah itu kempes. Ia
menepuk-nepukkan kedua tangannya setengah mengibas manggut-manggut seolah puas.
Beberapa
menit berlalu, Dewi masih sibuk mengatur arus kendaraan yang datang dan pergi.
Tiba-tiba ada seseorang menghampirinya.
“Dewi?”
tanya seorang lelaki muda dengan tubuh tinggi menjulang, berkemeja rapi,
bersih. Dewi mengangguk. Lalu lelaki itu serta
merta mencengkeram lengan Dewi dan menyeret paksa Dewi ke sebuah mobil. Nissan
Juke silver.
“Ini kenapa dikempesin?”
tanya lelaki itu to the point.
Dewi
melirik lelaki itu, sudah pasti dialah
pemilik mobil. Dewi tidak mengelak,
justru ia berkata tegas,”Mas tahu sendiri ini
tempat bukan tempat parkir,” tungkas Dewi.
“Tapi
kamu kan, bisa cari pemiliknya, aku. Ngomong baik-baik kek, nggak usah acara
ngempesin segala. Dan kamu tahu, dengan kamu ngempesin banku kayak gini, kamu
menambah masalah. Banku sudah kempes, nggak bisa jalan, sudah pasti tambah
macet. Tuh lihat!” celoteh lelaki itu sambil menunjuk ke arah depan dan
belakang mereka, banyak kendaraan yang sulit berjalan cepat. Dewi mengikuti
arah telunjuk lelaki itu. Lelaki itu benar.
“Maaf,”
ucap Dewi.
“Dorong
mobilku! Biar minggiran dikit,”
Dewi
mengangkat kepalanya cepat dan mengarahkan telunjuknya ke hidungnya. Lelaki itu
segera masuk ke dalam mobil,
memegang kendali setir mobilnya.
“Emang
enak... hahaha...,” suara bocah lelaki meledek Dewi yang tengah bersusah payah
mendorong mobil itu. Dewi memonyongkan bibirnya dan mengepalkan sebelah
tangannya kepada bocah itu. Bocah itu lagi-lagi membuat ulah. Lelaki itu tahu
siapa pengempes ban mobilnya sudah pasti bocah itu tersangkanya. Tidak mungkin
tidak. Bocah itu adalah pemegang kuncian ulah usil Dewi, selain pak Badri dan
ayahnya. Tapi bocah itu sudah pasti pemegang rekor tercomel di antara yang
lain.
“TIN! TIN!” Klakson mobil itu
berbunyi, tampaknya memberi kode Dewi untuk melanjutkan usahanya mendorong mobil
itu. Dewi dengan kesal mendorong mobil itu.
©©©
Keesokan
harinya Dewi tak “beredar” di area pertokoan sejak awal hari, ada jadwal kuliah
pagi. Tepat jam delapan pagi dia sudah duduk manis di bangku pojok terdepan,
sudut yang sudah ia tasbihkan sebagai takhtanya.
Beberapa menit kemudian jam kuliah dimulai. Lalu masuklah seorang tampan
rupawan menawan bebas melenggang melewati pintu kelas dengan menenteng sebuah
tablet di tangan kirinya membuat suara riuh di seantero ruangan dengan sekitar
tiga puluh mahasiswa itu.
Dewi
melirik sekilas tapi untuk pandangan kedua yang ia lemparkan dengan secepat
kilat, ia terkesiap. Ia setengah melonjak
dari kursinya dan tubuhnya membentur ke tembok keras di sampingnya dengan suara
tak kalah berisik dari suara para mahasiswa.
Seketika seisi kelas menyorotkan fokus pandangan mereka ke arah Dewi, termasuk sosok rupawan tadi.
Dewi menelan ludah setengah meringis. Tapi seisi kelas yang tujuh puluh
persennya adalah cewek
itu tak mengeluarkan sepatah-dua patah kata, mereka segera melempar pandangan
kembali ke sosok tampan memesona di depan kelas. Mata mereka seolah tersihir
hanya memandang sosok itu. Sementara Dewi, ia
membetulkan posisi duduknya dan kembali menelan ludah. Ia merasa dunianya
berhenti berputar sejenak. Ia sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu
dengan gugup, berharap lelaki itu tak mengingat dirinya. Tapi bagaimana bisa?
Kejadiannya kemarin siang, belum ada 24 jam.
“Selamat pagi, Teman-teman! Apa kabar hari
ini?” sapa lelaki itu. Seluruh isi kelas membalasnya dengan riuh gembira.
“Baik, mungkin kita belum saling kenal. Saya terkesan alien ya, di kelas ini?
Hehehe... perkenalkan, nama saya Oka, say---“
Para
cewek menyahut,”Oka Antara ya, Pak?” Kemudian mereka menyunggingkan senyum
genit menggoda ke arah lelaki itu.
“Bagus
Oka Jatmika. Panggil aja Oka. Saya mengampu mata kuliah Psikologi Klinis, jadi
buat kalian yang akan mengambil fokus peminatan Psikologi Klinis, kita akan sering
bertemu saya nantinya,” ujar lelaki itu tersenyum. “Semoga kita bisa bekerja
sama dengan baik.”
Dewi
merasa aliran listrik dengan daya minimal tapi sungguh terasa sedang menjalar
di sekujur tubuhnya. Peminatan itu adalah peminatan incarannya. Dewi menggigir
bibit bawahnya segera. Lalu,
tiba-tiba Elsa, teman dekatnya memberikan secarik kertas.
Dia
dosen pembimbing akademik kita, nggantiin bu Rahma :D
Memo
Elsa itu menambah daya aliran listrik di sekujur tubuh Dewi. Ibarat jika ada
lampu bertengger di kepala Dewi, sudah pasti lampu itu berwarna oranye,
siap-siap ke arah merah sebagai tanda siaga satu.
©©©
Hidup
Dewi terus berjalan seiring berlalunya waktu. Oka adalah salah satu warna baru
bagi hidupnya. Hampir setiap hari ia bertemu Oka, di kelas, di perpus, di
kantin sampai tentunya sudah pasti di area pertokoan ketika Dewi mengantar makan siang bapaknya atau sesekali
jika ia menggantikan bapaknya ketika bapaknya ada urusan atau sakit seperti
beberapa waktu lalu.
Usut
punya usut Oka adalah anak dari pemilik toko kue di area pertokoan itu. Jadi setiap hari mampir
ke toko kue milik ibunya. Dan agak
anehnya sekarang dia jadi sering nangkring
di pos satpam bercengkerama dengan penghuninya termasuk pak Soleh. Tampaknya
keduanya makin akrab dan Dewi
tak sengaja suatu ketika mendapati bapaknya dan Oka bersenda gurau seperti sudah
lama kenal.
“Pak,”
Dewi mencium tangan bapaknya dan menyerahkan sekotak nasi makan siang bapaknya.
“Wah,
Bapak sudah makan tadi dapat tasyakuran pak Badri nimang cucu, Wi. Semua juga
sudah makan,”
Dewi
melebarkan matanya dan berekspresi sedikit kecewa. Dia menerjang terik matahari
dengan jalan kaki dan berkeringat di sana-sini, bapaknya ternyata sudah makan.
“Kalau
gitu saya saja yang makan, Pak! Saya belum sarapan dari tadi soalnya buru-buru
ada kelas pagi,” celetuk Oka yang duduk di samping pak Soleh.
Dewi
mendelik ke arah Oka sementara pak Soleh menyahut kotak nasi yang dipegang Dewi
untuk diserahkan pada Oka. Dengan semangatnya pak Soleh mempersilakan Oka
memakan jatah
makan siangnya. Nasi rames. Pak Soleh mempromosikan
masakan istrinya begitu enak dan tak heran jika istirinya sering didapuk
sebagai tukang masak setiap kali ada hajatan besar di kampungnya.
“Itu
bergedel bikinan Dewi. Enak lho, Mas!” ujar pak Soleh.
“Bapak,
” Dewi berdesis setengah menahan malu.
Oka
langsung menggigit bergedel itu.
Merasakannya sejenak kemudian melahap
satu bulatan bergedel itu. Beberapa detik kemudian kedua ujung bibirnya tertarik ke atas.
“Wah,
kalau rasanya begini, suami pasti betah makan di rumah, hahahaha.” Oka berkelakar
disambut tawa pak Soleh. Air muka Dewi sudah seperti udang goreng, bukan marah
tapi malu bukan main. Semoga Oka tak sedang menggombal seperti desas-desus yang sering Dewi
dengar di kampus, baik kalangan dosen wanita maupun para mahasiswa cewek lintas
angkatan.
Matahari
mulai menggelincirkan diri beberapa senti dari puncaknya, Oka mengantar Dewi
pulang jalan kaki, menuju rumah Dewi yang tak jauh dari area pertokoan. Lima
belas menit perjalanan –harusnya cuma sepuluh menit kalau Dewi berjalan sendiri
dengan kecepatan normal- mereka habiskan untuk bicara ringan dan bergurau. Oka
memuji masakan Dewi, Dewi tersipu atas sanjungan itu lalu Oka mulai
mengeluarkan jurus untuk menarik perhatian wanita dan Dewi -kembali- tersanjung
merasa berbunga-bunga.
“Sabtu
besok temenin aku cari literatur di perpustakaan daerah, ya? Aku butuh buat
jurnal perdanaku. Aku harap aku bisa memberikan usaha terbaik jadi dosen anyar,
hehehe,” pinta Oka ketika mereka sudah ada di depan rumah Dewi di sebuah gang
kecil padat penduduk. Dewi mengangguk setuju. Sebelum pergi Oka sempat mengusap
lengan Dewi.
Ah,
lelaki itu selalu memberi bekas fisik sebelum beranjak pergi, dulu pernah
mendadak Oka mengusap kepalanya seperti anak kecil, kali ini lengan Dewi. Dewi
merasa kepalang GR alias Gede Rasa, ia harus cari tahu maksudnya. Minimal ia
harus mencari info apakah Oka melakukan hal yang sama untuk wanita lain,
tentunya bukan Hajah Nurani, ibunya atau kakak perempuannya.
Dewi membuat hipotesa. Hipotesa nol: kalau Oka melakukan sentuhan fisik ke semua wanita –selain keluarganya- itu artinya dia memang lelaki baik yang menganggap semua wanita adalah teman baiknya, lelaki yang hangat pada semua wanita. Sementara hipotesa kerja: jika Oka melakukan itu hanya pada wanita tertentu, artinya dia memang menganggap wanita itu lebih istimewa, sama istimewanya dengan ibu dan kakaknya. Dewi mulai beraksi melakukan observasi dan wawancara keesokan harinya dan beberapa hari ke depannya.
Dewi membuat hipotesa. Hipotesa nol: kalau Oka melakukan sentuhan fisik ke semua wanita –selain keluarganya- itu artinya dia memang lelaki baik yang menganggap semua wanita adalah teman baiknya, lelaki yang hangat pada semua wanita. Sementara hipotesa kerja: jika Oka melakukan itu hanya pada wanita tertentu, artinya dia memang menganggap wanita itu lebih istimewa, sama istimewanya dengan ibu dan kakaknya. Dewi mulai beraksi melakukan observasi dan wawancara keesokan harinya dan beberapa hari ke depannya.
©©©
Singkat
cerita, keakraban Dewi dan Oka makin terlihat jelas di mata banyak orang, baik
di kampus maupun di area pertokoan. Oka butuh bantuan asisten, otomatis Dewi
menjadi asisten pribadinya. Dewi butuh bimbingan ketika kesulitan mencerna
materi, Oka selalu ada mencerahkan kebuntuan pikiran Dewi. Oka dan Dewi, dimana
ada Oka sudah dipastikan ada Dewi begitu pula sebaliknya. Pacaran? Belum. Tapi
mereka menikmati itu.
Dewi pun akhirnya mendapat kesimpulan hipotesa mana yang diterimanya selama beberapa bulan terakhir. Hipotesa kerja! Oka hanya melakukan sentuhan fisik tangannya pada wanita-wanita terdekatnya, ibu dan kakaknya dan sekarang bertambah Dewi! Itu artinya Dewi masuk daftar orang cukup istimewa bagi Oka, selevel dengan ibu dan kakaknya. Dewi rasanya ingin jungkir balik karena gembira. Ia kini bebas tersenyum sendiri di kamarnya karena dia termasuk wanita yang diistimewakan Oka!
Dewi pun akhirnya mendapat kesimpulan hipotesa mana yang diterimanya selama beberapa bulan terakhir. Hipotesa kerja! Oka hanya melakukan sentuhan fisik tangannya pada wanita-wanita terdekatnya, ibu dan kakaknya dan sekarang bertambah Dewi! Itu artinya Dewi masuk daftar orang cukup istimewa bagi Oka, selevel dengan ibu dan kakaknya. Dewi rasanya ingin jungkir balik karena gembira. Ia kini bebas tersenyum sendiri di kamarnya karena dia termasuk wanita yang diistimewakan Oka!
“Tapi...
kenapa sampai sekarang dia belum bilang suka sama aku, ya?” gumam Dewi sendiri
di atas kasurnya sambil memeluk guling kesayangannya. Raut wajahnya yang tadi
gembira kini berubah cukup memuram. Hatinya digantung tak jelas. Sukakah Oka
padanya? Dia sudah pasti suka setengah mati pada Oka.
©©©
Dewi
sudah ada di lobi perpustakaan daerah. Dirinya dan Oka berjanji bertemu di sana
sekitar pukul sebelas. Tapi Dewi tak mendapati Oka ada di sekitarnya. Dewi
mengirim pesan untuk Oka. Tak ada jawaban. Ia mencoba menelepon Oka tapi justru
suara mesin operator yang menjawabnya, pertanda hapenya nggak aktif. Dewi
memutuskan menunggu Oka di lobi perpus sampai tiga puluh menit berlalu jengah
dan sebal menjalar menyelubungi perasaan
Dewi. Oka tak datang dan dihubungi juga tak
bisa. Dewi bergerak ke dalam dan bertanya pada resepsionis perpus untuk
menanyakan tamu perpustakaan hari ini adakah bernama Oka tapi hasilnya nol. Oka tak
ke perpus hari ini sesuai janjinya.
Dewi
bergegas pulang, sialnya bunyi geledek
sudah bergemuruh riang di langit sana. Langit mulai mendung bahkan teramat
dramatis, mendung petang. Tampaknya hujan badai mau turun. Dan tak salah lagi
baru saja Dewi melangkah kaki keluar pagar perpustakaan, byuurrr!!! Suara air
hujan deras mengguyur tanah kering kerontang yang tadi diinjaknya. Dewi
bergegas minggir di bawah pohon beringin lalu mengeluarkan payung lipatnya. Ia
kembangkan payung itu lalu pergi ke halte dan mencari angkot pulang ke rumah.
Baru
beberapa meter berlalu dari perpus, Dewi menatap keluar angkot yang berjalan
bak siput itu melalui kaca angkot yang sudah berembun tebal. Ketika melintasi
sebuah mobil yang tak asing baginya, ia teringat Oka. Ah, tapi pemilik Nissan
seperti Oka pasti banyak. Tapi pandangan Dewi seketika membelalak ketika
melihat orang yang berdiri di depan mobil itu. Postur tubuhnya tak salah. Dewi
menggosok-gosok embun di kaca belakang angkot itu.
Oka??!!
Ngapain dia sama cewek? Apa? Meluk?
Dewi
mengucek-ucek matanya. Tapi penglihatannya tak salah.
Itu Oka!
Itu Oka!
Betapa
hati Dewi serasa dihantam benda besar dan super kuat dan dia terpental
terhempas. Cewek itu memang tak pernah dia tahu tapi apa hubungannya sama Oka
sampai Oka main peluk segala?
Dirinya saja tak pernah diperlakukan seperti itu. Tapi... sudah jelas, dia
bukan kekasih Oka.
Dewi
mulai menyalahkan diri. Pertama, hipotesa kerja ternyata zonk. Oka melakukan kontak
fisik dengan semua wanita, artinya dirinya bukan wanita istimewa untuk Oka. Kedua, seharusnya
ia percaya desas-desus Oka lelaki perayu semua wanita. Entah wanita seperti
apa. Cantik, seksi, kaya, pintar? Atau juga miskin, jelek, otak ber-IQ
rata-rata? Atau seperti apa? Dewi sendiri tak tahu dia masuk tipe wanita
seperti apa. Desas-desus tak begitu jelas, Dewi sendiri malas bergosip.
©©©
Dewi
sakit flu selama hampir seminggu terakhir. Perasaannya juga kacau balau. Dia
ingin tahu kebenaran yang terjadi tempo hari tapi yang didapatinya Oka enyah
bak ditelan bumi seminggu terakhir. Tak ada kabar, bahkan minta maaf karena telah membatalkan
janji juga tak terucap walau barang satu SMS sekalipun. Dewi makin dongkol.
“Dew!”
panggil bu Sonya, dosen pengampu mata kuliah Psikologi Forensik. Dewi menoleh. “Ini tugas dari Oka, dia ada seminar di Bandung
seminggu terakhir dan masuk besok lusa.
Katanya ini suruh kamu kerjain, biar nanti ketika dia dateng, dia sudah siap
presentasi,” jelas bu Sonya sambil
menyerahkan sebuah dokumen.
Ini, nih! Disangka aku
babu! Sudah nggak dibayar, suruh kerja rodi!!! Sakit begini mana mau tahu dia?
Pergi nggak bilang-bilang!
Dewi
merasa hatinya meledak-ledak. Selama ini ia membantu Oka memang tanpa imbalan
pasti, Oka hanya sering menraktirnya makan dan jajan setiap kali selesai
membantu Oka. Oka sendiri sudah bilang ia tak akan memberikan kompensasi uang
atau nilai untuknya dan Dewi dengan sadar dan waras menyetujuinya. Ya, karena
saking senengnya Dewi bisa dekat dengan dosen ganteng seperti itu, makanya ia menyetujui kesepakatan konyol itu dengan Oka.
Tapi sekarang giliran
jiwa dan raganya jungkir balik sakit,
keluarlah umpatan-umpatan kejengkelan itu.
Dewi
akhirnya hanya menggeletakkan dokumen itu di meja kamarnya. Sampai hari-H Oka
pulang dan langsung mampir ke rumah Dewi, Dewi tak mengerjakan tugas dari Oka.
“Kok,
nggak dikerjain, sih, Wi? Aku butuh besok siang mau presentasi,” ujar Oka.
“Kerjain
saja sendiri! Nggak tahu suaraku bindeng begini? Hidungku mampet, nafasku
sesek, kepalaku pening. Pusing melototin laptop mulu,” Dewi mengetus tanpa
memandang Oka.
“Kenapa
kamu nggak ngabarin aku kalau kamu sakit, kalau begini aku bisa ngerjain
sendiri wal---”
“Oh,
jadi selama ini beneran aku cuma jadi babu? Aslinya kamu bisa sendiri, kan?
Sudah deh, aku males. Aku berhenti jadi asisten kamu. Oh, ya, selama ini memang
tidak ada penasbihan secara resmi sih, tapi oke aku tegaskan Bapak Bagus Oka
Jatmika, saya berhenti jadi asisten
Bapak, selama-lamanya. Oke? Titik. Saya capek. Saya pingin fokus kuliah, saya
nggak mau bapak grecokin setiap hari padahal Bapak bisa ngatasin tugas-tugas
Bapak sendiri. Oke? Silakan pulang!” seloroh Dewi tanpa jeda.
“Kamu
ini ngomong apaan, sih, Wi? Aku capek-capek ke sini kamu malah ngomel-ngomel
nggak jelas begitu?”
“Sudah
tahu capek, kenapa kemari? Pulang saja sana!” suruh Dewi kasar. “Nih,
dokumennya, maaf saya nggak bisa ngerjain. Terlalu sulit!” lanjut Dewi
berdusta, padahal cuma bikin power point
saja.
Oka
meraup kedua mukanya seolah putus asa. “Kamu ini kenapa marah-marah gitu sih,
Wi? Aku nggak ngerti, serius!”
“PMS
dan sakit jiwa raga. Titik. Silakan pulang!” usia Dewi sekali lagi. Ia hendak
melangkah masuk rumah tapi tangan Oka meraih lengan Dewi sigap dan menjatuhkan
tubuh Dewi ke pelukannya.
“Aku
kangen, Wi! Bentar saja aku ngobatin kangenku,”
Dewi
terperangah dengan sikap Oka, ia meronta meminta dilepaskan tapi Oka mengunci
rapat tubuh Dewi.
“Stay with me! Aku kangen banget,”
“Apa
cewek tempo hari pas kamu ngebatalin janji ke perpus juga sering dapet pelukan
seperti ini? Cewek mana lagi yang dapet pelukanmu?”
Oka
merasa lehernya tercekat. Ia melepas pelukannya perlahan.
“Kamu
tahu itu?” air muka Oka berubah kaget.
Oka
menjelaskan semua yang terjadi. Kejadian tempo hari memang dirinya dan seorang
cewek berpelukan di keramaian di bawah derasnya hujan. Cewek itu mantan kekasih
Oka ketika menimba ilmu di Belanda.
Cewek itu sengaja meminta Oka kembali kepadanya setelah mereka putus nyaris
setahun. Alasannya klasik, lelaki yang bersamanya bukanlah lelaki baik seperti
Oka yang santun dan berwibawa sekaligus tampan. Tapi Oka menolak, yang lalu
biarlah berlalu. Cewek itu berupaya sekuat tenaga untuk merayu Oka kembali ke
pelukannya tapi akhirnya gagal total. Oka sadar, fokusnya tak lagi pada cewek
itu tapi Dewi. Mahasiswanya yang sukses membuat hatinya berasa naik roller coaster, naik-turun, jungkir
balik tak keruan setiap saat, bahkan hanya dengan mengingat wajahnya saja.
“Lalu
dia ke mana
sekarang?” tanya Dewi.
“Balik
ke Papua, mau jadi dokter ahli jiwa di sana. Jadi, jangan cemburu lagi, jangan
marah-marah lagi! Sudah jelas, kan? Maaf kalau aku nggak pernah cerita,”
“Nggak
apa, aku juga nggak berhak tahu cerita itu.”
“Berhak
atau enggak tapi sudah sukses bikin kamu marah-marah barusan. Maafin aku, ya?”
“Kenapa
nggak kabar-kabar ngebatalin janji? Terus main pergi ke Bandung?” tanya Dewi tak menggubris permohonan maaf Oka.
“Loh,
aku kirim pesan. Serius,”
“Gagal
paling tapi kenapa telepon nggak bisa nyambung?”
“Pas
hari itu hape aku matikan memang. Rania menuntut agar hape kami dimatikan saat
kami bersama,”
“Dan
kamu mau? Padahal kalian sudah putus lama?”
Oka
mengangguk. “Ya, sudahlah jangan dibahas lagi! Dia sudah di ujung timur sana.
Mari bicara soal kita,”
Dewi
melengos menghindari Oka. Oka mengikuti setiap pergerakan Dewi.
“Pak
Oka...”
“Oka.
Aku belum tua,” Oka mengultimatum lembut.
“Oke,
Oka...”
“Kenapa?”
Dewi
menggeleng kuat, dia salah tingkah ditatap Oka dengan penuh keteduhan dan senyuman
manis yang menghiasi wajah Oka.
“By the way, aku laper. Gimana kalau kamu
masakin nasi goreng buatku? Mumpung hujan
gerimis begini enak kali makan nasi goreng sama teh anget,” kata Oka memandang
keluar rumah Dewi. Benar, tadi ketika Oka datang langit mendung, beberapa menit
berselang hujan gerimis pun turun. “Apalagi buatan calon istri,” sambung Oka
membuat Dewi memutar kepalanya drastis ke arah Oka yang memunggunginya.
“Istri
apa pembantu? Baru juga tadi diingetin aku nggak mau jadi babu sekarang sudah
minta lebih,” sindir
Dewi yang aslinya hatinya sudah jumpalitan gembira dibuat GR setengah mampus
oleh Oka.
Oka memutar badannya ke arah Dewi. “Ayolah,
Wi... bermanis-manislah pada orang lapar! Ini ladang amal, loh. Ngasih makan
orang laper, hehehe,” goda Oka di depan Dewi yang lebih pendek darinya.
“Nilai Psikologi Klinisku A ya, Pak?” Dewi memberi penawaran sambil menaik-turunkan
kedua alisnya.
“Enak
saja! KKN dong? Kalau aku ditahan KPK kamu mau kesepian nggak ada aku?”
Dewi
berpikir ulang lalu tawa pecah di antara mereka berdua. Seiring dengan itu Dewi sudah tak peduli hipotesanya
tentang Oka, yang penting sekarang dirinya dan Oka mulai menjalani hubungan
sebagai sepasang kekasih. Kisah mereka dimulai
dari sini. Bahagianya, terasa beranda rumah Dewi seketika menjadi taman
berbunga. Semoga ini bukan delusi.
©©©
(replace: terminal akhir pencarian cinta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)