Kamis, 10 Mei 2012

cerpen "Lelaki Pemuja Rahasia Widi"


Lelaki Pemuja Rahasia Widi
      
Widi berebut masuk bus patas jurusan Blitar-Surabaya dengan belasan penumpang lain yang memiliki tujuan yang sama dengannya. Setelah bersusah payah masuk ke dalam bus, ia harus berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lain.
“Katanya kalo patas antarkota nggak sama dengan bus ekonomi. Ini lebih parah dari ekonomi. Sabar deh, Wid! Yang penting keangkut,” kata batin Widi sambil memasang tampang pasrah.
Kondisi yang berdesak-desakan membuat Widi sesak nafas dan salah seorang lelaki yang duduk di sampingnya mengetahui itu.
“Mbak, Mbak bengek’an, ya? Sini Mbak, duduk di tempat saya aja,” kata lelaki itu.
Tanpa pikir panjang Widi menuruti kata-kata orang itu. Walau aslinya dia kagak bengek’an tapi ia memanfaatkan sekali kesempatan itu.
“Mbak nggak bawa obat asma?” tanya lelaki itu. Widi menggeleng kuat dengan berakting sesak nafas.
“Tenangin diri dulu aja, Mbak! Ambil nafas dalam-dalam dan perlahan keluarkan,”
Elo pikir gue mau ngelahirin, pake’ ambil nafas dalam trus keluarin pelan-pelan. Sudah ngatain gue bengek’an! Tapi, makasih tempat duduknya. Sudah cakep,baik lagi!
Membutuhkan waktu kurang lebih tiga setengah jam untuk sampai di Surabaya dari Pare, sebuah kota kecil di Kabupaten Kediri. Dan hampir selama itu pula, Widi berakting jadi orang bengek’an. Entah sudah persis atau belum tapi hal ini menguntungkan dirinya untuk tidak lelah-lelah berdiri dari Pare ke Surabaya. Tapi, itu juga berkat lelaki yang menganggapnya kena asma tadi.
Sesampainya di terminal Purabaya-Surabaya, Widi segera bergegas menuju parkiran bus kota untuk menuju kost-nya. Tiba-tiba, lelaki yang baik hati tadi menegurnya dari belakang.
“Sudah sehat, Mbak?” tanya lelaki itu.
“Ehm, sudah, Mas! Sudah lebih baik daripada tadi. Terima kasih banyak lho, tadi nawarin tempat buat saya. Entah gimana saya harus membalas kebaikan Mas,” kata Widi basa-basi padahal hatinya ogah ketemu orang itu lagi, takut ketahuan kagak punya asma.
“Membalasnya pakai kenalan aja, ya?” kata lelaki itu. Widi mengernyitkan dahi.
Akhirnya mereka berdua berkenalan dan lelaki yang bernama Edwyn itu selalu memancing pembicaraan basa-basi, membuat Widi mulai eneg. Widi cuman cengar-cengir mendengarkan Edwyn nyerocos tanpa henti. Dan ketika hendak naik bus kota, barulah Edwyn berpamitan pergi. Widi menarik nafas lega.
JJJ
Keesokan harinya di kampus, berita bahagia datang pada Widi.
“WIDIIIIIII..............!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Nika, sahabatnya.
“Apaan sih, lo? Teriak-teriak kayak di hutan aja?” protes Widi.
“Nama elo keterima magang di lembaga psikologi favorit di kota ini! Selamat ya...” kata Nika bersemangat sambil mencubit pipi Widi.
“Yang bener lo?” tanya Widi tak percaya. Nika hanya mengangguk kuat. Dan mereka saling histeris berpelukan.
Semenjak saat itu, kesibukan Widi bertambah. Selain kuliah dan berorganisasi di Badan Eksekutif Mahasiswa, dia juga magang di lembaga psikologi milik seniornya yang sudah tersohor namanya kemana-mana. Meskipun harus pulang-pergi naik angkot tapi Widi tetap bersemangat menjalani semuanya.
“Semua demi masa depan cerah!” gumam Widi suatu kali.
Mulanya kehidupannya di tempat magang tenang-tenang saja tapi beberapa minggu kemudian semuanya menjadi menyebalkan. Ia bertemu lagi dengan lelaki baik hati waktu di bus dulu. Dan kali ini benar-benar menyebalkan.
“Kamu juga sih, Wid, nggak ngecek dulu cetakan yang mau ditempel. Jadinya pak Edwyn marah-marah besar. Ya, gitu deh, orang itu perfecto sekali, cerewet juga pastinya!” kata Ratna, teman magang Widi yang lain.
Widi hanya menghela nafas panjang tanda sebal karena semua orang menyudutkannya karena salah tempel pengumuman. Ia juga tak menyangka, Edwyn yang dikenalnya waktu di bus yang ternyata jadi bosnya sungguh 180 derajat berbeda.
JJJ
Keesokan harinya ada briefing untuk psikotes seribu calon karyawan sebuah bank swasta keesokan harinya dan Widi datang terlambat. Briefing itu dipantau oleh Edwyn yang kebetulan sedang tidak mengajar kuliah waktu itu. Ketika Widi masuk dan meminta maaf, Edwyn buka suara.
“Cukup sekali ini kamu telat untuk acara akbar seperti ini. Kamu pikir kita sedang main-main?? Sekarang cepat duduk dan ikuti briefing yang ada!!” bentak Edwyn membuat Widi keder.
Beberapa waktu berlalu, Widi bisa menarik nafas lega usai briefing berakhir dan Edwyn pergi keluar makan siang.
“Sialan bener sih, pak Edwyn itu. Songong banget jadi orang. Mentang-mentang dia dosen, manager di sini, pinter ini dan itu trus seenaknya aja marah-marahin orang. Aku ini sudah berusaha sebaik mungkin, selalu aja ada yang salah!” omel Widi ketika duduk bersama dengan Ratna di ruang tunggu.
“Lalu apalagi yang akan kamu katakan tentang saya?” suara Edwyn yang tiba-tiba berdiri di belakang Widi. Widi langsung mati gaya.
“Jaga kelakuan kamu di sini kalau tidak mau saya keluarkan dari sini!” tegas Edwyn sembari pergi dari hadapan Widi.
Nyali Widi semakin ciut sekaligus sebal minta ampun.
JJJ
“Widi! Widi! Ada yang nyari!” teriak teman satu kost Widi.
“Siapa?” tanya Widi.
“Entahlah!” sahut temannya.
Widi segera pergi ke ruang tamu melihat siapa yang bertamu. Sesampainya di ruang tamu, Widi kaget bukan main.
“Maaf, mengganggu malam-malam. Saya minta maaf soal tadi siang di kantor,”
“Nggak masalah kok, Pak!”
Kemudian keduanya duduk dan saling terdiam.
“Widi...saya..saya...ingin mengatakan sesuatu untuk kamu,” celetuk Edwyn.
“Silakan!”
“Saya cinta sama kamu!” kata Edwyn membuat Widi dua kali kaget.
“Kamu ingat mawar dan coklat yang sering kamu terima waktu SMA dulu? Itu dari saya,” lanjut Edwyn.
“Kok, bisa?”
“Retha adik saya, sahabat kamu, kan?”
“Iya. Tapi, Retha kan, nggak punya kakak?”
“Saya kakak sepupunya. Saya tahu kamu dari Retha. Semenjak itu saya menyukai kamu tapi karena saya harus kuliah ke Jakarta, saya kesampingkan perasaan itu dan berjanji akan menjemput kamu bila suatu saat kamu belum menjadi milik siapapun. Dan keberuntungan sekali bagi saya bertemu kamu di bus waktu lalu dan kamu magang di tempat saya kerja. Sekarang saya bertanya pada kamu, bagaimana dengan kamu?”
“Ehm, bagaimana, ya?” sahut Widi bingung. Ia memang sempat jatuh hati dengan sosok abstrak waktu SMA itu. Ia sempat berjanji pada diri sendiri jika bertemu dengan sosok pemuja rahasianya itu, ia akan menerima orang itu menjadi kekasihnya. Dan sekarang ia bertemu dengan orang itu. Tapi dengan kondisi yang rasanya tiba-tiba, rasanya aneh.
Widi perang batin dalam hatinya dan pikirannya bergelanyut bimbang menerima cinta Edwyn atau tidak. Dan akhirnya, “Iya. Saya terima cinta Pak Edwyn,” kata Widi tersenyum.
“Panggil saja Edwyn. Terima kasih memberi saya kesempatan membina hubungan dari perasaan yang saya jaga bertahun-tahun yang lalu. Saya sayang sama kamu sampai kapanpun,” kata Edwyn sembari mengenggam erat jemari Widi.
JJJ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)