from this |
Joko hanya termenung
menunduk di antara kedua lututnya yang tertekuk. Punggungnya menempel pada
dinding. Dinding putih yang telah menguning –bahkan menghijau lumut di beberapa
bagian sudutnya- terasa dingin menusuk tulang punggungnya. Namun Joko tak acuh.
Memorinya tentang Embok terlalu asyik untuk berenang-renang di alam pikirnya. Joko
pun terisak tangis. Dadanya sesak penuh sesal. Andai waktu bisa diputar kembali
–ah, Joko sadar ini pengandaian yang sudah basi- ia akan segera menarik tangannya
sendiri saat itu juga supaya semua penyesalan ini tak terjadi. Tragedi Ahad siang.
*
Pagi ini Embok ingin
menghidangkan nasi liwet untuk sang lelakinya yang tampan dan gagah perkasa.
Nantinya nasi liwet itu dihidangkan bersama sambal terasi segar (bahan-bahannya
tidak digoreng, dikukus atau bahkan dibakar) bersama ikan asin. Embok
menanaknya di atas tungku kayu bakar karena menurutnya aroma nasi liwet akan
lebih sedap dibandingkan menanak dengan kompor gas. Kebetulan sambal dan ikan
asinnya sudah siap.
“Mbok!” suara lelaki
memanggil Embok.
Kepala Embok menoleh
kemudian melongok ke dalam rumah melewati pintu yang menghubungkan rumah dan
dapur. Kemudian Embok bergegas menghampiri tole[1].
Tole
yang
sedang mematut diri di depan sebuah cermin besar melirik seraya tersenyum pada
Embok yang sudah berdiri di sampingnya.
“Mbok, nanti aku tugas
sampai malam. Nggak pa-pa, ya? Kalau ada apa-apa telepon aku,” ujar tole yang memiliki alis tebal, berdagu
(nyaris) lancip, hidung mancung yang menghiasi kerupawanan parasnya. “Mbok bisa
to mencet hapenya?” lanjut tole dengan senyum lebar, jail pada
Embok.
“Iya. Gampang, Le. Jangan kuwatir. Sing penting kowe[2]
hati-hati dalam bertugas. Ndak usah
mikir sing ndek omah,” balas Embok
mengulas senyuman. Pesan ini yang selalu terdengar di kuping tole ketika hendak pergi berdinas. (Tidak
usah memikirkan yang di rumah).
Tole
kembali melemparkan senyum sambil menyisir rambutnya yang hitam legam sampai
mengilap klimis, bekas diolesi minyak rambut nan wangi.
“Sudah ganteng, Le. Tapi percuma kalau kowe masih sendiri. Umurmu makin mateng.
Ndang cari istri sana!” celetuk Embok
membuat tole tersenyum lebar. “Sudah
waktunya kamu merelakan kepergiannya,
Le. Kamu masih punya masa depan,”
sambung Embok serius membuat tole ingat
pada istrinya yang meninggal karena sakit parah hampir lima tahun lalu. Tole dan istri tidak punya keturunan.
Si tole berhenti dari aktivitasnya merapikan rambut. “Tenang saja,
Mbok. Aku sudah ikhlas, kok. Tapi mendapatkan istri lagi itu nggak semudah
membalikkan telapak tangan. Semua kembali ke hati. Apalagi sudah mateng gini
kayak Embok bilang, he-he-he.”
Tole
terkekeh. Embok cembetut. Selalu cucunya begitu. Embok pun memilih kembali ke
dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
*
Sudah belasan tahun
Joko -si tole Embok- menjadi anggota
kepolisian. Sekarang pangkatnya sudah Inspektur Polisi Dua
(Ipda)
bagian Reserse Kriminal (Reskrim). Joko
ingat dulu, tak mudah untuk bisa menembus seleksi ketat menjadi bagian dari
aparat pengayom masyarakat. Joko sendiri kurang beruntung untuk berjuang dengan
kemampuannya sendiri. Tapi dia beruntung soal kekayaan materi yang dimiliki
Embok. Iya, Joko masuk ke sana karena
duit si Embok.
Embok merupakan petani
tebu sekaligus peternak sapi ulet dan sukses. Belum lagi sebagai janda veteran
sejak masa orde baru runtuh, dia mendapatkan uang pensiunan mendiang suaminya.
Semua pemasukannya itu menyejahterakannya bersama anak dan cucunya. Anaknya
cuma satu, Retno. Meninggal pula bersama sang suami -pejabat dinas pendidikan
kabupaten- ketika Joko masih berusia sebelas tahun. Mereka mengalami kecelakaan
maut ketika pulang dari kunjungan kepada sanak saudara di Probolinggo. Semenjak
itu hartanya resmi menjadi harta waris Joko, kelak ia sudah tiada.
Tapi tidak menunggu dirinya sendiri tiada,
Embok sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan sang cucu. Embok tidak pernah
pelit kalau soal pendidikan keturunannya. Bagi Embok, ilmu adalah pelita
kehidupan dan jalan menuju kemuliaan hidup. Mendiang anaknya disekolahkan
sampai S2 pendidikan guru. Cucu tunggalnya disekolahkan di sekolah favorit di
kabupaten, dari TK sampai SMA. Maunya sih, si Joko dikuliahkan tapi Joko tidak
mau. Ia memilih langsung jadi polisi selepas SMA (walau pada akhirnya ia harus
menempuh bangku sarjana untuk naik ke jabatan lebih tinggi). Embok tak bisa
berkata banyak. Yang penting cucunya bisa berkarya dan bukan malah
ongkang-ongkang di rumah, mentang-mentang neneknya ini juragan.
Embok kini sudah
semakin tua dengan banyak keriput di paras manisnya, rambut yang seluruhnya
sudah memutih kasar dan badannya yang sudah tidak bisa berdiri tegap, harus
rela mengubah kenyamanan hidupnya. Bukan berarti tidak nyaman dulunya. Sekarang
Embok sudah bisa lebih rileks menjalani hidup. Dulu pontang-panting mengerjakan
kebun tebu dan merawat belasan sapinya sementara sekarang lebih banyak melakukan
pekerjaan ibu rumah tangga pada umumnya.
Walau kini harta
kekayaan Embok sudah tidak sebanyak dulu tapi melihat Joko sudah cukup mapan
menjadi pahlawan masyarakat dan memiliki tempat tinggal yang nyaman sudah lebih
dari cukup. Tentram hidupnya. Tinggal memaksimalkan amal dan ibadah. Rencananya
tahun depan Embok berangkat haji.
Embok juga bangga sama
Joko. Joko dikenal sebagai pribadi yang hangat, cerdas dan berprestasi di
jajaran kepolisian tempat ia berdinas. Hal ini menjadi sebuah penebusan dari
tindakan curang yang Embok dan Joko lakukan dahulu kala. Tidak ada istilah keterlambatan menjadi lebih baik, batin Joko yang
diamini Embok.
*
Pekerjaan Joko semakin
hari tidak semakin ringan, justru banyak tanggungjawab. Apalagi beberapa waktu
terakhir, ia sering turun lapangan melakukan penyergaban banyak penjahat
narkoba. Belum lagi ia berselisih paham dengan atasannya, Kasat Reskrim,
Komandan Sentot yang terkenal otoriter. Pimpinannya itu juga suka mencari-cari
kesalahan Joko. Tapi bukan hanya Joko yang merasakannya, rekan-rekannya juga.
Faktanya Komandan Sentot itu memang memiliki nada bicara yang selalu tinggi, tawanya
sering terdengar menggelegar, ucapannya selalu berjewama, kurang asertif dalam
menyampaikan pesan terhadap bawahan dan sayup-sayup terdengar kabar bahwa ia
tak segan memukul bawahan ketika mereka berbuat salah. Joko memang belum pernah
tahu atau mengalaminya sendiri karena ia baru sekitar enam bulan bekerja dengan
Komandan Sentot. Tapi Joko tak habis pikir, seorang pemimpin bisa “selucu” itu
pada bawahannya. Bukankah sekarang banyak seminar tentang “How To Be A Good
Leader?”? Seharusnya diadakan juga di lembaga kepolisian tempatnya bertugas.
Joko bisa bertahan pada
awalnya tapi semakin lama kondisi psikologisnya tertekan dari segala penjuru. Sikapnya
pun berubah drastis seperti suka berkata-kata kasar bahkan umpatan jorok,
mengancam melayangkan bogem mentah setiap kali terjadi perselisihan pendapat
dengan rekan sejawat dan sikap kasar kepada Embok di rumah. Joko pun sudah
beberapa kali mendapat surat peringatan perihal sikapnya yang tidak pantas
tersebut.
Dan sebuah peristiwa
memunculkan kehancuran besar melalui kondisi hubungan bersitenggang antara Joko
dan Komandan Sentot.
Joko mendapati Komandan
Sentot memberikan gratifikasi kepada petugas sipil kepolisian untuk mengurus
pembebasan seorang tawanan yang sudah jelas-jelas bersalah karena melakukan perampokan
sekaligus pembantaian. Komandan Sentot tertangkap tangan di depan mata kepala
Joko.
Terbersit keinginan
Joko melaporkan tindakan Komandan Sentot tapi Komandan Sentot justru mengancam
keselamatannya dan Embok. Joko tak terima. Namun Komandan Sentot tidak tinggal
diam. Ia merasa belum aman kalau tidak memberikan sesuatu yang bisa menyumpal
mulut Joko. Ia harus berhasil menyuap Joko bagaimanapun caranya. Satu cara
gagal, masih ada ribuan jalan lain.
Suatu hari hampir
tengah malam, Joko terpaksa membawa pulang seorang gadis yang kesusahan ban
motornya bocor sedangkan sudah tidak ada lagi tukang tambal ban buka. Gadis itu
mengaku rumahnya di luar kota, tidak punya kerabat atau keluarga dan tidak tahu
dengan cermat setiap sudut kota. Dan seiring waktu berjalan malam itu -Embok
juga pergi ke rumah saudara yang memiliki hajatan perkawinan- terjadilah adegan
romantis panas di antara Joko dan gadis itu. Joko lelaki normal. Lelaki normal
yang dalam kondisi stres berat dan butuh sebuah usapan bahkan pelukan orang
yang dikasihi -tapi tak dipenuhi lama-, jelas membuat gelora berahinya
terpantik luar biasa.
Tak nyana beberapa hari
berikutnya diketahui gadis itu bayaran pimpinannya untuk menjebaknya. Tapi
berita yang bergulir memojokkannya sebagai otak skandal seks tersebut. Tak ada
yang bisa membuktikan ia dijebak. Akhirnya Joko mendapat putusan dipecat secara
tidak hormat karena kasus ulah si tengik Sentot. Lima hari lagi upacara
pencopotan jabatannya.
Joko menjadi frustrasi.
Nama baiknya tercoreng dan riwayatnya sebagai polisi hancur sudah.
*
Sulit bagi Joko
menanggung semua ini. Pemecatan ini lebih mengerikan dari kondisi post power syndrome. Selama menunggu
hari itu tiba, Joko berdiam di rumah
sambil sesering mungkin mengepulkan asap rokok lima belas ribunya, menghabiskan
beras di gentong Embok kemudian tidur seharian dan tindakan tiada guna lainnya.
Seiring itu ia mengumpat kehidupan, mengumpat pimpinannya yang sinting dan
mengumpat seisi dunia. Ia juga lebih sering berteriak dan memaki Embok setiap
kali berbicara. Ia menjadi terlampau sensitif.
Embok jadi nelangsa
melihat cucunya begitu. Didekatinya Joko yang sedang asyik merokok di teras
samping rumah. Embok ingin mengusap kepala cucunya, mencoba menghibur dan
menguatkan jiwa Joko. Namun Joko malah mencak-mencak dan berkata kasar.
“Sudahlah, Mbok, nggak
usah sok peduli begitu!” sembur Joko. “Aku tahu apa yang Mbok bicarakan sama
tetangga. Mbok malu punya cucu begundal seperti aku!”
Si Embok terperanjat
mendengar kalimat tidak benar dari cucunya.
“Mbok memang suka
ngobrol sama mereka, Le, tapi Mbok
nggak pernah mengeluh soal kowe. Mbok
malah menghindari pembicaraan tentang kowe.”
“BOHONG!!!” sentak Joko
melempar tatapan tajam pada Embok. “Memangnya aku nggak tahu mereka semua
mengataiku nggak tahu diri dan lelaki berengsek?!”
Embok menekan dadanya
seraya mencoba mengatur sirkulasi napasnya supaya tetap tenang.
“Kok, kowe jadi suka kasar begini to, Le?” protes Embok dengan nada bicara
sedih dan sedikit ketakutan.
“Nggak usah banyak
bacot!” kata Joko berang sambil beranjak dari kursi menuju kamarnya.
Ia jadi “haus” untuk
melakukan hal agresif. Bukan memukul dan menendang seperti biasanya, melainkan
menembak sesuatu seperti yang ia lakukan ketika masih aktif menjadi polisi. Ia
akan latihan di tempat swasta. Joko sendiri memang jatuh hati pada senjata api
(senpi) semenjak ia tahu siapa Rambo ketika ia SD. Baginya penembak itu keren.
Apalagi penembak dengan status aparat keamanan. Pahlawan. Tapi itu dulu.
Sekarang ia muak pada semua hal tentang aparat. Namun ketertarikannya terhadap
dunia tembakan jitu tidak memudar. Ia sengaja membeli pistol untuk simpanannya
sendiri. Tentu saja ia melakukannya diam-diam. Joko berpikir, siapa tahu pistol
itu berguna sewaktu-waktu. Ia bukan tak tahu aturan waktu itu tapi memiliki
simpanan pistol pribadi merupakan kesenangan dan kenyamanan tersendiri
untuknya. Bahkan jika nanti semua atributnya sebagai polisi diminta kembali
oleh dinas, ia tidak akan menyerahkan senpi yang ia beli sendiri itu. Ia akan
menyembunyikannya di tempat yang tak bisa terjamah polisi lain –andai kata
memang ada penggeledahan rumah. Omong kosong dengan aturan dari (calon mantan)
pihak kedinasannya.
“Mau ke mana, Le?” tanya Embok yang melihat cucunya
berdiri di mulut pintu sembari mengutak-atik senjata.
“Urusanku! Nggak usah
cerewet, Mbok!!” bentak Joko.
Embok lagi-lagi
memegangi dadanya, takut jantungnya mencuat ke luar.
“Astaghfirullahaladzim,
Joko... Aku nggak pernah ngajari kowe
kasar marang wong tuwo. Ibumu juga nggak pernah begini sama aku. Kok, kowe kejem tenan to Le, Le, sama Mbok,” suara Embok bergetar menunjukkan rasa
tidak percaya dan kekecewaan mendalam terhadap Joko. (...kamu kasar sama
orangtua)
“Ceklak! Ceklak!” suara
pistol diutak-atik Joko. Tampaknya sudah siap untuk dibuat latihan menembak
sebentar lagi.
“Nggak usah ikut
campur, Mbok! Urus saja urusan Mbok!” sergah Joko.
Joko bergerak ke luar hendak menghampiri motor
bebeknya yang ada di beranda depan. Namun Embok berhasil meraih paksa tangan
sang cucu. Ia tidak terima diperlakukan kasar oleh darah dagingnya sendiri.
Joko justru menangkis
dengan kasar gerakan tangan Embok dengan menyikutkan sikunya tepat di wajah
Embok. Embok spontan terjatuh ke belakang, jatuh terlentang di lantai.
Embok sontak
mencaci-maki cucunya sendiri seraya mengacungkan jari telunjuknya ke muka Joko
dari tempatnya terjatuh. Hatinya terlanjur teriris perih bahkan terkoyak tiada
layak. “Cucu laknat kowe, Joko!
Nyesel aku mbelani kowe! Kelakuanmu koyok iblis! Minggat kono!”
Mendengar Embok
mengusirnya, Joko murka. Tanpa pikir panjang lagi.
“DORR!! DORR!!” suara
pistol berdesing singkat dua kali pada siang bolong hari Minggu akhir bulan
Mei.
Beberapa detik Joko
merasa puas melepaskan amarahnya namun setelahnya ia tersadar. Matanya menatap
nanar Embok yang sudah berlumuran darah tepat di keningnya. Ia menelan ludah
berulang kali. Ia segera beringsut mendekati Embok yang sakaratul maut.
“Mbok, maafin aku,”
kata Joko menyesal.
Embok tidak mampu
berkata-kata lagi. Matanya menutup segera dalam lima detik.
Hati Joko hancur
berbaur rasa marah dan benci. Ia telah bertindak keji. Tangannya yang membunuh
orang yang ia cintai sendiri.
*
Joko tak bisa memaafkan
dirinya sendiri sampai berbulan-bulan kasus ini berlalu. Di dalam sel ia juga
sering melamun, tertawa sesekali, tersenyum beberapa kali, namun lebih banyak
menangis. Ia belum merelakan kepergian Embok begitu cepat. Ia belum siap
ditinggalkan orang-orang yang dicintai. Tapi faktanya orang-orang yang
dicintainya sudah meninggalkannya satu per satu. Embok, istrinya dan kedua
orangtuanya.
Habis sudah semua yang
dimiliki Joko: karir dan kehidupan pribadi. Mungkin Tuhan sedang menghukum Joko
atas kesalahannya sendiri. Tapi kesalahannya ini juga diakibatkan pemimpin tak
tahu diri. Dirinya hanyalah korban. Joko masih belum bisa memaafkan mantan
pimpinan jahanam itu. Ketidakadilan dirasakannya kembali, persis seperti saat
ia kehilangan orangtuanya di usia belia dan ketika ia telah mempercayakan
sepenuh hatinya pada mendiang istri tercinta.
*
Joko mendengar suara
sipir memanggilnya. Katanya ada tamu untuknya. Siapa?
Joko terkejut bercampur
rasa benci melihat siapa yang datang.
“Gimana kabarmu?” tanya
si (bekas) pimpinan yang tak pernah diharapkan Joko untuk datang.
“Mau apa kamu ke sini,
Bangsat?!” balas Joko sarkastis. “Kurang puas melihatku hancur? Padahal sedikit
pun nggak pernah aku membocorkan rahasiamu,” imbuh Joko.
Komandan Sentot duduk
sementara Joko tidak. Ia enggan duduk satu tempat dengan pimpinan culas itu.
“Juga bukan aku yang
menjebloskanmu ke penjara. Untuk apa? Toh kamu menemukan takdirmu di sini
dengan caramu sendiri,” kata Komandan Sentot. “Duduklah. Mari kita bicara
baik-baik.”
“Katakan saja apa
maumu!”
“Aku menawarkan bantuan
keringanan masa hukumanmu. Asal kamu melakukan satu hal untukku.”
“CIH! Aku lebih baik di
sini menebus salahku pada Mbok daripada menjadi jongos di bawah kaki baumu!”
Mimik wajah Komandan
Sentot berubah masam. Merasa tiada guna bicara baik-baik dengan Joko, ia pun
memutuskan segera.
“Kalau begitu...”
Komandan Sentot diam sejenak dengan tatapan berubah lebih menghunus kepada
Joko.
Hanya dalam hitungan
detik terdengar pelepasan peluru yang suaranya terdengar di seluruh penjuru
lembaga pemasyarakatan (lapas).
Sebuah peluru menembus
kening mulus Joko. Tubuh Joko ambruk. Namun ia masih mendengar jelas suara
sepatu Komandan Sentot yang mendekatinya. Berdiri di sampingnya dengan wajah
angkuhnya.
“Dendam adikku
terbalaskan,” suara Komandan Sentot jadi menggema di telinga Joko. “Satu tahun
lalu pelurumu membunuhnya.” Komandan Sentot masih melanjutkan ucapannya padahal
sudah ramai para polisi sampai tukang sapu lapas mengerubunginya dengan
ekspresi terkejut dibumbui ketakutan. Mereka baru saja menyaksikan seorang
polisi senior telah membunuh (mantan) sejawatnya di tempat yang seharusnya
jeruji besi sudah bisa membuat tahanan jera.
Joko ingin berkata-kata
tapi ia tak sanggup. Apalagi merecall
ingatannya ke satu tahun lalu. Tapi seketika ia ingat Embok. Seperti inikah
yang dirasakan Embok ketika sakaratul maut? Ingin segera bangkit tapi tak bisa,
ingin melayang tapi beban badan berat sekaligus sakit tiada tara.
“Kita impas, Joko. Arwah
adikku tenang. Haha-haha-haha...” Komandan Sentot bicara disusul dengan tawa
laksana raksasa. Ia telah menebus nyawa adiknya yang telah menggeluti dunia
haram, narkoba, tanpa diketahui banyak pihak. Dan sialnya mati di tangan Joko.
Pasca penembakan itu
tak ada yang bisa diupayakan untuk Joko. Dalam perjalanan menuju rumah sakit
Bhayangkara, Joko mengembuskan sisa napasnya. Sedangkan di suatu tempat,
Komandan Sentot menjalani uji cobanya sebagai bagian dari upaya diagnosis
gangguan jiwa dari pakar psikologi. Berjalan untuk beberapa hari berikutnya.
Tragedi yang terjadi
pada siang hari -yang sama ketika Embok pergi meninggalkan dunia- itu sungguh
melukai dan mencoreng nama baik lembaga kepolisian.
Tak ada yang pergi
dengan membawa nama mewangi. Nilai patriotisme juga terbengkalai. Tapi Joko
masih punya nurani. Ia membela harga dirinya di tengah tekanan pekerjaan dan
gaya kepemimpinan yang tak bisa diterimanya. Dialah tumbal kelicikan
membabi-buta dari sang pemimpin. Fakta bicara Joko juga tak berjiwa tangguh
untuk mempertahankan kestabilan emosinya. Namun sungguh ia menyesali seluruh
perbuatannya. Kini semuanya impas seimpas-impasnya. Hutang nyawa dibayar nyawa.
Apakah pada akhirnya hukum alam selalu (dirasa) benar?
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)