Kamis, 05 Februari 2015

REVIEW NOVEL A WEEK LONG JOURNEY: Kue Yikes Rasa Nikmat!

Judul             : A Week Long Journey
Penulis          : Altami N. D
Penerbit        : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2015
Jumlah Halaman : 256 halaman
Harga             : Rp 50.000,-

Kue Yikes Rasa Nikmat!

Well, setelah membacanya selama dua hari, menurut saya novel ini tidak hancur. Tidak sepenuhnya tidak hancur, sih. Oke, saya bahas semampu saya. Dan, maafkan kalau caranya ‘semau gue’  sekali, hehehe.

Novel ini sebetulnya punya kisah yang sangat heart-warming. Saya sampai nangis baca, terutama untuk bagian yang mengisahkan tentang keluarga Lina Budiawan. Karakter setiap tokohnya cukup kuat. Ide dasar yang dibahas memang klasik, (upaya) peraihan mimpi yang terbentur realitas. Tapi, sub tema yang mendukung cerita, dalam cerita ini tentang peternakan sebagai background Lina Budiawan (tokoh utama), benar-benar memberikan wawasan baru. Cara bercerita penulis juga lugas. Plotnya juga mengalir.


Tapi ... di sisi lain cukup banyak kekurangan dari segi teknis, antara lain:
1.        Penulisan tanda baca. Saya tidak akan menuliskan satu per satu. Silakan baca sendiri, ya.
2.        Kalimat yang bikin gagal paham. Contohnya:
a.     ‘Dewi cuma mengangkat tangan kiri tanpa bersuara apalagi menatap ke arah Lina. Lina lebih merasa disuruh ngomong sama tangan daripada ditolak begitu’ (hal. 46, par.1). Maksudnya bagaimana ya, ini?
b.    ‘... Saat itu Tante Jaya selain beternak juga menjabat sebagai Kepala Dinas Peternakan Provinsi Surabaya ...’ (hal. 212, par. 3). Ini maksudnya provinsi Jawa Timur atau kota Surabaya?
3.        Penulisan kata baku. Misalnya:
a.     ‘... Selain itu menghidu wanginya ...’ (hal. 36, par. 2, seharusnya ‘menghirup’)
b.    ‘.... Gerakannya memang terlalu menyolok...’ (hal. 37, par. 4, seharusnya mencolok)
c.    Ketidakkonsistenan menggunakan kata baku dan tidak yang ada di paragraf narasi dan dialog. Yang cukup sering muncul adalah ‘tidak’ dan ‘nggak’ dari sekitar pertengahan novel sampai akhir, dan masih ada beberapa lainnya. Saya juga belum terlalu mahir soal kata tidak baku dan baku.
4.        Penyebutan istilah yang tidak disertai keterangan. Mungkin orang akan paham arti istilah tersebut bila diterjemahkan secara kasar ke dalam bahasa Indonesia. Tapi saat istilah tersebut digunakan untuk hal yang lebih spesifik, apa tidak lebih baik diberi keterangan atau catatan kaki? Supaya pembaca bisa mengimajinasikan dunia peternakan. Misalnya:
a.    Close house dan open house dalam bidang peternakan ayam petelur (hal. 87, par. 1)
b.    Penyakit New Castle Disease (hal. 119, par. 5)
5.        Ketidaksesuaian informasi yang dituliskan. Dituliskan pada halaman awal, nama papa Lina adalah Hartono Budiawan, tapi di halaman 55 dituliskan Handoko.
6.    (Mungkin poin ini kembali ke selera). Saya paling malas membaca narasi atau dialog yang hampir memenuhi satu halaman penuh, tanpa jeda. Dan ini terjadi pada paragraf dialog tokohnya. Memang tidak semua, tapi ada beberapa. Maka dari itu, maaf, saya skip bagian yang bertele-tele. Kalaupun semua yang dikatakan itu penting, apa tidak lebih nyaman dibaca jika dipenggal dialog tersebut?

Baiklah, dari semua kekurangan itu, saya harap novel ini dicetak ulang dan mengalami perbaikan. Sayang sekali, kalau dibiarkan dengan cacat teknis di mana-mana. Novel ini menyuntikkan stimulus tentang pentingnya kita terus bermimpi. Kalaupun banyak tantangan selama mewujudkannya, tapi hei, mungkin itu seperti kata-kata ini:

 ‘Masalah itu bukan hal besar. Yang membesar-besarkannya itu persepsi kita terhadap masalah itu sendiri.’

Saya lupa siapa yang pernah bilang. Dan, novel ini menyuguhkan itu pada kita. Juga memberanikan kita untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bermimpilah tinggi, jangan jadi (seperti kata tokoh Chen Zang) orang biasa-biasa aja yang berpikir mainstream (hal. 203, par. 2).

Percaya deh, novel ini tidak sepenuhnya mengecewakanmu yang membeli dan membacanya dengan hati

Novel ini memang idenya hampir mirip dengan dua novel lain (Writer vs Editor dan Dancing for Two), yang mengangkat ide seorang gadis yang ingin (atau sedang proses awal) menjadi novelis. Tapi, dua novel tersebut lebih mengedepankan romantisme lelaki dan perempuan, sedangkan novel ini memberikan wawasan baru, yang paling mencolok adalah dunia peternakan. Selain itu juga menyajikan romantisme keluarga, cara menyikapi masalah (maksudnya, seringnya kita membabi buta mempersepsikan sesuatu padahal bukan itu yang sebenarnya terjadi), dan selalu optimis. 

Pengemasan cerita dalam bentuk traveling juga memberikan sentuhan segar, walau memang novel-novel fiksi traveling di luar sana sudah banyak jumlahnya. Plus, sentuhan romantisme lelaki dan perempuan yang disajikan dengan taraf yang sederhana. Tidak menye-menye tapi juga tidak sampai membuat saya bilang, “Wah, urat saraf romantisnya putus!”.

Kemudian soal sampul, sangat simpel. Dan saya bersyukur novel ini mendapatkan bahan sampul yang seperti digunakan pada umumnya dari penerbit. Karena jujur saja, membaca dua amore sebelumnya (By Your Side dan Learning to Love), bahan sampulnya kok, agak tidak bagus, ya (ini catatan kecil saja untuk penerbit, apakah memang ada pembedaan atau bahkan pergantian penggunaan bahan sampul novel fiksi?). Bila dibuat (hanya dengan) melengkung saat membaca, langsung meninggalkan bekas seakan habis dilipat. Dan, ujung sampul lebih mudah terkelupas.

Ya, cukup itu. Saya berikan 4 bintang dari 5 yang saya miliki. ^,^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)