Senin, 23 Januari 2017

Day 6 #10DaysKF: Hal yang Saya Banggakan Tapi Dipandang Remeh Orang Lain



Hari ke-6 #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge. Baca temanya langsung bergetar nih dada. Hahaha. Soalnya ini pengalaman emosional sih, ya.

Nah, 1 hal yang mau saya bagi di sini terkait sesuatu yang saya banggakan tapi dianggap remeh orang lain. Hal itu adalah saat saya masuk jurusan IPS kala SMA.

IPS singkatan apa, sih selain Ilmu Pengetahuan Sosial? Ikatan Pelajar Santai? Ya, apa pun itu... sedari awal saya udah ngeklik ke IPS. Hati milih IPS, tapi otak sempet nyuruh ke IPA. 

Saya sempet ngotot milih IPA dengan nilai mepet standar gara-gara ada pikiran jadi bidan/perawat, sesuai arahan ortu. Atau kalau nggak pokoknya kesempatannya lebih luas urusan milih jurusan kuliah, bahkan 'makan' lahan anak IPS. Buahahaha...

Tapi karena hati nggak sreg nurutin saran orangtua ke bidang kesehatan (sama darah orang kecelakaan, denger orang patah tulang, dsb aja langsung lemes), terus IPA menjadi memuakkan dan bikin psikosomatis (ups!), Tuhan mendengar suara hati kecil saya. 💃

Di sini saya mulai percaya bahwa...


Kalau kamu pengen sesuatu tapi hati kecilmu nggak mau, Tuhan nggak akan mengijabah. Tuhan tahu kebahagiaan hakiki buat kamu.

Tsah!

Akhirnya saya merasa terselamatkan ketika menerima raport kenaikan kelas 11, saya justru masuk IPS. Well, di IPS saya ketemu temen-temen yang asyik. Dan, mereka nggak nakal kok. 

Nakal mah bukan perkara jurusan, tapi emang dari anaknya. Eh, anak nakal tuh nggak ada. Anak kurang kasih sayang sih, adanya. Makanya cari muka biar disayang, ups!


credit: globalgrind.com

Justru di IPS saya menemukan semangat belajar. Ya, walau soal Ekonomi sama Akuntansi bikin empet. Mending megang uangnya ajalah, daripada bikin perincian. Eh!


Nah, masuknya saya ke IPS, sih... nggak diomelin orangtua. Orangtua mah, nggak pernah tuh ngomel-ngomel anaknya gagal. Justru Ayah-Ibuk nyuruh belajar dari kegagalan. Punya orangtua begini, bikin kami (saya dan adik2) menempa diri untuk mencari tahu lebih di luar sana. Kami nggak terbiasa 'dikasih' orangtua, jadi kami mencari sendiri. Memang terkadang bikin diri jadi semacam kehilangan arah, tapi justru mendorong kami kenal banyak orang dan dapet banyak pengalaman.

Rasa tentram masuk IPS dan dukungan orangtua bikin saya cuek ajalah sama orang yang ngeremehin saya masuk IPS. Ironisnya sih, orang yang ngeremehin saya itu bude sendiri yang sukanya banding-bandingkan orang. Ukuran suksesnya masih konvensional, kerja di kantoran, kerja di pemerintahan, gaya klimis necis sekseh, gaji berjuta-juta, dan you know what I mean lah ya, temen-temen.

Saya sih, senyum licik (jahat ya?). Saya cuma mau beda dari yang ada. Adik-adik saya juga. Saya mencoba yakin bahwa saya dan adik-adik saya bisa melakukan sesuatu yang baik, lebih, manfaat buat orang lain, dengan cara kami sendiri. Terserah orang mau bilang apa. Yang penting kami ikhlas menjalani, orangtua meridhoi, Tuhan memberkahi.


credit: giphy.com


Saya jadi inget ada kata-kata begini...


Bikinlah orangtua bahagia lihat kita bisa kaya bahagia.

Tolok ukur bahagia orangtua satu dengan yang lain terhadap anaknya beda-beda sih, bukan masalah. Tapi pasti semua orangtua, pengen anak-anaknya bahagia lahir dan batin.

Orangtua saya tidak pernah bilang bahagianya seperti apa, tapi beliau selalu bilang pada kami, ibadah jangan ditinggalin, berbuat baik sama sesama, dan semoga punya kehidupan yang cukup pun barokah. Sepertinya, inilah sumber kebahagiaan mereka melihat kami tumbuh dewasa-menua sesuai dengan apa yang membuat kami bahagia.

Bagi saya, memiliki orangtua yang nggak pernah meremehkan kemampuan anak dan membandingkan anak dengan yang lain, itu anugerah. Tak peduli orang lain justru melakukannya. Bukankah hidup ini tuh kita yang menjalani, Tuhan yang menentukan, orang lain yang mengomentari. Biarin aja orang lain melakukan 'tugasnya', sementara kita akan semakin matang dan tinggi. Itu aja. 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)