Senin, 16 Juni 2014

Cinta Memang Harus Memilih


Judul Buku     : Two Lovely Hearts
Penulis           : Ade Nastiti
Penerbit         : PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit  : Februari 2011 (Cetakan Pertama)
Tebal             : vi + 370 halaman
Harga            : - (swap sama teman)
 



Cinta Memang Harus Memilih

Cinta pertama... Ketika irama rindu mengalun, tiada lelahnya ia menari di relung jiwa.
Membaca kalimat tersebut di kaver depan, sungguh bikin merinding. Bicara cinta pertama itu tidak akan ada habisnya. Seperti Amel yang kembali bertemu dengan cinta pertamanya setelah belasan tahun berpisah karena kesengajaan.
Iya, kesengajaan yang dilakukan sang ayah sendiri. Amel tidak tahu menahu kebusukan tindakan ayah yang memisahkannya dengan cinta pertamanya di Tual, salah satu daerah di Maluku, Indonesia timur. Membuatnya sempat salah paham dan kecewa pada cinta pertamanya bernama Nando (Fernando). Tapi Tuhan selalu memiliki kehendak lebih menakjubkan ketimbang kehendak manusia. Mereka dipertemukan di negeri kanguru, tepatnya di Canberra dan menjalin kembali kisah persahabatan masa kecil yang berkembang menjadi sebuah jalinan cinta. Namun hubungan asmara keduanya tak pernah mulus kendati terasa manis sekali. Sebab suatu hari datang lelaki lain dari masa lalu Amel dan Nando. Lelaki itu Yuda. Mereka bertiga berteman baik dan kini terlibat cinta segitiga. Benang kusut yang telah lama (seolah) lenyap kembali muncul dengan jelas, menunggu penguraian supaya semuanya menjadi habis perkara.
Dibaca dari judul novelnya, terkesan terlalu manis dan membimbangkan. Mengesankan bahwa ini hanya kisah asmara seorang gadis yang terjebak di antara dua hati lelaki. Ternyata tidak ‘semulus’ dan ‘sepolos’ itu.
Kelebihan novel ini menyajikan jalan cerita yang memukau. Penulis mempertemukan para tokoh melalui konflik-konflik yang tidak drama sinetron banget! Beda. Sangat ‘rasa’ Indonesia. Konflik-konflik khas Indonesia diusung di novel ini kemudian diolah untuk menjadi satu dalam cerita para tokoh dengan sangat bagus dan tidak menyinggung pihak mana saja. Mulai dari kasus para elit politik yang tidak jauh dari masalah kekuasaan yang semena-mena sampai wanita selingkuhan; kasus demo; polemik dunia jurnalistik yang terkadang pro maupun kontra dengan para elit politik lalu persoalan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Selain itu, penulis dengan bersemangatnya menceritakan detail keindahan bibir pantai Maluku. Padahal (tampaknya) banyak novel pop Indonesia yang sering berkutat dengan setting area Indonesia barat dan tengah. Salut untuk penulis!
Penulis juga bisa menggambarkan dengan detail setting cerita di Canberra dan sekitarnya berikut beberapa kebudayaan lokalnya. Di samping itu, yang benar-benar menonjol dari penulis ketika menuliskan novel ini, per halaman terkesan padat cerita tapi sebagai pembaca saya tidak pernah merasa bosan. Kenapa? Penulis pintar memilih diksinya! Suer. Baru kali ini saya membaca novel banyak paragraf narasi dan setiap halaman terkesan ‘penuh’ namun saya betah membacanya dengan gembira dan anteng! Belum lagi logat Maluku sesekali keluar dalam dialog membuat ampuuunnn DJ... saya suka! Se pasti suka sama novel ini. Coba se baca. Beta sudah terkontaminasi dengan logat Maluku si tokoh bernama Nando. Hehehehe.
Namun di sisi lain, novel ini memiliki beberapa ketidaksesuaian. Saya memang tidak terlalu mahir soal EYD tapi rasanya kok, aneh ketika membaca ada yang berbeda. Misalnya, penyebutan tokoh dalam dialog orang kedua ‘kamu’, tidak jarang berganti ‘kau’ padahal dalam satu dialog. Rasanya kok, mencla-mencle (plin-plan). Atau memang penulis sengaja menyesuaikan seperti kondisi masyarakat kita (atau diri kita sendiri) yang terkadang tidak sadar juga begitu? Kemudian penulis juga kerap membuat bingung dengan tidak membedakan action setiap tokoh. Misalnya dialog dari tokoh 1 dan narasi tentang tokoh 2 disambung begitu saja dalam satu paragraf sehingga kalau tidak dibaca dengan cermat bisa membuat pembaca bingung. Sepertinya akan jauh lebih enak dibaca ketika action tokoh 1 dan tokoh 2 dibedakan paragrafnya, deh.
Kemudian untuk menuntun pembaca memahami konflik dan cara penyelesaiannya, penulis menyodorkan kisah di luar tokoh utama. Sempat bingung, kenapa tokoh ‘pendamping’ ikut diceritakan kisah asmaranya sampai detail? Namun penulis tetap membuat garis merah untuk menautkannya sampai cerita tandas. Jadi, tokoh-tokoh ‘pendamping’ tidak diabaikan begitu saja sampai jalan cerita selesai.
Kisah novel ini memang semanis judulnya, mulanya. Tapi ketika pertengahan sampai akhir, pembaca harus siap-siap kembali ke realitas. Katanya hidup tidak selamanya indah dan manis. Amel harus menentukan pilihan dari dua hati yang sama-sama disukainya. Terkadang jodoh memang begitu, ya? Tidak pernah tahu kepada siapa belahan hati milik kita akan dipasangkan. Rencana Tuhan siapa yang tahu, sih? Yang jelas, ending-nya tidak bahagia, kecewa maupun sedih yang berlebihan. Proporsional.
Novel ini bagus buat teman-teman yang ‘haus’ kisah romansa tapi yang tidak murni lope-lope sekalian mengenal kearifan lokal Indonesia sekaligus isu-isu yang terjadi dalam kemasan yang ringan baca. Tidak memusingkan seperti kala membaca berita koran dan atau media massa lain yang kaku.
Novel ini mengemas nusantara tercinta ini dengan apik – tentu Canberra juga – sebagai setting tempatnya. Ini novel yang sudah lama saya cari dan idam-idamkan. Bukan sekadar menjual cerita cinta. Bukan beta tak suka novel demikian tapi novel ini bisa bikin beta lebih mencintai sisi lain tanah air beta ini. Mungkin se juga lebih bisa cinta Indonesia sambil berkasih sayang dengan se pu kekasih. Kalau bukan kita, pa lagi? :)



1 komentar:

  1. Waah... Kayanya Keren ni bukunya, bisa jadi menambah wawasan budaya juga 
    bukan hnya mmbhas kisah cinta segitiganya sja.
    Kren jga pnyampaiannya.. Hebat deh 

    BalasHapus

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)