Kupinang Wanita Pencemburu Buta
Di dunia ini tak pernah ada yang
kekal dan abadi. Selalu ada yang datang dan pergi, ada yang lahir dan
meninggal, ada rezeki dan ada pula kehilangan. Seperti roda yang terus berputar
selama si empunya juga memutarnya. Dan si empunya putaran hidup ini hanyalah
Tuhan yang Maha Diraja memutar roda kehidupan. Kita hanya aktor dari cerita
yang didesain sedemikian apiknya oleh Sang Desainer Kehidupan. Makna ini baru
disadari Octo semenjak kedua orang tuanya meninggal karena bencana letusan
gunung berapi di daerahnya yang terjadi kurang lebih hampir enam bulan yang
lalu. Tapi untuk menuju proses kesadaran diri itu, Octo harus berjuang keras
melawan dirinya sendiri yang terus larut dalam kesedihan dan pasrah pada
keadaan yang baginya sama sekali membuatnya sial dalam hidup. Tapi, semenjak
kehadiran Niah, gadis cerdas yang memiliki keterbatasan fisik, semangat
hidupnya memuncah. Niah membantunya untuk merombak 180 derajat keterpurukan dan
keputusasaannya yang kini sebatang kara.
“Hidup
ini memang sebuah panggung sandiwara tapi tidak untuk dijadikan permainan. Kita
menjalankan skenario-Nya yang tak dapat kita elakkan. Hidup dan mati itu harga
mati dari Tuhan untukmu. Sedang jodoh dan rejeki, sekalipun itu juga harga mati
tapi masih bisa kau usahakan. Ke-tak lengkapan jari-jari tanganku juga harga
mati dari Tuhan untukku yang sempat aku sesalkan. Tapi, itu tak memberikan
kebahagiaan hidup. Kita tidak boleh egois memikirkan diri sendiri. Masih banyak
hal lain yang membutuhkan perhatian kita, membutuhkan manfaat dari yang mungkin
kita berikan. Itulah cara kita membahagiakan orang yang kita cintai sekalipun
mereka tiada lagi ada di sisi kita. Bahagia itu tak langsung kita berikan pada
mereka tapi dengan berbuat baik kepada sesama, pahala kita akan tercatat untuk
bisa menolong orang tua kita yang sudah tiada. Itulah anak sholeh,” jelas Niah
suatu kali setelah Octo berusaha meminum racun serangga tiga bulan sepeninggal
kedua orang tuanya.
JJJ
“Assalammu’alaikum.
Permisi, Dokter Octo ada?” tanya Niah pada salah seorang dokter muda teman Octo
di ruangan kerja Octo.
“Dokter
Octo ada di kantin tadi, Mbak. Coba saja nyusul ke sana!” jawab si dokter muda
itu.
Niah
pun segera ke kantin sembari membawa sekotak nasi bekal makan siang untuk Octo.
Dengan semangatnya Niah membawa bekal makan siang itu untuk orang yang
diakunginya jauh sebelum mereka bertemu lagi saat kondisi Octo benar-benar
kacau.
Niah
bertemu Octo ketika Octo magang di sebuah klinik kesehatan milik paman Niah.
Ketika itu mereka saling berkenalan dan mereka mulai akrab. Hingga akhirnya
tumbuh benih cinta di hati Niah tapi tidak sama halnya dengan Octo karena Niah
pun tak memiliki keberanian menyatakannya. Hanya tiga bulan Octo magang dan
selanjutnya kembali ke kota perantauan untuk meneruskan kuliah kedokterannya.
Semenjak itu pula tidak ada komunikasi lagi di antara mereka. Tapi Niah meyakini
suatu saat ia akan bertemu kembali dengan Octo. Tapi ketika bertemu kembali,
kondisi Octo hancur. Kondisi psikologisnya terguncang karena orang tuanya
meninggal dalam bencana letusan gunung berapi. Dan Niah pun mencoba mendekati
Octo, tak ingin menjauhi sang pujaan hati. Mulanya sulit tapi perlahan tapi
pasti usaha Niah tak sia-sia. Octo menerima kehadiran Niah sebagai malaikat
penolongnya. Gadis yang baik hati tapi tak pernah ia sadari. Dan hatinya tetap
terpaut pada sang kekasih hati putri kawan lama orang tuanya, Riri yang ia
pacari jauh sebelum ia bertemu dengan Niah. Dan kini menjalin hubungan long
distance. Namun, hal ini tak jua diketahui Niah.
Niah
sampai di kantin dan penglihatannya segera mencari Octo ke berbagai sudut
kantin. Tapi, betapa hatinya teriris perih ketika mengetahui Octo sedang
mengecup kening seorang wanita dengan mesra dan nampaknya juga tulus. Niah tak
kuasa menahan tangis. Ia pun segera pergi dari kantin dan pulang. Sesampainya
di rumah ia meletakkan dengan paksa kotak nasi yang hendak ia berikan pada Octo
di meja makan dan ia segera lari ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.
“Tuhan,
kali ini aku berani berbicara lantang bahwa ENGKAU TAK PERNAH ADIL PADAKU!!!!
Kenapa Engkau ambil kedua orang tuaku semenjak aku kecil, Engkau buat aku lahir
cacat, Engkau menghancurkan semuanya, Tuhan! Engkau berikan aku semua yang
buruk dari dunia ini! Dan sekarang Octo Engkau jodohkan dengan yang lain.
Satu-satunya orang yang kucintai saat ini,” kata Niah sambil meraung-raung
menangis.
“Tidakkah
sekalian Engkau ambil nyawaku sekarang juga agar Engkau puas mengambil semua
kebahagiaan dariku???”
Kemudian
bibi Niah yang menyadari kedatangan Niah dengan tangisan memberanikan diri
menyapa Niah.
“Nduk,
kenapa tiba-tiba kamu ngomong seperti itu sama Gusti Alloh?” tanya bibinya
sambil mengelus rambut Niah. Niah segera mendekap erat bibinya.
“Aku
ndak pantes bahagia, Bude! Semua yang kucintai pergi,” kata Niah.
“Lha,
mbok pikir, aku sama pakdemu ini ndak cinta to sama kamu?” balas budenya.
“Dokter
Octo ternyata sudah punya kekasih. Dan Niah ndak pernah tahu itu. Padahal
sikapnya dulu waktu magang di tempat pakde, Bude tahu sendiri, kan? Dan ketika
dia menjalani rehabilitasi pemulihan trauma, semua terasa...ah, atau memang aku
yang terlalu Ge-Er Bude...” jelas Niah dengan menahan tangis.
“Sabar
yo, Nduk! Mungkin memang nak Octo bukan jodoh kamu. Pasti ada yang lebih baik
dari dia. Kamu jangan berkecil hati. Itu bukan Niah yang Bude kenal. Kamu ini
sudah kayak anak Bude sendiri, gantinya Wisnu yang sudah tenang di alam sana.
Nek kamu sedih, Bude juga sedih. Sudah, jangan nangis lagi. Sekarang cuci muka
kamu dan segera pergi ke klinik pakdemu. Banyak pasien hari ini karena ada
bakti sosial kesehatan di sana. Ayo, cepetan!” hibur budenya.
“Bude,
terima kasih ya, sudah menerima Niah apa adanya. Entah tanpa Bude dan pakde,
Niah jadi apa,”
JJJ
Niah
berusaha menata hati secepat kilat dan menghapus air matanya ketika menghadapi
pasien-pasien pamannya. Niah mencoba tersenyum meski hati pahit.
“Bisa
minta obat sakit kepalanya, Mbak?” tanya seorang lelaki pada Niah yang sedang
sibuk menata rapi obat-obat yang akan diberikan pada pasien-pasien.
“Boleh
lihat resepnya, Mas?” tanya Niah balik. Niah pun menatap siapa yang sedang di
hadapannya. Seketika itu ia langsung diam dan mengubah drastis raut wajahnya.
“Kenapa
kamu? Kayak ngelihat setan gitu?” tanya Octo yang ada di depannya.
“Kamu
jangan bercanda, Dok! Ini bukan waktunya main-main!” jawab Niah.
“Siapa
yang main-main? Aku beneran sakit kepala. Sekarang cepet kasih aku obat
pusing!” suruh Octo.
Niah
segera memberi Octo obat sakit kepala.
“Ngomong-ngomong
nggak dikasih air putih, ya? Gimana mau minum obat kalo’ nggak ada air putih?
Aku kan, nggak bisa minum obat pakai pisang atau roti, ” kata Octo.
Niah
mengambil nafas panjang, memendam sebal.
“Tempat
air minum masih belum pindah untuk waktu sepuluh tahun. Ambil sendiri di dekat
ruang receiptionist,” balas Niah.
“Jutek
banget jadi perawat? Pasien pada lari semua lho, Sus!” goda Octo dengan senyum
nakal.
“Maaf,
hari ini bawaan aku pengen muntah. Jadi, dari pada Dokter terkena muntahan aku,
lebih baik Dokter pergi dari depan aku!” tegas Niah. Sementara Octo, bukannya
pergi malah duduk di kursi samping Niah yang kosong. Menambah kesebalan Niah.
Setelah
beberapa menit, Octo nyeletuk.
“Katanya
tadi, bawaannya mau muntah? Kok, nggak muntah-muntah sih, Suster?” goda Octo
lagi.
“Aku
punya sopan santun, Dok!”
“Trus,
kenapa nyuruh aku pergi kalo kamu punya sopan santun? Kan, itu artinya kalo mau
muntah, kamu pasti ke kamar mandi, kan? Kenapa sih, kamu hari ini? Marah-marah
gitu? Nggak biasa-biasanya Niah yang aku kenal seperti itu?”
“Nggak
papa,”
“Gini
ya, Niah, aku pengen mengakhiri kebersamaan kita ini dengan indah,”
Niah
tersentak sejenak dan memandang Octo.
“Aku
akan kembali ke Semarang dan menetap bekerja di sebuah rumah sakit di sana.
Seperti yang aku bilang dulu, di kota ini, aku cuman sementara sampai ada
pengangkatan jabatan menjadi dokter tetap. Sebenarnya, susah juga karena kota
ini kota kelahiranku. Tempat semua kenangan bersama orang tuaku berada. Tapi,
gimana lagi, itu ketetapan dari sana. Lagi pula semakin aku lama di sini,
ingatan itu akan terus ada,” jelas Octo. Niah malah terdiam.
“Ni!
Niah!” panggil Octo menyadarkan Niah.
“Oh,
eh, ya, sudah. Kenapa harus bilang sama aku?? Kalo’ pergi, pergi aja!” sahut
Niah salah tingkah.
“Kenapa
kamu kayak salah tingkah gitu?” tanya Octo.
“Ah,
enggak...siapa yang salah tingkah?”
JJJ
Satu
minggu berlalu. Hari di saat Octo harus kembali ke Semarang datang. Ia harus
berangkat ke Semarang pukul tiga sore nanti. Sementara Niah, ia gundah gulana.
Ia ingin mengantar kepergian Octo tapi ia nggak mau tambah sakit hati setelah
mengetahui kebenaran dugaannya dari orang lain bahwa Octo sudah memiliki
tunangan di Semarang. Harapannya memberi tahu Octo akan perasaannya jelas pupus
sudah. Niah pusing dan entah harus berbuat apa. Akhirnya ia memilih tidur
hingga petang menjelang.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul lima sore, itu artinya Octo sudah berangkat ke
Semarang. Hhmm..kisah cinta Niah tak semanis cerita cinta di sinetron-sinetron
televisi yang tiba-tiba sang pujaan datang atau tak jadi pergi dan
mengungkapkan perasaannya pada orang yang mencintai. Niah menyadari, hidup ini
tak semanis konstruksi imaji orang-orang yang lihai mencipta karya cerita cinta
yang pernah ada. Dunia fiktif yang happy ending hanya milik Romeo dan Juliet
atau Rama dan Shinta. Dunia cinta Niah akan menjadi gelap karena kasihnya tak
sampai pada Octo. Dan Niah tak boleh menyerah begitu saja. Seperti yang pernah
ia katakan pada Octo, kita masih bisa memberi manfaat yang mungkin kita beri
pada sesama. Hidup tak selamanya tentang pasangan hidup sekalipun itu adalah
hal yang cukup penting bagi beberapa orang. Bagi Niah memang penting tapi bukan
yang terpenting. Kembali ia menyadari, mana ada lelaki yang mau hidup bersama
gadis cacat fisik seperti dia. Mimpi!!!
“Niah,
makan dulu , Nduk!” teriak budenya dari ruang makan.
“Iya,
Bude. Sebentar!” sahut Niah dari dalam kamar sembari merapikan tempat tidurnya.
Dengan
mata masih belekan karena tidur seharian setelah gundah gulana memikirkan Octo
dan rambut masih acak-acakan, Niah hendak menuju kamar mandi. Tapi, betapa
kagetnya Niah ketika melewati ruang makan. Matanya melotot bak menjumpai sosok
makhluk gaib.
“Mau
maghrib masih molor aja kerjaannya! Mana bisa jadi istri yang baik nanti?”
sindir seorang cowok dan ternyata itu Octo sedang mencicipi masakan bude Niah.
Niah
yang diajak bicara justru ngacir kembali ke kamarnya. Dan menutup pintunya
rapat-rapat.
“Tuhan,
itu tadi Dokter Octo?? Kenapa dia masih di sini? Bukannya dia harus balik ke
Semarang? Aduh, betapa malunya aku dengan tampang seperti ini,” gumam Niah.
Setelah
cukup bisa menenangkan diri dan merapikan diri meski belum mandi, Niah
bergabung dengan pakde, bude dan Octo di ruang makan. Dengan sedikit malu dan
salah tingkah, Niah mencoba makan dengan lahap.
“Pelan-pelan
makannya, nggak baik buat kesehatan. Nanti gemuk lho, dengan nafsu makan
seperti itu dan cara makan yang nggak sehat,” celetuk Octo menyindir Niah. Niah
berhenti makan sejenak.
“Kenapa
selalu salah aku di mata Dokter?” protes Niah.
“Bukan
salah tapi perlu dibenahin,” sahut Octo.
“Apa
bedanya coba?” tungkas Niah.
“Sudah,
jangan berantem pas makan. Niah, setelah makan, kita semua perlu membicarakan
sesuatu,” kata paman Niah menegahi keduanya.
“Soal
apa ya, Pakde?” tanya Niah penasaran.
“Nanti
saja. Sekarang makan masakan spesial budemu ini. Jarang-jarang kan, bude masak
kayak ginian,” jawab pamannya sambil melirik ke arah bude Niah yang tersipu
malu.
Usai
makan malam bersama, mereka berempat segera membahas apa yang dimaksud paman
Niah tadi.
“Kok,
pada diem semua? Katanya mau ngomong? Pakde, ada apa, ya?” tanya Niah yang memecah
suasana keheningan.
“Dokter
Octo, silakan bicara!” suruh paman Niah.
“Niah,
aku...aku...aku ingin melamarmu malam ini!” kata Octo yang sempat berat dan
ragu di awal.
“APA??!!
Mana mungkin? Dokter kan, sudah punya tunangan di Semarang,” kata Niah.
“Kami
sudah putus seminggu yang lalu karena dia sendiri yang ingin mengakhiri
semuanya sejak lama. Dan aku sadar, orang yang selama ini ada untuk aku ya,
hanya kamu. Aku menyadarinya juga berkat Bu Rima. Aku minta maaf kalau selama
ini tak pernah menyadarinya,” jelas Octo.
“Bude...kenapa
Bude mengatakannya?” tanya Niah yang menyesal dan menahan malu atas perbuatan
budenya.
“Kami
nggak tega ngelihat kamu terus menerus mengalami kekecewaan kehilangan orang
yang kamu cintai sekalipun kamu tampak tegar dan tersenyum di luarnya. Kamu
sudah seperti anak kami sendiri. Jadi, kalau kamu sedih, kami juga nelangsa,
Niah. Sekarang, Dokter Octo sudah menyatakan niat baiknya kepada kamu dan kita
semua. Sekarang terserah kamu,” tutur paman Niah.
“Ini
bukan paksaan dari Dokter Rizal dan Bu Rima, Niah. Ini kehendakku sendiri,”
sambung Octo.
“Kami
permisi. Ini urusan kalian berdua. Pikirkan dengan tenang dan baik-baik,” kata
paman Niah sambil beranjak pergi dari tempat makan bersama bude Niah.
Octo
mendekati Niah dan memegang tangan Niah.
“Perasaan
itu tumbuh tidak dalam waktu yang singkat. Sudah mulai aku rawat semenjak aku
direhabilitasi. Percayalah, aku tidak sedang menggoda dan membual semata, ”
“Jadi,
Dokter orang yang mudah jatuh hati pada kebaikan orang lain. Dan bisa jadi,
jika waktu itu bukan aku, Dokter akan jatuh cinta dan melamar orang itu sama
seperti yang Dokter lakukan sekarang. Aku nggak bisa menerima cinta lelaki yang
setengah hati mencintai apa adanya diri aku,” tegas Niah.
“Kalau
aku hanya setengah hati, mana mungkin aku memutuskan untuk tetap tinggal di
kota ini, mana mungkin aku melamar kamu di hadapan orang yang sangat aku segani
yaitu pakde dan bude kamu seketika itu juga, mana mungkin aku pamit pada kamu
ketika hendak pindah ke Semarang, mana mungkin aku selalu meminta kamu
membawakan makan siang untuk aku setiap hari, mana mungkin aku selalu ingin
berada dekat dengan kamu setiap hari dengan alasan ingin konsultasi dengan
Dokter Rizal di rumah ini? Apa perlu aku sebutkan satu per satu pertanda aku
menyayangi kamu? Supaya kamu menyadari bahwa aku jelas nggak bisa hidup tanpa
kamu? Atau mungkin setiap apa yang aku lakukan tidak pernah ada artinya sama
sekali di mata kamu, Niah???” celoteh Octo mencoba meyakinkan kebenaran
cintanya pada Niah yang terdiam terpaku.
“Apa
jaminan yang bisa Dokter berikan bila semua itu benar?” tanya Niah sambil
meneteskan air mata.
“Kita
mulai hidup baru bersama. Ini bukan keputusan dalam beberapa detik. Sudah lama
aku memikirkan ini, memberanikan diri untuk menjadikan kamu istri sekaligus ibu
bagi keturunanku kelak,” jawab Octo mantab.
“Dengan
keterbatasan fisikku?” tanya Niah masih ragu. Octo mengangguk.
“Aku
wanita pencemburu buta dan selalu berkecil hati melihat kesempurnaan yang tak
kumiliki,” lanjut Niah.
“Aku
lelaki yang dua kali lipat pencemburu buta dan aku lelaki yang akan mengubah
kebodohanmu memandang dunia yang sebentar ini,” tungkas Octo menggenggam erat
tangan Niah.
“Ku
pinang wanita pencemburu buta itu malam ini juga!” celetuk Octo membuat Niah
menangis bahagia. Octo mengecup tangan Niah dengan senyuman maut yang hanya
dimiliki Octo –menurut Niah-.
JJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)