Rabu, 07 Januari 2015

REVIEW NOVEL FRIENDS DON'T KISS: Metropop informatif bin asyik

Judul                    : Friend Don’t Kiss
Penulis                 : Syafrina Siregar
Penerbit               : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit        : 2014
Jumlah Halaman  : 208 halaman
Cara dapat           : pinjem dari author ‘A Week Long Journey’ Altami N.D

Lomba Menulis Resensi Fiksi Metropop
Metropop informatif bin asyik

Setelah beberapa bulan terakhir dapat iming-iming novel Mbak Syafrina ‘Nana’ Siregar yang baru keluar, akhirnya semalam dapat juga pinjeman buku ‘Friend Don’t Kiss’. Ditambah ‘kompor’ dari temen-temen yang bilang novel ini berkonten apik tapi tetap memiliki unsur romance yang menggemaskan, tambah gatal ingin segera baca!

Alhasil... yeah, satu setengah jam baca semalam—sampai pukul setengah 12 malam—lalu dilanjutkan tadi pagi satu jam, ini yang kukatakan untukmu Mbak Nana: You rock! \m/

Aku selalu suka novel yang memberikan wawasan baru. Dan Mbak Nana kembali membuktikan tanyaku sendiri ketika dulu membaca ‘Dengan Hati’ kaver lama miliknya. ‘Dengan Hati’ bicara tentang AIDS yang mempertemukan dua tokoh utamanya saling berseberangan prinsip. Dalam ‘Friend Don’t Kiss’ Mbak Nana mengulanginya kembali.

Novel ini mengisahkan konselor laktasi—yang faktanya single, prinsipil, cantik, agak sedikit ceroboh, dan peduli pada orang lain—kepincut pemilik perusahaan produsen susu formula—yang ganteng, sulit ditebak, dan agresif. Alamak... mulanya kukira ini benci jadi cinta seperti ‘Dengan Hati’ tapi ternyata tidak. Oke, bukan masalah. Sebab Ryan (pemilik perusahaan produsen susu formula) di-set dengan karakter yang... umm... musang berbulu ayam, pantaskah ia dikatakan demikian? Mungkin terlalu sadis kubilang begitu. Tapi sesungguhnya Ryan tidak selicik itu. Hanya saja, SO DAMN I LOVE HIS WAY yang ‘licik’ untuk terus mendekati Mia (konselor laktasi): agresif tapi dengan cara yang sopan dan ramah. Well... mungkin musang tidak selamanya buruk rupa kali, ya? #abaikan.  :D

Bicara karakter Ryan, mengingatkan aku pada karakter dalam novel-novel historical romance (HR) atau terbitan Harlequin (HQ). Ulala... akhirnya aku mendapatkan—kembali—jawaban dari tanyaku: kapan Indonesia punya novel sense HR atau HQ? Hehehe. (Atau mungkin aku kurang wawasan buku begitu yang terbitnya jauh sebelum sekarang. Tapi tak apalah, izinkan aku ber-euforia karena novel ini). Yah, walau memang tidak sevulgar novel HR atau HQ.

Sedangkan jika bicara soal Mia, benar kata Lia (adik Mia), Mia itu teoritis. Tapi bagaimanapun, Mia (mencoba) menunjukkan bahwa bekal yang cukup sebelum melakukan atau mengalami sesuatu, akan memberikan kepercayaan diri manakala benar-benar sedang mengalaminya. Walau memang di luar sana banyak yang bilang bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Tapi bukankah untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, tidak perlu menunggu kita sendiri yang mengalami, bukan?

Novel ini mampu menyampaikan pesan informatif tentang pentingnya ASI dan perlunya dukungan dari banyak pihak (ibu dari bayi itu sendiri, suami, keluarga, perusahaan tempat bekerja, tenaga medis, aktivis, dan semua pihak terkait) dengan apik. Aku jadi ingat pas kuliah psikologi. Ada dosen mengatakan bahwa ASI adalah sarana attachment (kedekatan atau istilah Mia di sini: perlekatan) ibu dan anak. Walaupun aku sendiri konon kata ibuku ‘anak susu formula’ tapi faktanya lebih dekat dengan ibu daripada ayah dan sehat (alhamdulillah) selama hidup hampir ¼ abad, tapi aku tetap percaya bahwa ASI penting untuk bayi. Benar kata Mia, ASI adalah hak untuk bayi. Sebagai ibu (atau calon ibu), aku juga ingin memberikan hak itu. Novel ini memberikan motivasi itu!

Informatif dengan cara penyampaian yang mengasyikkan adalah penggambaran dari novel yang kavernya manis dan simpel ini. Bahasanya yang renyah, to the point, dan mengalir lancar, membuatnya bisa dibaca sekali waktu (berhubung semalam aku ngantuk berat, aku tunda beberapa bab terakhir untuk dilanjutkan tadi pagi). Secara keseluruhan, ceritanya juga cukup ringkas namun tidak mengesankan ada lompatan dalam alurnya yang membuat tanda tanya besar: kok gini, kok gitu. Hanya saja, memang ada typo di beberapa halaman, seperti:
1.        “... kecendrungan...” paragraf 5, halaman 64, seharusnya “... kecenderungan”
2.      “... istruksi...” paragraf 3, halaman 66, seharusnya “... instruksi...”
3.       “... MIa.” paragraf 10, halaman 126, seharusnya “... Mia.”

Walau begitu, overall novel ini keren! Orang tidak akan merasa bahwa membacanya sia-sia atau berhiaskan cerita sampah. Superb, Mbak Nana ;)*


Kediri, 6 Jan 2015

Agustine W

*Goodreads Reading Challenge (GR RC)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)