Judul Buku :
Koma
Penerbit :
PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit : November 2013 (cetakan pertama)
Tebal : vi + 298 halaman
Harga : - (pinjem temen)
Sudut Pandang Berbeda
“... Tapi, Tuhan yang
membuat hati Jani mengerti dan belajar sehingga tidak jatuh lagi,” kata mama
Jani... (hal.3)
Selalu saja ada
cara Tuhan mengetuk pintu hati hamba-Nya. Termasuk yang menimpa Jani, gadis berusia
20 tahun, yang mengalami sebuah proses ‘hijrah’ dari sesuatu yang (menurutnya)
tidak baik menjadi baik.
kutipan1 |
Tuhan membuatnya
mengalami fase koma terlebih dahulu untuk memahami semua yang terjadi dalam
hidupnya. Selama perjalanan pemahaman dan penerimaan itu, dirinya ditemani oleh
seorang (apakah patut disebut seseorang sementara roh terlepas dari raga) jiwa
bernama Leo sampai menumbuhkan gelora asmara di antara dua jiwa yang sedang
berkeliaran di sebuah rumah sakit itu.
Novel ini
ternyata betul-betul di luar pikiran saya. Saya kira pengemasannya itu serius
sekali dan beraura suram, ternyata beneran sadis! Gimana tidak sadis kalau
caranya penulis menggunakan dunia roh/ jiwa untuk menceritakan kisah Jani dan
Leo dengan begitu manis? Ya, memang, menurut teman saya hampir mirip novel If I Stay (Gayle Forman) – yang belum
sempat saya baca. Tapi jujur, saya langsung jatuh hati dengan ide cara
menulisnya! Mengambil sudut pandang roh tapi taste-nya manusia. Ya, di novel ini dijelaskan bahwa jiwa bisa
merasakan perasaan-perasaan karena di sanalah asal hati kita. Justru jiwa tidak
bisa merasakan sensasi ragawi yang selama ini selalu menunjukkan reaksi
fisiologis.
Dengan
menggunakan alur maju, cerita Jani ini amat mudah dipahami walaupun menggunakan
PoV satu yang lebih sering mengesankan seperti curhat dalam narasi-narasi yang
tertulis. Belum lagi dialognya juga cukup banyak yang ditulis nyaris panjang,
membuat sedikit ngos-ngosan membacanya. Tapi, jujur, setiap kalimat dari
seorang ‘aku’ di sini tidak membuat bosan saya membacanya. Mungkin saking
terkagumnya saya dengan ide cara menulisnya. Kalau dari segi jalan cerita yang
melibatkan para tokoh utama sih, klise sekali. Duh, ‘sial’ bener saya, dalam seminggu
baca novel yang tokoh utamanya – cewek pula – dilema sama lelaki satu dan
lelaki lainnya. Tapi, keklisean ini ‘terselamatkan’ dengan cara mengemas
ceritanya. Keren!
Sayangnya, tokoh Leo
di sini terkesan lebih berfungsi seperti malaikat yang penuh kebijaksanaan. Hampir
setiap perkataannya bisa menjadi kutipan manis untuk up date status di jejaring sosial (saya juga, sih. hehehe). Tapi, di
sisi lain terasa Leo sedang berkhotbah. Sedikit bertanya-tanya sih, apakah
sebijak itu roh seseorang setelah dua tahun koma?
kutipan2 |
Keanehan lainnya
adalah bagian Leo maupun roh lain yang selalu bisa mendengar suara hati Jani.
Padahal Jani sama sekali tidak bisa menembus alam pikiran Leo dan roh-roh
lainnya. Selalu saja Jani yang menjadi sasaran empuk, yang katanya selalu suka
berpikir rumit – terlebih tentang Leo –, oleh roh-roh lainnya. Sayang, novel
ini tidak menceritakan sebab musabab Jani tidak bisa melakukan hal sebaliknya
kepada roh lain.
Penokohan dalam
novel ini cukup kuat menggambarkan Jani yang bertransisi. Dan, Leo seperti
uraian sebelumnya, konsisten bijak dari awal sampai akhir.
Novel ini fokus
pada lingkungan rumah sakit saja sebagai
setting tempatnya, sesuai kebutuhan yang memang mengondisikan ‘roh tidak
boleh terlalu jauh dari raga karena bisa berakibat fatal’. Tapi, setting tempat di sini tidak terlalu
menonjol karena pembangunan setting
suasana rasanya lebih banyak mengambil peran. Tapi, sama sekali tidak
mengganggu jalannya cerita.
Tapi, di sisi
lain, ada beberapa typo yang cukup
menganggu jalannya cerita. Ada beberapa dialog atau narasi yang tidak tepat
menyebutkan tokohnya. Seperti:
“Tidak semua orang mengalami apa yang Nelly alami.... di antara
hidup dan mati,” jelas Alex...
(hal.116)
Padahal dialog di atas terjadi antara Leo dan Jani ketika
menjenguk salah seorang bocah, pasien rumah sakit, yang bisa melihat keberadaan
para roh. Dan typo semacam ini
berulang di di halaman 122 (paragraf ke-5, Leo digantikan Alex). Jadi curiga
kenapa Alex selalu muncul di tempat yang tidak seharusnya :p.
Dan, muncul lagi pada halaman 178 (paragraf ke-4, ‘Papa’ yang
sering digunakan Jani memanggil bapaknya digantikan ‘Ayah’).
Lalu di halaman 207 (paragraf terakhir, seharusnya yang berdialog
itu Nina, adik Jani, tapi di situ seakan yang bercerita Jani sendiri)
Dan, bagian lain yang cukup
mengundang reaksi kening mengernyit ketika tokoh Alex yang semula takut
terhadap roh, tiba-tiba berubah jadi gembira berinteraksi dengan Jani. Itu
terjadi ketika Alex merasa ‘frustrasi’ para roh datang kepadanya hendak menitipkan
pesan pada orang terdekat mereka, mengingat Alex pernah menjadi roh seperti
yang lain, namun dirinya tidak ingat semua peristiwa ketika ia koma. Begitulah
‘cara kerja’ koma dijelaskan dalam novel ini. Lantas Alex dibuat seolah tahu
nama pacar Jani ketika cewek itu curhat, padahal Jani baru menegaskan nama
pacarnya pada dialog selanjutnya.
Yah, tiada gading yang tak
retak. Novel ini tetap mengesankan sekalipun beberapa kekurangan tadi, dan
terasa hanya seperti catatan perjalanan tokoh utamanya dengan tour guide sehingga tidak memiliki
konflik klimaks maksimal. Namun, yang menyentuh dari novel ini ialah pada penyampaian
ending-nya. Membuat saya merasa
segala kemungkinan hidup bisa terjadi pada siapa pun, dan kita harus menerima
segala konsekuensinya tanpa harus pupus harapan.
Kisah perjalanan Jani ini
cukup menginspirasi – terlebih dari dialog yang disampaikan Leo – untuk lebih
bisa menghargai diri sendiri, hidup, dan orang-orang di sekeliling kita. Jangan
sampai kita menunggu kehilangan, baru menyadari semua yang kita miliki. Dan,
sepertinya dari setiap kita perlu belajar untuk memandang sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda, supaya tidak gegabah mengambil keputusan, apalagi
mengalami penyesalan terkait diri sendiri maupun orang-orang yang kita sayangi.
Untuk novel ini saya punya 3,8
bintang. Pengennya 4, tapi karena typo-nya
bikin ‘eh, kok, gitu’. Pengennya 5 tapi kisahnya belum begitu ‘menggigit’ walau
pengemasannya terbilang unik. Tapi, saya tetap menikmatinya ceritanya. ^.^