Kenia Ken
“Aku?
Suka sama wanita pengkhayal macam Kenia? Hhh! Mustahil!” sumpah itu
meluncur dari mulut Kim, lelaki 50% Korea, 25% Sunda, 25% Madura. Jelas
wajah orientalnya begitu kental. Super tampan. Super pedas dalam
bertutur kata.
Kim
lega meloloskan kata-kata itu dari mulutnya setelah selama ini tertahan
di hadapan si empunya nama, Kenia Sarasvati, gadis 25% Bali, 75% Jawa,
Indonesia tulen. Manis dan bertubuh umumnya wanita Asia. Tanpa ada
penyesalan dalam batin Kim. Tiada peduli telah “membakar” telinga Kenia
yang tak sengaja melintas di kamarnya.
“Orang
yang suka menulis fiksi, apa namanya kalau bukan pengkhayal? Menjadikan
nama dan karakter idolanya sebagai tokoh utama? Memosisikan dirinya
sebagai lawan dari tokoh utama? Apa itu namanya bukan pengkhayal? Cih!”
lanjut Kim lebih pedas lagi. “Sorry, aku
tak pernah tertarik dengan wanita yang tak realistis hidupnya. Ia hidup
di dunianya sendiri dengan banyak topeng karena setiap ceritanya punya
karakter tokoh wanita yang berbeda dan ia memosisikan itu dirinya,”
tegas Kim.
Di
balik jendela kamar Kim, Kenia pilu hingga keluarlah air mata dari
sudut mata teduhnya. Tak ambil panjang pikir, Kenia meninggalkan tempat
itu segera. Sementara Kim mencoba menengok sudut dimana Kenia tadi
berdiri usai menutup telepon bohongannya itu. Ia hanya berpura-pura
berbicara dengan seseorang di telepon dan membahas Kenia. Sekarang dia
puas. Itu adalah cara untuk mematahkan hati Kenia, agar Kenia sadar
bahwa dirinya tak lagi bisa membuka hati. Bagi Kim, wanita hanya seolah
paku payung yang bertebaran dimana-mana yang siap menjebaknya kapan
saja, dimana saja dan tak peduli betapa perih luka yang ditinggalkan.
Kim telah lelah mengobatinya sendiri dan butuh waktu lama mengobatinya.
***
Pagi
cerah disertai merdunya nyanyian burung-burung berkicauan yang terbang
dan hinggap kesana dan kemari di antara pepohonan pekarangan rumah
Kenia. Di ruang makan yang berkonsep teras lepas disambut taman mini
berhias tanaman obat keluarga alias toga sudah berkumpul ayah dan ibu
Kenia, Dewa kakak lelaki Kenia dan Kim. Sementara Kenia yang biasanya
paling awal bersiap diri di sana, belum juga menampakkan batang
hidungnya. Ibunya berinisiatif menyusulnya di dalam kamar.
Kamar
Kenia, pukul tujuh pagi. Kenia masih meringkuk di atas kasurnya. Binar
matahari yang begitu kuat menembus kaca kamarnya yang berseberangan
dengan posisinya sekarang meringkuk, mengenai keseluruhan tubuhnya.
Pintu kamarnya terbuka, ibunya masuk dan tersenyum simpul.
“Ken, kamu tumben masih bermalas-malasan? Biasanya kamu selalu siap sedia lebih awal,” ucap ibunya.
Kenia menoleh malas. “Ibu... aku sedang malas keluar rumah. Hari ini aku tak ikut ayah ke kebun, ya?” tungkas Kenia.
“Tak biasanya,”
“Ya,
malas saja, Bu. Berikan aku sehari saja untuk bermalas-malasan. Aku tak
pernah bermalas-malasan semenjak Tuan Kim datang kemari, nyaris dua
bulan,”
“Apa
dengan bermalas-malasan akan membawa panggilan tes dan interview kerja
datang padamu? Tidak, kan? Mari bangun! Anak gadis tak pantas bangun
siang-siang. Rezekinya dipatuk ayam,”
“Ibu... please... sekali ini saja!” Kenia memohon.
Ibunya
begitu saja meluluskan permintaan sang anak perawannya. Mungkin karena
kedua mata sembab Kenia. Ibunya tahu persis pasti ada suatu masalah
sampai Kenia menguras air mata begitu.
“Tapi ibu tak akan membawakan makanan untukmu ke kamar. Pamali makan di kamar,”
“Siap nyonya,” sahut Kenia masih sempat bercanda.
Ibu mengelus kepala Kenia kemudian beranjak pergi dari kamar Kenia.
Selepas ibunya menutup pintu beberapa menit, Kenia duduk di depan meja dengan sebuah kaca besar.
Kamu
tak ada artinya di matanya, Ken! Buat apa kamu bersusah payah
mengejarnya? Dia dan kamu berbeda. Tak akan pernah bersatu. Dia tak
menghendakimu menjadi kekasihnya.
Kenia
melirik ke sebuah rak buku. Di sana berjejer rapi di rak kedua dari
paling atas, buku-buku yang mencantumkan namanya di antara belasan
bahkan puluhan nama-nama pengarang cerpen lain. Sekitar ada sepuluh buku
antologi cerpen, lima buku kumpulan puisi dan prosa dan dua buah buku
kumpulan cerpen self-publishing
dan sebuah novel komedi romantis produksi penerbit mayor atas nama
Kenia Ken, nama pena Kenia. Sebanyak itu karyanya tercipta dan
diapresiasi. Kebanggaan tersendiri baginya. Namanya terabadikan. Tiada
yang lebih berharga seolah menjadi gajah yang mati meninggalkan gading
sehingga akan dikenang bahwa ia pernah hidup melengkapi “koleksi” Tuhan
di bumi.
Kenia beranjak menghampiri rak buku itu dan menyentuhnya dari ujung ke ujung.
“Kebahagiaanku
tak sama dengan kebahagiaannya. Baginya aku hanya pengkhayal ulung.
Andai saja ia mau sedikit memahami, khayalanku adalah buah dari hasil
perekaman panca inderaku selama ini. It’s mean,
aku justru wanita cerdas yang bisa mengolah hasil rasa panca inderaku
dengan begitu ciamik. Jalan kita memang berbeda. Segalanya berbeda. Tapi
kenapa dia tak bisa beranjak dari alam pikirku? Tuhan... aku tak boleh
mencintainya lagi. Tapi apakah semudah itu? Ah...!” Kenia mengacak-acak
rambut sebahunya. Tampangnya kusut. Kemudian mendadak perutnya
melantunkan musik keroncong. Lapar. Ia bergegas menuju ruang makan.
Mungkin orang-orang di ruang makan sudah sibuk keluar. Ayah dan Kim ke
kebun sayur belakang rumah mereka yang begitu luasnya, Dewa dan ibunya
ke toko aneka kue milik keluarga mereka yang tak jauh dari rumah mereka.
Kenia membuka lemari es dua pintunya. Ia menelusuri penuh seluruh isi lemari es. Pertama ia mengambil sebotol orange juice yang
sering disediakan pembantunya khusus untuknya. Ia tak peduli seberapa
kecut. Ia sudah kepalang rutin minum jus jeruk setiap pagi tanpa minuman
air putih sebagai pembuka untuk menetralkan lambungnya.
“Ahhh...” suara Kenia merasakan setiap tenggakan kesegaran jusnya itu.
Kemudian
ia berdiri dan meletakkan botol jus itu kembali ke tempat semula. Lalu
ia membuka tudung penutup makanan di meja makan. Tempe penyet dan
lalapan. Kenia menelan air liur kuat-kuat. Matanya melebar. Itu makanan
favoritnya! Bergegas ia menyahut piring dan mengambil nasi hangat dari
penanak nasi. Usai cuci tangan, segera ia melengkapi sarapan nikmatnya
pagi ini.
Kenia
makan begitu lahap. Bahkan ia menambah nasinya satu centong lagi.
Kenikmatan tiada tara bisa makan nasi sambal seperti itu.
“Enak sekali,” suara itu menghentikan kunyahan Kenia. Kenia melirik. Pemilik suara itu sudah menyunggingkan senyum di bibirnya.
“Tuan Kim,”
“Lanjutkan
saja! Aku mau mengambil pacul di gudang,” ujar Kim. “Oh, ya, sudah
kukatakan berapa kali, jangan panggil aku Tuan. Kim saja cukup,”
Kenia
tersenyum singkat mengiyakan saja. Rasanya memang tak pantas memanggil
nama begitu saja. Kenia tak tahu pasti panggilan apa yang pantas untuk
tamu ayahnya dari Korea yang fasih berbahasa Indonesia itu. Ia adalah
anak tertua senior dekat ayah Kenia ketika kuliah di Institut Pertanian
Bogor (IPB). Senior itu berdarah Madura dan Sunda dan mempersunting
wanita Korea. Umur Kim sendiri 35 tahun, beda sebelas tahun dengan
Kenia. Kenia ingin panggil Mas? Om? Rasanya kurang sreg. Lalu, apa dong?
Tuan saja lah, Kenia memutuskan seperti di drama-drama Korea.
Kim
masih bersikap biasa seolah tiada yang terjadi. Itulah keputusannya. Ia
tak ingin terang-terangan menolak Kenia. Ia tahu Kenia juga wanita tapi
Kenia terlalu polos untuk disia-siakannya nanti.
Kenia
merasa semakin pilu. Kim seolah merasa tak berdosa atas ucapannya
semalam. Kenia menatap pintu gudang yang samar-samar terlihat dari ruang
makan. Berharap Kim segera muncul. Begitu muncul Kenia sigap
memalingkan pandangannya dari sana. Jantungnya kembali berdegub cepat.
Ada sedikit harapan Kim menyapanya lagi tapi matanya mendapati Kim
melenggang berlalu begitu saja. Mata Kenia berkaca-kaca. Tangannya
spontan meraih sambal yang ada di cobek. Ia meraup lebih banyak, separuh
kepalan tangannya. Nasinya yang masih sedikit kini memerah cabai.
Dengan rakus ia memakannya tanpa ampun. Hatinya panas, kacau. Tak lagi
bisa digambarkan.
***
Kalender
sudah berganti lembaran berikutnya. Bulan baru. Kim masih tinggal di
rumah keluarga Kenia. Dengar-dengar ini bulan terakhir. Tapi,
hubungannya dan Kenia tak makin membaik seperti awal mereka baru saja
saling kenal. Kenia menjaga jarak. Kim juga. Tak ada yang ingin
meluruskan maksud masing-masing. Kenia masih salah paham, Kim ternyata
makin terasa terusik dengan perbuatannya tempo lalu. Ada perasaan
menyesal menelusup palung hatinya. Mungkinkah dirinya terlalu kejam
mengatai gadis manis itu dengan sebutan wanita pengkhayal? Hanya karena
dia wanita dan wanita hanya racun dunia baginya sehingga ia memukul rata
pandangan itu terhadap semua wanita.
Rasanya
tak adil juga. Mengingat nampaknya perasaan gadis itu tulus padanya.
Cinta seperti apa sih, dari gadis yang menurut orangtuanya ia tak banyak
pengalaman bercinta dan sekalinya bercinta ternyata kepercayaannya
dinodai dengan adanya cinta yang lain? Hidup Kenia nyaris seperempat
abad tapi pengalaman tentang lelaki tak banyak ia peroleh akibat
pengalaman pahit itu. Sama seperti dirinya. Kim, hidup sebelas tahun
lebih tua ketimbang Kenia, pengalaman menjalin hubungan serius dengan
wanita juga baru sekali dan berakhir dengan ketukan hakim pengadilan
memutuskan perceraian. Usia pernikahan itu hanya sekitar satu tahun
kemudian wanitanya memutuskan pergi untuk lelaki lebih keren mentereng
dengan banyak timbunan dollar. Kenia dan Kim pribadi bernasib sama.
Itulah kesamaan mereka, selain darah Indonesia yang sama-sama mengalir
di dalam tubuh mereka.
Dari
sepenggal kisah yang punya tema sama, aslinya mereka bisa saling
mengobati. Tapi Kim tak bisa. Ia terlalu takut jika bawah sadarnya
mendorongnya untuk menyakiti Kenia sebagai wujud balas dendam terhadap
wanitanya dulu. Itu tak adil. Tapi, mata teduh Kenia semakin lama
semakin menariknya melesak ke dalam untuk mengajaknya berjalan bersama,
beriringan dengan Kenia. Hingga kekacauan hati Kim semakin menjadi tak
bisa diluruskan satu per satu ketika suatu sore seorang lelaki bernama
Prio Dewantoro muncul di balik pintu rumah Kenia.
“Wah,
saya nggak pernah tepikir seorang Prio Dewantoro datang ke sini. Sama
Mbak Uki Palupi sang sutradara kece. Berasa jatuh dari kahyangan gitu,
heheh. Jadi, gimana-gimana, Mbak? Mas?” seru Kenia girang kedatangan
sutradara dan aktor muda sukses dari ibu kota. Sungguh di luar dugaan.
Artis datang ke rumahnya di kota kecil di tengah Jawa Timur.
Maksud kedatangan Uki Palupi adalah “meminang” novel Kenia untuk difilmkan.
“Astaga naga!! Sumpah, Mbak??! Serius?? Berapa rius??” Kenia sontak melonjak dari tempat duduk semula, bergeser beberapa senti.
Uki
dan Prio tersenyum lebar. Kenia bahagia bukan kepalang. Dengan segera
Kenia menyetujui pembicaraan itu. Esok harinya mereka bicara soal aturan
kontrak kerja mereka. Akhirnya, Kenia kini tidur dengan senyum bahagia.
Berkali-kali lipat bahagianya dibandingkan ketika namanya tercantum di
buku. Sekarang namanya akan menghiasi layar lebar dan poster-poster di
gedung-gedung bioskop! Walau dalam skala kecil sih. Intinya judul
ceritanya akan terpampang nyata. Bahkan idolanya juga yang akan menjadi
tokoh utama. Mimpi sekalipun tak pernah Kenia impikan perihal film ini.
***
Singkat cerita, semenjak Kenia beralih fungsi sementara jadi script writer
film besutan Uki Palupi, Kenia merantau ke Jakarta beberapa waktu.
Meninggalkan keluarganya dan Kim di rumah. Kenia tak lagi memikirkan
perasaannya pada Kim. Tapi Kim tak begitu saja hilang terhapus di memori
otaknya.
Seiring
dengan itu hari-hari Kenia terisi oleh idolanya. Entah... kiasan
apalagi yang menggambarkan kegirangan Kenia bisa berinteraksi begitu
dekat dengan Prio. Seketika hal ini menjadi bahan gosip yang menyebar di
media massa elektronik dan cetak. Kenia tak henti tepok jidat, mengelus
dada, menggaruk kepala, memijat-mijat kepala. Pusing. Apa kabar
keluarganya ketika tahu gosip itu
Ponsel Kenia berdering.
“Halo,”
sapa Kenia. “Iya, Bu, nanti pasti klarifikasi. Tapi ini kan cuman
gosip. Toh gosipnya juga bukan gosip jelek. Hanya dikatakan ada
hubungan. Kami tak ada hubungan apapun. Masa’ Kenia pacaran sama artis,
mana mungkin?” “Iya, iya, Ibu sama orang rumah tenang ya, pasti gosip
ini segera berlalu. Ibu seperti tak tahu saja dunia artis. Hehehe,
tenang saja, Bu,” “Apa? Tuan Kim besok lusa pulang? Bukannya akhir
bulan?” Kenia melirik kalender sejenak. “Oh, iya, ini akhir bulan. Salam
saja Bu, semoga selamat sampai tujuan. Oke, Ken pasti jaga diri di
sini,”
Kenia
bicara tanpa henti menimpali ibunya di seberang sana. Ia tersenyum
senang bisa mendengar suara ibunya. Beberapa detik kemudian ponselnya
berdering kembali.
“Ibu,
lupa. Maaf. Mmuaacchhh... tidur nyenyak ya, Bu? Dada...” Kenia asal
nyerocos tanpa peduli siapa di seberang sana, disangkanya ibunya.
“Kenia...” suara lelaki merdu terdengar seketika.
Kenia tertegun sejenak. Suara itu tak jauh beda dengan suara asli kala bertemu.
“Tuan Kim?”
“Bisakah kita bertemu besok di taman kota dekat hotelmu sekarang?” tanya Kim di seberang sana.
Kenia
masih tertegun. Kim sudah sekota dengannya. Oh, oya, ia lupa, ibunya
tadi menyampaikan bahwa Kim akan bertolak ke Korea esok hari. Kenia tak
tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara ini ia lupa perasaannya pada
Kim tapi apakah perasaannya yang biasa saja mendengar Kim akan kembali
ke negaranya saat ini akan bertahan setelah Kim ada di sana? Apakah ini
awal cintanya pada Kim memudar? Yang pasti Kenia mengiyakan permintaan
Kim.
***
Taman
kota jam sepuluh pagi. Kim sudah duduk manis di suatu sudut taman itu.
Berpenampilan rapi meski tak seperti eksekutif muda ala aktor drama
Korea pada umumnya. Kuning langsat kulitnya semakin terlihat cerah
terkena “hujan” cahaya matahari Jakarta. Wadahnya teduh meski garis
wajahnya begitu terlihat jelas yang sering identik dengan orang yang
tegas dan sangar. Ia siap untuk mengutarakan segalanya pada Kenia.
Kenia
datang dengan dres selutut corak bunga dengan dominasi warna merah
maroon diselingi warna putih dan kuning. Tas kecil bertali yang
menyelempang serong di pundaknya. Rambutnya yang ikal bergelombang
diikat seolah digelung di belakang dengan tusuk rambut. Segar. Manis.
Kenia menyapa Kim. Kim menoleh tersenyum.
“Aku tak mengganggumu, kan?” tanya Kim. “Duduklah!”
“Tidak. Syuting dimulai nanti setelah makan siang. Ada apa?”
Hati
Kim sontak bergetar menatap kedua bola mata Kenia kali ini. Mengapa
baru sekarang ketika hendak pergi meninggalkan Indonesia? Kenia dengan
kuat menatap balik mata Kim.
“Apa kabarmu?”
“Beginilah. Baik,” sahut Kenia tersenyum.
Darah Kim berdesir. Ada apa ini?
“Kamu senang berada di sini?” tanya Kim yang masih belum menemukan timing yang tepat untuk masuk ke inti pembicaraan.
“Tentu.
Ini lebih dari impianku. Dan sungguh Tuhan luar biasa memberikan hadiah
untuk hamba-Nya,” Kenia menyahut semangat, senyumnya merekah.
Inilah
alasan mengapa aku tak mau menerimamu, Ken. Anggunmu jangan ternodai
olehku. Tapi kenapa semakin ke sini, anggunmu justru menarikku kuat-kuat
larut? Mendobrak keras pintu hatiku yang terkunci rapat. Kini anggunmu
sukses mengoyak kuncinya. Terlepas. Tinggal menunggunya terbuka. Tapi
sebelum itu Kenia... berhentilah menggodaku! Hentikan anggunmu
merajukku!
Kim bingung harus bicara apa, akhirnya hanya kata maaf yang meluncur lancar. Kenia mengernyitkan dahi. “Untuk apa?” tanya Kenia.
“Malam
itu. Malam ketika aku menamaimu wanita pengkhayal, tak realistis, aku
sengaja. Aku tahu kamu ada di situ. Sungguh aku minta maaf. Aku hanya
tak ingin membuatmu terluka lebih dalam. Aku bukan lelaki baik yang
seperti kamu bayangkan,” jelas Kim akhirnya bisa masuk ke poin
pembicaraan.
Kenia
dua kali lipat tak tahu harus bicara apa dan akhirnya ia mulai
berkata,“Itu artinya Tuan Kim tahu bahwa aku menyukai Tuan Kim?”. Kim
mengangguk.
Suasana hening sejenak di antara keduanya.
“Aku
tak peduli ketika ibu menceritakan bahwa Tuan seorang duda, seorang
pengusaha, seorang Korea dan separuhnya Indonesia. Yang aku pedulikan
adalah ketika aku pertama melihat Tuan Kim, aku merasa tertarik. Tak ada
cerita buruk tentangmu di keluarga kami. Jadi tak ada alasan aku tak
menyukaimu, walaupun tak ada alasan kuat juga mengapa aku harus
menyukaimu. Usia kita terpaut jauh, lho, hehehe,”
“Jadi, apakah kamu akan bertahan dengan perasaanmu setelah tahu malam itu aku melukaimu?”
“Aku
tak tahu. Aku belum menemukan alasan untuk itu. Sekarang ini saja aku
sudah lupa pernah menangis malam itu. Tak ada yang bisa menjamin,” Kenia
tak mantab benar dengan ucapannya, ia hanya asal bicara menimpali
pertanyaan Kim.
“Kalau begitu aku bisa meninggalkan negara ini dengan tenang,”
Kenia melengos cepat ke arah Kim. Apa maksudnya “dengan tenang”?
“Aku tak perlu mengkhawatirkanmu dengan sakit yang kutinggalkan karena kamu nampaknya sudah biasa saja,”
Kenia
menajamkan sorot matanya. Nampak biasa saja? Kim tak tahu kalau proyek
film tak datang, mungkin Kenia tetap terngiang-ngiang dengan luka
sembilu akibat ulah Kim. Kali ini Kenia mulai fokus.
“Kim...”
panggil Kenia untuk pertama kali tanpa permulaan “tuan”. Kim menatap
Kenia lekas. Nadanya berbeda dibandingkan ketika Kenia memanggilnya
“tuan Kim”.
“Aku
hanya ingin jadi milikmu. Aku tak yakin sekarang apakah rasaku masih
ada atau tidak. Tapi cinta juga tak mungkin pudar dalam hitungan minggu
bahkan hari bukan? Mengapa tak kita coba jalan bersama, siapa tahu kita
cocok? Aku tahu, di usiamu sekarang bukan waktunya coba-coba tapi apakah
dengan sekali lihat kita bisa tahu rasanya pacaran, menjalin asmara
atau apalah istilahnya. Apalagi kamu yang katanya trauma menjalin
hubungan dengan wanita. Bagaimana bisa kamu menyamaratakan semua wanita
busuk kalau kamu tak pernah punya pembandingnya? Aku juga tak punya
banyak pembanding, dulu pacarku yang menikah dengan orang lain lalu
kamu. Aku bisa membandingkan. Tak semua lelaki busuk tapi aku juga tak
bisa menjamin kamu begitu. Tapi intinya tak kita coba, tak bisa kita
rasakan bagaimana rasanya, ”
Kim
terdiam menamati Kenia. Gadis muda anggun yang sudah pantas disebut
wanita anggun. Mungkinkah terkait ia suka menulis kisah romantis dan
puitis sehingga pemikirannya mengarah ke dewasa dan berlumur nuansa
romantis, bijaksana, puitis dan ah... hanya kalangan tertentu yang bisa
memahami. Tak salah Kenia menjadi penulis yang cukup dipertimbangkan di
dunia penulisan. Wanita pengkhayal satu ini tak bisa dipandang remeh. Ia
dibentuk oleh tulisan-tulisan yang ia baca dan tulisannya terbentuk
oleh pribadinya yang berkutat cukup lama dengan kepenulisan romantis dan
puitis. Dan dirinya salah menilai Kenia. Kenia bukan wanita pengkhayal
biasa.
“Kamu yakin ingin menjadi milik lelaki yang berseberangan denganmu? Aku lelaki realistis empiris, tak suka fiksi,”
“Itupun
bukan alasan untukku berhenti menyukaimu dari awal sampai sekarang.
Pasangan kekasih tak akan bisa berjalan beriringan jika mereka punya
karakter sama. Sepatu tak akan bisa digunakan jika semua bersisi kiri
atau bersisi kanan semua, kan? Cobalah aku, jadi kekasihmu!”
Kim
beranjak dari duduknya mendekati Kenia yang berdiri memijakkan
tangannya di besi tua di bibir sungai yang membelah taman kota.
Kim memegang tangan Kenia, menyematkan jari-jarinya di sela-sela jemari Kenia. Menghadapkan tubuh Kenia ke arahnya.
“Kalau begitu, mulai detik ini jangan pedulikan artis lelaki itu! Aku cemburu,”
Kenia tersenyum lebar.
“Aku
akan segera kembali bersama keluargaku untuk meminangmu. Bukankah tadi
kamu bilang, usiaku bukan waktunya coba-coba? Aku akan segera
meminangmu. Tak kuberi kamu kesempatan mengenal lelaki lain,” ujar Kim
tersenyum mantab mengunci hati Kenia untuknya.
“Tentu. Kunci aku sebelum Prio yang meminangku,”
Mereka
berdua berkelakar. Kim memeluk Kenia erat tanpa sekat. Mereka akan
semakin merekatkan diri apapun yang terjadi. Mereka merasa sudah
menemukan obat hati yang selama ini mereka cari walaupun terkadang masih
ada gengsi yang tinggi untuk mengakui. Kisah cinta mereka dimulai kali
ini
***