Lelaki Pemuja Rahasia Widi
Widi berebut masuk bus patas
jurusan Blitar-Surabaya dengan belasan penumpang lain yang memiliki tujuan yang
sama dengannya. Setelah bersusah payah masuk ke dalam bus, ia harus berdiri
berdesak-desakan dengan penumpang lain.
“Katanya
kalo patas antarkota nggak sama dengan bus ekonomi. Ini lebih parah dari
ekonomi. Sabar deh, Wid! Yang penting keangkut,” kata batin Widi sambil
memasang tampang pasrah.
Kondisi
yang berdesak-desakan membuat Widi sesak nafas dan salah seorang lelaki yang
duduk di sampingnya mengetahui itu.
“Mbak,
Mbak bengek’an, ya? Sini Mbak, duduk di tempat saya aja,” kata lelaki itu.
Tanpa
pikir panjang Widi menuruti kata-kata orang itu. Walau aslinya dia kagak
bengek’an tapi ia memanfaatkan sekali kesempatan itu.
“Mbak
nggak bawa obat asma?” tanya lelaki itu. Widi menggeleng kuat dengan berakting
sesak nafas.
“Tenangin
diri dulu aja, Mbak! Ambil nafas dalam-dalam dan perlahan keluarkan,”
Elo
pikir gue mau ngelahirin, pake’ ambil nafas dalam trus keluarin pelan-pelan.
Sudah ngatain gue bengek’an! Tapi, makasih tempat duduknya. Sudah cakep,baik
lagi!
Membutuhkan
waktu kurang lebih tiga setengah jam untuk sampai di Surabaya dari Pare, sebuah
kota kecil di Kabupaten Kediri. Dan hampir selama itu pula, Widi berakting jadi
orang bengek’an. Entah sudah persis atau belum tapi hal ini menguntungkan
dirinya untuk tidak lelah-lelah berdiri dari Pare ke Surabaya. Tapi, itu juga
berkat lelaki yang menganggapnya kena asma tadi.
Sesampainya
di terminal Purabaya-Surabaya, Widi segera bergegas menuju parkiran bus kota
untuk menuju kost-nya. Tiba-tiba, lelaki yang baik hati tadi menegurnya dari
belakang.
“Sudah
sehat, Mbak?” tanya lelaki itu.
“Ehm,
sudah, Mas! Sudah lebih baik daripada tadi. Terima kasih banyak lho, tadi
nawarin tempat buat saya. Entah gimana saya harus membalas kebaikan Mas,” kata
Widi basa-basi padahal hatinya ogah ketemu orang itu lagi, takut ketahuan kagak
punya asma.
“Membalasnya
pakai kenalan aja, ya?” kata lelaki itu. Widi mengernyitkan dahi.
Akhirnya
mereka berdua berkenalan dan lelaki yang bernama Edwyn itu selalu memancing
pembicaraan basa-basi, membuat Widi mulai eneg. Widi cuman cengar-cengir
mendengarkan Edwyn nyerocos tanpa henti. Dan ketika hendak naik bus kota,
barulah Edwyn berpamitan pergi. Widi menarik nafas lega.
JJJ
Keesokan
harinya di kampus, berita bahagia datang pada Widi.
“WIDIIIIIII..............!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
teriak Nika, sahabatnya.
“Apaan
sih, lo? Teriak-teriak kayak di hutan aja?” protes Widi.
“Nama
elo keterima magang di lembaga psikologi favorit di kota ini! Selamat ya...”
kata Nika bersemangat sambil mencubit pipi Widi.
“Yang
bener lo?” tanya Widi tak percaya. Nika hanya mengangguk kuat. Dan mereka
saling histeris berpelukan.
Semenjak
saat itu, kesibukan Widi bertambah. Selain kuliah dan berorganisasi di Badan
Eksekutif Mahasiswa, dia juga magang di lembaga psikologi milik seniornya yang
sudah tersohor namanya kemana-mana. Meskipun harus pulang-pergi naik angkot
tapi Widi tetap bersemangat menjalani semuanya.
“Semua
demi masa depan cerah!” gumam Widi suatu kali.
Mulanya
kehidupannya di tempat magang tenang-tenang saja tapi beberapa minggu kemudian
semuanya menjadi menyebalkan. Ia bertemu lagi dengan lelaki baik hati waktu di
bus dulu. Dan kali ini benar-benar menyebalkan.
“Kamu
juga sih, Wid, nggak ngecek dulu cetakan yang mau ditempel. Jadinya pak Edwyn
marah-marah besar. Ya, gitu deh, orang itu perfecto sekali, cerewet juga
pastinya!” kata Ratna, teman magang Widi yang lain.
Widi
hanya menghela nafas panjang tanda sebal karena semua orang menyudutkannya
karena salah tempel pengumuman. Ia juga tak menyangka, Edwyn yang dikenalnya
waktu di bus yang ternyata jadi bosnya sungguh 180 derajat berbeda.
JJJ
Keesokan
harinya ada briefing untuk psikotes seribu calon karyawan sebuah bank swasta
keesokan harinya dan Widi datang terlambat. Briefing itu dipantau oleh Edwyn
yang kebetulan sedang tidak mengajar kuliah waktu itu. Ketika Widi masuk dan
meminta maaf, Edwyn buka suara.
“Cukup
sekali ini kamu telat untuk acara akbar seperti ini. Kamu pikir kita sedang
main-main?? Sekarang cepat duduk dan ikuti briefing yang ada!!” bentak Edwyn
membuat Widi keder.
Beberapa
waktu berlalu, Widi bisa menarik nafas lega usai briefing berakhir dan Edwyn
pergi keluar makan siang.
“Sialan
bener sih, pak Edwyn itu. Songong banget jadi orang. Mentang-mentang dia dosen,
manager di sini, pinter ini dan itu trus seenaknya aja marah-marahin orang. Aku
ini sudah berusaha sebaik mungkin, selalu aja ada yang salah!” omel Widi ketika
duduk bersama dengan Ratna di ruang tunggu.
“Lalu
apalagi yang akan kamu katakan tentang saya?” suara Edwyn yang tiba-tiba
berdiri di belakang Widi. Widi langsung mati gaya.
“Jaga
kelakuan kamu di sini kalau tidak mau saya keluarkan dari sini!” tegas Edwyn
sembari pergi dari hadapan Widi.
Nyali
Widi semakin ciut sekaligus sebal minta ampun.
JJJ
“Widi!
Widi! Ada yang nyari!” teriak teman satu kost Widi.
“Siapa?”
tanya Widi.
“Entahlah!”
sahut temannya.
Widi
segera pergi ke ruang tamu melihat siapa yang bertamu. Sesampainya di ruang
tamu, Widi kaget bukan main.
“Maaf,
mengganggu malam-malam. Saya minta maaf soal tadi siang di kantor,”
“Nggak
masalah kok, Pak!”
Kemudian
keduanya duduk dan saling terdiam.
“Widi...saya..saya...ingin
mengatakan sesuatu untuk kamu,” celetuk Edwyn.
“Silakan!”
“Saya
cinta sama kamu!” kata Edwyn membuat Widi dua kali kaget.
“Kamu
ingat mawar dan coklat yang sering kamu terima waktu SMA dulu? Itu dari saya,”
lanjut Edwyn.
“Kok,
bisa?”
“Retha
adik saya, sahabat kamu, kan?”
“Iya.
Tapi, Retha kan, nggak punya kakak?”
“Saya
kakak sepupunya. Saya tahu kamu dari Retha. Semenjak itu saya menyukai kamu
tapi karena saya harus kuliah ke Jakarta, saya kesampingkan perasaan itu dan
berjanji akan menjemput kamu bila suatu saat kamu belum menjadi milik siapapun.
Dan keberuntungan sekali bagi saya bertemu kamu di bus waktu lalu dan kamu
magang di tempat saya kerja. Sekarang saya bertanya pada kamu, bagaimana dengan
kamu?”
“Ehm,
bagaimana, ya?” sahut Widi bingung. Ia memang sempat jatuh hati dengan sosok
abstrak waktu SMA itu. Ia sempat berjanji pada diri sendiri jika bertemu dengan
sosok pemuja rahasianya itu, ia akan menerima orang itu menjadi kekasihnya. Dan
sekarang ia bertemu dengan orang itu. Tapi dengan kondisi yang rasanya
tiba-tiba, rasanya aneh.
Widi
perang batin dalam hatinya dan pikirannya bergelanyut bimbang menerima cinta
Edwyn atau tidak. Dan akhirnya, “Iya. Saya terima cinta Pak Edwyn,” kata Widi
tersenyum.
“Panggil
saja Edwyn. Terima kasih memberi saya kesempatan membina hubungan dari perasaan
yang saya jaga bertahun-tahun yang lalu. Saya sayang sama kamu sampai
kapanpun,” kata Edwyn sembari mengenggam erat jemari Widi.
JJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)