credit: goodreads |
Judul: Entrok
Penulis:
Okky Madasari
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: 2010
Tebal/
Jumlah Halaman: 288 halaman
Entrok?
Apaan, tuh?
Ladalah,
setengah darah gue dari daerah yang sama dengan
penulisnya dan setting novel ini juga di sana tapi gue nggak ngerti?
Bra. Iya, entrok itu bahasa Jawa dari bra/ BH para sedulur[1].
Orang Magetan dan sekitarnya nyebutnya begitu. Tapi, walaupun berjudul begitu,
nggak semuanya membahas entrok. Entrok hanya salah satu elemen di dalam
novel ini yang menurut gue adalah simbol. Simbol wanita. Ya, kan? Cuma wanita yang pake entrok, bukan lelaki. Pun juga sepanjang
gue baca novel ini, hanya beberapa istilah Jawa yang ada di sana sehingga nggak
merusak jalan gue buat baca.
Gue baru kali ini baca karyanya
Okky tapi merasa bahasanya ngalir, lancar, mulus, dan no cacat. Sederhana, nggak membuai ala penyair yang suka melakukan
penganalogian. Ya iyalah, ini berkisah rakyat jelata Indonesia di zaman
peperangan sampai orde baru (orba).
Menyesuaikan kali ya. Menurutku.
Baca buku bikin gue ngerasa
terlempar seketika ke tanah leluhur gue di Magetan. Ada semacam keterikatan
batin di sana. Ya, iyalah. Bapak gue dari sana. Jadi, gue seneng. Selain itu,
novel ini menyinggung soal sejarah perjuangan sampai zaman orba. Dari dulu gue
paling demen sama yang namanya histori juga segala sesuatu yang tersembunyi di
baliknya. Kenapa? Sejarah itu kan, masa lampau dan kita nggak pernah ada di
sana, nggak mengalaminya sendiri. So,
nggak heran kalau ada orang bilang bahwa pelajaran Sejarah itu bisa jadi sudah
tercampuri opini-opini pembuatnya. Siapa yang benar? Entahlah.
Tapi yang bikin aku semangat,
tetep setting histori zaman peperangan s.d orba yang melatari konflik ibu
(Marni) dan anak (Rahayu). Dua perempuan yang berseberangan arah soal prinsip
keimanan tapi keduanya sama-sama berniat baik dengan jalannya masing-masing.
Keduanya sama-sama perempuan Jawa tangguh
yang memperjuangkan hidup. Marni memperjuangkan harkat dan martabatnya
dengan keyakinannya kepada Mbah Bapa Ibu Maha Kuasa sedangkan Rahayu berjuang
mempertahankan keimanannya pada Illahi Rabbi.
Kehidupan mereka sulit, rumit
dan miris. Marni lahir di zaman peperangan yang untuk membeli entrok yang mahal tidak bisa sehingga
buah dadanya kewer-kewer[2].
Jangankan itu, makanan sehari-harinya itu singkong upah dari dia dan Simboknya
bekerja jadi buruh kupas di Pasar Ngranget. Maka terlecutlah ia ingin hidup
sejahtera dengan membawa keyakinannya terhadap leluhur. Setiap punya keinginan
ia tirakat, membuat sajen, tumpeng dan segala ubo rampe. Hingga akhirnya hidupnya perlahan merangkak nikmat.
Benarkah? Semua yang diraihnya dari hasil berdagang dari mulai sayuran kemudian
berubah jadi perkakas dapur kemudian jualan duit alias renternir –begitulah
para pengutang acapkali menyebutnya- bisa membuatnya membangun rumah, membeli kebun
tebu, menyekolahkan Rahayu sampai universitas sampai akhirnya perlahan nyaris
habis karena selalu “dirampas” oleh para tentara berbaju loreng yang katanya
petugas negara atau siapa pun petugas negara saat itu (RT & Lurah) yang
katanya membantu untuk menjaga keamanan Marni berjualan namun justru mencekik
Marni habis-habisan. Bukan hanya itu, nyaris separuh hartanya juga jatuh pada
selingkuhan mendiang suaminya, Teja, seorang kledek[3]
beranak satu. Nasib hidupnya naik dan turun. Memang tak ada yang abadi kan, di
dunia ini?
Begitu pun Rahayu. Semenjak merasa
ibunya sudah melenceng jauh dari akidah agama Islam, ia memutuskan untuk
merantau ke Jogja dan menikah dengan pria Arab beristri yang menjadi teman
aktivisnya memperjuangkan keadilan rakyat di dekat Merapi dan daerah Magelang
sana. Dia sudah lama memendam malu dan amarah tiada berkesudahan pada ibunya,
maka dari itu ia berjuang dengan jalannya sendiri. Menjadi guru ngaji dan
aktivis pembela rakyat. Tapi, cukup naas, ketika ia berusaha membantu keadilan
sekelompok warga di daerah Jogja yang mempertahankan tanah warisan leluhur
mereka yang notabene hendak dijadikan waduk oleh pemerintah, ia kehilangan
suami tercinta. Ia pun akhirnya rela dicap sebagai PKI!
Rahayu lahir di era PKI tapi
dia bukan PKI. Tapi justru ketika katanya PKI sudah musnah dari bumi nusantara,
semua orang yang membangkang negara sudah pasti dicap PKI. Bahkan kaum
minoritas seperti masyarakat keturunan Tionghoa kala itu yang sebenarnya
mencari suaka berlindung yang lebih baik ketimbang negara asal leluhurnya juga
dicurigai sebagai PKI karena menyembah patung dan mengistimewakan naga dan
menyalakan dupa. Dan seperti yang kita tahu selama ini, kala orba, orang yang
dicurigai mempunyai kaitan dengan PKI, pasti dipersulit untuk mencari makan. Apalagi
di instansi pemerintahan. Rahayu pun begitu, ditengarai (lalu ia dipenjara) seorang
PKI akhirnya sah dinyatakan sebagai PKI di KTPnya karena ikut “memberontak”
membela sekelompok warga tadi dan melawan negara –di mata para aparat yang katanya
abdi negara dan yang selama itu dielu-elukan sebagai pengayom-. Iya, mereka
pengayom, tapi di balik itu mereka memeras warga meminta upah demi keamanan,
bisa berupa uang, bisa juga ladang. Seperti yang dialami Marni.
Kehidupan kedua wanita yang
memiliki hubungan darah ini sempat terpisah bertahun-tahun semenjak Rahayu
kawin siri dengan almarhum Amri. Tapi ikatan batin ibu-anak tidak akan tergerus
oleh apa pun. Marni mendapat firasat buruk tentang anaknya. Sampai akhirnya ia
mendapat kabar yang dibawa tamu dari Jogja bahwa Rahayu dipenjara di Semarang.
Ibu mana yang tak terenyuh dan hancur hati mendengar anaknya dipenjara padahal
sepenuh keyakinan, anaknya tak akan berbuat kriminal? Seketika itu juga ia
berusaha menebus pembebasan Rahayu sebesar 10 juta. Sekalipun sempat membenci
ibunya, Rahayu minta maaf juga telah mendurhakai ibunya dengan mengatainya
penyembah setan, renternir dan sebagainya.
Novel ini menyuguhkan cukup
banyak nilai moral yang bisa diambil. Kisah, Marni dan Rahayu mengajari kita
bahwa:
Wong
tuwo nek bener, dijunjung. Nek wong tuwo salah, tetep diayomi dan diregani.
Orang
tua jika benar, kita junjung. Jika orang tua salah, tetaplah diayomi dan
dihargai.
Bukankah mereka yang selama ini
mengandung, melahirkan, membesarkan, mendidik dan mendo’akan kita untuk menjadi
lebih baik ketimbang mereka meskipun dengan cara yang berbeda? Siapa yang akan
membela kita kalau tidak orangtua dengan harga dirinya?
Selain itu, kita diminta
membuka mata hati bahwa kita sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika harus lebih
cerdas menghargai perbedaan suku, agama dan ras, bahkan jika itu terjadi di
dalam keluarga inti kita.
Kita juga diminta untuk lebih mensyukuri
hidup di zaman sekarang. Sekalipun hidup di negara demokrasi yang justru
terkadang salah kaprah dan kebablasan (misal: presiden dicaci maki, dll) tapi
mungkin itu lebih melegakan ketimbang terlalu kaku seperti orba yang sedikit
saja kita menyinggung aparat pemerintahan apalagi presiden, bisa-bisa besok kita
sudah tidak ada di dunia atau bahkan hilang entah ke mana. Jadi ingat kerusuhan
’98. Beberapa mahasiswa hilang yang berjuang untuk melengserkan rezim orba.
Tapi, jangan lupa mendo’akan arwah para korba orba yang kita sendiri tahu, kala
itu orang bisa segera mendapat bencana
(ditembak/ diculik secara misterius) padahal belum tentu dia bersalah. Demi apa
semua itu? Demi keamanan. Memang aman. Memang bener tagline di foto-foto alm. Presiden Soeharto “Pie? Enak zamanku to?” tapi kita tak pernah tahu konspirasi apa
yang sedang terjadi dan hidup terasa mencekam (setidaknya gue tahu itu dari ibu
gue. Katanya dulu pernah pulang sekolah pernah tahu mayat korban penembak
misterius).
Novel ini tergolong ringan dari
segi konflik tapi bisa bikin gue “nyungsep” ke dalamnya. Mungkin karena gue
merasa se-Magetan kali ya? Wkwkwk. Tapi, Im
serious. Novel ini menggesek emosi kita untuk merasakan ritme kehidupan
Marni dan Rahayu. Tentang perjuangan wanita, tentang utang-piutang yang lucu dan
nggemesin (masa’ orang yang ngutang ada yang maksa, ada yang memaki Marni
karena nggak punya duit pas ditagih tapi besoknya ikutan numpang nonton TV. Haduh,
kayak maling teriak maling, nggak ngaca dulu mereka yang ngutang, udah bagus
Marni mau ngutangin), jatuh cinta pada lelaki yang tak diduga, sampai fitnah yang
kita sendiri merasa nggak pernah melakukan. Makanya, fitnah lebih kejam
ketimbang pembunuhan, kan?
Yang jelas novel ini
menghadirkan kisah sejarah masa lampau dengan rapi membalut manis dan ironisnya
kehidupan Marni dan Rahayu sebagai rakyat jelata tapi berjuang demi keyakinan
masing-masing.
Baru kali gue baca buku intrik
histori (gue nggak tahu, ikut aliran apa novel ini :p) seperti ini. Gue harap,
gue bisa nemu buku-buku seperti ini lagi sebab bisa nambah pengetahuan dan
tentu saja “penyegaran” setelah baca novel-novel berkisah roman.
Novel ini ceritanya
mengaliiiirrr banget walau dibikin sistem selang-saling PoV (point of view)nya dari
Marni-Rahayu-Marni-Rahayu.
Membumi. Iya, novel ini
kisahnya membumi. Standing applause untuk Okky Madasari.
Cacatnya? Cacatnya gue telat
baca novel ini. Hahaha. Selebihnya... jangan tanya gue! Gue menikmati cerita Entrok.
Simbol ketangguhan wanita. Entrok kan
bikin aset wanita jadi lebih kenyal, montok dan memesona, kan? Hahaha, skip this, guys J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)