Pangeran Bad Boy
“Eh,
Mbak Runi, tahu nggak kita dapet
tetangga baru!” celetuk Fara, adik satu-satunya Runi ketika mereka sedang
sarapan.
“Oh,
ya?” sahut Runi sibuk mengoleskan selai coklat kacangnya pada roti di tangannya.
“Orangnya
cakee.....pp banget! Dia keponakannya bu Hasan sebelah kita ini,” lanjut Fara.
“Bagus
dong!” kata Runi.
“Maksudnya
bagus?” tanya Fara heran.
“Itu
artinya kamu sudah doyan cowok!”
“Ye...emang
kemarin-kemarin Mbak anggep apa aku ini?”
Runi
melempar senyum pada Fara.
“Sudah,
sekarang cepetan makan itu roti! Mbak buru-buru ke kampus mau konsultasi tesis
dan jam sepuluh Mbak ada meeting di
kantor,” ujar Runi sambil berbenah diri menyelesaikan sarapannya dan segera
menyambar tasnya menuju keluar rumah.
“Eh,
tunggu! Tunggu!!” kata Fara sambil mulutnya penuh dengan roti dan sama
terburu-burunya akibat paksaan Runi.
Runi
dan Fara menuju mobil VW Beattle lawas peninggalan almarhum ayah mereka yang
sudah siap di depan rumah mereka. Runi pun segera memanasi ulang mobilnya
sementara Fara mengunci pagar rumah mereka. Kemudian lelaki yang dikatakan Fara
tadi di ruang makan nongol menyapa Fara.
“Hai,
cantik! Mau berangkat sekolah, ya??” sapa si lelaki sambil menaik-turunkan
kedua alisnya.
“Eh,
Mas Raja. Iya,” sahut Fara.
“Sama
siapa?” tanya Raja lagi.
“Mbak
Runi. Dia kakakku satu-satunya. Itu dia di dalam mobil. Aku kenalin, yok!” ajak
Fara.
“Boleh,”
Fara
dan lelaki bernama Raja itu menghampiri Runi.
“Mbak,
ini mas yang kuceritakan keponakannya bu Hasan. Namanya mas Raja,” kata Fara.
Runi
menolehkan pandangannya pada Raja. Keduanya bertemu pandang.
“KAMU????!!!!”
ucap keduanya bersamaan.
“Loh,
kalian sudah saling kenal??? Bagus, dong!” sahut Fara.
Runi
keluar dari mobil dan langsung ngomel-ngomel.
“Kamu
masih punya hutang ya, sama aku! Gara-gara kamu kameraku rusak!!!” kata Runi.
“Oke.
Berapa sih, harga kamera itu. Paling juga sejutaan,” tungkas Raja.
“Sejutaan???
Kamu bilang sejutaan?? Aku beli kamera itu dengan menguras semua tabunganku
selama dua tahun!!” lanjut Runi geram.
“Iya
deh, nanti gue mintain sama tante gue. Dia pasti ngasih, kok!” balas Raja.
“Kebetulan
ya, kamu tinggal tepat di sebelah rumahku jadi aku nggak susah-susah lagi nyari pengecut macem kamu!!” tuduh Runi.
“Apa
loe bilang???!!! Pengecut!! Jaga ya, mulut elo! Gue bukan lelaki pengecut!”
balas Raja.
“Kalau
bukan pengecut apa? Badan aja yang gede, gaya preman pasar tattoan sana-sini,
suruh ganti rugi aja sampai enam bulan nggak
diganti juga,”
“Aduh,
Mbak Runi, Mas Raja, berantemnya nanti aja, dong! Fara udah telat, nih!” kata
Fara memutus adu mulut Runi dan Raja.
Runi
dan Fara masuk ke dalam mobil. Tapi Runi dan Raja masih tetap sewot-sewotan.
JJJ
Runi
nampak sibuk di kantornya. Sudah tiga tahun ini ia bekerja menjadi wartawan di
sebuah perusahaan media cetak terbesar di kotanya. Dia menjadi wartawan setelah
dia lulus kuliah S1-nya di bidang ilmu komunikasi. Jiwa jurnalisnya sudah
tumbuh semenjak dia SMP. Maka dari itu, dia fokus menekuni bidang itu. Saat ini
ia sedang menyusun tesisnya.
Runi
hanya tinggal bersama Fara semenjak ayah mereka meninggal empat tahun lalu.
Ayah mereka meninggal karena depresi ditinggal pergi ibu mereka dengan lelaki
lain sehingga ayah mereka mengalami serangan jantung. Runi sangat terpukul
dengan keadaan itu dan harus mengolah otak untuk tetap bisa bertahan hidup
bersama adiknya. Untungnya, Runi segera mendapatkan pekerjaan usai lulus
kuliah. Meskipun ironisnya ketika ia wisuda S1 dulu, dia hanya ditemani sang
adik, tanpa ayah dan ibu. Dan Runi pun memulai kehidupannya dan adiknya mulai
dari nol. Dari hasil kerjanya, ia bisa mencukupi biaya hidupnya dan adiknya,
membiayai sekolah adiknya, dan sedikit saving
meski jarang bisa.
...
Jam
dinding menunjukkan jam makan siang. Runi berencana makan siang bersama
kekasihnya, Robby yang juga bekerja di tempat yang sama dengan Runi sebagai
staff HRD. Mereka sudah pacaran selama tiga tahun semenjak mereka sama-sama
melamar pekerjaan di perusahaan tempat mereka bekerja sekarang.
Runi
dan Robby janjian bertemu di kantin langsung tepat pukul dua belas. Selama
perjalanan menuju kantin, Runi resah mau bilang apa kalau cincin pemberian
Robby sudah tidak ia pakai karena hilang entah kemana saat ia membersihkan
kamar mandi kemarin pagi. Padahal Robby pernah bilang jangan sampai cincin itu
rusak apalagi hilang karena itu artinya Runi nggak menghargai Robby sebagai kekasihnya.
“Dia
pasti marah aku nggak pakai cincin itu,”
gumam Runi.
Tiba-tiba
Robby menyapanya dari belakang.
“Hai,
Sayang!” sapa Robby sambil tersenyum.
“Eh,
kamu ngagetin aja,”
“Hari
ini mau makan apa?”
“Eh,
ee...ehm..terserah...” jawab Runi agak salah tingkah tapi Robby tak menyadari
itu.
“Kalau
begitu...kita makan di luar aja, ya?” tawar Robby disambut anggukan Runi.
Mereka
berdua memutuskan makan siang di food
court sebuah mall yang tak terlalu jauh dari tempat mereka bekerja. Untuk
sejenak Runi tenang, Robby tak bicara apa-apa menyinggung soal kalung. Tapi
beberapa menit kemudian ketika ia sudah merasa “aman”, Robby bertanya dengan
dinginnya.
“Kemana
cincinnya?”
Jantung
Runi berdegup kencang.
“Ehm,
anu...ee...lupa, Yang! Maaf ya, waktu aku m’bersihkan kamar mandi kemarin, aku
lepas dan lupa makai lagi...,” jawab Runi.
“Lain
kali jangan pelihara penyakit tolol lupa itu!” kata Robby ketus.
Runi
menghela nafas menahan amarah. Kalau ia menimpali perkataan Robby barusan bakal
terjadi keributan tiada usai. Hubungan mereka memang sering diwarnai cek-cok
hanya masalah sepele. Hal ini disebabkan Robby yang posesif dan pencemburu
buta, temperamental juga pastinya. Untung saja dia nggak main tangan, jadi Runi masih punya alasan selain cinta butanya
pada Robby untuk tetap pacaran dengan Robby.
JJJ
Pukul
sebelas malam. Runi baru sampai rumah. Ia membuka pintu pagar dengan keadaan
lelah. Tiba-tiba Raja muncul sambil nangkring di atas pagar pembatas rumahnya
dan rumah tante Raja.
“Berjilbab
kok, suka pulang malam, sih?? Nggak
takut kena fitnah?” ujar Raja tanpa memandang Runi. Tapi Runi melihat Raja
dengan sebal.
“Tuntutan
kerjaan,” sahut Runi.
“Tuntutan
kerjaan apa dari awal berhasrat selalu pengen keluar malam? Percuma dong, kalo
berjilbab,” ejek Raja menambah kesebalan Runi.
“Raja,
ini sudah malam, jangan ngajak berantem! Malu ama tetangga,” sahut Runi
berlagak ramah. Kemudian ia memasukkan mobilnya ke dalam garasi dan mengunci
pintu pagar rumahnya. Setelah itu ia menghampiri Raja yang masih nangkring di
atas pagar.
“Daripada
kamu berkicau di malam hari mending kamu cari kerja untuk ngganti kameraku.
Kamu pengangguran, kan?” tanya Runi membuat Raja merasa diinjak-injak harga
dirinya, tadi pagi dikatain pengecut sekarang pengangguran.
“Dasar
mulut ular berbisa ya, loe!” tuduh Raja sambil turun dari pagar dan menimpa
tubuh Runi.
“Aduh!!”
keluh keduanya.
“HEH!!
Minggir kamu! Badan berat gini. Mau ambil kesempatan dalam kesempitan
kamu???!!!” omel Runi dan Raja pun berdiri.
“Kalo
iya kenapa?? Cewek macem elo tuh, harus dikasih pelajaran biar tahu sopan
santun!” balas Raja. Runi melotot.
“Emang
cowok model preman pasar, tattoan, pakai anting kayak banci gini tahu sopan
santun?? Sopan santun dalam berpakaian aja kamu nggak bisa apalagi sopan santun dalam perilaku,” sahut Runi.
“Jjiiaahhh,
tadi pagi bilang gue pengecut, barusan bilang gue pengangguran sekarang bilang
gue kayak banci, bener-bener kurang ajar ya, loe! Sini...” ujar Raja
mengendalikan kepala Runi hendak mencium bibir Runi. Runi mengelak kuat dan
Raja melepaskan Runi.
“Gue
juga kagak nafsu nyium cewek mulut berbisa macem elo!” kata Raja sambil
melompati pagar kembali ke rumahnya.
Runi
merasa takut dan sebal bukan main. Hampir saja keperawanan bibirnya direbut
sama lelaki yang bukan suaminya. Robby saja meminta cium langsung ditampiknya.
Lalu ia masuk ke dalam rumah cepat-cepat.
JJJ
Hari
ini hari Minggu. Runi dan Fara sibuk membersihkan rumah mereka. Mulai dari
mengatur ulang tata letak barang-barang di rumah mereka juga mengecat ulang
beberapa bagian rumah yang catnya sudah luntur.
“Mbak,
nggak minta tolong orang aja buat
ngecat rumah? Sebanyak ini nanti capek, lho!” kata Fara.
“Daripada
uangnya buat ngasih upah orang mending ditabung buat biaya kamu study tour ke Bali tiga bulan lagi,”
sahut Runi.
“Ehm...biar
nggak ngasih upah uang, minta tolong
mas Raja aja!” celetuk Fara.
“APA??
Raja?? Enggak, ah! Males banget minta
bantuan dia!”
“Dia
mau nggak dibayar, kok! Dia pernah
bilang setiap kali aku minta bantuan dia nggak
akan nolak dan nggak minta balesan,
Mbak! Kalau begitu aku panggil dia aja, deh!” kata Fara segera ngacir mencari
Raja tanpa Runi sempat mencegahnya.
Beberapa
menit kemudian Raja dan Fara datang.
“Mbak,
ngecatnya biar mas Raja aja! Mbak Runi benerin meja-kursi ruang tamu aja. Aku
bikinin pisang goreng, ya buat kalian. Mumpung ada sisa pisang kemarin lusa di
kulkas,”
“Nggak usah,” kata Runi sambil berupaya
membersihkan sarang laba-laba di ujung tembok yang tak bisa ia jangkau tapi ia
berusaha untuk meraihnya sambil berjinjit di atas tangga yang biasanya dipakai
para tukang bangunan.
“Mbak,
hati-hati!” pesan Fara sambil menuju ke dapur.
“Udah
deh, kalau emang tubuh sudah pendek nggak
usah kepedean jinjit segala,” kata Raja.
Runi
hanya menghembuskan nafas kesebalan lalu ia mengeluh kelilipan dan akhirnya ia
hilang keseimbangan. Ia pun terjatuh menimpa tubuh Raja. Tak hanya itu, kepala
Raja tersiram cat yang dipegang Runi tadi.
“Aduh,
maaf ya, Raja! Aku nggak sengaja,”
kata Runi sambil membersihkan wajah Raja dari cat tapi ia tak beanjak dari atas
tubuh Raja.
“Ini
yang dinamakan cewek ngambil kesempatan dalam kesempitan,” celetuk Raja.
“Idih,
siapa yang ambil kesempatan dalam kesempitan?? Ge-Er banget sih, kamu!” sahut
Runi sewot sembari berdiri.
Raja
membersihkan dirinya di kamar mandi lalu melanjutkan pekerjaan Runi. Hingga
senja tiba, mereka belum selesai membereskan rumah. Lalu, tante Raja datang
memberi tahu mereka untuk segera makan malam di rumahnya. Raja pun pulang
sementara Runi dan Fara segera membersihkan diri mereka yang belum mandi sejak
pagi.
Ruang
makan tante Raja alias bu Hasan sudah penuh dengan makanan lezat.
“Wah,
Tante lagi ada hajatan apa masak besar begini sampai kita dipanggil ke sini?
Heheh...” tanya Fara.
“Raja
diterima kerja di sebuah bengkel di ujung jalan kompleks kita ini. Ya, itung-itung
biar dia belajar bekerja lagi setelah lama dia menghambur-hamburkan uang
papanya. Walau cuman jadi montir tapi semoga bisa memberikan pelajaran buat
dia, cari uang itu susah. Dulunya dia anak yang rajin, pinter, pekerja keras
bahkan rela nyambi kerja jadi kurir pengantar barang di kantor papanya tapi
semenjak dia punya pacar namanya Bella yang nggak
jelas itu, sikapnya berubah. Dia jadi susah diatur, nglawan orang tua, sering nggak pulang, pulang-pulang dalam keadaan
mabuk, sempat dia kena narkoba dan akhirnya direhabilitasi tapi tetap balik
lagi ke dunia gelap. Untung dia nggak
menghamili anak orang, kan, bisa kacau! Lalu sama papanya dia dititipin ke saya
untuk mondok di ponpes sebelah tapi dia belum siap katanya. Katanya dia
kepikiran insyaf tapi belum siap. Dasar Raja, selalu setengah hati menjalani
sesuatu. Tapi sebenernya dia baik lho, kalo nggak
terpengaruh sama lingkungan jelek,” cerita bu Hasan mengenai Raja. Lalu Raja
nongol dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk. Runi dan Fara segera
memalingkan pandangan mereka.
“Ngapain
sih, tante cerita-cerita ke mereka??” tanya Raja sewot.
“Mereka
ini sudah tante anggap anak tante sendiri jadi jangan takut bocor kemana-mana.
Mereka bisa dipercaya,kok!” jawab bu Hasan.
“Fara
sih, bisa dipercaya. Kalo yang berjilbab kuning itu, dia wartawan yang bisa
nyebar berita kemana aja,” sindir Raja.
“Emang
situ sapa? Pede banget beritanya disebar kemana-mana?” sahut Runi.
“Siapa
tau elo mata-mata yang mau ngejebak gue!” tuduh Raja.
“Su’udzon
banget, sih?” balas Runi.
“Heh,
sudah-sudah. Kamu Raja, cepetan pakai baju. Tatto norak begitu dipamerin ke
orang!” kata bu Hasan.
Usai
Raja merapikan diri, ia bergabung dengan yang lain untuk makan malam.
JJJ
Runi
sedang meliput berita gelombang demonstran yang berbondong-bondong datang ke
kantor legislatif menolak adanya pembangunan tol tengah di kota mereka. Runi
bersama kawannya dengan mudah melakukan pendekatan ke beberapa pihak terkait
untuk mendapatkan informasi yang akurat. Di tengah terik sinar matahari bersama
seorang rekan lelakinya, Runi mencari berita ke
sana- kemari. Dan usai mencari berita mereka pergi ke sebuah cafe
favorit mereka untuk segera mengolah data yang telah mereka dapatkan di
lapangan dan kemudian dikirim ke redaksi.
Ketika
sedang asyik-asyiknya mengerjakan tugasnya sambil minum teh bersama rekannya,
mata Runi seolah-olah diarahkan melihat pada suatu sudut tempat yang tak jauh
dari ia berada. Dia melihat Robby bersama wanita lain. Berpelukan mesra sedang
melihat-lihat gaun pengantin. Toko itu berada tepat di seberang cafe dimana
Runi berada.
“Thomas,
boleh lanjutin ini bentar? Aku ada urusan sebentar ke toko seberang,” kata
Runi.
“Oke,”
jawab Thomas.
Runi
membuntuti Robby dan wanita yang dipeluknya tadi. Terdengar pembicaraan tentang
tanggal pernikahan, pemesanan gedung dan catering
makanan, kartu undangan dan terakhir namanya Runi disebut-sebut.
“Runi
gimana, Honey?” tanya si wanita.
“Secepatnya
aku putusin,” jawab Robby.
“Beneran
lho, ya? Pernikahan kita tinggal satu bulan,”
Runi
langsung naik pitam dan menghampiri Robby.
“Nggak usah susah-susah mutusin aku.
Karena sebelum kamu bilang itu, aku akan bilang, kita putus! Dan ini untuk
keb******kan kamu!” kata Runi lalu membogem mentah Robby.
“Aku
bisa jelasin, Run!” kata Robby.
“Jelasin
apa lagi??!!” tanya Runi marah.
“Oke.
Aku minta maaf ngebohongin elo. Karena jujur aja, gue bosen pacaran sama elo
yang terlalu kaku dan sok suci, dicium nggak
mau, gandengan tangan aja nggak mau,”
ujar Robby.
“Karena
aku bukan wanita murahan!! Dan revisi kata-kata kamu! Aku kaku?? Kamu itu yang
terlalu posesif dan pencemburu. Tapi semua itu alibi supaya aku anggep kamu
terlalu takut kehilangan aku. Lelaki b******k!!!” tegas Runi lalu pergi
meninggalkan Robby dan wanitanya.
“Runi,
kenapa kamu?” tanya Thomas melihat Runi meneteskan air mata.
“Nggak papa, Thom! Sudah selesai belum?
Oh, ya, ada tugas ngliput lagi nggak?
Kalo nggak aku mau pulang cepet
karena agak nggak enak badan,”
“Di
list–ku nggak ada, Run. Ya, kalo kamu
ngrasa sakit ya, pulang aja dulu. Biar ini aku yang nyelesai’in,” jawab Thomas.
“Tugas
ini kita selesaikan aja langsung, abis gitu aku pulang. Thanks ya, bantuannya hari ini?”
“Ah,
kamu kayak baru kenal aku kemarin sore aja. Kita sudah partner tiga tahun, Run,” balas Thomas sedikit membuat Runi
tersenyum. Tapi senyuman itu senyuman pahit. Sakit hati yang sedang ia rasakan
begitu menghujam jiwa.
Selesai
mengerjakan tugas liputan tadi, Runi segera pulang. Di rumahnya ada Fara dan
Raja yang sedang asyik main game.
Fara
dan Raja terbengong-bengong melihat Runi masuk kamar dengan menangis dan
mengunci diri di kamar.
“Mbak!
Mbak Runi kenapa?” tanya Fara sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Runi.
Ketika
Fara mencoba membujuk Runi agar mau membuka pintu kamarnya, Raja justru memiliki ide tak terduga. Ia segera keluar
rumah menghampiri jendela kamar Runi. Kebetulan Runi tidak menutup jendela
kamarnya yang berterali besi cukup longgar antar kerangkanya.
“Heh,
ular berbisa! Ngapain loe nangis?” tanya Raja dari balik jendela membuat Runi
kaget.
“Ngapain
kamu?! Pergi sana!” usir Runi sembari ia hendak menutup jendelanya tapi Raja
lebih sigap menarik tangan Runi membuat Runi terbentur terali besi jendela
kamarnya hingga bibirnya monyong. Melalui terali besi itu, Runi menjitak kepala
Raja.
“Sakit
tahu!!” kata Runi.
“Sori,
deh! Eh, bibir elo berdarah,” kata Raja mencoba membersihkan darah di bibir
Runi tapi Runi menepis tangan Raja.
“Aku
bukan wanita murahan!!” celetuk Runi.
“Ini
apaan, sih? Gue cuman mau membersihkan darah di bibir elo. Bukan mau nyedot itu
darah pake mulut apalagi merkosa elo,” tungkas Raja.
“Nggak usah. Mending kamu main lagi sana
sama Fara. Pergi...” kata Runi mendorong tubuh Raja menjauh dan segera menutup
jendela kamarnya.
Lalu
Runi menangis semalaman tanpa keluar kamar sampai ia terlelap hingga ia
melalaikan sembahyang Ashar dan Maghribnya. Bangun-bangun pukul tiga dini hari,
Runi segera mengambil air wudlu untuk sembahyang Isya’. Sebelum ia ke kamar
mandi ia mengambil air minum di dapur dan duduk. Ingatannya kembali pada Robby.
Belum ada 24 jam ia putus dengan Robby, rasanya menyakitkan. Lamunannya pada
Robby dibuyarkan oleh tepukan tangan seseorang di pundaknya. Runi spontan
kaget.
“Kamu??
Ngapain masih di rumahku??” tanya Runi pada Raja.
“Ketiduran
tadi pas main game sama Fara sampai
jam dua belas. Elo sih, molor nggak
tahu waktu. Kenapa sih, loe??” tanya Raja.
“Enggak papa. Gue sholat Isya’ dulu,”
jawab Runi tapi Raja mencegah Runi beranjak dari tempat duduk.
“Masalah
lagi sama pacar elo yang sok borju itu?” tanya Raja.
“Kok,
kamu bisa bilang gitu?”
“Fara
sudah cerita semuanya soal pacarmu itu. Gue heran kenapa elo bisa bertahan sama
cowok gila itu? Atau elo terlalu tolol nurut aja sama dia? Cinta buta?? Bullsyit!!” kata Raja.
“Kita
sudah putus tadi siang,” sahut Runi.
“Berita
bagus itu!!” kata Raja bersemangat bahagia.
“Kok,
kamu seneng gitu aku putus?”
“Ya,
bagus dong, kamu terlepas dari cowok sinting itu,”
“Emang
situ waras?”
“Oh,
jelas. Gue lebih baik soal wanita dari lelaki manapun!” kata Raja membanggakan diri.
“Ciri-ciri
playboy cap kadal!”
“Enak
aja playboy cap kadal! Ular berbisa!”
“Ah,
sudahlah, aku capek berantem terus sama kamu. Nggak ada habisnya. Mending kamu pulang, nggak enak dilihat tetangga ‘ntar,” kata Runi.
Lalu
Runi mengantar Raja keluar rumah.
“Eh,
mau kemana?” tanya Runi ketika hendak membuka gembok pintu pagarnya.
“Loncat
pagar,” jawab raja enteng.
“Dasar
mantan maling!!” gumam Runi.
“Heh,
sekalipun gue berandalan tapi gue kagak pernah maling tahu??!!!” kata Raja mengherankan
Runi padahal Runi sudah berbicara lirih.
JJJ
Waktu terus berlalu dan Runi pun sudah bisa
melupakan sakit hati pada Robby. Fara dan Raja pun tahu hal itu. Hubungan Runi
dan Raja mulai melumer secara perlahan. Raja yang tiap pagi sampai sore mondok
di pondok pesantren dekat rumahnya mulai menunjukkan perubahan sikap menjadi
lebih baik. Walaupun sikap jail dan tengilnya belum hilang. Hal ini meluruhkan
hati Runi pelan-pelan tapi ia tak berani mengungkapkannya pada Raja karena ia
masih trauma atas hubungannya dengan Robby.
Runi
sedang menikmati suasana menyenangkan bersama Fara dan Raja di ruang keluarga
sambil nonton bareng DVD film box office.
Tiba-tiba ada telepon masuk dengan private
number.
“Halo?”
sapa Runi.
“Saudari
Runi Maharani? Jangan sekali-kalinya berani memuat berita pemojokan bos saya
yang merupakan anggota legislatif. Kalau Anda tetap memuat berita itu, kami tidak
segan-segan menghabisi Anda dan keluarga!” suara seorang lelaki dari seberang
sana.
“Anda
siapa? Rakyat harus tahu semua dalang korupsi di badan legislatif. Anda tidak
bisa sedikitpun menghentikan langkah saya mengungkap kebenaran,”
“Saya
sudah memberikan uang tutup mulut kepada rekan Anda, Thomas dan pimpinan
redaksi Anda. Jadi, jangan berani macam-macam dengan kami,”
“Lakukan
semau Anda, saya akan tetap mengungkap kebenaran yang ada,” tegas Runi menutip
telponnya.
“Kenapa,
Run??” tanya Raja. Runi menggeleng.
“Fara,
setelah ini segera beres-beres. Besok sepulang sekolah kita pergi ke rumah Bude
di Malang,” kata Runi.
“Kok,
mendadak, Mbak?” tanya Fara.
“Mbak
pengen cari udara segar ke sana. Jangan banyak tanya, lakukan aja perintah
mbak,” tegas Runi lalu amsuk ke dalam kamar.
Keesokan
harinya Runi meminta izin pulang lebih awal dari kantor untuk mengantar Fara ke
Malang hari itu juga. Ia tak mau terjadi apa-apa pada adik semata wayangnya.
Runi
menunggui Fara hingga pulang sekolah tapi nampaknya ia kalah cepat dari lelaki
misterius tadi malam yang meneleponnya. Lelaki itu kembali menelpon dan
mengatakan bahwa Fara sudah ada di tangannya. Lelaki itu mengancam akan membunuh
Fara bila Runi nekat memuat beritanya. Mereka memang tidak sedang main-main.
“Dasar
mafia-mafia hukum!!” gumam Runi lalu menelepon Raja meminta Raja menemaninya
mencari Fara. Lalu Runi menjemput Raja di pondok pesantren
“Kamu
nggak tanya mereka nyekap Fara
dimana?” tanya Raja.
“Ngapain
aku tanya? Aku tanya mereka juga nggak
akan bilang. Mereka bukan butuh uang, mereka butuh supaya kebusukan mereka nggak masuk koran nasional!”
“Lalu
apa susahnya, sih, nurutin mau mereka demi keselamatan adik kamu sendiri??”
“Ini
demi kesejahteraan masyarakat luas. Kasus mereka harus diketahui banyak orang
dan harus diadili dengan seadil-adilnya,” jelas Runi.
“Kalau
terjadi apa-apa sama Fara?”
Runi
mendadak menghentikan mobilnya.
“Berarti
aku egois? Aku memilih idealismeku dan mengabaikan adikku? Itu menurut kamu?”
“Ya,
bukan begitu tapi...”
“Jelas
kata-katamu menjurus ke sana! Ini resiko profesiku jadi aku harus siap,”
“Ya,
tapi kasihan Fara, Run!”
“Kamu
peduli banget ya, sama Fara! Setiap hari nyamperin dia, setiap minggu ngajak
dia keluar, kalau sempat jemput ke sekolah kamu jemput dia, setiap kali kita
cek-cok kamu selalu belain dia, kamu cinta sama dia?? Bilang aja!” kata Runi
mulai marah dan ketus.
“Loh,
elo kok, jadi ngelantur gini?”
“Maksud
kamu ngelantur?? Ini masalah hati, Ja! Aku cin...” Runi memutus perkataannya.
Raja
bengong menanti Runi melanjutkan kata-katanya.
“Ahhh,
lupakan! Kita harus gimana, nih, nyari Fara?”
“Telpon
polisi,” sahut Raja.
“Kalau
mereka macam-macam sama Fara?” tanya Runi khawatir.
Raja
mengenggam tangan Runi.
“Percaya
sama gue, dia nggak akan
kenapa-kenapa,” ucap Raja menenangkan Runi lalu Runi menarik tangannya dari
genggaman Raja.
Runi
segera menelepon polisi untuk membantunya mencari Fara. Setelah melaui proses
yang panjang dan rumit, akhirnya Fara ditemukan dan bebas dari cengkeraman kaki
tangan mafia hukum yang mengancam Runi. Hingga pada akhirnya, masalahnya
tersentuh sampai ke akar-akarnya di waktu selanjutnya.
Hidup
Runi pun kembali tenang sekalipun resiko pekerjaannya menjadi seorang wartawan
politik tidak akan pernah lepas dari bahaya-bahaya serupa. Tapi kehidupan
asmaranya tetap tak tenang. Semakin hari apalagi semenjak Fara selamat dari
penculikan, hubungan Fara dan Raja makin dekat bak orang pacaran asli saja. Hal
ini membuat Runi terbakar cemburu. Hingga suatu hari Runi beralasan meliput
berita keluar kota padahal ia ingin
menghindari “pemandangan” yang ada di depan mata setiap hari di rumah, Fara dan
Raja.
“Raja,
Tante, nitip Fara, ya?” kata Runi.
“Kamu
berapa lama keluar kotanya, Runi?” tanya bu Hasan.
“Belum
tahu, Tante. Saya minta maaf sering ngrepotin Tante sama Raja,”
“Sudah
nyadar sering ngrepotin, mau nambahin kerepotan lagi,” sahut Raja.
“Sstt,
Raja!” katan bu Hasan.
“Sori,
sudah ngrepotin kamu. Aku nggak akan
lagi ngrepotin, kok. Masalah kamera, lupain aja. Aku juga sudah beli yang baru.
Fara, baik-baik, ya. Mbak pergi dulu. Permisi semuanya,” pamit Runi sembari
masuk ke dalam mobil.
Raja
dengan jailnya ikut masuk ke dalam mobil.
“Ngapain
kamu?” tanya Runi.
“Ngenterin
sampai pintu depan kompleks. Masa’ nggak
boleh? Jangan kaku-kaku dong, sama cowok, nanti nggak laku-laku, loh!” goda Raja.
“Aku
lagi males berantem,” kata Runi sambil menstarter mobilnya.
“Ya,
udah, ayo jalan! Aku ikut sampai pintu depan aja mau ke mini market depan,”
kata Raja beralasan.
Runi
pun menjalankan mobilnya. Sesampainya di mini market kompleks, Runi menyuruh Raja
keluar. Tapi Raja menolak.
“Gue
nggak mau terjadi apa-apa sama elo
dengan kondisi emosi nggak jelas
gitu,” ujar Raja.
“Maksudmu?”
tanya Runi.
Raja
membenarkan posisinya menghadap Runi.
“Katakan
elo cinta sama gue sekarang juga! Kalo elo nggak
bilang cinta ke gue dan meneruskan perjalanan elo yang merupakan pelarian dari kenyataan,
jangan harap elo dapet cinta gue dan ketemu gue selamanya,” jawab Raja. Runi
mengernyitkan dahi.
“Jangan
berlaga bego! Gue tahu elo cemburu sama adik elo. Asal elo tahu, gue nggak ada apa-apa sama Fara. Kita itu
kongsian bikin elo jatuh cinta sama gue!”
“APA??!!”
“Dan
kita berhasil,” lanjut Raja.
“Dan
kamu? Oh, aku sudah tahu jawabannya. Kamu jelas nggak akan pernah jatuh cinta sama cewek kuno, egois, judes, kaku,
ular berbisa dan nggak bisa
disentuh-sentuh kayak gue, kan? Jelas elo akan milih Fara yang cantik yang fashionable dengan bandana di kepalanya,
rambutnya yang terurai bagus, memakai gaun cantik, nggak berat kalo digendong...” cerocos Runi.
“STOP!!!
Gue lelaki dewasa, bukan ABG yang suka dengan cewek dari penampilannya doang.
Oke, dulu gue pernah mentingin fisik tapi gue yakin elo juga pernah ngrasain selalu
pengen lelaki ganteng, tajir dan royal sama elo. Tapi semua akan berubah, Run.
Lelaki macem Robby aja elo tinggalin karena apa? Karena kembali pada hati.
Siapapun orangnya ingin membutuhkan ketenangan, kejujuran dan komitmen dalam menjalin
sebuah hubungan. Hidup cuma sekali, Run. Dan gue pengen menemukan ketenangan,
kejujuran dan komitmen itu sekali seumur hidup gue. Dan gue pengen elo jadi
orang yang membantu gue menemukan, membangunnya juga menjaganya. Gue cinta sama
elo, Run. Terima gue sebagai pasangan hidup elo!” celoteh Raja diakhiri dengan
ungkapan cintanya pada Runi.
Runi
terpaku menatap Raja. Pikirannya berkecamuk hebat.
Apalagi Runi yang kamu pikirkan?
Dia juga cinta sama kamu. Kamu juga lama mencintai lelaki ini. Dia sudah
menyatakan niat baiknya membina hubungan baik sama kamu. Walaupun dia mantan
bad boy tapi dia punya niat baik berubah menjadi lebih baik.
Runi, jangan terbujuk rayuan lelaki
berandalan ini. Sekali berandalan tetap berandalan. Tidak menutup kemungkinan
sebagai lelaki anak orang kaya yang pernah digandrungi banyak wanita, dia akan
menyia-nyiakan kamu suatu saat seperti Robby.
“Iya,”
akhirnya Runi bersuara.
“Iya
untuk?”
“Untuk...melepas
anting-anting kamu dan membersihkan semua tatto di tubuh kamu sekarang juga,”
kata Runi sambil tancap gas.
“Eh,
kita mau kemana? Gue belum siap ngilangin ini tatto, sakit tahu??!!” ujar Raja.
“Salah
sendiri. Siap suruh pakai tatto. Jadi pasanganku nggak boleh bertatto, nggak
boleh ngrokok, nggak boleh pakai
anting kayak banci, nggak boleh
sedikit-sedikit berantem kayak preman pasar, nggak boleh masuk halaman rumah orang pakai loncat pager, nggak boleh lancang membuka jendela
kamar orang, nggak boleh ngatain aku ular berbisa. Oke??” cerocos Runi.
“Banyak
bener syaratnya?” tanya Raja nampak ciut nyalinya.
“Maaf
ya, kalau aku bilang, mantan preman nggak boleh takut sama persyaratan itu! Nggak jantan itu namanya. Preman itu
pantang mundur, loh!” kata Runi.
“Sekarang
kita ke tempat yang bisa ngilangin tatto-tatto kamu,”
“OH,
TIDAAKKKKKKKKKKKKKK...” teriak Raja.
JJJ