Judul : A Week Long Journey
Penulis : Altami N. D
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit : 2015
Jumlah
Halaman : 256 halaman
Harga : Rp 50.000,-
Kue
Yikes Rasa Nikmat!
Well,
setelah membacanya selama dua hari, menurut saya novel
ini tidak hancur. Tidak sepenuhnya tidak hancur, sih. Oke, saya bahas semampu
saya. Dan, maafkan kalau caranya ‘semau gue’
sekali, hehehe.
Novel ini sebetulnya punya kisah yang sangat heart-warming. Saya sampai nangis baca, terutama untuk bagian yang mengisahkan tentang keluarga Lina
Budiawan. Karakter setiap tokohnya cukup kuat. Ide dasar yang dibahas memang
klasik, (upaya) peraihan mimpi yang terbentur realitas. Tapi, sub tema yang
mendukung cerita, dalam cerita ini tentang peternakan sebagai background Lina Budiawan (tokoh utama),
benar-benar memberikan wawasan baru. Cara bercerita penulis juga lugas. Plotnya
juga mengalir.
Tapi ... di sisi lain
cukup banyak kekurangan dari segi teknis, antara lain:
1.
Penulisan tanda baca. Saya tidak akan
menuliskan satu per satu. Silakan baca sendiri, ya.
2.
Kalimat yang bikin gagal paham. Contohnya:
a. ‘Dewi cuma mengangkat tangan kiri tanpa
bersuara apalagi menatap ke arah Lina. Lina lebih merasa disuruh ngomong sama
tangan daripada ditolak begitu’ (hal. 46, par.1). Maksudnya bagaimana ya, ini?
b. ‘...
Saat itu Tante Jaya selain beternak juga menjabat sebagai Kepala Dinas
Peternakan Provinsi Surabaya ...’ (hal. 212, par. 3). Ini maksudnya provinsi
Jawa Timur atau kota Surabaya?
3.
Penulisan kata baku. Misalnya:
a. ‘... Selain itu menghidu wanginya ...’ (hal.
36, par. 2, seharusnya ‘menghirup’)
b. ‘....
Gerakannya memang terlalu menyolok...’ (hal. 37, par. 4, seharusnya mencolok)
c. Ketidakkonsistenan
menggunakan kata baku dan tidak yang ada di paragraf narasi dan dialog. Yang
cukup sering muncul adalah ‘tidak’ dan ‘nggak’ dari sekitar pertengahan novel
sampai akhir, dan masih ada beberapa lainnya. Saya juga belum terlalu mahir
soal kata tidak baku dan baku.
4.
Penyebutan istilah yang tidak disertai
keterangan. Mungkin orang akan paham arti istilah tersebut bila diterjemahkan
secara kasar ke dalam bahasa Indonesia. Tapi saat istilah tersebut digunakan
untuk hal yang lebih spesifik, apa tidak lebih baik diberi keterangan atau
catatan kaki? Supaya pembaca bisa mengimajinasikan dunia peternakan. Misalnya:
a. Close house dan
open house dalam bidang peternakan
ayam petelur (hal. 87, par. 1)
b. Penyakit
New Castle Disease (hal. 119, par. 5)
5.
Ketidaksesuaian informasi yang dituliskan.
Dituliskan pada halaman awal, nama papa Lina adalah Hartono Budiawan, tapi di
halaman 55 dituliskan Handoko.
6. (Mungkin poin ini kembali ke selera). Saya
paling malas membaca narasi atau dialog yang hampir memenuhi satu halaman penuh,
tanpa jeda. Dan ini terjadi pada paragraf dialog tokohnya. Memang tidak semua,
tapi ada beberapa. Maka dari itu, maaf, saya skip bagian yang bertele-tele.
Kalaupun semua yang dikatakan itu penting, apa tidak lebih nyaman dibaca jika
dipenggal dialog tersebut?
Baiklah,
dari semua kekurangan itu, saya harap novel ini dicetak ulang dan mengalami
perbaikan. Sayang sekali, kalau dibiarkan dengan cacat teknis di mana-mana.
Novel ini menyuntikkan stimulus tentang pentingnya kita terus bermimpi.
Kalaupun banyak tantangan selama mewujudkannya, tapi hei, mungkin itu seperti
kata-kata ini:
‘Masalah itu bukan hal besar. Yang membesar-besarkannya itu persepsi kita terhadap masalah itu sendiri.’
Saya
lupa siapa yang pernah bilang. Dan, novel ini menyuguhkan itu pada kita. Juga
memberanikan kita untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bermimpilah tinggi,
jangan jadi (seperti kata tokoh Chen Zang) orang
biasa-biasa aja yang berpikir mainstream
(hal. 203, par. 2).
Percaya deh, novel ini
tidak sepenuhnya mengecewakanmu yang membeli dan membacanya dengan hati.
Novel
ini memang idenya hampir mirip dengan dua novel lain (Writer vs Editor dan Dancing
for Two), yang mengangkat ide seorang gadis yang ingin (atau sedang proses
awal) menjadi novelis. Tapi, dua novel tersebut lebih mengedepankan romantisme
lelaki dan perempuan, sedangkan novel ini memberikan wawasan baru, yang paling
mencolok adalah dunia peternakan. Selain itu juga menyajikan romantisme
keluarga, cara menyikapi masalah (maksudnya, seringnya kita membabi buta
mempersepsikan sesuatu padahal bukan itu yang sebenarnya terjadi), dan selalu optimis.
Pengemasan cerita dalam
bentuk traveling juga memberikan
sentuhan segar, walau memang novel-novel fiksi traveling di luar sana sudah banyak jumlahnya. Plus, sentuhan
romantisme lelaki dan perempuan yang disajikan dengan taraf yang sederhana.
Tidak menye-menye tapi juga tidak sampai membuat saya bilang, “Wah, urat saraf
romantisnya putus!”.
Kemudian soal sampul,
sangat simpel. Dan saya bersyukur novel ini mendapatkan bahan sampul yang
seperti digunakan pada umumnya dari penerbit. Karena jujur saja, membaca dua
amore sebelumnya (By Your Side dan Learning to Love), bahan sampulnya kok,
agak tidak bagus, ya (ini catatan kecil saja untuk penerbit, apakah memang ada
pembedaan atau bahkan pergantian penggunaan bahan sampul novel fiksi?). Bila
dibuat (hanya dengan) melengkung saat membaca, langsung meninggalkan bekas
seakan habis dilipat. Dan, ujung sampul lebih mudah terkelupas.
Ya, cukup itu. Saya berikan 4 bintang dari 5 yang saya miliki. ^,^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)