credit |
Namanya Ro...
Dia cowok tampan -menurutku- menyebalkan kala itu.
Iya, ketika aku masih duduk di bangku SMA kelas X (sepuluh).
Aku tahu dirinya sebagai siswa superior semenjak di
bangku SMP. Ya, kami satu sekolah SMP dan SMA. Pertama aku tahu dia bersama
gengnya semasa SMP, aku tahu betul dia itu dari kalangan parlente. Ternyata benar.
Keluarganya donatur di sekolah kami, baik SMP maupun SMA. Tapi ketika SMP aku
tak menggubrisnya. Aku menyudutkan sebelah mataku padanya. Dia tak ada
menariknya sama sekali!
Tapi...
Berbeda kala aku masuk SMA. Kami satu kelas di
sebuah kelas majemuk suku, budaya, dan agama. Di sana aku mengenalnya “lebih
dekat”. Dia jadi lebih kurus ketimbang SMP, penampilannya so stylish dengan barang-barang branded
dari ujung rambut hingga kaki. Tapi... pun begitu, dia tak sepopuler teman
dekatnya di kalangan wanita. Kasihan dia, mengejar satu wanita saja harus “cerai
bangku” sama teman dekatnya. Setahuku juga, tak banyak cewek yang
mengidolakannya. Sebab, yang kutahu dari seorang kawan yang juga punya “pengaruh”
di sekolah, Ro merupakan pribadi bossy
bin resek. Aku akui memang begitu. Tapi entah, aku tak memandang itu sebagai
keburukan. Ya, positif saja mikirnya, dia dermawan. Titik. Tapi yang
menyebalkan sekaligus mendebarkanku adalah ketika dia usil menjodohkanku dengan
seorang kawannya. Heboh sekali. Aku jadi tersanjung tapi juga minder. Apa pantas
aku dijodoh-jodohkan dengan kawannya itu? -melihatku yang amat standar dalam
penampilan dan “warisan” lahiriahku-. Well,
alih-alih aku menyukai kawan Ro, aku justru lebih dekat dengan Ro dengan
dalih menanyakan kabar si kawannya. Aku senaaanng bukan main bila bercengkerama
dengan Ro. Menatap mata dan ekspresi wajahnya saja selalu suka. Entah, dia
tersenyum, mengejek, membisu, jengkel, marah, aku suka! Sampai aku tersadar...
jantungku makin lama makin tak bisa dikontrol untuk tidak berdebar kencang. Selalu
terasa digedor-gedor palu paku bumi! Ya, aku jatuh cinta padanya.
Menyadari aku mencintainya, aku mulai menghindarinya
bahkan ketika berpapasan di jalan aku berusaha mengalihkan ruteku walau lebih
panjang lagi untuk sampai ke tempat tujuan. Kenapa? Aku tak kuasa berhadapan
dengannya. Aku takut ia tahu I’m so
paralyzed ketika bertemu dengannya. Takut dia mengejekku.
Waktu semakin maju, meninggalkan masa lalu. Semenjak
kuliah aku tak pernah bertemu dengannya bahkan sampai detik ini, meskipun kami
satu kota. Tapi menghirup udara yang sama dan berpijak di tanah yang sama
membuatku nyaman. Tak peduli dia sedang bersama siapa. Sebab aku selalu
memikirnya dan alam bawah sadarku berkonspirasi untuk menyimpannya di sebuah
kotak ajaib. Ya, Ro selalu ada dalam kotak ajaib alam bawah sadarku, menyesak
ke setiap dindingnya dan “terealisasi” dalam mimpi. Ya, mimpi. Hanya itu. Menyedihkan
bukan? Mencintai seseorang tapi hanya bisa menatapnya di dalam mimpi. Tapi,
meskipun begitu aku pernah memberanikan diri untuk menghubunginya lewat pesan
singkat. Aku girang bukan main ketika dia membalas pesanku walau itu hanya
basa-basi. Pesan yang paling aku ingat adalah pesan darinya yang tak sengaja
menginformasikan bahwa dirinya selama ini pacaran tiga kali dan semuanya,
dialah pihak yang “tersakiti” alias diputusin duluan. Ya, ampun... dalam hati
aku berkata “Aku di sini untukmu,”. Sempat ingin menangis aku kala itu. Mencintai
orang yang sama sekali tak bisa diraih bahkan hanya “melirik” kita barang hanya
satu “lirikan” saja.
Ya,tak bisa diraih...
Kami berbeda dalam banyak hal. Tapi perbedaan paling
mendasar yang aku sendiri sadar tidak mungkin aku meneruskan perasaanku padanya
adalah perbedaan keyakinan. Aku sih, tak peduli kami dari etnis yang berbeda,
justru itu yang aku cari dari calon suamiku nanti! Tapi untuk keyakinan, maaf. Itu
prinsip sampai mati.
Sampai akhirnya cinta gila sepihakku semasa SMA “menjinak”
seiring berjalannya waktu. Sekarang. Dan keberanianku muncul untuk mengutarakan
apa yang pernah kurasakan padanya.
Sekitar, dua bulan lalu aku mengungkapkan cintaku
padanya lewat sebuah pesan singkat untuk Ro yang sedang menuntut ilmu di negeri
seberang.
Sungguh aku
terharu dan lega. Akhirnya setelah tujuh tahun...
Terharu karena melalui pesan singkatnya, aku
menangkap bahwa ia begitu welcome dengan perasaanku.
Lega sebab aku tak menanggung beban perasaan lagi. Tidak
penasaran lagi bagaimana reaksinya dan reaksiku sendiri.
Ya, dia telah berubah jadi lebih baik. Tampaknya. Aku
kira dia akan mengejekku. Aku memang tak tahu bagaimana ekspresi wajahnya tapi
dari bahasa tulisannya kala itu, aku tahu dia tulus walau tetap tak pernah –dan tak akan pernah- tersirat dia
memiliki minat padaku.
Bukan masalah. Hidupku lebih enteng kini. Dan terus
berlanjut menyongsong hari esok lebih cerah. Lebih bisa move on.
Tapi harus kuakui, hanya Ro yang mengakar kuat di
dinding alam bawah sadarku.
Hhhh.. lucu. Cinta sepihak yang tak akan pernah aku amnesia
dibuatnya.
Suatu hari, mungkin ada yang menggantikan atau
menindih memori-memori Ro dan lebih kuat mengurat akar di alam bawah sadarku. Semoga.
Untuk Ro, jika suatu hari ada keajaiban membuatmu
membaca ini dan kamu paham tulisanku ini... terima kasih, secara tidak langsung
kamu memberiku pembelajaran sendiri.
Tentang cinta lintas etnis
Perbedaan prinsip
Cinta diam-diam
Cinta bertepuk sebelah tangan
Ketulusan menerima perasaan orang yang mencintai
kita walau kita tidak cinta
Dan semuanya...
Terima kasih
Semoga hidupmu bahagia.
Aku ingin berjalan kembali, melanjutkan hidupku yang
yah... selama ini sudah selalu berjalan walau harus menahan cinta sepihakku.
-selesai-
Terima kasih sudah bersedia share. :)
BalasHapusHaiiii, Mbak...:)
HapusAku yg justru trm ksh sdh diadain ajang kayak gini. Banyak manfaatnya!
Trm ksh sdh "melirik" tulisanku Mbak :)
pernah cinta dengan lintas agama.. tapi ya tau lah gimana bedanya kita :')
BalasHapusyuk tetep semangat... Makasih udah share :)
Mbak Sari... salam kenal & trims banyak sudah mampir :)
HapusBlog Mbak juga bagus-bagus :)
Kalau begitu toss dulu, Mbak samaan kisahnya -dulu, sih- :p
Jangan bosen-bosen baca "kisah"ku ya, Mbak, kalau lain waktu berkunjung ke sini lagi hehehe