Bertemu pengantri kematian
Pembaca,
ini tulisan kedua gue pada hari Senin, 18 Februari 2013. Gue tulis ini karena
gue pengen cerita perihal kematian.
Kenapa tiba-tiba ngomongin kematian? Kematian bukan topik tabu atau langka
karena sesungguhnya kematian lekat dengan setiap pribadi yang hidup. Ada hidup,
pasti ada mati. Itu cerita klasik. Karena itulah hukum Tuhan yang berlaku.
Oke, to the point. Jadi, pagi tadi sekitar
pukul ... pukul berapa ya.. ya katakan rentang setengah enam pagi sampai jam
tujuh kurang. Gue lupa. Pas itu gue ada di depan toko milik bude gue, entah mau
nyapu atau sekedar sepintas lalu aja. Fokus mata gue ke arah tukang becak yang
rumahnya depan toko bude gue pas dan sering mangkal di pos jaga deket toko gue
pas. Beliau nampak buru-buru banget dan seolah memanggil orang jauh di belakang
gue. Gue fokus tapi gue cuek. Alah palingan pelanggan biasa. Tapi lalu fokus
mata gue kembali ke tukang becak itu dan kali ini penumpang di atasnya. Gue
fokus karena penumpangnya sedang dalam kondisi mengaduh-aduh lemas bersandarkan
bantal yang ada di belakang kepalanya yang nyandar ke becak. Kenapa orang itu?
Maksud gue sakit apa ya orang itu? Parah mungkin ya. Okeii.. padahal semalem
itu atau kemarin malemnya lagi gue tahu beliau masih jalan-jalan dan duduk-duduk
di tetangga bude gue. Malah sempet nyamperin tukang jualan tahu tek-tek
keliling. Nah, kemudian beliau naik becak dianter istrinya naik becak itu tadi.
Lalu... ya sudahlah... gue prihatin. Kasihan sakit. Sudah itu saja fokusku.
Beberapa
jam berlalu... sekarang 11.14 WIB. Mungkin sekitar sejam yang lalu gue baru
balik ngajak jalan-jalan keponakan gue yang cowok, adiknya Jasmine, Ero
namanya. –profesi serabutan gue sekarang adalah pengasuh anak-anak, tepatnya
keponakan gue sendiri. Lumayan... belajar jadi ibu, hahahaii- kemudian gue tahu
banyak ibu-ibu yang bawa nampan plus kain penutup. Itu tandanya mereka habis
ta’ziyah dong... dan alamakjaannn... –ala tulang togu di sinetron haji sulam
tukang bubur naik haji- itu bener. Gue perhatikan arah mereka jalan. Gue sih,
nggak tahu pasti ya apa kaitannya arah mereka jalan, ta’ziyah trus tiba-tiba
kepikiran bapak-bapak yang jadi topik paragraf sebelumnya. Cuman setelah usut
punya usut tanya ke bude, iyaaappp... bapak-bapak berinisial H yang gue sebut
di paragraf di atas lah yang meninggal dunia! Innalillahi wainnaillaihi
roji’un. Otak gue nggak habis pikir. Kematian. memang bener-bener lekat di diri
manusia. Entah seberapa dekat. Mungkin ibarat kematian itu sebuah benarng tajam
yang begitu melekat di urat nadi manusia, ia siap “beraksi” begitu saja dengan
menekan atau menggores benang itu di urat nadi ketika waktunya tiba. MasyaAllah.
Hal
semacam ini bukan pertama kalinya gue alami. Baru ketemu orangnya beberapa
waktu lalu, tiba-tiba sudah dipanggil Tuhan itu bukan hal langka tapi yang
bener-bener beda beberapa jam sebelum meninggal, masih mengaduh-aduh lalu
beberapa jam kemudian meninggal,... Allahu akbar... baru kali ini. Mungkin pas
gue tahu beliau mengaduh-aduh tadi di becak, kasat mata gue nggak mampu melihat
bahwa malaikat pencabut nyawa sudah mendampingi beliau. Gue nggak kenal beliau.
Tapi untuk beliau, ya Rabbi... ampunilah dosa-dosa beliau, terimalah
amal-ibadah beliau. Untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga sabar dan kuat.
Kuatkanlah iman, islam dan ihsan mereka jika mereka bertauhid tapi jika belum
berikan mereka hidayah ya, Rabbi.
Kejadian
di atas aslinya ngingetin gue pribadi untuk banyak ingat kematian dan segera
memperbaiki diri karena kematian amat sangat begitu dekat dengan gue. Padahal
gue sering meminta kematian sama Tuhan karena saking gue pernah dalam kondisi
di bawah yang bikin gue ngrasa nggak tahan ngejalani hidup. Tapi ternyata Tuhan
berkata lain, sampai detik ini gue masih hidup, gue dikasih segala yang gue
butuhkan walau nggak semua keinginan gue diberikan. Gue masih bisa memeluk ibu
dan ayah gue, masih bisa ngelus kepala adik-adik gue. Masih bisa berinteraksi
sama sahabat-sahabat gue. Dan mereka semua sering gue sakiti tapi gue nggak
sanggup jika mereka-mereka pergi. Begitu juga dengan Tuhan dan kematian. Gue
sering minta kematian datang ke gue padahal gue juga nggak sanggup nanggung
kesendirian di alam kubur sendirian. Gue nggak sanggup nanggung kesakitan di
sana. Pengab, sendirian, sesak, gelap. Dan tak ada kesempatan memperbaiki diri.
Dan tak ada yang bisa jadi tempat gue mengadu menangis lagi.
Gue,
dan Anda, Anda, Anda juga Anda, dan mereka yang masih menghirup oksigen sungguh
merupakan pengantri kematian yang setia, baik dikehendaki maupun tidak, suka
maupun tidak. Bapak-bapak itu tadi pengantri entah nomor ke berapa dalam
antrian kematian. Namanya sudah tertulis jelas di daftar buku kematian makhluk
Tuhan di dunia ini. Gue dan siapapun yang masih hidup, namanya masih samar-samar
di daftar buku kematian itu, tinggal menunggu titah Sang Khaliq terhadap
malaikat pencabut nyawa.
Ini
refleksi diri untuk diri pribadi gue, semoga lebih dekat sama Sang Khaliq.
Belajar ikhlas dan taat beribadah. Meninggalkan yang munkar, mengabdikan diri
pada Illahi Rabbi. Kami mohon petunjukMu ya, Rabbi... ampuni kami.