Rabu, 30 April 2014

RESENSI BEBAS ABAL-ABAL NOVEL “L”


Judul                     : L
Pengarang             : Kristy Nelwan
Penerbit                : PT. Grasindo
Tahun terbit          : April 2012 (cetakan keempat)
Tempat terbit        : Jakarta
Tebal                    : 394 halaman
Cara dapet buku    : pinjem temen namanya Mila :D

Oke, judulnya resensi bebas karena kamu bakal nemuin banyak unsur subjektifitasku di sini.
Please don’t complain!
(oke, wait mendadak keganggu sama butiran pasir yang ngeganjel keyboard-ku karena “serangan pasir kelud” belum enyah dari rumahku)
Baru baca novel “L” milik penulis yang baru aku tahu ini mulanya bikin aku menilai “woah, Ika Natassa versi lain!”. Secara aku “kenalnya” Ika Natassa duluan dan nggak ada referensi serupa yang gaya tulisannya metropop banget, gaul habis, cranky bingit, dan bikin aku yang baca kayak naik roller coaster dan semacamnya – yang cuman aku naiki 2 kali seumur hidup pas TK dan sama pas kuliah dan bikin aku nggak mau lagi naik karena takut ketinggian dan kecepatan, sering kebawa mimpi sih padahal nggak ada trauma juga.
Oke, lanjut. Terus pas share status di path, temen2 pada bilang bagus dan bikin mewek. Oh, ya? Segitunya? Dan kelakuan busukku setiap kali dapet spoiler (apa itu disebut spoiler? ngarah sih, ya) adalah langsung baca halaman-halaman terakhirnya. Kalau inget kata senior kos pas zaman kuliah sih, kelakuanku ini MERUSAK TATANAN CERITA! KASIHAN YANG NULIS CAPEK-CAPEK. Oke, habis gimana? Keburu nafsu tahu ending-nya. Tapi untungnya setelah baca-baca halaman akhir lalu gantian sama blurb, kok ya pas banget ya... aku masih tertarik baca dari awal halaman per halaman karena SUER bahasanya penulis ini tuh “renyah” (atau gurih? Apa pun lah). Makanya ya seporos (istilah macam apa pula lah seporos, huh?) sama Ika Natassa. Plis, aku nggak mau membandingkan dan atau menyamakan mereka tapi perasaanku nggak bisa bo’ong. Tapi yang kubahas bukan negatifnya. Melainkan betapa “Oh, perasaan baca yg sana sama yang ini kok, sama, sih. Aku suka!”
Terus soal pengarakteran. Lagi-lagi, si Ava sama Kei (Antologi Rasa) hampir mirip. Semau gue tapi prinsipil (alias punya prinsil hidup yg dipegangnya teguh). Dan menyadarkan diriku bahwa orang yang kelihatannya slengekan, belum tentu busuk. Walau kebanyakan orang bakal menilai buruk. Karena tertancap sebuah hadits – sori ye, bawa-bawa hadits segala soalnya pikiranku ke sini melulu - “siapa yang bergaul dengan pedagang minyak wangi, ia akan ikutan wangi”. Akhirnya, hadits gini dipukul rata dengan konsep pemahaman kaku. Padahal sih, orang juga tahu bahwa ada kalimat “don’t judge the book from the cover” tapi nggak semua orang bisa mengaplikasikannya. Jadi, kalo aku pribadi ya balik sama hati kita-lah (aku juga masih belajar, kok. ;p). Mau temenan sama si ini, si anu, nggak masalah. Akhirnya balik ke jalan tengah – menurutku – “hidupku, hidupku. hidupmu, hidupmu. tapi kita bisa jalan bersisian dan seirama.”
Karakter lain yang bikin aku sebel ya si Ludi kampretos itu. Nah, ini nih yang menarik banget. Orang yang kelihatan sempurna belum tentu juga bagus kelakuannya. Makanya sekarang aku lagi getol banget bikin cerita yang lakinya ngehek tapi aslinya baik. Sweet dah laki kayak gitu. Ngehek tapi karismatik. Uyeah! :D
Terus... si Rei, ya ampun jangan tanya. Secara fisik kalau aku ngebayangin, dia bukan impian ya tapi pikir dong (dengan gaya tunjuk pelipis ala cak lontong :p), perlakuannya maniiiissss banget. Do more, talk less. Dan tetep aja gokil. *salam metal cinta buat Rei di surga, ya*
Nah, kalo soal ceritanya sendiri, aslinya agak begah juga kalau cuman dibayangin sederhana. Cewek di persimpangan jalan cinta, ketemu dua lelaki, terus pacaran sama salah satunya tapi aslinya jatuh cinta sama yang satunya. Eh, yang dipacarin kurang ajar, dan justru yang bikin sebel malah bikin klepek-klepek. Selalu ada angel di belakang tokoh yang siap memeluk tokoh ketika devil di depan matanya menghantui, rrawwrrr! Agak klise. Tapi pengemasan jalan cerita yang nggak bikin bosen sedikit pun dengan gaya bahasa “renyah” tadi akhirnya bikin cerita itu nggak biasa aja. Btw, selama baca, aku nggak pernah bosen sekali pun bahkan setiap ninggalin buat makan/madi/poop sekalipun kepikiran tuh, Rei mau ngapain lagi ya sama Ava? Membombardir otakku lah istilahnya. :D
Aku kira novel “L” ini cuma melulu cinta tapi ya nggak mungkinlah. Hampir 400 halaman masa yang dibahas cintaaaaa aja? Oke, soal persahabatan yang segitunya, tentang toleransi agama (aku suka part ini. cinta nggak mandang suku/agama/ras. dan pliisss... jangan menghakimiku jika pernah hampir merasakan kayak Ava dan Rei *curcol dikit* tapi merasakah kalian bahwa perbedaan itu indah?), soal bahayanya perokok pasif (sialnya aku juga perokok pasif tapi alhamdulillah sekeluarga sehat. secara kami doyan makan, gemuk dan “mengusir” ayah merokok di WC aja :D), soal bos bernama Mbak Luna yang keren humanis (aku padamu Mbak Luna! HRD waras!). Terus soal cinta yang bikin Ava harus nelen bulet-bulet omongannya yang berjemawa (untuk bagian ini aku pengen njitak kepalanya Ava, kapoookkkk!!!). Tapi she let him untuk menguasai hatinya, dengan gaya Rei sendiri.
Pokoknya, aku suka novel ini. Walau ada typo sithik-sithik tapi bayangkan hampir 400 halaman, ya capeklah kalau ngecekin satu-satu. Ora popo. Aku tetep berani teriak lantang “ANGKAT L KE LAYAR LEBAAAARRRRR!!! SEGERA!!!!!”. Angkat L ke film biar aku (tambah) jatuh cinta sama kayak aku jatuh cinta ke Eiffel... I’m in Love (EliL). Selama ini belum ada yang ngegeser film itu di hatiku, wkwkwkkw. L bukan menggeser tapi “menemani” ELiL.
Kalo pake istilah Goodreads sih, izinkan aku kasih 5 dari 5 bintang. Nggak peduli kamu bilang aku bego dan nggak objektif. Sedari awal udah aku bilang, resensi ini resensi bebas nan subjektif.
Bye,

NB:
Ini beberapa dari L yang terngiang-ngiang banget:
1.      Jangan bahas kata yang nggak penting dari kalimat yang sedang dibahas (Mama Ava)
2.      Cinta bukan segalanya dalam pernikahan/ rumah tangga tapi cinta adalah fondasi (Mama Ava)
3.      Too good to be true (nyangkut soal Ludi gendeng! Kalau nggak salah. Semoga nggak salah. -.-)
4.      Kita harus tau kapan kita harus berhenti nanya “kenapa” dan bilang sama diri kita sendiri... someday we’ll know (Rei buat Ava) - ini bikin cesss... selama ini aku sering gini lho, Rei. Gimana? Kamunya keburu pergi :(

 Dan satu lagi, bukan quote melainkan keluhan diri pribadi. Gara-gara saking semangatnya bikin resensi abal-abal ini, aku ngrusak tombol shift laptopku. But, it’s okay. Aku puas bisa menuliskan isi hatiku soal the L, the Last, the Love, the Last Love. GREAT JOB KRISTY NELWAN...!

Oya, satu lagi yg bisa jadi pelajaran. Kita jadi orang kudu berani nanggung resiko segala tindakan yang kita perbuat. Kayak Ava. Membayar Maya si perusak rumah tangga orang buat mancing pacarnya Xi Men (jadi inget anggora F4 deh) tapi akhirnya dia kena getahnya. Walau Ava nggak menyesali sama sekali - sama kaya dulu2nya tapi kan Ludi itu... well, baca sendiri aja. dijamin bagus! - Tapi seenggaknya, jadi belajar kan... bahwa terkadang sesuatu yang kita “lempar” akhirnya balik ke diri kita sendiri. Entah gimana caranya. Entah gimana efeknya. :) 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)