Senin, 02 Desember 2013

Immortal Love

credit


Tuhan pun tahu...  jikalau aku mencintai dirimu tak musnah oleh waktu
Hingga maut datang menjemputku, ku tetap menunggu kamu di lain waktu
(Immortal Love- Mahadewa Band)

Ada rasa yang tak bisa diakalsehatkan. Sudah tahu kamu tak pernah menaruh minat padaku tapi aku tetap berdiri di sini menunggumu tanpa rasa malu dan dosa yang tertanggung. Diam, memerhatikanmu lekat, menyalurkan energi cintaku, terkagum sendiri, menelan kepahitan sendiri, tersenyum getir, tersenyum bahagia, menangis dan sesekali tertawa. Banyak hal yang telah kulakukan sendirian di sudut ini. Kamu pun melihatku tapi hanya sepintas lalu. Pilu yang menyayat kalbu kembali membaur. Dirimu... jangan minta aku mundur walau barang sejengkal pun! Aku cinta mati padamu. Entah sampai kapan pun itu.
“Non Ela, ini obatnya,” suara Mbok Parti membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh. “Oh iya, Mbok. Terima kasih, ya?” ujarku sambil menerima sepiring kecil berisikan sejumlah pil dan kapsul di atasnya dan disertai segelas air putih.
Aku sengaja meminta Mbok Parti menyimpan obat-obat itu untuknya. Sebab, jika ia  sendiri yang menyimpannya, sudah pasti akan masuk ke tong sampah atau lebih parah ke dalam kloset. Dasar keras kepala! Bagaimana dia  bisa begitu? Bukannya bersemangat sembuh, justru sibuk menyiksa diri dengan membuang semua obat dan malas terapi. Mana semangatnya yang selama ini berkobar-kobar? Mana ketegasan, kealotan dan disiplin diri pribadinya selama ini yang lebih sering disangka diktator oleh semua orang? Mana? Manaaaa??? Aku lelah melihatnya merusak dirinya sendiri.
Aku bangkit dari kursi goyang di dekat kolam renang di rumahnya. Melangkah ke ruang kerja pribadinya.
Aku mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk. Aku tak mau mengulangi tindakan yang membuatnya mengomel seharian. Dia memang terlampau kaku. Melanggar satu saja peraturannya, kita akan melihat urat-urat lehernya menonjol keluar. Hih!
“Masuk!” terdengar suara singkat dari dalam.
Aku membuka pintu dan mengatakan, “Permisi,”
Dia hanya berdeham.
“Waktunya minum obat. Kata Mbok Parti, kamu sudah makan baru saja,”
Dia diam saja membolak-balik kertas-kertas berserakan di meja kerjanya.
Aku menghela nafas. Bagaimana dia bisa lebih mementingkan pekerjaan ketimbang kesehatannya sendiri?
“Kalau kamu mau tender pembangunan hotel bintang lima itu kamu menangkan, minumlah obat! Dan terapi lah sore ini!”
Dia menghentikan aktivitasnya segera. Siap-siap saja aku akan dihajar kalimat-kalimat super tajamnya.
“Berhentilah berkhotbah! Aku tahu mana yang harus kulakukan dan mana yang tidak,” sahutnya tegas dengan sorotan mata setajam mata sang Elang. Mata ini yang membuatku ketakutan tapi sekaligus takjub dan terbuai. “Tak ada sangkut pautnya antara minum obat atau terapi dengan kemenangan tender. Aku yakin aku akan memenangkan tender itu!”
“Tentu saja ada,”
Dia kembali menghujamkan tatapan padaku.
“Kalau kondisi tubuhmu fit, sudah pasti kamu akan lebih percaya diri melakukan presentasi nantinya. Dan menunjang keberhasilanmu,”
“Tunggu,” sahutnya sejenak. “Kamu kan, psikolog. Bukannya psikolog itu percaya bahwa kekuatan pikiran atau semacam kesehatan psikologis itu yang akan menentukan kondisi fisik yang maksimal?”
Aku mengangguk.
“Bisa jadi berkebalikan dengan prinsip orang Sparta yang bilang men sana in corpore sano, kan?”
“Ya,”
“Lalu kenapa kamu cerewet menuntutku untuk memedulikan fisikku? Meskipun sekarang aku cacat, tapi otakku tak pernah mati. Catat itu!”
Aku menghelas nafas mencoba bersabar. “Aku tahu. Tapi fisik dan psikologis itu saling berkaitan. Saling mempengaruhi satu sama lain. Jadi, aku tak sepenuhnya setuju dengan pernyataanmu itu. Kamu tetap harus minum obat dan terapi. Semuanya akan maksimal jika fisik dan psikologismu dalam kondisi yang bagus. Kamu bisa kembali secermerlang dulu. Apa kamu tidak mau kembali seperti Temmy yang dulu?”
Dia menggeleng. “Untuk apa? Toh apa yang hilang semenjak kakiku cacat tidak akan pernah kembali,”
Aku tahu maksud pembicaraannya. Pasti perempuan itu lagi. Huh!
“Kalau ternyata keajaiban memberimu kesempatan kedua untuk memilikinya lagi, bagaimana?” Aku berpura-pura menguatkannya.
“Mustahil,”
“Apapun bisa saja terjadi. Asal kamu kembali ke Temmy yang dulu, punya faith yang tak tertumbangkan,”
Tampaknya Temmy terkesiap mendengar perkataanku. Dia memperhatikanku.
“Jangan berusaha menghiburku! Aku tetap Temmy yang dulu tapi biarkan aku seperti ini,”
Aku sudah tak tahu harus berbuat apa lagi. Temmy hendak bertahan dalam kondisi mengenaskan, menurutku. Terpuruk karena cinta. Tapi untunglah ia tak menyerah pada kehidupan. Walau itu hanya berurusan dengan pekerjaannya. Bukan terhadap dirinya sendiri, sampai-sampai ia tak mau kondisinya seperti sedia kala. Tampan, gagah, kaya, dikagumi banyak wanita, cerdas, dermawan dan tampak tanpa cela. Gagahnya itu yang tak mau lagi diperlihatkan. Ini semua karena perempuan itu. Perempuan yang banyak menghabiskan masa sekolahnya denganku, sahabatku. Pacar Temmy lima tahun terakhir. Dan berubah status menjadi mantan kekasih semenjak Temmy terkena fitnah penggelapan uang setengah tahun lalu. Membuat Temmy begitu frustasi sampai membahayakan diri di atas mesin roda empatnya yang berkekuatan super cepat dan menghantam pagar besi lalu koma lah ia untuk beberapa hari. Kemudian terancam kehilangan kaki.
“Terserah kamu lah. Aku bingung apa maumu. Kamu dikatakan depresi juga tidak untuk sekarang ini. Karena kamu masih sangat lincah mengatur strategi memenangkan tender. Ya, seperti orang sehat. Tapi di sisi lain kamu tidak bisa melepas masa lalumu yang sudah jelas-jelas mengkhianatimu. Bahkan mengenaskan sekali dirimu tidak mau memulihkan kesehatanmu. Aku rasa, kamu terlalu kekanak-kanakan. Manja! Kamu mengemis perhatian. Hanya saja tamengnya adalah pencitraanmu untuk disangka tegar itu,” celotehku. “Ini obatnya, terserah kamu mau minum atau tidak. Dan urusan dengan Lutfi untuk terapi sore ini atau besok-besok itu terserah kamu. Kamu yang punya kaki. Kamu yang punya badan. Dan kamu sudah teramat tua untuk bijak mengambil keputusan yang sehat dan masuk akal. Aku pulang. Masih ada urusan di rumah,” imbuhku sudah tampak seperti orang putus asa. Tapi aku hanya lelah terus memberikan perhatian padanya tapi dia sendiri tidak peduli dengan diri sendiri.
Aku memang sudah merawatnya selama sebulan terakhir semenjak kecelakaan hebat itu. Bahkan ketika dia masih di ruang ICU, aku yang rutin jaga di rumah sakit. Orangtuanya sudah lama meninggal. Tak ada sanak-keluarga di sini. Hanya seorang kawan lama yang istrinya sekantor denganku. Semasa remaja ia ikut pamannya di Amerika. Pamannya itulah yang jauh-jauh terbang ke sini menjenguknya tapi kemudian kembali ke Amerika setelah dua minggu di sini. Pamannya mempercayakannya padaku. Ah, apalah arti seorang aku sampai ia percaya padaku?
“Kamu gadis yang baik, Ela. Tolong jaga Temmy untuk Om. Dia butuh penopang. Tolong! Om tak bisa berlama-lama di sini. Tante mulai cerewet Om di sini lama-lama hanya untuk bocah tua begundal seperti dia. Itu kata tante. Tante memang tidak suka pada Temmy semenjak dulu. Temmy dulu memang sempat menjadi bad boy. Keluyuran malam, minum, tawuran. Tapi, dia tetap keponakan Om satu-satunya dari kakak lelaki satu-satunya juga. Dan Om bangga dia bisa sukses di sini,”
Aku tersenyum saja. Aha, aku tahu kuncian pria yang lebih cocok jadi kakakku itu. Usia kami berbeda tujuh tahun. Ya, dia seumuran dengan kakak tertuaku.
Aku iyakan saja permintaan Om Soni. Lagi pula aku sedang dilanda rasa girang tiada terkira karena bisa kembali dekat dengan Temmy. Sekalipun dalam kondisi yang tidak “sempurna” lagi.
Ketika aku berjalan meninggalkan pintu ruang kerjanya, dengan jelas aku mendengar suara barang berjatuhan. Dia pasti merusak tatanan meja kerjanya lagi. Sudah biasa.
Aku menghampiri Mbok Parti di taman, sedang merapikan tanaman kaktus koleksi Temmy.
“Mbok, tolong rapikan kembali meja Temmy, ya? Jangan bosan-bosan ya, Mbok. Kalau dia marah-marah lagi sama Mbok, bilang saya. Tapi jangan paksa dia minum obat! Lakukan saja semua perintahnya mulai sekarang!”
Mbok Parti mengangguk dan tersenyum simpul.
Aku memang kasihan kalau melihat perempuan tua seibuku itu dibentak-bentak oleh Temmy. Tapi aku tahu, dia bukan pribadi beringas yang keji pada sesama. Tidak. Dia bukan orang seperti itu walau dia juga bukan orang yang dapat dikategorikan sebagai pribadi gampang tersentuh dan berwelas asih.
Aku mengakhiri perhatian ekstraku padanya hari itu.
#
Sebulan terakhir aku sibuk menjadi assessor hasil rekrutmen beberapa perusahaan, ada feedmill, perbankan, lembaga pemerintahan dan lainnya. Tapi ketika jam istirahat datang, aku selalu menyempatkan untuk makan dan istirahat sejenak. Benar-benar untuk mengisi ulang energiku. Tidur lima belas menit di sofa biru tosca di ruang kerjaku, tak peduli rekan-rekanku yang lain berlalu-lalang di sana. Tapi mereka semua sering keluar makan siang di restoran seberang jalan kantor kami pada saat jam istirahat kantor.
“Ela menduduki singgasanaaaa....” seloroh Leni setengah berteriak. Dia memang paling tahu kebiasaanku ketika jam istirahat datang.
Aku tertawa lebar. “Iya lah. Tidur lebih enak. Nikmat mana yang kau dustakan wahai manusia, ketika tidur bisa melepas penatmu, hah? Hahahah,”
“Dasar!” timpal Leni. “Nggak makan siang dulu?”
“Nanti saja habis tidur. Tadi sempet nyemil roti sobek soalnya,”
Leni mengangguk kemudian berlalu bersama tiga orang rekan seruanganku yang terdiri dari dua perempuan dan satu lelaki. Semuanya psikolog.
Aku kembali merebahkan diri di sofa, satu tanganku terangkat menindih keningku. Tapi baru saja hendak melelapkan diri, suara pintu diketuk. Kemudian pintu itu terbuka. Muncul kepala dengan wajah yang tak asing bagiku.
“Mbak Ambar,” seruku. “Ada apa? Masuk, Mbak.” Aku berbasa-basi. Aku menyesal dalam hati. Kenapa waktu tidurku yang sudah singkat makin tersita lagi?
Aku beringsut dari posisi tidurku.
Mbak Ambar meringis sambil meminta maaf telah menggangguku. Dia manajer di departemen rekrutmen.
Setelah duduk nyaman di sampingku barulah Mbak Ambar bercerita.
“Ini... soal... Temmy, La,”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Kenapa lagi dia?”
“Kenapa kamu tak pernah lagi ke sana? Dia bingung sendiri menjalani aktivitasnya,”
“Memangnya aku ini apanya? Pengasuhnya? Pembantu? Fisioterapis saja bukan. Di sana ada Mbok Parti dan Lutfi yang memberinya terapi pagi dan sore nyaris setiap hari,”
“Lebih dari itu yang dia butuhkan, La,”
Aku menegakkan posisi tubuhku. Penasaran dengan ucapan Mbak Ambar. “Maksud Mbak?”
“Dia butuh kamu karena dia cinta sama kamu, La. Sedikitpun tak sadar kamu?”
Aku melengos kemudian pecahlah tawaku. Kemudian aku menggeleng tanda mengelak.
“Lucu tahu, Mbak. Dia sama sekali tak membutuhkanku. Dia sendiri yang mau mengenang Karen begitu. Sudah tahu Karen sekarang istri orang. Dia sendiri yang mau terpuruk, mengeram di kursi rodanya. Apa itu salahku? Bukan. Bukan salahku itu. Salah dia sendiri. Dulu membuangku dan kini kelimpungan mencariku, hahaha, lucu. Sungguh lucu. Kenapa dia tak menghubungiku sendiri? Memintaku sendiri ke sana? Kenapa harus Mbak yang bilang? Apa nyalinya makin kerdil semenjak kecelakaan itu? Ahahahaha, Temmy, Temmy... lucu, ah,”
Aku terbahak kembali tapi ternyata ada rasa getir menelusup kalbuku.
“Tapi bukannya kamu pernah menyukainya?”
Aku terdiam seketika. Tudingan Mbak Ambar tepat sasaran.
“Ya, sampai sekarang pun masih. Tapi aku tak sebodoh itu, Mbak. Dimaki-makinya, dilawannya, dikonfrontasi dan selalu menjadi pihak yang kalah dan salah. Aku memang cinta sama dia tapi aku tak suka pribadinya. Dan sekarang makin gila saja dia itu.” Aku menghela nafas panjang. Lalu bersandar pada punggung sofa, menatap ke luar jendela, menembus kaca, jauh menatap ke angkasa.
“Aku heran kenapa dia datang padaku setelah semua ini terjadi? Aku kecewa karena seolah Tuhan membuangnya padaku setelah manis yang dirasakan Karen. Tapi... aku juga bahagia aku bisa lebih dekat dengannya. Memberikan pengaruh padanya setiap hari meskipun dia tak menggubrisku sepenuhnya. Bahkan aku harus sering merasa tak tahu malu ketika memperjuangkan agar ia sembuh kembali. Dia sering meremehkanku dan membandingkanku dengan Karen. Hih! Dasar lelaki bodoh! Aku tak sebandinglah dengan Karen. Tapi aku Ela, wanita yang cukup punya power dalam banyak hal. Hanya saja masalah percintaan aku memang selalu sial. Itu bukan masalah. Asal aku kaya raya. Maka dari itu, kenapa aku mau mendampingi Temmy itu bukan karena hartanya atau status sosialnya. Aku ini wanita mandiri yang bisa memenuhi kebutuhan materi dan prestisku sendiri. Aku mau dia sebagai Temmy. Dirinya utuh dari ujung rambut sampai ujung kaki juga hatinya. Kalau saja memang begitu adanya.”
Sialan! Aku tersadar mengoceh panjang lebar tak ada lelahnya. Tapi Mbak Ambar mendengarkanku dengan sabar dan seksama. Kemudian Mbak Ambar tersenyum manis dengan kedua lesung pipinya.
Dia mengelus pundakku. “Datanglah padanya! Kamu tahu sendiri, gengsinya terlalu besar untuk mengakui sesuatu,”
Aku menggeleng pelan. “Kali ini dia yang harus berinisiatif sendiri. Aku tak mau membuatnya seolah raja maha diraja. Aku juga mau menjadi seorang ratu yang dirayu,” ujarku lalu berkelakarlah aku.
#
Suatu hari seusainya aku bekerja. Aku mengambil langkah santai menuju pintu keluar kantor sambil merapikan kemejaku yang kusut di sana-sini. Edward menungguku di parkiran. Kami akan pergi berkencan malam ini. Kencan pertama sepulang kerja. Entahlah akan jadi apa suasana nanti. Lucu juga rasanya kencan pertama dengan kawan lama yang sekantor tapi beda departemen.
Edward berani mengajakku pergi dinner kali ini setelah ia mengutarakan perasaannya padaku minggu lalu di sebuah acara jamuan makan malam salah seorang bos. Dia lelaki yang manis dengan wajah tampan khas Indonesianya dan logat Balinya. Lelaki yang santun pula. Apa salahnya mencoba memulai menjalin relasi dengan pria yang sudah cukup kutahu seluk-beluknya. Temmy? Lupakan! Eh, tapi tunggu... ada rasa berat melupakannya walau barang sejam atau dua jam untuk pergi bersama lelaki lain. Tapi bagaimanapun harga diriku tetap harus kujaga. Aku tak mau mengemis cintanya. Entah, dia tahu atau tidak aku mencintainya. Aku rasa, cintaku selama ini hanyalah cinta diam-diam yang perlahan mengabadi. Buktinya ketika hendak pergi bersama Edward, hatiku merasa biasa saja dan selalu fokus pada Temmy. Namun... mendadak langkahku terhenti ketika aku mendapati sosok tegap dengan kulit coklat tuanya, berkemeja abu-abu muda longgar keluar tak beraturan dari himpitan sabuk celananya, ber-jeans biru muda dan kruk di tangan kanannya. Ia tampak berusaha keras melempar senyum padaku.
Aku membuang pandanganku sejenak ke arah lain dan tersenyum kecut. Mau apa dia datang kemari?
Tapi, ternyata ada rasa bahagia terselip melihatnya sudah ada kemajuan, “meninggalkan” kursi roda.
Aku menghampirinya.
“Di sini?” tanyaku.
Temmy tersenyum persis seperti orang sedang ikut sekolah kepribadian, belajar tersenyum selebar-lebarnya, semanis-manisnya dan berusaha setulus-tulusnya.
“Buru-buru?”
Aku mengangguk.
“Langsung pulang?”
Aku menggeleng.
“Oh, naik apa?”
Aku penasaran kenapa dia melempar pertanyaan secara kredit seperti itu.
“Mobil,”
“Kamu sudah bawa mobil sendiri?”
Aku mengambil nafas dalam. “Bukan. Mobil Edward,”
“Edward?” Temmy mengernyitkan dahi.
Aku menggerakkan kepalaku menunjuk ke arah Edward berdiri dan melambaikan tangan padaku.
“Kalian berkencan?” Ekspresi wajah Temmy kali ini berubah drastis menjadi mengerikan.
Aku manggut-manggut.
“Batalkan!” titahnya.
 Aku terenyak. “Enak saja! Apa hakmu melarangku berkencan dengannya?”
Dia terdiam sesaat, seperti mengumpulkan kekuatan untuk berkoar-koar padaku.
“Aku ke sini mau mengajakmu berkencan,”
Aku melongo.
“Aku mau mengencanimu malam ini. Besok dan besok lagi, seterusnya,” ulangnya.
“Tak usah melucu kamu, Tem!” selorohku.
“Apa perasaanku bagimu itu sebuah lelucon?!” Nada suaranya meninggi penuh penekanan.
Aku tak mengerti maksudnya. “Perasaan apa?”
“Kamu psikolog tapi tak paham tanda-tanda orang gila karena ditinggal orang yang selama ini membuatnya nyaman,”
Otakku kali ini bekerja terlampau cepat menyimpulkan bahwa Temmy mencintaiku tapi kalimatnya itu masih mengandung rasa gengsi dan berputar-putar tak jelas.
Aku kerjai saja dia sampai dia mau mengaku cinta padaku malam ini juga. Aku abaikan Edward di sana. Adrenalinku terpacu untuk Temmy detik ini juga.
“Rasa nyaman itu membuatmu kecanduan? Tapi itu tak cukup untuk menjadi alasan dua orang berkencan. Tak perlu berkencan, kalau nyaman ya nyaman saja,”
“Katakan padaku, kamu akan membatalkan kencanmu malam ini dengan lelaki berwajah mesum itu!”
Aku mendelik, tak terima Edward yang super baik itu dikata mesum.
“Hei, jangan asal bicara!”
“Itu benar. Aku pernah melihatnya menatapmu dari ujung rambut sampai ujung kaki seolah ingin melumatmu di pesta perkawinan emas mertua Ambar. Aku tahu betul lelaki seperti apa dia walau aku tak mengenalnya. Batalkan saja!”
Aku tak sangka Temmy memperhatikanku.
“Jadi kamu mau memperebutkan aku dengan Edward?” tanyaku penuh percaya diri.
“Dia bukan tandinganku sekalipun aku berjalan dengan kaki pincang,”
Itu benar. Dibandingkan dengan Temmy, Edward memang kalah jauh dalam segala aspek. Tapi Edward itu benar-benar lelaki yang baik -sepanjang yang aku tahu-.
Aku menatap mata Temmy dengan segala keberanian yang aku bangun mendadak.
“Apa kamu mulai bisa melihatku sekarang?”
“Aku selalu melihatmu. Itu sebabnya aku sering mengoreksimu agar kamu tampil sempurna. Aku menyukai kesempurnaan,”
Aku terkekeh. “Mana ada manusia sempurna?”
“Aku yang membuatmu sempurna. Kalau saja aku tak mengoreksimu, mana bisa kamu menjadi sepercaya diri ini? Berbalik mengguruiku, mempengaruhiku? Mana bisa kamu tanpa aku?” ucap Temmy yang merupakan sebuah kebenaran mutlak. Aku yang dulu pribadi tidak percaya diri berubah total atas saran dan kritikan Temmy yang kuanggap sebagai peremehannya atas kemampuanku. Kala itu dia masih kekasih Karen.
“Tapi aku bukan manusia sempurna. Aku juga tidak mau berada di bawah pengawasanmu terus. Aku mau kita bisa equal, seimbang, menjadi teman yang saling menopang. Bukan selalu disudutkan.” Suaraku mendadak parau. Air mataku mau tumpah saja rasanya.
Temmy maju dengan tertatih-tatih mendekat ke arahku. Meraihku dan menjatuhkanku ke dalam dekapan dadanya yang lapang.
“Maafkan aku yang diktator. Sungguh, aku melihatmu selama ini. Tapi bagaimana mungkin, aku masih mencintai Karen. Tapi aku kini sadar, cinta menggebu bisa saja melapuk sementara rasa nyaman dengan seorang kawan tak pernah bisa terkalahkan. Dan cinta bisa tumbuh seiring dengan itu,”
Tanganku bergerak untuk membalas dekapan Temmy.
“Terima kasih untuk kejutan terindah ini. Aku jamin ini tak akan terlupakan sepanjang sisa usiaku,” sahutku kemudian melepaskan diri dari pelukannya. “Jadi sekarang kita teman?” tanyaku tersenyum lebar.
“Kekasih lebih tepatnya,”
Aku tergelak.
“Aku bicara dulu dengan Edward.” Aku meminta izin. Bukannya aku ingin menyakiti Edward tapi aku sendiri juga belum mengiyakan aku menerima cintanya. Dia hanya mengutarakan cinta, bukan memintaku menjadi kekasihnya. Dan rencananya malam ini kami akan makan malam tapi terpaksa batal karena aku sudah memutuskan suatu hal terbesar dalam hidupku.
“Pastikan dia tak patah hati,” tukasnya tersenyum.
Aku mengerlingkan sebelah mataku pada Temmy.
-selesai-

*Ditulis untuk event #ceritanada oleh @septantya :)














1 komentar:


  1. Tak pernah ku sangka
    Aku bisa merasakan cinta sejati
    Dan tak pernah benar-benar mencintai
    Manusia di bumi ini

    Hingga apapun akan ku beri
    Untuk kamu, kamu, kamu
    Dan tak pernah aku meminta
    Balasan semua, semua, semua

    Tuhan pun tahu jikalau aku
    Mencintai dirimu tak musnah oleh waktu
    Hingga maut datang menjemputku
    Ku tetap menunggu kamu di lain waktu

    BalasHapus

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)