Jumat, 07 Februari 2014

ENTROK: SIMBOL KETANGGUHAN WANITA


credit: goodreads


Judul: Entrok
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010
Tebal/ Jumlah Halaman: 288 halaman

Entrok?
Apaan, tuh?
Ladalah, setengah darah gue dari daerah yang sama dengan  penulisnya dan setting novel ini juga di sana tapi gue nggak ngerti?
Bra. Iya, entrok itu bahasa Jawa dari bra/ BH para sedulur[1]. Orang Magetan dan sekitarnya nyebutnya begitu. Tapi, walaupun berjudul begitu, nggak semuanya membahas entrok. Entrok hanya salah satu elemen di dalam novel ini yang menurut gue adalah simbol. Simbol wanita. Ya,  kan? Cuma wanita yang pake entrok, bukan lelaki. Pun juga sepanjang gue baca novel ini, hanya beberapa istilah Jawa yang ada di sana sehingga nggak merusak jalan gue buat  baca.
Gue baru kali ini baca karyanya Okky tapi merasa bahasanya ngalir, lancar, mulus, dan no cacat. Sederhana, nggak membuai ala penyair yang suka melakukan penganalogian. Ya iyalah, ini berkisah rakyat jelata Indonesia di zaman peperangan sampai orde baru (orba).  Menyesuaikan kali ya. Menurutku.
Baca buku bikin gue ngerasa terlempar seketika ke tanah leluhur gue di Magetan. Ada semacam keterikatan batin di sana. Ya, iyalah. Bapak gue dari sana. Jadi, gue seneng. Selain itu, novel ini menyinggung soal sejarah perjuangan sampai zaman orba. Dari dulu gue paling demen sama yang namanya histori juga segala sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Kenapa? Sejarah itu kan, masa lampau dan kita nggak pernah ada di sana, nggak mengalaminya sendiri. So, nggak heran kalau ada orang bilang bahwa pelajaran Sejarah itu bisa jadi sudah tercampuri opini-opini pembuatnya. Siapa yang benar? Entahlah.
Tapi yang bikin aku semangat, tetep setting histori zaman peperangan s.d orba yang melatari konflik ibu (Marni) dan anak (Rahayu). Dua perempuan yang berseberangan arah soal prinsip keimanan tapi keduanya sama-sama berniat baik dengan jalannya masing-masing. Keduanya sama-sama perempuan Jawa tangguh  yang memperjuangkan hidup. Marni memperjuangkan harkat dan martabatnya dengan keyakinannya kepada Mbah Bapa Ibu Maha Kuasa sedangkan Rahayu berjuang mempertahankan keimanannya pada Illahi Rabbi.
Kehidupan mereka sulit, rumit dan miris. Marni lahir di zaman peperangan yang untuk membeli entrok yang mahal tidak bisa sehingga buah dadanya kewer-kewer[2]. Jangankan itu, makanan sehari-harinya itu singkong upah dari dia dan Simboknya bekerja jadi buruh kupas di Pasar Ngranget. Maka terlecutlah ia ingin hidup sejahtera dengan membawa keyakinannya terhadap leluhur. Setiap punya keinginan ia tirakat, membuat sajen, tumpeng dan segala ubo rampe. Hingga akhirnya hidupnya perlahan merangkak nikmat. Benarkah? Semua yang diraihnya dari hasil berdagang dari mulai sayuran kemudian berubah jadi perkakas dapur kemudian jualan duit alias renternir –begitulah para pengutang acapkali menyebutnya- bisa membuatnya membangun rumah, membeli kebun tebu, menyekolahkan Rahayu sampai universitas sampai akhirnya perlahan nyaris habis karena selalu “dirampas” oleh para tentara berbaju loreng yang katanya petugas negara atau siapa pun petugas negara saat itu (RT & Lurah) yang katanya membantu untuk menjaga keamanan Marni berjualan namun justru mencekik Marni habis-habisan. Bukan hanya itu, nyaris separuh hartanya juga jatuh pada selingkuhan mendiang suaminya, Teja, seorang kledek[3] beranak satu. Nasib hidupnya naik dan turun. Memang tak ada yang abadi kan, di dunia ini?
Begitu pun Rahayu. Semenjak merasa ibunya sudah melenceng jauh dari akidah agama Islam, ia memutuskan untuk merantau ke Jogja dan menikah dengan pria Arab beristri yang menjadi teman aktivisnya memperjuangkan keadilan rakyat di dekat Merapi dan daerah Magelang sana. Dia sudah lama memendam malu dan amarah tiada berkesudahan pada ibunya, maka dari itu ia berjuang dengan jalannya sendiri. Menjadi guru ngaji dan aktivis pembela rakyat. Tapi, cukup naas, ketika ia berusaha membantu keadilan sekelompok warga di daerah Jogja yang mempertahankan tanah warisan leluhur mereka yang notabene hendak dijadikan waduk oleh pemerintah, ia kehilangan suami tercinta. Ia pun akhirnya rela dicap sebagai PKI!
Rahayu lahir di era PKI tapi dia bukan PKI. Tapi justru ketika katanya PKI sudah musnah dari bumi nusantara, semua orang yang membangkang negara sudah pasti dicap PKI. Bahkan kaum minoritas seperti masyarakat keturunan Tionghoa kala itu yang sebenarnya mencari suaka berlindung yang lebih baik ketimbang negara asal leluhurnya juga dicurigai sebagai PKI karena menyembah patung dan mengistimewakan naga dan menyalakan dupa. Dan seperti yang kita tahu selama ini, kala orba, orang yang dicurigai mempunyai kaitan dengan PKI, pasti dipersulit untuk mencari makan. Apalagi di instansi pemerintahan. Rahayu pun begitu, ditengarai (lalu ia dipenjara) seorang PKI akhirnya sah dinyatakan sebagai PKI di KTPnya karena ikut “memberontak” membela sekelompok warga tadi dan melawan negara –di mata para aparat yang katanya abdi negara dan yang selama itu dielu-elukan sebagai pengayom-. Iya, mereka pengayom, tapi di balik itu mereka memeras warga meminta upah demi keamanan, bisa berupa uang, bisa juga ladang. Seperti yang dialami Marni.
Kehidupan kedua wanita yang memiliki hubungan darah ini sempat terpisah bertahun-tahun semenjak Rahayu kawin siri dengan almarhum Amri. Tapi ikatan batin ibu-anak tidak akan tergerus oleh apa pun. Marni mendapat firasat buruk tentang anaknya. Sampai akhirnya ia mendapat kabar yang dibawa tamu dari Jogja bahwa Rahayu dipenjara di Semarang. Ibu mana yang tak terenyuh dan hancur hati mendengar anaknya dipenjara padahal sepenuh keyakinan, anaknya tak akan berbuat kriminal? Seketika itu juga ia berusaha menebus pembebasan Rahayu sebesar 10 juta. Sekalipun sempat membenci ibunya, Rahayu minta maaf juga telah mendurhakai ibunya dengan mengatainya penyembah setan, renternir dan sebagainya.
Novel ini menyuguhkan cukup banyak nilai moral yang bisa diambil. Kisah, Marni dan Rahayu mengajari kita bahwa:
Wong tuwo nek bener, dijunjung. Nek wong tuwo salah, tetep diayomi dan diregani.
Orang tua jika benar, kita junjung. Jika orang tua salah, tetaplah diayomi dan dihargai.
Bukankah mereka yang selama ini mengandung, melahirkan, membesarkan, mendidik dan mendo’akan kita untuk menjadi lebih baik ketimbang mereka meskipun dengan cara yang berbeda? Siapa yang akan membela kita kalau tidak orangtua dengan harga dirinya?
Selain itu, kita diminta membuka mata hati bahwa kita sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika harus lebih cerdas menghargai perbedaan suku, agama dan ras, bahkan jika itu terjadi di dalam keluarga inti kita.
Kita juga diminta untuk lebih mensyukuri hidup di zaman sekarang. Sekalipun hidup di negara demokrasi yang justru terkadang salah kaprah dan kebablasan (misal: presiden dicaci maki, dll) tapi mungkin itu lebih melegakan ketimbang terlalu kaku seperti orba yang sedikit saja kita menyinggung aparat pemerintahan apalagi presiden, bisa-bisa besok kita sudah tidak ada di dunia atau bahkan hilang entah ke mana. Jadi ingat kerusuhan ’98. Beberapa mahasiswa hilang yang berjuang untuk melengserkan rezim orba. Tapi, jangan lupa mendo’akan arwah para korba orba yang kita sendiri tahu, kala itu orang bisa segera mendapat bencana (ditembak/ diculik secara misterius) padahal belum tentu dia bersalah. Demi apa semua itu? Demi keamanan. Memang aman. Memang bener tagline di foto-foto alm. Presiden Soeharto “Pie? Enak zamanku to?” tapi kita tak pernah tahu konspirasi apa yang sedang terjadi dan hidup terasa mencekam (setidaknya gue tahu itu dari ibu gue. Katanya dulu pernah pulang sekolah pernah tahu mayat korban penembak misterius).
Novel ini tergolong ringan dari segi konflik tapi bisa bikin gue “nyungsep” ke dalamnya. Mungkin karena gue merasa se-Magetan kali ya? Wkwkwk. Tapi, Im serious. Novel ini menggesek emosi kita untuk merasakan ritme kehidupan Marni dan Rahayu. Tentang perjuangan wanita, tentang utang-piutang yang lucu dan nggemesin (masa’ orang yang ngutang ada yang maksa, ada yang memaki Marni karena nggak punya duit pas ditagih tapi besoknya ikutan numpang nonton TV. Haduh, kayak maling teriak maling, nggak ngaca dulu mereka yang ngutang, udah bagus Marni mau ngutangin), jatuh cinta pada lelaki yang tak diduga, sampai fitnah yang kita sendiri merasa nggak pernah melakukan. Makanya, fitnah lebih kejam ketimbang pembunuhan, kan?
Yang jelas novel ini menghadirkan kisah sejarah masa lampau dengan rapi membalut manis dan ironisnya kehidupan Marni dan Rahayu sebagai rakyat jelata tapi berjuang demi keyakinan masing-masing.
Baru kali gue baca buku intrik histori (gue nggak tahu, ikut aliran apa novel ini :p) seperti ini. Gue harap, gue bisa nemu buku-buku seperti ini lagi sebab bisa nambah pengetahuan dan tentu saja “penyegaran” setelah baca novel-novel berkisah roman.
Novel ini ceritanya mengaliiiirrr banget walau dibikin sistem selang-saling PoV (point of view)nya dari Marni-Rahayu-Marni-Rahayu.
Membumi. Iya, novel ini kisahnya membumi.  Standing applause untuk Okky Madasari.
Cacatnya? Cacatnya gue telat baca novel ini. Hahaha. Selebihnya... jangan tanya gue! Gue menikmati cerita Entrok. Simbol ketangguhan wanita. Entrok kan bikin aset wanita jadi lebih kenyal, montok dan memesona, kan? Hahaha, skip this, guys J.






[1] Saudara
[2] Bergelantung
[3] Penari Tayub

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)