credit |
Tuhan pun tahu... jikalau aku mencintai dirimu tak musnah oleh
waktu
Hingga maut datang menjemputku, ku tetap
menunggu kamu di lain waktu
(Immortal
Love- Mahadewa Band)
Ada
rasa yang tak bisa diakalsehatkan. Sudah tahu kamu tak pernah menaruh minat
padaku tapi aku tetap berdiri di sini menunggumu tanpa rasa malu dan dosa yang
tertanggung. Diam, memerhatikanmu lekat, menyalurkan energi cintaku, terkagum
sendiri, menelan kepahitan sendiri, tersenyum getir, tersenyum bahagia,
menangis dan sesekali tertawa. Banyak hal yang telah kulakukan sendirian di
sudut ini. Kamu pun melihatku tapi hanya sepintas lalu. Pilu yang menyayat
kalbu kembali membaur. Dirimu... jangan minta aku mundur walau barang sejengkal
pun! Aku cinta mati padamu. Entah sampai kapan pun itu.
“Non
Ela, ini obatnya,” suara Mbok Parti membuyarkan lamunanku.
Aku
menoleh. “Oh iya, Mbok. Terima kasih, ya?” ujarku sambil menerima sepiring
kecil berisikan sejumlah pil dan kapsul di atasnya dan disertai segelas air
putih.
Aku
sengaja meminta Mbok Parti menyimpan obat-obat itu untuknya. Sebab, jika ia sendiri yang menyimpannya, sudah pasti akan
masuk ke tong sampah atau lebih parah ke dalam kloset. Dasar keras kepala!
Bagaimana dia bisa begitu? Bukannya bersemangat sembuh,
justru sibuk menyiksa diri dengan membuang semua obat dan malas terapi. Mana
semangatnya yang selama ini berkobar-kobar? Mana ketegasan, kealotan dan
disiplin diri pribadinya selama ini yang lebih sering disangka diktator oleh
semua orang? Mana? Manaaaa??? Aku lelah melihatnya merusak dirinya sendiri.
Aku
bangkit dari kursi goyang di dekat kolam renang di rumahnya. Melangkah ke ruang kerja pribadinya.
Aku
mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk. Aku tak mau mengulangi tindakan
yang membuatnya mengomel seharian. Dia memang terlampau kaku. Melanggar
satu saja peraturannya, kita akan melihat urat-urat lehernya menonjol keluar. Hih!
“Masuk!”
terdengar suara singkat dari dalam.
Aku
membuka pintu dan mengatakan, “Permisi,”
Dia
hanya berdeham.
“Waktunya
minum obat. Kata Mbok Parti, kamu sudah makan baru saja,”
Dia
diam saja membolak-balik kertas-kertas berserakan di meja kerjanya.
Aku
menghela nafas. Bagaimana dia bisa
lebih mementingkan pekerjaan ketimbang kesehatannya sendiri?
“Kalau
kamu mau tender pembangunan hotel bintang lima itu kamu menangkan, minumlah
obat! Dan terapi lah sore ini!”
Dia
menghentikan aktivitasnya segera. Siap-siap saja aku akan dihajar kalimat-kalimat
super tajamnya.
“Berhentilah
berkhotbah! Aku tahu mana yang harus kulakukan dan mana yang tidak,” sahutnya tegas dengan sorotan mata setajam
mata sang Elang. Mata ini yang membuatku ketakutan tapi sekaligus takjub dan
terbuai. “Tak ada sangkut pautnya antara minum obat atau terapi dengan
kemenangan tender. Aku yakin aku akan memenangkan tender itu!”
“Tentu
saja ada,”
Dia
kembali menghujamkan tatapan padaku.
“Kalau
kondisi tubuhmu fit, sudah pasti kamu akan lebih percaya diri melakukan
presentasi nantinya. Dan menunjang keberhasilanmu,”
“Tunggu,”
sahutnya sejenak. “Kamu kan, psikolog. Bukannya psikolog itu percaya bahwa
kekuatan pikiran atau semacam kesehatan psikologis itu yang akan menentukan
kondisi fisik yang maksimal?”
Aku
mengangguk.
“Bisa
jadi berkebalikan dengan prinsip orang Sparta yang bilang men sana in corpore sano, kan?”
“Ya,”
“Lalu
kenapa kamu cerewet menuntutku untuk memedulikan fisikku? Meskipun sekarang aku
cacat, tapi otakku tak pernah mati. Catat itu!”
Aku
menghelas nafas mencoba bersabar. “Aku tahu. Tapi fisik dan psikologis itu
saling berkaitan. Saling mempengaruhi satu sama lain. Jadi, aku tak sepenuhnya setuju
dengan pernyataanmu itu. Kamu tetap harus minum obat dan terapi. Semuanya akan
maksimal jika fisik dan psikologismu dalam kondisi yang bagus. Kamu bisa
kembali secermerlang dulu. Apa kamu tidak mau kembali seperti Temmy yang dulu?”
Dia
menggeleng. “Untuk apa? Toh apa yang hilang semenjak kakiku cacat tidak akan
pernah kembali,”
Aku
tahu maksud pembicaraannya. Pasti perempuan
itu lagi. Huh!
“Kalau
ternyata keajaiban memberimu kesempatan kedua untuk memilikinya lagi,
bagaimana?” Aku berpura-pura menguatkannya.
“Mustahil,”
“Apapun
bisa saja terjadi. Asal kamu kembali ke Temmy yang dulu, punya faith yang tak tertumbangkan,”
Tampaknya
Temmy terkesiap mendengar perkataanku. Dia memperhatikanku.
“Jangan
berusaha menghiburku! Aku tetap Temmy yang dulu tapi biarkan aku seperti ini,”
Aku
sudah tak tahu harus berbuat apa lagi. Temmy hendak bertahan dalam kondisi
mengenaskan, menurutku. Terpuruk karena cinta. Tapi untunglah ia tak menyerah pada
kehidupan. Walau itu hanya berurusan dengan pekerjaannya. Bukan terhadap dirinya
sendiri, sampai-sampai ia tak mau kondisinya seperti sedia kala. Tampan, gagah,
kaya, dikagumi banyak wanita, cerdas, dermawan dan tampak tanpa cela. Gagahnya
itu yang tak mau lagi diperlihatkan. Ini semua karena perempuan itu. Perempuan yang banyak menghabiskan masa sekolahnya
denganku, sahabatku. Pacar Temmy lima tahun terakhir. Dan berubah status
menjadi mantan kekasih semenjak Temmy terkena fitnah penggelapan uang setengah
tahun lalu. Membuat Temmy begitu frustasi sampai membahayakan diri di atas
mesin roda empatnya yang berkekuatan super cepat dan menghantam pagar besi lalu
koma lah ia untuk beberapa hari. Kemudian terancam kehilangan kaki.
“Terserah
kamu lah. Aku bingung apa maumu. Kamu dikatakan depresi juga tidak untuk
sekarang ini. Karena kamu masih sangat lincah mengatur strategi memenangkan
tender. Ya, seperti orang sehat. Tapi di sisi lain kamu tidak bisa melepas masa
lalumu yang sudah jelas-jelas mengkhianatimu. Bahkan mengenaskan sekali dirimu
tidak mau memulihkan kesehatanmu. Aku rasa, kamu terlalu kekanak-kanakan.
Manja! Kamu mengemis perhatian. Hanya saja tamengnya adalah pencitraanmu untuk
disangka tegar itu,” celotehku. “Ini obatnya, terserah kamu mau minum atau
tidak. Dan urusan dengan Lutfi untuk terapi sore ini atau besok-besok itu
terserah kamu. Kamu yang punya kaki. Kamu yang punya badan. Dan kamu sudah
teramat tua untuk bijak mengambil
keputusan yang sehat dan masuk akal. Aku pulang. Masih ada urusan di rumah,”
imbuhku sudah tampak seperti orang putus asa. Tapi aku hanya lelah terus memberikan
perhatian padanya tapi dia sendiri tidak peduli dengan diri sendiri.
Aku
memang sudah merawatnya selama sebulan terakhir semenjak kecelakaan hebat itu.
Bahkan ketika dia masih di ruang ICU, aku yang rutin jaga di rumah sakit. Orangtuanya
sudah lama meninggal. Tak ada sanak-keluarga di sini. Hanya seorang kawan lama
yang istrinya sekantor denganku. Semasa remaja ia ikut pamannya di Amerika.
Pamannya itulah yang jauh-jauh terbang ke sini menjenguknya tapi kemudian kembali
ke Amerika setelah dua minggu di sini. Pamannya mempercayakannya padaku. Ah,
apalah arti seorang aku sampai ia percaya padaku?
“Kamu
gadis yang baik, Ela. Tolong jaga Temmy untuk Om. Dia butuh penopang. Tolong! Om
tak bisa berlama-lama di sini. Tante mulai cerewet Om di sini lama-lama hanya
untuk bocah tua begundal seperti dia. Itu kata tante. Tante memang tidak suka
pada Temmy semenjak dulu. Temmy dulu memang sempat menjadi bad boy. Keluyuran malam, minum, tawuran. Tapi, dia tetap keponakan
Om satu-satunya dari kakak lelaki satu-satunya juga. Dan Om bangga dia bisa
sukses di sini,”
Aku
tersenyum saja. Aha, aku tahu kuncian pria yang lebih cocok jadi kakakku itu.
Usia kami berbeda tujuh tahun. Ya, dia seumuran dengan kakak tertuaku.
Aku
iyakan saja permintaan Om Soni. Lagi pula aku sedang dilanda rasa girang tiada
terkira karena bisa kembali dekat dengan Temmy. Sekalipun dalam kondisi yang
tidak “sempurna” lagi.
Ketika
aku berjalan meninggalkan pintu ruang kerjanya, dengan jelas aku mendengar suara
barang berjatuhan. Dia pasti merusak tatanan meja kerjanya lagi. Sudah biasa.
Aku
menghampiri Mbok Parti di taman, sedang merapikan tanaman kaktus koleksi Temmy.
“Mbok,
tolong rapikan kembali meja Temmy, ya? Jangan bosan-bosan ya, Mbok. Kalau dia
marah-marah lagi sama Mbok, bilang saya. Tapi jangan paksa dia minum obat!
Lakukan saja semua perintahnya mulai sekarang!”
Mbok
Parti mengangguk dan tersenyum simpul.
Aku
memang kasihan kalau melihat perempuan tua seibuku itu dibentak-bentak oleh
Temmy. Tapi aku tahu, dia bukan pribadi beringas yang keji pada sesama. Tidak.
Dia bukan orang seperti itu walau dia juga bukan orang yang dapat dikategorikan
sebagai pribadi gampang tersentuh dan berwelas asih.
Aku
mengakhiri perhatian ekstraku padanya hari itu.
#
Sebulan
terakhir aku sibuk menjadi assessor hasil rekrutmen beberapa perusahaan, ada feedmill, perbankan, lembaga
pemerintahan dan lainnya. Tapi ketika jam istirahat datang, aku selalu menyempatkan
untuk makan dan istirahat sejenak. Benar-benar untuk mengisi ulang energiku.
Tidur lima belas menit di sofa biru tosca di ruang kerjaku, tak peduli
rekan-rekanku yang lain berlalu-lalang di sana. Tapi mereka semua sering keluar
makan siang di restoran seberang jalan kantor kami pada saat jam istirahat
kantor.
“Ela
menduduki singgasanaaaa....” seloroh Leni setengah berteriak. Dia memang paling
tahu kebiasaanku ketika jam istirahat datang.
Aku
tertawa lebar. “Iya lah. Tidur lebih enak. Nikmat mana yang kau dustakan wahai
manusia, ketika tidur bisa melepas penatmu, hah? Hahahah,”
“Dasar!”
timpal Leni. “Nggak makan siang dulu?”
“Nanti
saja habis tidur. Tadi sempet nyemil roti sobek soalnya,”
Leni
mengangguk kemudian berlalu bersama tiga orang rekan seruanganku yang terdiri
dari dua perempuan dan satu lelaki. Semuanya psikolog.
Aku
kembali merebahkan diri di sofa, satu tanganku terangkat menindih keningku.
Tapi baru saja hendak melelapkan diri, suara pintu diketuk. Kemudian pintu itu
terbuka. Muncul kepala dengan wajah yang tak asing bagiku.
“Mbak
Ambar,” seruku. “Ada apa? Masuk, Mbak.” Aku berbasa-basi. Aku menyesal dalam
hati. Kenapa waktu tidurku yang sudah singkat makin tersita lagi?
Aku
beringsut dari posisi tidurku.
Mbak
Ambar meringis sambil meminta maaf telah menggangguku. Dia manajer di departemen
rekrutmen.
Setelah
duduk nyaman di sampingku barulah Mbak Ambar bercerita.
“Ini...
soal... Temmy, La,”
Aku
mengangkat sebelah alisku. “Kenapa lagi dia?”
“Kenapa
kamu tak pernah lagi ke sana? Dia bingung sendiri menjalani aktivitasnya,”
“Memangnya
aku ini apanya? Pengasuhnya? Pembantu? Fisioterapis saja bukan. Di sana ada Mbok
Parti dan Lutfi yang memberinya terapi pagi dan sore nyaris setiap hari,”
“Lebih
dari itu yang dia butuhkan, La,”
Aku
menegakkan posisi tubuhku. Penasaran dengan ucapan Mbak Ambar. “Maksud Mbak?”
“Dia
butuh kamu karena dia cinta sama kamu, La. Sedikitpun tak sadar kamu?”
Aku
melengos kemudian pecahlah tawaku. Kemudian aku menggeleng tanda mengelak.
“Lucu
tahu, Mbak. Dia sama sekali tak membutuhkanku. Dia sendiri yang mau mengenang
Karen begitu. Sudah tahu Karen sekarang istri orang. Dia sendiri yang mau terpuruk,
mengeram di kursi rodanya. Apa itu salahku? Bukan. Bukan salahku itu. Salah dia
sendiri. Dulu membuangku dan kini kelimpungan mencariku, hahaha, lucu. Sungguh
lucu. Kenapa dia tak menghubungiku sendiri? Memintaku sendiri ke sana? Kenapa
harus Mbak yang bilang? Apa nyalinya makin kerdil semenjak kecelakaan itu?
Ahahahaha, Temmy, Temmy... lucu, ah,”
Aku
terbahak kembali tapi ternyata ada rasa getir menelusup kalbuku.
“Tapi
bukannya kamu pernah menyukainya?”
Aku
terdiam seketika. Tudingan Mbak Ambar tepat sasaran.
“Ya,
sampai sekarang pun masih. Tapi aku tak sebodoh itu, Mbak. Dimaki-makinya,
dilawannya, dikonfrontasi dan selalu menjadi pihak yang kalah dan salah. Aku
memang cinta sama dia tapi aku tak suka pribadinya. Dan sekarang makin gila
saja dia itu.” Aku menghela nafas panjang. Lalu bersandar pada punggung sofa,
menatap ke luar jendela, menembus kaca, jauh menatap ke angkasa.
“Aku
heran kenapa dia datang padaku setelah semua ini terjadi? Aku kecewa karena
seolah Tuhan membuangnya padaku setelah manis yang dirasakan Karen. Tapi... aku
juga bahagia aku bisa lebih dekat dengannya. Memberikan pengaruh padanya setiap
hari meskipun dia tak menggubrisku sepenuhnya. Bahkan aku harus sering merasa
tak tahu malu ketika memperjuangkan agar ia sembuh kembali. Dia sering
meremehkanku dan membandingkanku dengan Karen. Hih! Dasar lelaki bodoh! Aku tak
sebandinglah dengan Karen. Tapi aku Ela, wanita yang cukup punya power dalam
banyak hal. Hanya saja masalah percintaan aku memang selalu sial. Itu bukan masalah.
Asal aku kaya raya. Maka dari itu, kenapa aku mau mendampingi Temmy itu bukan
karena hartanya atau status sosialnya. Aku ini wanita mandiri yang bisa
memenuhi kebutuhan materi dan prestisku sendiri. Aku mau dia sebagai Temmy.
Dirinya utuh dari ujung rambut sampai ujung kaki juga hatinya. Kalau saja
memang begitu adanya.”
Sialan!
Aku tersadar mengoceh panjang lebar tak ada lelahnya. Tapi Mbak Ambar mendengarkanku
dengan sabar dan seksama. Kemudian Mbak Ambar tersenyum manis dengan kedua
lesung pipinya.
Dia
mengelus pundakku. “Datanglah padanya! Kamu tahu sendiri, gengsinya terlalu
besar untuk mengakui sesuatu,”
Aku
menggeleng pelan. “Kali ini dia yang harus berinisiatif sendiri. Aku tak mau membuatnya
seolah raja maha diraja. Aku juga mau menjadi seorang ratu yang dirayu,” ujarku
lalu berkelakarlah aku.
#
Suatu
hari seusainya aku bekerja. Aku mengambil langkah santai menuju pintu keluar
kantor sambil merapikan kemejaku yang kusut di sana-sini. Edward menungguku di
parkiran. Kami akan pergi berkencan malam ini. Kencan pertama sepulang kerja.
Entahlah akan jadi apa suasana nanti. Lucu juga rasanya kencan pertama dengan
kawan lama yang sekantor tapi beda departemen.
Edward
berani mengajakku pergi dinner kali
ini setelah ia mengutarakan perasaannya padaku minggu lalu di sebuah acara jamuan
makan malam salah seorang bos. Dia lelaki yang manis dengan wajah tampan khas
Indonesianya dan logat Balinya. Lelaki yang santun pula. Apa salahnya mencoba memulai
menjalin relasi dengan pria yang sudah cukup kutahu seluk-beluknya. Temmy? Lupakan!
Eh, tapi tunggu... ada rasa berat melupakannya walau barang sejam atau dua jam
untuk pergi bersama lelaki lain. Tapi bagaimanapun harga diriku tetap harus
kujaga. Aku tak mau mengemis cintanya. Entah, dia tahu atau tidak aku
mencintainya. Aku rasa, cintaku selama ini hanyalah cinta diam-diam yang
perlahan mengabadi. Buktinya ketika hendak pergi bersama Edward, hatiku merasa
biasa saja dan selalu fokus pada Temmy. Namun... mendadak langkahku terhenti
ketika aku mendapati sosok tegap dengan kulit coklat tuanya, berkemeja abu-abu
muda longgar keluar tak beraturan dari himpitan sabuk celananya, ber-jeans biru muda dan kruk di tangan
kanannya. Ia tampak berusaha keras melempar senyum padaku.
Aku
membuang pandanganku sejenak ke arah lain dan tersenyum kecut. Mau apa dia
datang kemari?
Tapi,
ternyata ada rasa bahagia terselip melihatnya sudah ada kemajuan, “meninggalkan”
kursi roda.
Aku
menghampirinya.
“Di
sini?” tanyaku.
Temmy
tersenyum persis seperti orang sedang ikut sekolah kepribadian, belajar tersenyum
selebar-lebarnya, semanis-manisnya dan berusaha setulus-tulusnya.
“Buru-buru?”
Aku
mengangguk.
“Langsung
pulang?”
Aku
menggeleng.
“Oh,
naik apa?”
Aku
penasaran kenapa dia melempar pertanyaan secara kredit seperti itu.
“Mobil,”
“Kamu
sudah bawa mobil sendiri?”
Aku
mengambil nafas dalam. “Bukan. Mobil Edward,”
“Edward?”
Temmy mengernyitkan dahi.
Aku
menggerakkan kepalaku menunjuk ke arah Edward berdiri dan melambaikan tangan
padaku.
“Kalian
berkencan?” Ekspresi wajah Temmy kali ini berubah drastis menjadi mengerikan.
Aku
manggut-manggut.
“Batalkan!”
titahnya.
Aku terenyak. “Enak saja! Apa hakmu melarangku
berkencan dengannya?”
Dia
terdiam sesaat, seperti mengumpulkan kekuatan untuk berkoar-koar padaku.
“Aku
ke sini mau mengajakmu berkencan,”
Aku
melongo.
“Aku
mau mengencanimu malam ini. Besok dan besok lagi, seterusnya,” ulangnya.
“Tak
usah melucu kamu, Tem!” selorohku.
“Apa
perasaanku bagimu itu sebuah lelucon?!” Nada suaranya meninggi penuh penekanan.
Aku
tak mengerti maksudnya. “Perasaan apa?”
“Kamu
psikolog tapi tak paham tanda-tanda orang gila karena ditinggal orang yang
selama ini membuatnya nyaman,”
Otakku
kali ini bekerja terlampau cepat menyimpulkan bahwa Temmy mencintaiku tapi kalimatnya
itu masih mengandung rasa gengsi dan berputar-putar tak jelas.
Aku
kerjai saja dia sampai dia mau mengaku cinta padaku malam ini juga. Aku abaikan
Edward di sana. Adrenalinku terpacu untuk Temmy detik ini juga.
“Rasa
nyaman itu membuatmu kecanduan? Tapi itu tak cukup untuk menjadi alasan dua
orang berkencan. Tak perlu berkencan, kalau nyaman ya nyaman saja,”
“Katakan
padaku, kamu akan membatalkan kencanmu malam ini dengan lelaki berwajah mesum
itu!”
Aku
mendelik, tak terima Edward yang super baik itu dikata mesum.
“Hei,
jangan asal bicara!”
“Itu
benar. Aku pernah melihatnya menatapmu dari ujung rambut sampai ujung kaki
seolah ingin melumatmu di pesta perkawinan emas mertua Ambar. Aku tahu betul
lelaki seperti apa dia walau aku tak mengenalnya. Batalkan saja!”
Aku
tak sangka Temmy memperhatikanku.
“Jadi
kamu mau memperebutkan aku dengan Edward?” tanyaku penuh percaya diri.
“Dia
bukan tandinganku sekalipun aku berjalan dengan kaki pincang,”
Itu
benar. Dibandingkan dengan Temmy, Edward memang kalah jauh dalam segala aspek.
Tapi Edward itu benar-benar lelaki yang baik -sepanjang yang aku tahu-.
Aku
menatap mata Temmy dengan segala keberanian yang aku bangun mendadak.
“Apa
kamu mulai bisa melihatku sekarang?”
“Aku
selalu melihatmu. Itu sebabnya aku sering mengoreksimu agar kamu tampil
sempurna. Aku menyukai kesempurnaan,”
Aku
terkekeh. “Mana ada manusia sempurna?”
“Aku
yang membuatmu sempurna. Kalau saja aku tak mengoreksimu, mana bisa kamu
menjadi sepercaya diri ini? Berbalik mengguruiku, mempengaruhiku? Mana bisa
kamu tanpa aku?” ucap Temmy yang merupakan sebuah kebenaran mutlak. Aku yang
dulu pribadi tidak percaya diri berubah total atas saran dan kritikan Temmy
yang kuanggap sebagai peremehannya atas kemampuanku. Kala itu dia masih kekasih
Karen.
“Tapi
aku bukan manusia sempurna. Aku juga tidak mau berada di bawah pengawasanmu
terus. Aku mau kita bisa equal,
seimbang, menjadi teman yang saling menopang. Bukan selalu disudutkan.” Suaraku
mendadak parau. Air mataku mau tumpah saja rasanya.
Temmy
maju dengan tertatih-tatih mendekat ke arahku. Meraihku dan menjatuhkanku ke dalam
dekapan dadanya yang lapang.
“Maafkan
aku yang diktator. Sungguh, aku melihatmu selama ini. Tapi bagaimana mungkin,
aku masih mencintai Karen. Tapi aku kini sadar, cinta menggebu bisa saja
melapuk sementara rasa nyaman dengan seorang kawan tak pernah bisa terkalahkan.
Dan cinta bisa tumbuh seiring dengan itu,”
Tanganku
bergerak untuk membalas dekapan Temmy.
“Terima
kasih untuk kejutan terindah ini. Aku jamin ini tak akan terlupakan sepanjang
sisa usiaku,” sahutku kemudian melepaskan diri dari pelukannya. “Jadi sekarang
kita teman?” tanyaku tersenyum lebar.
“Kekasih
lebih tepatnya,”
Aku
tergelak.
“Aku
bicara dulu dengan Edward.” Aku meminta izin. Bukannya aku ingin menyakiti
Edward tapi aku sendiri juga belum mengiyakan aku menerima cintanya. Dia hanya
mengutarakan cinta, bukan memintaku menjadi kekasihnya. Dan rencananya malam
ini kami akan makan malam tapi terpaksa batal karena aku sudah memutuskan suatu
hal terbesar dalam hidupku.
“Pastikan
dia tak patah hati,” tukasnya tersenyum.
Aku
mengerlingkan sebelah mataku pada Temmy.
-selesai-
*Berdasarkan lagu Immortal Love Song - Maha Dewa Band
BalasHapusTak pernah ku sangka
Aku bisa merasakan cinta sejati
Dan tak pernah benar-benar mencintai
Manusia di bumi ini
Hingga apapun akan ku beri
Untuk kamu, kamu, kamu
Dan tak pernah aku meminta
Balasan semua, semua, semua
Tuhan pun tahu jikalau aku
Mencintai dirimu tak musnah oleh waktu
Hingga maut datang menjemputku
Ku tetap menunggu kamu di lain waktu