Judul : Friend Don’t Kiss
Penulis : Syafrina Siregar
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit : 2014
Jumlah
Halaman : 208 halaman
Cara
dapat : pinjem dari author
‘A Week Long Journey’ Altami N.D
Lomba Menulis Resensi Fiksi Metropop |
Metropop informatif bin asyik
Setelah beberapa bulan
terakhir dapat iming-iming novel Mbak Syafrina ‘Nana’ Siregar yang baru keluar,
akhirnya semalam dapat juga pinjeman buku ‘Friend Don’t Kiss’. Ditambah ‘kompor’
dari temen-temen yang bilang novel ini berkonten apik tapi tetap memiliki unsur
romance yang menggemaskan, tambah
gatal ingin segera baca!
Alhasil... yeah, satu setengah jam baca
semalam—sampai pukul setengah 12 malam—lalu dilanjutkan tadi pagi satu jam, ini
yang kukatakan untukmu Mbak Nana: You rock! \m/
Aku selalu suka novel yang
memberikan wawasan baru. Dan Mbak Nana kembali membuktikan tanyaku sendiri
ketika dulu membaca ‘Dengan Hati’ kaver lama miliknya. ‘Dengan Hati’ bicara
tentang AIDS yang mempertemukan dua tokoh utamanya saling berseberangan prinsip.
Dalam ‘Friend Don’t Kiss’ Mbak Nana mengulanginya kembali.
Novel ini mengisahkan
konselor laktasi—yang faktanya single,
prinsipil, cantik, agak sedikit ceroboh, dan peduli pada orang lain—kepincut
pemilik perusahaan produsen susu formula—yang ganteng, sulit ditebak, dan agresif.
Alamak... mulanya kukira ini benci jadi cinta seperti ‘Dengan Hati’ tapi
ternyata tidak. Oke, bukan masalah. Sebab Ryan (pemilik perusahaan produsen
susu formula) di-set dengan karakter
yang... umm... musang berbulu ayam,
pantaskah ia dikatakan demikian? Mungkin terlalu sadis kubilang begitu. Tapi
sesungguhnya Ryan tidak selicik itu. Hanya saja, SO DAMN I LOVE HIS WAY yang
‘licik’ untuk terus mendekati Mia (konselor laktasi): agresif tapi dengan cara
yang sopan dan ramah. Well... mungkin
musang tidak selamanya buruk rupa kali, ya? #abaikan. :D
Bicara karakter Ryan,
mengingatkan aku pada karakter dalam novel-novel historical romance (HR) atau terbitan Harlequin (HQ). Ulala...
akhirnya aku mendapatkan—kembali—jawaban dari tanyaku: kapan Indonesia punya
novel sense HR atau HQ? Hehehe. (Atau
mungkin aku kurang wawasan buku begitu yang terbitnya jauh sebelum sekarang.
Tapi tak apalah, izinkan aku ber-euforia karena novel ini). Yah, walau memang
tidak sevulgar novel HR atau HQ.
Sedangkan jika bicara soal
Mia, benar kata Lia (adik Mia), Mia itu teoritis. Tapi bagaimanapun, Mia (mencoba)
menunjukkan bahwa bekal yang cukup sebelum melakukan atau mengalami sesuatu,
akan memberikan kepercayaan diri manakala benar-benar sedang mengalaminya.
Walau memang di luar sana banyak yang bilang bahwa pengalaman adalah guru
terbaik. Tapi bukankah untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, tidak perlu
menunggu kita sendiri yang mengalami, bukan?
Novel ini mampu menyampaikan
pesan informatif tentang pentingnya ASI dan perlunya dukungan dari banyak pihak
(ibu dari bayi itu sendiri, suami, keluarga, perusahaan tempat bekerja, tenaga
medis, aktivis, dan semua pihak terkait) dengan apik. Aku jadi ingat pas kuliah
psikologi. Ada dosen mengatakan bahwa ASI adalah sarana attachment (kedekatan atau istilah Mia di sini: perlekatan) ibu dan
anak. Walaupun aku sendiri konon kata ibuku ‘anak susu formula’ tapi faktanya lebih
dekat dengan ibu daripada ayah dan sehat (alhamdulillah) selama hidup hampir ¼
abad, tapi aku tetap percaya bahwa ASI penting untuk bayi. Benar kata Mia, ASI
adalah hak untuk bayi. Sebagai ibu (atau calon ibu), aku juga ingin memberikan
hak itu. Novel ini memberikan motivasi itu!
Informatif dengan cara
penyampaian yang mengasyikkan adalah penggambaran dari novel yang kavernya
manis dan simpel ini. Bahasanya yang renyah, to the point, dan mengalir lancar, membuatnya bisa dibaca sekali
waktu (berhubung semalam aku ngantuk berat, aku tunda beberapa bab terakhir
untuk dilanjutkan tadi pagi). Secara keseluruhan, ceritanya juga cukup ringkas
namun tidak mengesankan ada lompatan dalam alurnya yang membuat tanda tanya
besar: kok gini, kok gitu. Hanya saja, memang ada typo di beberapa halaman, seperti:
1.
“... kecendrungan...” paragraf 5, halaman 64,
seharusnya “... kecenderungan”
2.
“... istruksi...” paragraf 3, halaman 66,
seharusnya “... instruksi...”
3.
“... MIa.” paragraf 10, halaman 126,
seharusnya “... Mia.”
Walau
begitu, overall novel ini keren!
Orang tidak akan merasa bahwa membacanya sia-sia atau berhiaskan cerita sampah.
Superb, Mbak Nana ;)*
Kediri, 6 Jan 2015
Agustine W
*Goodreads Reading Challenge (GR RC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)