credit |
Seorang gadis manis
bergaya casual sibuk menenteng kamera
SLR-nya. Sesekali ia membidikkan kamera canggihnya ke sembarang sudut, mencoba
mendapatkan objek eksotis dari penyelenggaraan sebuah tradisi “bersih desa” di
sebuah Punden atau tempat yang dikeramatkan di desa Gadungan. Sebuah desa yang
menjadi bagian dari pemerintahan kecamatan Puncu, kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Sepengetahuan gadis itu
berdasar cerita almarhum kakeknya, dulu desa ini bernama desa “Negoro Marumi”
yang dipimpin oleh Soetowidjojo lalu diserahkan sementara kepada anak
sulungnya, Djoko Begadung karena ia pergi bertapa di gunung Songgoriti mencari
ilham untuk kelestarian negaranya. Djoko Begadung di sisa hidupnya “dikutuk”
menjadi seekor Harimau. Hal ini disebabkan oleh sabda sang ayah yang kesal
mendengar seseorang mandi di sebuah sendang. Kala itu, Djoko Begadung hendak
menyusul ayahnya yang bertapa di gunung Songgoriti. Djoko Begadung menyempatkan
diri mandi di sebuah sendang sebelum sampai di gunung Songgoriti. Ia mandi
dengan suka ria yang berlebihan sehingga ayahnya menyebut sikap orang itu
seperti binatang saja. Ayahnya tak tahu ternyata itu adalah anak sulungnya,
Djoko Begadung. Ayahnya menyesal. Kemudian mereka kembali ke negoro Marumi melanjutkan pemerintahan.
Harimau jelmaan Djoko
Begadung memiliki sebuah pusaka bernama Pusaka Bondan, hasil rampasan dari dua
bersaudara Kebo Lelono dan Kebo Kusumo dari negoro
Bali yang datang meminang adiknya bernama Dewi Soetiyem. Tapi Djoko Begadung
menolaknya karena kesombongan keduanya. Sehingga Djoko Begadung mengusir mereka
setelah mereka mabuk akibat memakan daging kerbau sajian Djoko Begadung yang
bercampur santan dari Gadung (sejenis umbi-umbian) secara berlebihan. Djoko
Begadung juga menolak pinangan mereka. Akibatnya, mereka berdua marah dan
menyerang negoro Marumi tapi mereka
berdua kalah. Kemudian mereka berdua bertemu kembali dengan Djoko Begadung dan
ayahnya saat perjalanan kembali ke negoro
Marumi dari Songgoriti. Terjadilah peperangan kembali, Djoko Begadung lagi-lagi
menjadi pemenangnya dan membunuh kedua kebo itu dengan Pusaka Bondan milik
mereka sendiri. Selanjutnya, Pusaka Bondan ditancapkan Djoko Begadung di bawah
sebuah pohon Beringin. Di sanalah Djoko Begadung -yang sudah menjadi Harimau-
hidup bersama sang adik, Dewi Soetiyem atau dikenal dengan Melati Putih.
Sementara saudara bungsu mereka, Clontang Koesumo, diminta ayahnya pergi ke
daerah Lodoyo.
Beratus-ratus tahun
berikutnya, sekitar setelah tahun 1763 Masehi, negoro Marumi yang sudah berganti nama dengan “Negoro Gadungan”
oleh Soetowidjojo dipimpin oleh dua lelaki bersaudara dari Jawa Tengah, Adi
Soewarno (Kedud) dan Mangku Kusumo (Trunoredjo). Tapi di bawah kepemimpinan
sang adik, Trunoredjo, desa Gadungan bisa aman, tentram dan sejahtera. Terlebih
ketika muncul sumber mata air hasil Trunoredjo mencabut Pusaka Bondan yang
ditanam oleh Djoko Begadung dahulu. Sumber mata air itu diberi nama “Sumber
Bedji”.
Hingga kini masyarakat
Gadungan menghormati para leluhur yang membabat tanah desa itu dengan melakukan
“bersih desa” berupa kegiatan selamatan dan ziarah di Punden Bah Kud (Bakud),
tempat pemakaman keluarga sang kakak, Kedud lalu berlanjut ke Punden Sumber Bedji, tempat sang adik. Ketika acara “bersih desa” di Sumber Bedji,
Pusaka Bondan selalu dikeluarkan kemudian diletakkan di atas Bokor dan
dikelilingi oleh masyarakat Gadungan yang hadir, diiringi gending Landrangan
kemudian Pusaka Bondan dipakai oleh kepala desa untuk Bekso (Tayuban/ tari
Tayub). Begitulah singkat cerita tentang desa tanah kelahiran gadis tadi.
Acara “bersih desa”
yang diadakan setiap satu Suro di Punden Bakud itu bukan hal baru bagi gadis
itu tapi kali ini menjadi amat menarik baginya karena sudah setahun ia tak
pulang ke tanah kelahirannya. Hiruk pikuk ibu kota menenggelamkannya ke dalam
kesibukan yang seolah tiada henti. Kini gadis itu melepas kerinduan terhadap
ayah, ibu dan adiknya dan tentu saja terhadap desanya, desa Gadungan yang konon
dari dulu merupakan desa penghasil tanaman Gadung yang sering dibuat untuk
keripik Gadung. Kini desa ini terkenal penghasil kerajinan genteng dan
batu-bata (yang sudah ada sejak zaman Belanda) dan pemasok ternak ayam petelur
terbesar tingkat regional dan seluruh kawasan Kediri Raya. Hasil pertaniannya
berupa tebu, jagung, pepaya, nanas dan cabe yang cukup melimpah setiap
musimnya.
Gadis itu Sarah.
Bekerja sebagai salah seorang anggota tim kreatif sebuah acara fenomenal di
sebuah stasiun televisi swasta di negeri ini. Maka dari itu, ia tidak bisa
sering pulang kampung sehingga ia merapel hari cuti kerjanya untuk berkumpul
bersama keluarga tercinta.
Kali ini untuk melipur
kerinduannya, ia menyempatkan diri menghadiri “bersih desa” itu sendiri karena
adiknya sedang sekolah. Sayang ia tak bisa turut bergabung dengan warga karena
ia tak membawa berkat (makanan dengan
bermacam lauk-pauk dengan lauk utama ayam panggang sebagai wujud syukur kepada
Tuhan Yang Esa atas limpahan rezeki) untuk selamatan. Nantinya berkat ini akan dido’akan bersama lalu
dibagi dengan tetangga atau orang yang duduk di sebelah kiri atau kanan kita
ketika berdo’a bersama, sisanya dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga.
Sarah tidak membawa berkat karena sudah tujuh tahun terakhir
sepeninggal kakeknya -seorang muslim kejawen-, keluarganya tidak lagi mengikuti
tradisi “bersih desa” ini. Ayahnya seorang muslim taat melarang keras istri dan
anak-anaknya melakukan hal tersebut karena tidak sesuai dengan apa yang
diyakininya. Hanya saja semasa mendiang kakek Sarah hidup, ayahnya menghormati
sang kakek dengan terus menjalankan tradisi satu Suro itu. Setelah masa duka
tersebut, Sarah tak serta merta mengikuti perintah ayahnya, ia tetap rutin
menghadiri acara itu setiap tahun walau hanya di pelataran Punden. Bukan untuk
ikut berdo’a bersama dengan membawa berkat,
melainkan makan gulali yang dijual di setiap acara-acara yang diselenggarakan
oleh pihak pemerintahan desa. Hal ini ia lakukan semenjak ia sekolah bahkan
ketika ia masih sering diajak mendiang kakeknya datang ke Punden tersebut
semasa kecilnya. Kini setelah ia dewasa, ia ingin kenangan bersama kakeknya
terus hidup. Hubungan keduanya amatlah rekat karena Sarah merupakan cucu
pertama di keluarganya dari pihak ibu sehingga ia menjadi cucu kesayangan dan
kebanggaan sang kakek.
Sarah kini berdiri
mematung di pelataran Punden menatap jauh ke bagian dalam Punden.
“Pekuburan di dalam Punden itu adalah makam leluhurmu, Nduk[1]. Jangan lupakan mereka. Nggak ada mereka,
nggak ada desa Gadungan,nggak ada kita sekarang. Mereka juga pahlawan. Pahlawan
yang babat desa ini. Sama seperti Gajah Mada, babat nusantara kita. Sama
seperti Bung Karno, Bung Hatta dan pahlawan yang diajarin di sekolah. Hanya
saja mereka yang ada di Punden ini tidak masuk buku sejarah sekolahmu, Nduk. Tapi tansah elingo. Elingo nang para
leluhur[2]. Dari mereka kamu ada.” Suara ini terasa
begitu nyata di telinga Sarah.
“Mendo’akan orang yang sudah meninggal itu keharusan. Biar kita selalu eling
terhadap kematian. Kita nanti juga mati.
Tapi sungguh anugerah kita bisa dikenang dalam kebaikan setelah kita mati.
Seperti mereka yang ada di dalam sana, mereka mendirikan desa ini. Kamu mau
mati dikenang dalam kebaikan, kan?” Sarah masih terpaku menatap ke dalam Punden,
ke arah makam-makam melalui sela-sela pagar bercelah lebar.
“Jika orang mengatakan ini kesyirikan karena berdo’a di Punden dengan
makam di dalamnya, wallahu a’lam. Kita nggak minta apa-apa ke leluhurmu. Kita
mendo’akan mereka kepada Gusti Allah supaya mereka diberi tempat yang indah dan
berterima kasih atas jasa mereka mengadakan desa ini. Sunan Kali Jaga saja,
menyebarkan agama Islam dengan budaya. Jadi... ojok digatekno omongane
ayahmu sing kaku[3],” Suara ini memicu rasa tidak nyaman di
dada Sarah. Suara kesenggangan antara ayahnya dan kakeknya. Ya... itu tadi
suara kakeknya. Terasa nyata.
Mendadak tubuh Sarah
berguncang hebat, membuatnya nyaris tersungkur ke tanah. Dia mendengus sebal
kemudian menoleh.
Sarah terpaku sekejap
usai kembali tegap berdiri. Di depannya sudah berdiri menjulang sosok gagah dan tampan
dengan wajah internasional, mata abu-abu, rambut pirang gelap, hidung mancung,
garis wajah kuat dengan jambang di dagunya dan... Sarah menyapukan pandangan
matanya dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala sosok itu, sempurna! Lelaki di
depannya very, very, very handsome!
Sarah memekik di dalam hati. Ia tak sadar ia menyunggingkan senyuman tapi
sedetik kemudian ia langsung mengubah senyuman itu menjadi mulut yang monyong.
“Kalau jalan pakai
mata, Bung!” seru Sarah spontan tak peduli harus bicara dalam bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris.
“Maaf, nggak sengaja,”
Sarah kaget bule itu
fasih ngomong Indonesia.
“Kamu nggak
kenapa-kenapa, kan? Untung nggak nyosor ke tanah. Baguslah...” sambung lelaki
itu.
Sarah mengangkat
sebelah alisnya lalu berwajah a la angry
bird. Menyebalkan sekali omongan bule ini!
“Oh, tentu, aku nggak
apa-apa. Tapi lain kali pakai tuh, mata dengan benar!” omel Sarah sembari menunjuk
dua jarinya ke arah mata lelaki itu.
“Kenapa mataku?” Lelaki
itu mencondongkan tubuhnya ke arah Sarah sambil mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak
matanya. Sarah terpaksa memundurkan tubuhnya. “Aku sudah menggunakannya dengan
benar.” Lelaki itu menunjukkan bahwa tak ada masalah dengan matanya seperti
yang dikatakan Sarah.
Baru saja Sarah hendak
mengonfrontasi lelaki itu, tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya. Ternyata
buleknya yang menjabat sebagai kepala desa Gadungan yang baru, tahun 2013 ini.
“Ngapain di sini? Ayo
masuk!” ajak buleknya. “Tapi kameranya jangan dinyalakan, ya? Bukan apa-apa,
menghormati kekhidmatan orang yang berdo’a di dalam, biar khusyuk. Ayo,”
“Nggak apa aku masuk,
Bulek? Aku nggak bawa berkat, lho,”
“Ora popo. Nanti pasti dapat. Bulek bawa dua ekor ayam panggang,
nanti aku kasih,” seringai buleknya bercanda.
Sarah tersenyum lebar.
Buleknya menyadari kehadiran bule itu di tengah
mereka.
“Eh, Mas yang cucunya mbah
Soemoredjo, ya?” tanya bulek. Bule itu tersenyum mengangguk. “Anaknya pak
Sumadi?” Bule itu manggut-manggut. “Oalah, kapan datang dari Barcelona? Bu
Sumadi pie kabare?”
Kali ini Sarah tercekat
lehernya. Ia sungguh tak percaya.
Barcelona?
Bule ini dari Barcelona? Dan punya darah Indonesia? Pantesan bahasa
Indonesianya fasih. Eh, tapi bisa bahasa Jawa nggak, ya? Pasti lucu kalau
ngomong Jawa. Hihihi. Sarah tersenyum-senyum sendiri.
“Kala wingi, Bu. Mami pawartose sae. Sakniki mami pun pindah mriki
saklawase,[4]” ujar bule
itu lancar berbahasa Jawa.
Sarah mendelik bahkan
merasa tubuhnya terpental seketika. Ia berbahasa Jawa saja sering keseleo lidah
–maklum ayahnya asli Sunda-, sementara bule ini lancar jaya.
Setelah berbasa-basi
sebentar, mereka bertiga masuk ke dalam Punden. Mereka duduk di sebuah gazebo.
Sarah sendiri duduk bersandingan dengan bule itu. Dan jelas saja semua mata
menuju bule itu karena paling “aneh” dari semuanya. Aneh tapi ganteng, sih.
Kemudian semuanya
hening dan khidmat berdo’a bersama karena setelah ini mereka akan menuju ke
Sumber Bedji, melanjutkan acara “bersih desa” bersama Bupati Kediri dan
masyarakat Gadungan yang lainnya.
***
Hari merangkak semakin
larut. Alunan gending Jawa mengiringi tari Tayub di area Pundan Sumber Bedji. Para
tledhek (penari wanita tari Tayub)
begitu indah dalam menggerakkan
keseluruhan tubuhnya dan menyerasikannya dengan alunan gending. Para pengunjung,
terutama lelaki diajak oleh mereka maju ke arena tari untuk menari bersama.
Para tledhek itu mengalungkan selendang atau sampur ke
leher tamu yang diajaknya menari.
Tari Tayub ini menyebar
di sebagian besar wilayah Pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Jawa Timur dengan
cara penyajian dan istilah yang berbeda di masing-masing daerah. Tari ini
merupakan tari pergaulan masyarakat yang kini sering dipertunjukkan di
acara-acara seperti pernikahan, khitanan atau acara kebesaran atau peringatan
tertentu, misalnya acara Agustusan atau “bersih desa” seperti yang sering
diselenggarakan desa Gadungan.
Tari Tayub sering
mendapatkan pandangan miring oleh kalangan tertentu karena selama pertunjukan,
pengunjung disajikan minuman keras ditambah dengan pemberian uang saweran yang
dilakukan oleh pengibing (pengunjung yang diajak menari) di sela-sela belahan
dada tledhek sehingga menimbulkan
persaingan dengan pengibing lain.
Sarah bersandar di
sebuah dinding setinggi perutnya tak jauh dari para penari Tayub yang sedang
menari bersama para tetamu. Ia larut dalam hiruk-pikuk tradisi turun-temurun
tersebut dengan mengemut gulali favoritnya yang ia beli dari seorang pedagang
gulali yang “parkir” di pinggiran pelataran Punden. Sementara gulali ada di
mulutnya, kedua tangannya sibuk memencet-mencet tombol kameranya. Ia menggulir
layarnya pelan-pelan. Ia tersenyum dengan hasil potretannya. Namun ia
dikagetkan dengan selendang yang tiba-tiba saja terkalung di lehernya. Seorang
lelaki separuh baya berkumis tebal bak pak Raden dan tambun mengerlingkan
sebelah matanya pada Sarah. Berikutnya, bapak itu menjawil dagu Sarah.
“Mbak, sini nari sama
aku,”
Sarah yang spontan eneg
mencoba untuk ramah. “Ngapunten[5],
Pak. Saya kan, bukan penari. Mbak-mbak penarinya itu, tuh!” tunjuk Sarah ke
belakang bapak itu lalu menarik selendang di lehernya dan diberikannya pada si
bapak.
“Aku maunya sama kamu,
Mbak. Ayu tenan kowe,” tukas bapak itu kembali menjawil
dagu Sarah.
Sarah segera menampik
tangan bapak itu dan mengomel sejadi-jadinya.
“Huh, dijak seneng-seneng ora gelem! Ora usah jual mahal kowe, cah ayu!
Rene![6]”
paksa bapak itu dengan kasar menarik tangan Sarah. Sarah kesakitan dan meronta
tapi suaranya lebur di tengah keramaian suasana.
Langkah Sarah dan bapak
itu berhenti seketika saat sebuah tangan besar dan kekar menahan tangan bapak
itu.
“Ngapunten, Pak,” suara jantan seorang lelaki. Si bule tadi siang
ternyata.
“Weeh.. Londo[7] iso
boso Jowo. Lapo?!” sentak bapak itu.
“Niki rakyat kulo, Pak,[8]”
lanjut bule itu.
“Heh?” Bapak itu tampak
terkaget-kaget. “Oalah Mas Londo... makanya
dijaga punya istri cantik begitu!” sambung
bapak itu sembari hendak menyentuh dagu Sarah kembali tapi ditepis secepat
kilat oleh bule itu.
“Maaf, Pak. Jangan
macam-macam sama istri orang!” sentak bule itu dengan cengkeraman tangan yang
amat kuat pada tangan bapak itu.
Sarah kaget mendengar
kalimat bule itu. Kemudian lelaki tambun itu pergi dengan omelan berentet dan
sesekali menunjukkan ekspresi ketakutan ketika menoleh ke arah bule tadi.
“Hei, kamu baik-baik
saja?” tanya bule itu.
Sarah mengangguk. “Thanks, ya sudah nolongin,”
Bule itu mengangguk
cepat. “Makanya kalau ke sini jangan sendirian. Oknum-oknum jahil kayak
bapak-bapak tadi kemungkinan besar berkeliaran di saat acara seperti ini, walau
nggak sering. Tapi pasti ada yang nakal dalam tanda kutib,”
Sarah mencerna
baik-baik nasehat bule itu.
“Eh, tapi aku nggak
terima kamu sebut istrimu,” protes Sarah.
Bule itu tersenyum
kecut, membuat Sarah kembali gondok.
“Aku juga nggak suka
dengan ekspresimu yang memuakkan itu, seolah menghina sekali,” lanjut Sarah.
“Kalau aku nggak bilang
kamu istriku, apa kamu mau hal-hal buruk terjadi sama kamu?” Bule itu mengarahkan
jari telunjukkan ke samping matanya. “Berpikirlah, Nona Manis. I’m your hero tonight. So... berterima kasihlah dengan cara
yang baik. Jangan setelah berterima kasih memprotes begitu,”
Sarah manyun tapi tak
bisa membantah. Bule itu memang telah menyelamatkannya.
“Terus mau kamu apa
sebagai balas budi?”
“Nothing. Hanya saja, bersikaplah manis padaku,” ujar bule itu
mengerdipkan sebelah matanya pada Sarah. Sarah menampakkan wajah muaknya.
“BOOKKK!!” suara tangan
Sarah mendarat paksa dan keras di lengan bule itu. Bule itu spontan mengaduh.
“Genit!” seru Sarah. “Kamu harus periksakan matamu ke dokter supaya nggak
kurang ajar seperti bapak tadi,”
Bule itu justru terkekeh
mendengar Sarah mengoceh memarahinya.
Beberapa menit
kemudian.
“Loh...” suara Sarah
tiba-tiba seperti orang bingung sambil matanya menyusuri tanah yang dipijaknya.
“Kenapa?”
“Gulaliku mana? Wah,
pasti jatuh karena bapak tadi. Hemmm... padahal masih banyak. Sayang banget
kebuang gitu aja,” rengek Sarah.
“Lalu? Kamu mau mungut
dari tanah gitu?” tanya si bule. “Sini!” Bule itu menarik tangan Sarah kuat
tapi tak kasar.
Mereka berdua menuju penjual
gulali.
“Wah... apa-apaan ini?
Kamu pengen membuat aku merasa berhutang padamu berkali-kali lipat? Ogah!”
tolak Sarah ketika si tukang penjual gulali menyodorkan gulali tersebut.
“Susah ya berurusan
sama orang yang selalu negative thinking.
Sepertinya kamu yang perlu periksa ke dokter untuk brainwash supaya nggak mudah negative
thinking,” oceh bule itu. “Aku berniat baik, just it!” Bule itu mengambil gulali dari tangan si penjual dan
menyerahkan uang dua ribu rupiah. “Kalau kamu nggak mau, aku makan,”
“Ah, a, a... sini, aku
mau. Aku sudah ngidam lama. Di Jakarta nggak ada gulali seenak ini,” sahut
Sarah merebut gulali itu dari tangan si bule.
Sarah mulai mengemut
gulali itu. Ekspresinya seperti anak kecil yang teramat menikmati jajannya. Si
bule tersenyum manis melihat Sarah. Ia sungguh tak percaya, gadis galak yang
baru ia temui tadi siang ternyata memiliki sisi yang lucu dan manis. Sementara
Sarah juga tak menyangka, bule yang terkesan menyebalkan itu punya hati yang
baik, berjiwa pengayom. Naiklah satu level kekaguman Sarah padanya selain
alasan fisik. Tapi rasa dongkolnya tak serta-merta terhapus begitu saja.
***
Pagi-pagi Sarah sudah
ada di pemakaman kakeknya setelah lari pagi. Ia berdo’a di sana dan melepas
rindu. Ia juga bercerita seolah kakeknya ada tepat di hadapannya. Ia bercerita dirinya baru saja mengikuti acara bersih desa
di Punden Bakud lalu ke Sumber Bedji. Ternyata tradisinya masih sama. Bahkan
Sarah juga sempat memotret ketika acara berlangsung, minus do’a bersama untuk
menghormati prosesi berdo’a. Tak lupa Sarah juga bercerita bahwa ia bertemu
lelaki super tampan di Punden yang telah menolongnya dari oknum jahat ketika di
Sumber Bedji.
“Ganteng banget, Mbah.
Bule. Kata bulek Sri sih, mbahnya asli sini dan dulu sempat memangku jabatan
penting di pemerintahan desa. Mbah kenal mbahnya? Kalau nggak salah namanya
mbah Soemoredjo? Wah, Mbah, coba Mbah masih hidup, jodohkan aku lah Mbah sama
cucu orang itu, hehehe. Mbah, besok aku ke petilasan Jayabaya ya, Mbah? Aku
pengen ambil foto terus sama mengenang kebersamaan kita dulu, Mbah,” celoteh
Sarah manja mengingat kebiasaannya dengan sang kakek yang sering berkunjung ke
tempat bersejarah dan sakral. “Ah, Mbah, aku kangen. Untung gelangku ini nggak
ilang Mbah, pas aku ikut outbond ke Lembang
beberapa bulan lalu. Padahal ini kan, hadiah dari Mbah satu-satunya pas aku
umur 12 tahun,” lanjut Sarah sendu memegangi gelang manik-manik di tangan
kirinya.
Usai “bercengkerama”
dengan kakeknya dan tak lupa ia “menyapa” neneknya dan beberapa saudara yang
dimakamkan di area yang sama, Sarah kembali pulang.
Siang harinya Sarah
berangkat ke desa Menang (Pagu-Kediri), tempat petilasan pamuksan (muksa/
menghilang) Sri Aji Jayabaya. Beliau adalah raja Kediri yang termasyhur pada
tahun 1135-1157 dengan buku ramalan Jangka Jayabaya yang meramalkan nasib
Nusantara bertahun-tahun bahkan beratus-ratus tahun sampai saat ini dan ke
depannya. Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan kerajaan Janggala dan
menyatukannya kembali dengan Kadiri (kini Kediri). Jayabaya juga merupakan raja
yang arif dan bijaksana yang mewarisi darah keluarga Pandawa. Ayahnya bernama
Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu dari ayah bernama
Arjuna, salah seorang Pandawa Lima.
Sarah berhati riang
ketika menginjakkan kaki di petilasan pamuksan Jayabaya. Sebentar lagi memori
manis dengan kakeknya akan kembali hadir. Namun, keriangan itu buyar ketika
seseorang mendorong motornya dari belakang hingga terpaksa Sarah dan motornya
maju dua meter ke depan mendadak, praktis membuatnya oleng walau tak sampai terjatuh.
Sarah berdecak lidah
sebal. Sementara orang itu masih nangkring di atas motor dengan helm berkaca hitam yang menutupi
wajahnya.
Dengan hati super
dongkol Sarah turun dari motornya, menarik penyangga motor sekenanya dengan
kakinya lalu segera menghampiri orang yang baru saja menabraknya.
Sarah langsung nyerocos
begitu saja di depan helm orang itu.
“Sori, nggak sengaja,” sahut
santai orang itu sambil melepas helmnya.
Sarah merasa nafasnya
berhenti sejenak. Bule itu!
“Kamuu....” suara Sarah
menggemeretakkan deretan giginya.
“Kamu nggak
kenapa-kenapa, kan? Baguslah,“
Sarah seketika naik
pitam, ditinjunya lengan lelaki itu seenaknya.
“Kamu berulang kali mau
bikin aku celaka dan kamu bilang segitu santainya, bagus, bagus. Bagus gundulmu!
Makanya pakai mata yang bener. Otaknya juga dibikin siaga biar nggak nabrak
mulu!” sergah Sarah.
Bule itu melengos
sejenak lalu menatap Sarah tanpa ekspresi. Sedetik kemudian tersenyum asal.
“Kamu kalau marah
terlihat hermoso[9],cantik,”
cetus si bule.
Sarah terlongo disusul
dengan wajahnya yang berubah semu merah. Tapi kemudian mendadak ia menghujamkan
tatapan mautnya.
“I’m serious. But it’s better
like this...” Tangan bule itu menarik kedua ujung bibir Sarah ke atas,
melengkungkan senyuman. Kemudian meninggalkan Sarah dengan kekagetannya
sendiri.
Sarah dongkol di satu
sisi tapi di sisi lain sungguh gede rasa bukan main.
Singkat cerita ternyata
keduanya punya tujuan yang sama, rekreasi ke tempat bersejarah. Sialnya (atau
beruntung?) mereka berdua selalu bersamaan ketika berjalan dari satu tempat ke
tempat lain, dari tempat muksanya Jayabaya, ke tempat mahkota Jayabaya disimpan
(berupa batuan berbentuk mahkota) sampai ke pemandian yang masih satu kompleks dengan
petilasan pamuksan Jayabaya.
Selama perjalanan
mereka saling bertengkar kecil. Bule yang jahil dan Sarah yang tak suka
dijahili. Sesekali mereka dibuat keki oleh pemandu yang mendampingi mereka
mengelilingi kompleks bersejarah dan menceritakan sejarahnya.
Momen terkikuk yang
mereka alami adalah saat sang pemandu yang sudah sepuh[10]
tapi terlihat segar-bugar dan lincah, mbah Ponco namanya, nyeletuk demikian.
“Mas namanya Jayabaya,
Mbak namanya Sarah. Jodoh,”
Sarah dan bule itu melongo
bersamaan.
“Kok, mekaten[11],
Mbah?” tanya bule bernama lengkap Alano Jayabaya itu. Tadi ia memperkenalkan
diri seperti itu dengan suara yang mantab dan jelas.
“Yo, iyo, Mas. Permaisuri Maharaja Jayabaya kan, Dewi Sara.”
Mbah Ponco mengucap
nama Sarah tanpa huruf “H” pada akhirannya tapi tetap terdengar “Sarah”.
“Loh, Mbah, nama
lengkapku Dewi Sarah,” tukas Sarah yang tak menyangka namanya seperti istri prabu
Kediri.
Mbah Ponco terkekeh. Jaya
menahan tawanya supaya tidak meledak begitu saja.
“Oalah yo, yo, kok ketepakan ngene[12].
Kalian berjodoh, Mas, Mbak,” ujar mbah Ponco.
Waduh! Bencana atau
anugerah?
“Aamiin, deh, Mbah. Hahaha,”
sahut Jaya spontan lalu pecahlah sudah tawanya.
Sarah menimpuk lengan
Jaya. “Apaan, sih?!! Nggak lucu!”
Jaya masih
terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Sarah masih menggerutu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Bercanda kali, Sar.
Mbah Ponco cuma guyon[13],”
kata Jaya menghibur. “Ya, to, Mbah?”
Jaya menatap mbah Ponco. Mbah Ponco manggut-manggut sembari tersenyum lebar.
Mereka bertiga lalu
duduk di sebuah kursi bambu di bawah pohon Beringin dekat pemandian. Kemudian mbah
Ponco pamit untuk beli minuman sebentar ke sebuah warung kecil yang berjualan
di area pemandian.
“Kamu kelihatan bad mood, kenapa?” tanya Jaya memecah
keheningan di antara keduanya.
“Gara-gara kamu, aku
gagal total mengenang kembali memori bareng kakekku dulu semasa hidupnya. Kamu
perusak suasana!” tuding Sarah.
“Bukan kehendakku
ngerusak suasana hatimu,” Jaya membela diri. “Dan baru kali ini ada cewek
bilang aku penyebab dirinya bad mood.
Di luar sana banyak cewek merasa berbunga-bunga ketemu aku,” Jaya berbangga
diri.
Sarah manyun mengejek.
“Jangan jaga image begitu! Kita lihat saja, ya,
kalau setelah pulang ini kamu mikirin aku terus dan tiga bulan berikutnya kamu
makin kangen aku, sudah pasti kamu termasuk ratusan bahkan ribuan cewek
Indonesia yang suka sama aku!” ujar Jaya yang tampaknya sudah mencapai titik
kenarsisan.
Sarah menyikut Jaya.
“Kalau yang ada
sebaliknya?” Sarah menantang.
“It’s okay. Artinya Sarah akan jadi permaisuri Jaya. You’ll be my queen. That’s the point! Nggak peduli siapa
yang suka duluan. Kita ingat-ingat kata mbah Ponco tadi sebagai do’a atau
bahkan sebuah ... kutukan mungkin,”
“Ih, ogah!” tukas
Sarah.
“We’ll see,”
Sarah mendesis. Jaya
sungguh punya tingkat kepercayaan diri tinggi, segaris lurus dengan
penampilannya yang nyaris perfecto
dengan gaya sporty dan macho-nya itu.
Sarah tersanjung diperlakukan Jaya seperti itu tapi apakah benar ia dan Jaya
bisa berjodoh? Ia tak akan menampik mentah-mentah kalau memang Tuhan
menjodohkan mereka berdua tapi masa’ sih? Dan apakah Jaya juga punya kekaguman
padanya seperti ia kagum pada lelaki itu jauh di dalam hatinya? Sarah
menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.
Ini memang terlalu
cepat. Itu tadi hanya candaan mbah Ponco dan Jaya juga tampaknya tipe lelaki
penggoda. Ah... Sarah bingung. Tapi, aslinya... Aku berharap bisa berjodoh
dengan Jaya. Mendampinginya seperti Dewi Sara mendampingi Sri Aji Jayabaya.
Siapa yang mau menolak lelaki setampan dan... selucu dia? Pintar melumerkan
suasana walau terkadang menyebalkan. Tapi jelas dia berjiwa pahlawan.
Sarah melirik Jaya yang
duduk di sampingnya. Jaya justru melempar senyum jahilnya dan mengerlingkan
sebelah matanya. Sarah melengos dan menjulurkan lidahnya keluar. Tapi tanpa
diketahui Jaya, Sarah tersenyum-senyum sendiri, mengamini kalimat mbah Ponco.
-selesai-
*Beberapa informasi mengenai desa
Gadungan diambil seperlunya dari sumber resmi http://www.gadunganpuncu.info/home/
sementara informasi petilasan pamuksan Jayabaya diambil seperlunya dari http://wikimapia.org/4221580/id/Petilasan-Pamuksan-Sri-Aji-Joyoboyo.
Sumber tari Tayub dari http://jawatimuran.wordpress.com/2012/05/07/tayub-jawa-timur/
dan http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Tayub
[1] Panggilan untuk
anak perempuan dalam budaya Jawa
[2] Tapi selalu
ingatlah. Ingatlah kepada para leluhur.
[4] Kemarin, Bu. Mami
kabarnya baik. Sekarang mami sudah pindah ke sini selamanya.
[5] Maaf
[6] Huh, diajak
senang-senang nggak mau! Nggak usah jual mahal kamu, anak cantik! Sini!
[7] Sebutan
masyarakat Jawa untuk orang asing berkulit putih di zaman penjajahan.
[8] Ini istri saya,
Pak.
[9] Cantik dalam
bahasa Spanyol
[10] Tua dalam
bahasa Jawa
[11] Begitu
[12] Oalah, ya, ya,
kok kebetulan begini.