Kamis, 10 Mei 2012

cerpen "Ku Pinang Wanita Pencemburu Buta"


Kupinang Wanita Pencemburu Buta

Di dunia ini tak pernah ada yang kekal dan abadi. Selalu ada yang datang dan pergi, ada yang lahir dan meninggal, ada rezeki dan ada pula kehilangan. Seperti roda yang terus berputar selama si empunya juga memutarnya. Dan si empunya putaran hidup ini hanyalah Tuhan yang Maha Diraja memutar roda kehidupan. Kita hanya aktor dari cerita yang didesain sedemikian apiknya oleh Sang Desainer Kehidupan. Makna ini baru disadari Octo semenjak kedua orang tuanya meninggal karena bencana letusan gunung berapi di daerahnya yang terjadi kurang lebih hampir enam bulan yang lalu. Tapi untuk menuju proses kesadaran diri itu, Octo harus berjuang keras melawan dirinya sendiri yang terus larut dalam kesedihan dan pasrah pada keadaan yang baginya sama sekali membuatnya sial dalam hidup. Tapi, semenjak kehadiran Niah, gadis cerdas yang memiliki keterbatasan fisik, semangat hidupnya memuncah. Niah membantunya untuk merombak 180 derajat keterpurukan dan keputusasaannya yang kini sebatang kara.
“Hidup ini memang sebuah panggung sandiwara tapi tidak untuk dijadikan permainan. Kita menjalankan skenario-Nya yang tak dapat kita elakkan. Hidup dan mati itu harga mati dari Tuhan untukmu. Sedang jodoh dan rejeki, sekalipun itu juga harga mati tapi masih bisa kau usahakan. Ke-tak lengkapan jari-jari tanganku juga harga mati dari Tuhan untukku yang sempat aku sesalkan. Tapi, itu tak memberikan kebahagiaan hidup. Kita tidak boleh egois memikirkan diri sendiri. Masih banyak hal lain yang membutuhkan perhatian kita, membutuhkan manfaat dari yang mungkin kita berikan. Itulah cara kita membahagiakan orang yang kita cintai sekalipun mereka tiada lagi ada di sisi kita. Bahagia itu tak langsung kita berikan pada mereka tapi dengan berbuat baik kepada sesama, pahala kita akan tercatat untuk bisa menolong orang tua kita yang sudah tiada. Itulah anak sholeh,” jelas Niah suatu kali setelah Octo berusaha meminum racun serangga tiga bulan sepeninggal kedua orang tuanya.
JJJ
“Assalammu’alaikum. Permisi, Dokter Octo ada?” tanya Niah pada salah seorang dokter muda teman Octo di ruangan kerja Octo.
“Dokter Octo ada di kantin tadi, Mbak. Coba saja nyusul ke sana!” jawab si dokter muda itu.
Niah pun segera ke kantin sembari membawa sekotak nasi bekal makan siang untuk Octo. Dengan semangatnya Niah membawa bekal makan siang itu untuk orang yang diakunginya jauh sebelum mereka bertemu lagi saat kondisi Octo benar-benar kacau.
Niah bertemu Octo ketika Octo magang di sebuah klinik kesehatan milik paman Niah. Ketika itu mereka saling berkenalan dan mereka mulai akrab. Hingga akhirnya tumbuh benih cinta di hati Niah tapi tidak sama halnya dengan Octo karena Niah pun tak memiliki keberanian menyatakannya. Hanya tiga bulan Octo magang dan selanjutnya kembali ke kota perantauan untuk meneruskan kuliah kedokterannya. Semenjak itu pula tidak ada komunikasi lagi di antara mereka. Tapi Niah meyakini suatu saat ia akan bertemu kembali dengan Octo. Tapi ketika bertemu kembali, kondisi Octo hancur. Kondisi psikologisnya terguncang karena orang tuanya meninggal dalam bencana letusan gunung berapi. Dan Niah pun mencoba mendekati Octo, tak ingin menjauhi sang pujaan hati. Mulanya sulit tapi perlahan tapi pasti usaha Niah tak sia-sia. Octo menerima kehadiran Niah sebagai malaikat penolongnya. Gadis yang baik hati tapi tak pernah ia sadari. Dan hatinya tetap terpaut pada sang kekasih hati putri kawan lama orang tuanya, Riri yang ia pacari jauh sebelum ia bertemu dengan Niah. Dan kini menjalin hubungan long distance. Namun, hal ini tak jua diketahui Niah.
Niah sampai di kantin dan penglihatannya segera mencari Octo ke berbagai sudut kantin. Tapi, betapa hatinya teriris perih ketika mengetahui Octo sedang mengecup kening seorang wanita dengan mesra dan nampaknya juga tulus. Niah tak kuasa menahan tangis. Ia pun segera pergi dari kantin dan pulang. Sesampainya di rumah ia meletakkan dengan paksa kotak nasi yang hendak ia berikan pada Octo di meja makan dan ia segera lari ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.
“Tuhan, kali ini aku berani berbicara lantang bahwa ENGKAU TAK PERNAH ADIL PADAKU!!!! Kenapa Engkau ambil kedua orang tuaku semenjak aku kecil, Engkau buat aku lahir cacat, Engkau menghancurkan semuanya, Tuhan! Engkau berikan aku semua yang buruk dari dunia ini! Dan sekarang Octo Engkau jodohkan dengan yang lain. Satu-satunya orang yang kucintai saat ini,” kata Niah sambil meraung-raung menangis.
“Tidakkah sekalian Engkau ambil nyawaku sekarang juga agar Engkau puas mengambil semua kebahagiaan dariku???”
Kemudian bibi Niah yang menyadari kedatangan Niah dengan tangisan memberanikan diri menyapa Niah.
“Nduk, kenapa tiba-tiba kamu ngomong seperti itu sama Gusti Alloh?” tanya bibinya sambil mengelus rambut Niah. Niah segera mendekap erat bibinya.
“Aku ndak pantes bahagia, Bude! Semua yang kucintai pergi,” kata Niah.
“Lha, mbok pikir, aku sama pakdemu ini ndak cinta to sama kamu?” balas budenya.
“Dokter Octo ternyata sudah punya kekasih. Dan Niah ndak pernah tahu itu. Padahal sikapnya dulu waktu magang di tempat pakde, Bude tahu sendiri, kan? Dan ketika dia menjalani rehabilitasi pemulihan trauma, semua terasa...ah, atau memang aku yang terlalu Ge-Er Bude...” jelas Niah dengan menahan tangis.
“Sabar yo, Nduk! Mungkin memang nak Octo bukan jodoh kamu. Pasti ada yang lebih baik dari dia. Kamu jangan berkecil hati. Itu bukan Niah yang Bude kenal. Kamu ini sudah kayak anak Bude sendiri, gantinya Wisnu yang sudah tenang di alam sana. Nek kamu sedih, Bude juga sedih. Sudah, jangan nangis lagi. Sekarang cuci muka kamu dan segera pergi ke klinik pakdemu. Banyak pasien hari ini karena ada bakti sosial kesehatan di sana. Ayo, cepetan!” hibur budenya.
“Bude, terima kasih ya, sudah menerima Niah apa adanya. Entah tanpa Bude dan pakde, Niah jadi apa,”
JJJ
Niah berusaha menata hati secepat kilat dan menghapus air matanya ketika menghadapi pasien-pasien pamannya. Niah mencoba tersenyum meski hati pahit.
“Bisa minta obat sakit kepalanya, Mbak?” tanya seorang lelaki pada Niah yang sedang sibuk menata rapi obat-obat yang akan diberikan pada pasien-pasien.
“Boleh lihat resepnya, Mas?” tanya Niah balik. Niah pun menatap siapa yang sedang di hadapannya. Seketika itu ia langsung diam dan mengubah drastis raut wajahnya.
“Kenapa kamu? Kayak ngelihat setan gitu?” tanya Octo yang ada di depannya.
“Kamu jangan bercanda, Dok! Ini bukan waktunya main-main!” jawab Niah.
“Siapa yang main-main? Aku beneran sakit kepala. Sekarang cepet kasih aku obat pusing!” suruh Octo.
Niah segera memberi Octo obat sakit kepala.
“Ngomong-ngomong nggak dikasih air putih, ya? Gimana mau minum obat kalo’ nggak ada air putih? Aku kan, nggak bisa minum obat pakai pisang atau roti, ” kata Octo.
Niah mengambil nafas panjang, memendam sebal.
“Tempat air minum masih belum pindah untuk waktu sepuluh tahun. Ambil sendiri di dekat ruang receiptionist,” balas Niah.
“Jutek banget jadi perawat? Pasien pada lari semua lho, Sus!” goda Octo dengan senyum nakal.
“Maaf, hari ini bawaan aku pengen muntah. Jadi, dari pada Dokter terkena muntahan aku, lebih baik Dokter pergi dari depan aku!” tegas Niah. Sementara Octo, bukannya pergi malah duduk di kursi samping Niah yang kosong. Menambah kesebalan Niah.
Setelah beberapa menit, Octo nyeletuk.
“Katanya tadi, bawaannya mau muntah? Kok, nggak muntah-muntah sih, Suster?” goda Octo lagi.
“Aku punya sopan santun, Dok!”
“Trus, kenapa nyuruh aku pergi kalo kamu punya sopan santun? Kan, itu artinya kalo mau muntah, kamu pasti ke kamar mandi, kan? Kenapa sih, kamu hari ini? Marah-marah gitu? Nggak biasa-biasanya Niah yang aku kenal seperti itu?”
“Nggak papa,”
“Gini ya, Niah, aku pengen mengakhiri kebersamaan kita ini dengan indah,”
Niah tersentak sejenak dan memandang Octo.
“Aku akan kembali ke Semarang dan menetap bekerja di sebuah rumah sakit di sana. Seperti yang aku bilang dulu, di kota ini, aku cuman sementara sampai ada pengangkatan jabatan menjadi dokter tetap. Sebenarnya, susah juga karena kota ini kota kelahiranku. Tempat semua kenangan bersama orang tuaku berada. Tapi, gimana lagi, itu ketetapan dari sana. Lagi pula semakin aku lama di sini, ingatan itu akan terus ada,” jelas Octo. Niah malah terdiam.
“Ni! Niah!” panggil Octo menyadarkan Niah.
“Oh, eh, ya, sudah. Kenapa harus bilang sama aku?? Kalo’ pergi, pergi aja!” sahut Niah salah tingkah.
“Kenapa kamu kayak salah tingkah gitu?” tanya Octo.
“Ah, enggak...siapa yang salah tingkah?”
JJJ
Satu minggu berlalu. Hari di saat Octo harus kembali ke Semarang datang. Ia harus berangkat ke Semarang pukul tiga sore nanti. Sementara Niah, ia gundah gulana. Ia ingin mengantar kepergian Octo tapi ia nggak mau tambah sakit hati setelah mengetahui kebenaran dugaannya dari orang lain bahwa Octo sudah memiliki tunangan di Semarang. Harapannya memberi tahu Octo akan perasaannya jelas pupus sudah. Niah pusing dan entah harus berbuat apa. Akhirnya ia memilih tidur hingga petang menjelang.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore, itu artinya Octo sudah berangkat ke Semarang. Hhmm..kisah cinta Niah tak semanis cerita cinta di sinetron-sinetron televisi yang tiba-tiba sang pujaan datang atau tak jadi pergi dan mengungkapkan perasaannya pada orang yang mencintai. Niah menyadari, hidup ini tak semanis konstruksi imaji orang-orang yang lihai mencipta karya cerita cinta yang pernah ada. Dunia fiktif yang happy ending hanya milik Romeo dan Juliet atau Rama dan Shinta. Dunia cinta Niah akan menjadi gelap karena kasihnya tak sampai pada Octo. Dan Niah tak boleh menyerah begitu saja. Seperti yang pernah ia katakan pada Octo, kita masih bisa memberi manfaat yang mungkin kita beri pada sesama. Hidup tak selamanya tentang pasangan hidup sekalipun itu adalah hal yang cukup penting bagi beberapa orang. Bagi Niah memang penting tapi bukan yang terpenting. Kembali ia menyadari, mana ada lelaki yang mau hidup bersama gadis cacat fisik seperti dia. Mimpi!!!
“Niah, makan dulu , Nduk!” teriak budenya dari ruang makan.
“Iya, Bude. Sebentar!” sahut Niah dari dalam kamar sembari merapikan tempat tidurnya.
Dengan mata masih belekan karena tidur seharian setelah gundah gulana memikirkan Octo dan rambut masih acak-acakan, Niah hendak menuju kamar mandi. Tapi, betapa kagetnya Niah ketika melewati ruang makan. Matanya melotot bak menjumpai sosok makhluk gaib.
“Mau maghrib masih molor aja kerjaannya! Mana bisa jadi istri yang baik nanti?” sindir seorang cowok dan ternyata itu Octo sedang mencicipi masakan bude Niah.
Niah yang diajak bicara justru ngacir kembali ke kamarnya. Dan menutup pintunya rapat-rapat.
“Tuhan, itu tadi Dokter Octo?? Kenapa dia masih di sini? Bukannya dia harus balik ke Semarang? Aduh, betapa malunya aku dengan tampang seperti ini,” gumam Niah.
Setelah cukup bisa menenangkan diri dan merapikan diri meski belum mandi, Niah bergabung dengan pakde, bude dan Octo di ruang makan. Dengan sedikit malu dan salah tingkah, Niah mencoba makan dengan lahap.
“Pelan-pelan makannya, nggak baik buat kesehatan. Nanti gemuk lho, dengan nafsu makan seperti itu dan cara makan yang nggak sehat,” celetuk Octo menyindir Niah. Niah berhenti makan sejenak.
“Kenapa selalu salah aku di mata Dokter?” protes Niah.
“Bukan salah tapi perlu dibenahin,” sahut Octo.
“Apa bedanya coba?” tungkas Niah.
“Sudah, jangan berantem pas makan. Niah, setelah makan, kita semua perlu membicarakan sesuatu,” kata paman Niah menegahi keduanya.
“Soal apa ya, Pakde?” tanya Niah penasaran.
“Nanti saja. Sekarang makan masakan spesial budemu ini. Jarang-jarang kan, bude masak kayak ginian,” jawab pamannya sambil melirik ke arah bude Niah yang tersipu malu.
Usai makan malam bersama, mereka berempat segera membahas apa yang dimaksud paman Niah tadi.
“Kok, pada diem semua? Katanya mau ngomong? Pakde, ada apa, ya?” tanya Niah yang memecah suasana keheningan.
“Dokter Octo, silakan bicara!” suruh paman Niah.
“Niah, aku...aku...aku ingin melamarmu malam ini!” kata Octo yang sempat berat dan ragu di awal.
“APA??!! Mana mungkin? Dokter kan, sudah punya tunangan di Semarang,” kata Niah.
“Kami sudah putus seminggu yang lalu karena dia sendiri yang ingin mengakhiri semuanya sejak lama. Dan aku sadar, orang yang selama ini ada untuk aku ya, hanya kamu. Aku menyadarinya juga berkat Bu Rima. Aku minta maaf kalau selama ini tak pernah menyadarinya,” jelas Octo.
“Bude...kenapa Bude mengatakannya?” tanya Niah yang menyesal dan menahan malu atas perbuatan budenya.
“Kami nggak tega ngelihat kamu terus menerus mengalami kekecewaan kehilangan orang yang kamu cintai sekalipun kamu tampak tegar dan tersenyum di luarnya. Kamu sudah seperti anak kami sendiri. Jadi, kalau kamu sedih, kami juga nelangsa, Niah. Sekarang, Dokter Octo sudah menyatakan niat baiknya kepada kamu dan kita semua. Sekarang terserah kamu,” tutur paman Niah.
“Ini bukan paksaan dari Dokter Rizal dan Bu Rima, Niah. Ini kehendakku sendiri,” sambung Octo.
“Kami permisi. Ini urusan kalian berdua. Pikirkan dengan tenang dan baik-baik,” kata paman Niah sambil beranjak pergi dari tempat makan bersama bude Niah.
Octo mendekati Niah dan memegang tangan Niah.
“Perasaan itu tumbuh tidak dalam waktu yang singkat. Sudah mulai aku rawat semenjak aku direhabilitasi. Percayalah, aku tidak sedang menggoda dan membual semata, ”
“Jadi, Dokter orang yang mudah jatuh hati pada kebaikan orang lain. Dan bisa jadi, jika waktu itu bukan aku, Dokter akan jatuh cinta dan melamar orang itu sama seperti yang Dokter lakukan sekarang. Aku nggak bisa menerima cinta lelaki yang setengah hati mencintai apa adanya diri aku,” tegas Niah.
“Kalau aku hanya setengah hati, mana mungkin aku memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, mana mungkin aku melamar kamu di hadapan orang yang sangat aku segani yaitu pakde dan bude kamu seketika itu juga, mana mungkin aku pamit pada kamu ketika hendak pindah ke Semarang, mana mungkin aku selalu meminta kamu membawakan makan siang untuk aku setiap hari, mana mungkin aku selalu ingin berada dekat dengan kamu setiap hari dengan alasan ingin konsultasi dengan Dokter Rizal di rumah ini? Apa perlu aku sebutkan satu per satu pertanda aku menyayangi kamu? Supaya kamu menyadari bahwa aku jelas nggak bisa hidup tanpa kamu? Atau mungkin setiap apa yang aku lakukan tidak pernah ada artinya sama sekali di mata kamu, Niah???” celoteh Octo mencoba meyakinkan kebenaran cintanya pada Niah yang terdiam terpaku.
“Apa jaminan yang bisa Dokter berikan bila semua itu benar?” tanya Niah sambil meneteskan air mata.
“Kita mulai hidup baru bersama. Ini bukan keputusan dalam beberapa detik. Sudah lama aku memikirkan ini, memberanikan diri untuk menjadikan kamu istri sekaligus ibu bagi keturunanku kelak,” jawab Octo mantab.
“Dengan keterbatasan fisikku?” tanya Niah masih ragu. Octo mengangguk.
“Aku wanita pencemburu buta dan selalu berkecil hati melihat kesempurnaan yang tak kumiliki,” lanjut Niah.
“Aku lelaki yang dua kali lipat pencemburu buta dan aku lelaki yang akan mengubah kebodohanmu memandang dunia yang sebentar ini,” tungkas Octo menggenggam erat tangan Niah.
“Ku pinang wanita pencemburu buta itu malam ini juga!” celetuk Octo membuat Niah menangis bahagia. Octo mengecup tangan Niah dengan senyuman maut yang hanya dimiliki Octo –menurut Niah-.
JJJ




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)