‘Ingin ketemu Ketut’ telah terbawa
perahu kertasku yang melaju di air pantai.
Termenung
di pesisir pantai Nusa Penida kala sang surya siap bersembunyi. Kuingat betul
tempat ini memberikan banyak kenangan. Semenjak lahir sampai saat usiaku ke-18
dan pindah ke Jakarta bersama keluargaku. Namun satu yang sangat kurindukan
dari sini.
Ketut.
Lelaki mungil jika dibandingkan kebanyakan murid lelaki di SMP-ku. Namun wajah
dan hatinya manis. Dia yang menolongku kala aku jatuh dari sepeda saat pulang
sekolah. Selain itu kami sering bermain di padang rumput laut. Sesekali jail
memakannya langsung. Dan saling memercik air satu sama lain. Kami juga membuat
perahu kertas untuk dilayarkan ke air pantai. Katanya, “Aku ingin mengarungi
lautan nanti. Seperti yang dilakukan para turis asing yang singgah ke Kuta atau
yang lain.” Walau memang pada akhirnya perahu itu ditelan ombak.
Aku
tersenyum lucu. Sejurus kemudian lamunanku buyar karena ternyata Ketut seperti
turun dari langit menyapaku. Terperanjatlah aku! Lantas...
“Ketut
Sayang,” panggil wanita bule dari arah belakang kami sambil menggendong gadis
cilik.
“Dia...
istri dan anakku.”
Hatiku
hancur!
Ketutku
berlalu. Salahku yang tak pernah memberitahu cintaku. Atau memang Ketut tak
pernah mencintaiku?
Ketut
membuatku nanar menatap. Seiring itu perahu kecilku juga lenyap. Laksana isyarat
sang alam menjawab.*
*diikutsertakan dalam #CERMIN minggu ke-4 Juni 2014 oleh @bentangpustaka menang nggak menang yng penting nuliiisss ^^9