Hari ke-9 yang telat saya ikuti. Tantangan #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge kali ini adalah menulis sebuah surat untuk seseorang.
Oke, surat ini buat ayah. Orang yang bandel dibilangin bahkan sama seisi rumah, kelihatan sangar, kadang bikin sebel, tapi juga saya kasihi. Sialnya, saya nggak mampu ngutarain langsung karena pasti nangis duluan. Nah, pas momen kayak gini kalau kejadian, ayah pasti ikutan mewek. Nggak suka!
Pokoknya buat Ayah... sebenci apa pun saya sama Ayah atas semua yang Ayah lakukan, kesalahan apa pun yang Ayah lakukan, cuma kebaikan yang saya ingat dari Ayah. Pengen saya terapin.
Saya sadar, Ayah nggak sempurna. Saat saya minta sesuatu (dari kecil), nggak Ayah turuti selalu. Membuat saya kudu bersabar, meskipun kadang jengkel juga. Orang lain bisa mendapatkan, kenapa saya nggak? Justru dengan begitu, saya menjadi terlatih untuk bersabar dan berusaha. Mengandalkan restu orangtua dan Tuhan YME. Sambil mengelus dada saya berkata pada diri saya, "Ayah mau saya kuat. Tuhan mau saya hebat."
Ayah... (duh, saya nulis ini sambil usep air mata sama ingus)
Maafin saya atas semua kesulitan yang saya timbulkan, atas luka yang saya torehkan, atas semua yang saya lakukan membuat Ayah kecewa.
Saya berterima kasih sudah segede gini, kalau pulang ke rumah masih dielus kepala saya, tidur nggak selimutan akhirnya diselimutin, kadang ibu diomelin bikin teh atau masakin apalah, diantar-jemput ke tempat penantian bus, dan pokoknya diperlakukan kayak masih sekolah atau kuliah dulu.
Saya juga berterima kasih, setiap kali Ayah telpon saya saat di perantauan, selalu ada doa "Nduk, semoga segera ketemu jodoh yang sholeh."
Terkadang saya bersyukur belum menikah. Kenapa? Karena saya belum bisa menakar, sejauh apa hati saya kuat untuk jauh dan pindah kewajiban dari kepada ayah-ibu ke suami.
Ayah...
Saya nggak berani berandai-andai suatu hari jauh dari Ayah dan ikut suami. Bukan berarti saya nggak mau berkeluarga tapi saya masih sangat menikmati masa-masa bisa mencurahkan perhatian sama Ayah-Ibu, kendati sekarang saya jauh dari Ayah dan Ibu.
Maka dari itu, kepengen banget memboyong Ayah dan Ibu dekat sama saya, dan bisa lihat Ayah dan Ibu setiap hari. Soalnya, adik-adik kan, laki-laki. Mereka wajar dan sepatutnya pergi melanglang buana menemukan jati diri mereka.
Untungnya Ayah dan Ibu nggak melarang juga ya, mereka merantau. Hahaha. Ayah dan Ibu memang orangtua jempolan. Punya hati yang tangguh! Percaya sama anak-anaknya dan nggak pernah berhenti mendoakan kami.
Ayah...
Anakmu ini bahagia dengan pilihannya karena memang ingin berbeda dari yang lainnya.
Anakmu ini ingin mengukir sejarah baik atas namamu dan Ibu.
Anakmu ini memang keras kepala dan seenak udelnya, tapi anakmu ini benar-benar sayang sama Ayah.
Oke, surat ini buat ayah. Orang yang bandel dibilangin bahkan sama seisi rumah, kelihatan sangar, kadang bikin sebel, tapi juga saya kasihi. Sialnya, saya nggak mampu ngutarain langsung karena pasti nangis duluan. Nah, pas momen kayak gini kalau kejadian, ayah pasti ikutan mewek. Nggak suka!
Pokoknya buat Ayah... sebenci apa pun saya sama Ayah atas semua yang Ayah lakukan, kesalahan apa pun yang Ayah lakukan, cuma kebaikan yang saya ingat dari Ayah. Pengen saya terapin.
Saya sadar, Ayah nggak sempurna. Saat saya minta sesuatu (dari kecil), nggak Ayah turuti selalu. Membuat saya kudu bersabar, meskipun kadang jengkel juga. Orang lain bisa mendapatkan, kenapa saya nggak? Justru dengan begitu, saya menjadi terlatih untuk bersabar dan berusaha. Mengandalkan restu orangtua dan Tuhan YME. Sambil mengelus dada saya berkata pada diri saya, "Ayah mau saya kuat. Tuhan mau saya hebat."
Ayah... (duh, saya nulis ini sambil usep air mata sama ingus)
Maafin saya atas semua kesulitan yang saya timbulkan, atas luka yang saya torehkan, atas semua yang saya lakukan membuat Ayah kecewa.
Saya berterima kasih sudah segede gini, kalau pulang ke rumah masih dielus kepala saya, tidur nggak selimutan akhirnya diselimutin, kadang ibu diomelin bikin teh atau masakin apalah, diantar-jemput ke tempat penantian bus, dan pokoknya diperlakukan kayak masih sekolah atau kuliah dulu.
Saya juga berterima kasih, setiap kali Ayah telpon saya saat di perantauan, selalu ada doa "Nduk, semoga segera ketemu jodoh yang sholeh."
Terkadang saya bersyukur belum menikah. Kenapa? Karena saya belum bisa menakar, sejauh apa hati saya kuat untuk jauh dan pindah kewajiban dari kepada ayah-ibu ke suami.
Ayah...
Saya nggak berani berandai-andai suatu hari jauh dari Ayah dan ikut suami. Bukan berarti saya nggak mau berkeluarga tapi saya masih sangat menikmati masa-masa bisa mencurahkan perhatian sama Ayah-Ibu, kendati sekarang saya jauh dari Ayah dan Ibu.
Maka dari itu, kepengen banget memboyong Ayah dan Ibu dekat sama saya, dan bisa lihat Ayah dan Ibu setiap hari. Soalnya, adik-adik kan, laki-laki. Mereka wajar dan sepatutnya pergi melanglang buana menemukan jati diri mereka.
Untungnya Ayah dan Ibu nggak melarang juga ya, mereka merantau. Hahaha. Ayah dan Ibu memang orangtua jempolan. Punya hati yang tangguh! Percaya sama anak-anaknya dan nggak pernah berhenti mendoakan kami.
Ayah...
Anakmu ini bahagia dengan pilihannya karena memang ingin berbeda dari yang lainnya.
Anakmu ini ingin mengukir sejarah baik atas namamu dan Ibu.
Anakmu ini memang keras kepala dan seenak udelnya, tapi anakmu ini benar-benar sayang sama Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)