Sabtu, 12 April 2014

Tragedi Ahad Siang

from this


Joko hanya termenung menunduk di antara kedua lututnya yang tertekuk. Punggungnya menempel pada dinding. Dinding putih yang telah menguning –bahkan menghijau lumut di beberapa bagian sudutnya- terasa dingin menusuk tulang punggungnya. Namun Joko tak acuh. Memorinya tentang Embok terlalu asyik untuk berenang-renang di alam pikirnya. Joko pun terisak tangis. Dadanya sesak penuh sesal. Andai waktu bisa diputar kembali –ah, Joko sadar ini pengandaian yang sudah basi- ia akan segera menarik tangannya sendiri saat itu juga supaya semua penyesalan ini tak terjadi. Tragedi Ahad siang.
*
Pagi ini Embok ingin menghidangkan nasi liwet untuk sang lelakinya yang tampan dan gagah perkasa. Nantinya nasi liwet itu dihidangkan bersama sambal terasi segar (bahan-bahannya tidak digoreng, dikukus atau bahkan dibakar) bersama ikan asin. Embok menanaknya di atas tungku kayu bakar karena menurutnya aroma nasi liwet akan lebih sedap dibandingkan menanak dengan kompor gas. Kebetulan sambal dan ikan asinnya sudah siap.
“Mbok!” suara lelaki memanggil Embok.
Kepala Embok menoleh kemudian melongok ke dalam rumah melewati pintu yang menghubungkan rumah dan dapur. Kemudian Embok bergegas menghampiri tole[1].
Tole yang sedang mematut diri di depan sebuah cermin besar melirik seraya tersenyum pada Embok yang sudah berdiri di sampingnya.
“Mbok, nanti aku tugas sampai malam. Nggak pa-pa, ya? Kalau ada apa-apa telepon aku,” ujar tole yang memiliki alis tebal, berdagu (nyaris) lancip, hidung mancung yang menghiasi kerupawanan parasnya. “Mbok bisa to mencet hapenya?” lanjut tole dengan senyum lebar, jail pada Embok.
“Iya. Gampang, Le. Jangan kuwatir. Sing penting kowe[2] hati-hati dalam bertugas. Ndak usah mikir sing ndek omah,” balas Embok mengulas senyuman. Pesan ini yang selalu terdengar di kuping tole ketika hendak pergi berdinas. (Tidak usah memikirkan yang di rumah).
Tole kembali melemparkan senyum sambil menyisir rambutnya yang hitam legam sampai mengilap klimis, bekas diolesi minyak rambut nan wangi.
“Sudah ganteng, Le. Tapi percuma kalau kowe masih sendiri. Umurmu makin mateng. Ndang cari istri sana!” celetuk Embok membuat tole tersenyum lebar. “Sudah waktunya kamu merelakan kepergiannya, Le. Kamu masih punya masa depan,” sambung Embok serius membuat tole ingat pada istrinya yang meninggal karena sakit parah hampir lima tahun lalu. Tole dan istri tidak punya keturunan.
Si tole berhenti dari aktivitasnya merapikan rambut. “Tenang saja, Mbok. Aku sudah ikhlas, kok. Tapi mendapatkan istri lagi itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Semua kembali ke hati. Apalagi sudah mateng gini kayak Embok bilang, he-he-he.”
Tole terkekeh. Embok cembetut. Selalu cucunya begitu. Embok pun memilih kembali ke dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
*
Sudah belasan tahun Joko -si tole Embok- menjadi anggota kepolisian. Sekarang pangkatnya sudah Inspektur Polisi Dua (Ipda) bagian Reserse Kriminal  (Reskrim). Joko ingat dulu, tak mudah untuk bisa menembus seleksi ketat menjadi bagian dari aparat pengayom masyarakat. Joko sendiri kurang beruntung untuk berjuang dengan kemampuannya sendiri. Tapi dia beruntung soal kekayaan materi yang dimiliki Embok.  Iya, Joko masuk ke sana karena duit si Embok.
Embok merupakan petani tebu sekaligus peternak sapi ulet dan sukses. Belum lagi sebagai janda veteran sejak masa orde baru runtuh, dia mendapatkan uang pensiunan mendiang suaminya. Semua pemasukannya itu menyejahterakannya bersama anak dan cucunya. Anaknya cuma satu, Retno. Meninggal pula bersama sang suami -pejabat dinas pendidikan kabupaten- ketika Joko masih berusia sebelas tahun. Mereka mengalami kecelakaan maut ketika pulang dari kunjungan kepada sanak saudara di Probolinggo. Semenjak itu hartanya resmi menjadi harta waris Joko, kelak ia sudah tiada.
 Tapi tidak menunggu dirinya sendiri tiada, Embok sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan sang cucu. Embok tidak pernah pelit kalau soal pendidikan keturunannya. Bagi Embok, ilmu adalah pelita kehidupan dan jalan menuju kemuliaan hidup. Mendiang anaknya disekolahkan sampai S2 pendidikan guru. Cucu tunggalnya disekolahkan di sekolah favorit di kabupaten, dari TK sampai SMA. Maunya sih, si Joko dikuliahkan tapi Joko tidak mau. Ia memilih langsung jadi polisi selepas SMA (walau pada akhirnya ia harus menempuh bangku sarjana untuk naik ke jabatan lebih tinggi). Embok tak bisa berkata banyak. Yang penting cucunya bisa berkarya dan bukan malah ongkang-ongkang di rumah, mentang-mentang neneknya ini juragan.
Embok kini sudah semakin tua dengan banyak keriput di paras manisnya, rambut yang seluruhnya sudah memutih kasar dan badannya yang sudah tidak bisa berdiri tegap, harus rela mengubah kenyamanan hidupnya. Bukan berarti tidak nyaman dulunya. Sekarang Embok sudah bisa lebih rileks menjalani hidup. Dulu pontang-panting mengerjakan kebun tebu dan merawat belasan sapinya sementara sekarang lebih banyak melakukan pekerjaan ibu rumah tangga pada umumnya.
Walau kini harta kekayaan Embok sudah tidak sebanyak dulu tapi melihat Joko sudah cukup mapan menjadi pahlawan masyarakat dan memiliki tempat tinggal yang nyaman sudah lebih dari cukup. Tentram hidupnya. Tinggal memaksimalkan amal dan ibadah. Rencananya tahun depan Embok berangkat haji.
Embok juga bangga sama Joko. Joko dikenal sebagai pribadi yang hangat, cerdas dan berprestasi di jajaran kepolisian tempat ia berdinas. Hal ini menjadi sebuah penebusan dari tindakan curang yang Embok dan Joko lakukan dahulu kala. Tidak ada istilah keterlambatan menjadi lebih baik, batin Joko yang diamini Embok.
*
Pekerjaan Joko semakin hari tidak semakin ringan, justru banyak tanggungjawab. Apalagi beberapa waktu terakhir, ia sering turun lapangan melakukan penyergaban banyak penjahat narkoba. Belum lagi ia berselisih paham dengan atasannya, Kasat Reskrim, Komandan Sentot yang terkenal otoriter. Pimpinannya itu juga suka mencari-cari kesalahan Joko. Tapi bukan hanya Joko yang merasakannya, rekan-rekannya juga. Faktanya Komandan Sentot itu memang memiliki nada bicara yang selalu tinggi, tawanya sering terdengar menggelegar, ucapannya selalu berjewama, kurang asertif dalam menyampaikan pesan terhadap bawahan dan sayup-sayup terdengar kabar bahwa ia tak segan memukul bawahan ketika mereka berbuat salah. Joko memang belum pernah tahu atau mengalaminya sendiri karena ia baru sekitar enam bulan bekerja dengan Komandan Sentot. Tapi Joko tak habis pikir, seorang pemimpin bisa “selucu” itu pada bawahannya. Bukankah sekarang banyak seminar tentang “How To Be A Good Leader?”? Seharusnya diadakan juga di lembaga kepolisian tempatnya bertugas.
Joko bisa bertahan pada awalnya tapi semakin lama kondisi psikologisnya tertekan dari segala penjuru. Sikapnya pun berubah drastis seperti suka berkata-kata kasar bahkan umpatan jorok, mengancam melayangkan bogem mentah setiap kali terjadi perselisihan pendapat dengan rekan sejawat dan sikap kasar kepada Embok di rumah. Joko pun sudah beberapa kali mendapat surat peringatan perihal sikapnya yang tidak pantas tersebut.
Dan sebuah peristiwa memunculkan kehancuran besar melalui kondisi hubungan bersitenggang antara Joko dan Komandan Sentot.
Joko mendapati Komandan Sentot memberikan gratifikasi kepada petugas sipil kepolisian untuk mengurus pembebasan seorang tawanan yang sudah jelas-jelas bersalah karena melakukan perampokan sekaligus pembantaian. Komandan Sentot tertangkap tangan di depan mata kepala Joko.
Terbersit keinginan Joko melaporkan tindakan Komandan Sentot tapi Komandan Sentot justru mengancam keselamatannya dan Embok. Joko tak terima. Namun Komandan Sentot tidak tinggal diam. Ia merasa belum aman kalau tidak memberikan sesuatu yang bisa menyumpal mulut Joko. Ia harus berhasil menyuap Joko bagaimanapun caranya. Satu cara gagal, masih ada ribuan jalan lain.
Suatu hari hampir tengah malam, Joko terpaksa membawa pulang seorang gadis yang kesusahan ban motornya bocor sedangkan sudah tidak ada lagi tukang tambal ban buka. Gadis itu mengaku rumahnya di luar kota, tidak punya kerabat atau keluarga dan tidak tahu dengan cermat setiap sudut kota. Dan seiring waktu berjalan malam itu -Embok juga pergi ke rumah saudara yang memiliki hajatan perkawinan- terjadilah adegan romantis panas di antara Joko dan gadis itu. Joko lelaki normal. Lelaki normal yang dalam kondisi stres berat dan butuh sebuah usapan bahkan pelukan orang yang dikasihi -tapi tak dipenuhi lama-, jelas membuat gelora berahinya terpantik luar biasa.
Tak nyana beberapa hari berikutnya diketahui gadis itu bayaran pimpinannya untuk menjebaknya. Tapi berita yang bergulir memojokkannya sebagai otak skandal seks tersebut. Tak ada yang bisa membuktikan ia dijebak. Akhirnya Joko mendapat putusan dipecat secara tidak hormat karena kasus ulah si tengik Sentot. Lima hari lagi upacara pencopotan jabatannya. 
Joko menjadi frustrasi. Nama baiknya tercoreng dan riwayatnya sebagai polisi hancur sudah.
*
Sulit bagi Joko menanggung semua ini. Pemecatan ini lebih mengerikan dari kondisi post power syndrome. Selama menunggu hari itu tiba, Joko berdiam di rumah sambil sesering mungkin mengepulkan asap rokok lima belas ribunya, menghabiskan beras di gentong Embok kemudian tidur seharian dan tindakan tiada guna lainnya. Seiring itu ia mengumpat kehidupan, mengumpat pimpinannya yang sinting dan mengumpat seisi dunia. Ia juga lebih sering berteriak dan memaki Embok setiap kali berbicara. Ia menjadi terlampau sensitif.
Embok jadi nelangsa melihat cucunya begitu. Didekatinya Joko yang sedang asyik merokok di teras samping rumah. Embok ingin mengusap kepala cucunya, mencoba menghibur dan menguatkan jiwa Joko. Namun Joko malah mencak-mencak dan berkata kasar.
“Sudahlah, Mbok, nggak usah sok peduli begitu!” sembur Joko. “Aku tahu apa yang Mbok bicarakan sama tetangga. Mbok malu punya cucu begundal seperti aku!”
Si Embok terperanjat mendengar kalimat tidak benar dari cucunya.
“Mbok memang suka ngobrol sama mereka, Le, tapi Mbok nggak pernah mengeluh soal kowe. Mbok malah menghindari pembicaraan tentang kowe.”
“BOHONG!!!” sentak Joko melempar tatapan tajam pada Embok. “Memangnya aku nggak tahu mereka semua mengataiku nggak tahu diri dan lelaki berengsek?!”
Embok menekan dadanya seraya mencoba mengatur sirkulasi napasnya supaya tetap tenang.
“Kok, kowe jadi suka kasar begini to, Le?” protes Embok dengan nada bicara sedih dan sedikit ketakutan.
“Nggak usah banyak bacot!” kata Joko berang sambil beranjak dari kursi menuju kamarnya.
Ia jadi “haus” untuk melakukan hal agresif. Bukan memukul dan menendang seperti biasanya, melainkan menembak sesuatu seperti yang ia lakukan ketika masih aktif menjadi polisi. Ia akan latihan di tempat swasta. Joko sendiri memang jatuh hati pada senjata api (senpi) semenjak ia tahu siapa Rambo ketika ia SD. Baginya penembak itu keren. Apalagi penembak dengan status aparat keamanan. Pahlawan. Tapi itu dulu. Sekarang ia muak pada semua hal tentang aparat. Namun ketertarikannya terhadap dunia tembakan jitu tidak memudar. Ia sengaja membeli pistol untuk simpanannya sendiri. Tentu saja ia melakukannya diam-diam. Joko berpikir, siapa tahu pistol itu berguna sewaktu-waktu. Ia bukan tak tahu aturan waktu itu tapi memiliki simpanan pistol pribadi merupakan kesenangan dan kenyamanan tersendiri untuknya. Bahkan jika nanti semua atributnya sebagai polisi diminta kembali oleh dinas, ia tidak akan menyerahkan senpi yang ia beli sendiri itu. Ia akan menyembunyikannya di tempat yang tak bisa terjamah polisi lain –andai kata memang ada penggeledahan rumah. Omong kosong dengan aturan dari (calon mantan) pihak kedinasannya.
“Mau ke mana, Le?” tanya Embok yang melihat cucunya berdiri di mulut pintu sembari mengutak-atik senjata.
“Urusanku! Nggak usah cerewet, Mbok!!” bentak Joko.
Embok lagi-lagi memegangi dadanya, takut jantungnya mencuat ke luar.
“Astaghfirullahaladzim, Joko... Aku nggak pernah ngajari kowe kasar marang wong tuwo. Ibumu juga nggak pernah begini sama aku. Kok, kowe kejem tenan to Le, Le, sama Mbok,” suara Embok bergetar menunjukkan rasa tidak percaya dan kekecewaan mendalam terhadap Joko. (...kamu kasar sama orangtua)
“Ceklak! Ceklak!” suara pistol diutak-atik Joko. Tampaknya sudah siap untuk dibuat latihan menembak sebentar lagi.
“Nggak usah ikut campur, Mbok! Urus saja urusan Mbok!” sergah Joko.
 Joko bergerak ke luar hendak menghampiri motor bebeknya yang ada di beranda depan. Namun Embok berhasil meraih paksa tangan sang cucu. Ia tidak terima diperlakukan kasar oleh darah dagingnya sendiri.
Joko justru menangkis dengan kasar gerakan tangan Embok dengan menyikutkan sikunya tepat di wajah Embok. Embok spontan terjatuh ke belakang, jatuh terlentang di lantai.
Embok sontak mencaci-maki cucunya sendiri seraya mengacungkan jari telunjuknya ke muka Joko dari tempatnya terjatuh. Hatinya terlanjur teriris perih bahkan terkoyak tiada layak. “Cucu laknat kowe, Joko! Nyesel aku mbelani kowe! Kelakuanmu koyok iblis! Minggat kono!”
Mendengar Embok mengusirnya, Joko murka. Tanpa pikir panjang lagi.
“DORR!! DORR!!” suara pistol berdesing singkat dua kali pada siang bolong hari Minggu akhir bulan Mei.
Beberapa detik Joko merasa puas melepaskan amarahnya namun setelahnya ia tersadar. Matanya menatap nanar Embok yang sudah berlumuran darah tepat di keningnya. Ia menelan ludah berulang kali. Ia segera beringsut mendekati Embok yang sakaratul maut.
“Mbok, maafin aku,” kata Joko menyesal.
Embok tidak mampu berkata-kata lagi. Matanya menutup segera dalam lima detik.
Hati Joko hancur berbaur rasa marah dan benci. Ia telah bertindak keji. Tangannya yang membunuh orang yang ia cintai sendiri.
*
Joko tak bisa memaafkan dirinya sendiri sampai berbulan-bulan kasus ini berlalu. Di dalam sel ia juga sering melamun, tertawa sesekali, tersenyum beberapa kali, namun lebih banyak menangis. Ia belum merelakan kepergian Embok begitu cepat. Ia belum siap ditinggalkan orang-orang yang dicintai. Tapi faktanya orang-orang yang dicintainya sudah meninggalkannya satu per satu. Embok, istrinya dan kedua orangtuanya.
Habis sudah semua yang dimiliki Joko: karir dan kehidupan pribadi. Mungkin Tuhan sedang menghukum Joko atas kesalahannya sendiri. Tapi kesalahannya ini juga diakibatkan pemimpin tak tahu diri. Dirinya hanyalah korban. Joko masih belum bisa memaafkan mantan pimpinan jahanam itu. Ketidakadilan dirasakannya kembali, persis seperti saat ia kehilangan orangtuanya di usia belia dan ketika ia telah mempercayakan sepenuh hatinya pada mendiang istri tercinta.
*
Joko mendengar suara sipir memanggilnya. Katanya ada tamu untuknya. Siapa?
Joko terkejut bercampur rasa benci melihat siapa yang datang.
“Gimana kabarmu?” tanya si (bekas) pimpinan yang tak pernah diharapkan Joko untuk datang.
“Mau apa kamu ke sini, Bangsat?!” balas Joko sarkastis. “Kurang puas melihatku hancur? Padahal sedikit pun nggak pernah aku membocorkan rahasiamu,” imbuh Joko.
Komandan Sentot duduk sementara Joko tidak. Ia enggan duduk satu tempat dengan pimpinan culas itu.
“Juga bukan aku yang menjebloskanmu ke penjara. Untuk apa? Toh kamu menemukan takdirmu di sini dengan caramu sendiri,” kata Komandan Sentot. “Duduklah. Mari kita bicara baik-baik.”
“Katakan saja apa maumu!”
“Aku menawarkan bantuan keringanan masa hukumanmu. Asal kamu melakukan satu hal untukku.”
“CIH! Aku lebih baik di sini menebus salahku pada Mbok daripada menjadi jongos di bawah kaki baumu!”
Mimik wajah Komandan Sentot berubah masam. Merasa tiada guna bicara baik-baik dengan Joko, ia pun memutuskan segera.
“Kalau begitu...” Komandan Sentot diam sejenak dengan tatapan berubah lebih menghunus kepada Joko.
Hanya dalam hitungan detik terdengar pelepasan peluru yang suaranya terdengar di seluruh penjuru lembaga pemasyarakatan (lapas).
Sebuah peluru menembus kening mulus Joko. Tubuh Joko ambruk. Namun ia masih mendengar jelas suara sepatu Komandan Sentot yang mendekatinya. Berdiri di sampingnya dengan wajah angkuhnya.
“Dendam adikku terbalaskan,” suara Komandan Sentot jadi menggema di telinga Joko. “Satu tahun lalu pelurumu membunuhnya.” Komandan Sentot masih melanjutkan ucapannya padahal sudah ramai para polisi sampai tukang sapu lapas mengerubunginya dengan ekspresi terkejut dibumbui ketakutan. Mereka baru saja menyaksikan seorang polisi senior telah membunuh (mantan) sejawatnya di tempat yang seharusnya jeruji besi sudah bisa membuat tahanan jera.
Joko ingin berkata-kata tapi ia tak sanggup. Apalagi merecall ingatannya ke satu tahun lalu. Tapi seketika ia ingat Embok. Seperti inikah yang dirasakan Embok ketika sakaratul maut? Ingin segera bangkit tapi tak bisa, ingin melayang tapi beban badan berat sekaligus sakit tiada tara.
“Kita impas, Joko. Arwah adikku tenang. Haha-haha-haha...” Komandan Sentot bicara disusul dengan tawa laksana raksasa. Ia telah menebus nyawa adiknya yang telah menggeluti dunia haram, narkoba, tanpa diketahui banyak pihak. Dan sialnya mati di tangan Joko.
Pasca penembakan itu tak ada yang bisa diupayakan untuk Joko. Dalam perjalanan menuju rumah sakit Bhayangkara, Joko mengembuskan sisa napasnya. Sedangkan di suatu tempat, Komandan Sentot menjalani uji cobanya sebagai bagian dari upaya diagnosis gangguan jiwa dari pakar psikologi. Berjalan untuk beberapa hari berikutnya.
Tragedi yang terjadi pada siang hari -yang sama ketika Embok pergi meninggalkan dunia- itu sungguh melukai dan mencoreng nama baik lembaga kepolisian.
Tak ada yang pergi dengan membawa nama mewangi. Nilai patriotisme juga terbengkalai. Tapi Joko masih punya nurani. Ia membela harga dirinya di tengah tekanan pekerjaan dan gaya kepemimpinan yang tak bisa diterimanya. Dialah tumbal kelicikan membabi-buta dari sang pemimpin. Fakta bicara Joko juga tak berjiwa tangguh untuk mempertahankan kestabilan emosinya. Namun sungguh ia menyesali seluruh perbuatannya. Kini semuanya impas seimpas-impasnya. Hutang nyawa dibayar nyawa. Apakah pada akhirnya hukum alam selalu (dirasa) benar?

-selesai-

*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba "Kompetisi Kreatif Internasional Dialog Muda 2014"


[1] Panggilan untuk anak laki-laki dalam masyarakat Jawa
[2] Kamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)