Judul : L
Pengarang :
Kristy Nelwan
Penerbit : PT. Grasindo
Tahun terbit : April 2012 (cetakan keempat)
Tempat terbit : Jakarta
Tebal : 394 halaman
Cara dapet buku : pinjem temen namanya Mila :D
Oke, judulnya resensi bebas
karena kamu bakal nemuin banyak unsur subjektifitasku di sini.
Please
don’t complain!
(oke, wait mendadak keganggu sama butiran pasir yang ngeganjel keyboard-ku karena “serangan pasir kelud”
belum enyah dari rumahku)
Baru baca novel “L” milik
penulis yang baru aku tahu ini mulanya bikin aku menilai “woah, Ika Natassa
versi lain!”. Secara aku “kenalnya” Ika Natassa duluan dan nggak ada referensi
serupa yang gaya tulisannya metropop banget, gaul habis, cranky bingit, dan bikin aku yang baca kayak naik roller coaster dan semacamnya – yang cuman
aku naiki 2 kali seumur hidup pas TK dan sama pas kuliah dan bikin aku nggak
mau lagi naik karena takut ketinggian dan kecepatan, sering kebawa mimpi sih
padahal nggak ada trauma juga.
Oke, lanjut. Terus pas share status di path, temen2 pada bilang
bagus dan bikin mewek. Oh, ya? Segitunya? Dan kelakuan busukku setiap kali
dapet spoiler (apa itu disebut spoiler? ngarah sih, ya) adalah langsung
baca halaman-halaman terakhirnya. Kalau inget kata senior kos pas zaman kuliah
sih, kelakuanku ini MERUSAK TATANAN CERITA! KASIHAN YANG NULIS CAPEK-CAPEK. Oke,
habis gimana? Keburu nafsu tahu ending-nya.
Tapi untungnya setelah baca-baca halaman akhir lalu gantian sama blurb, kok ya pas banget ya... aku masih
tertarik baca dari awal halaman per halaman karena SUER bahasanya penulis ini
tuh “renyah” (atau gurih? Apa pun lah). Makanya ya seporos (istilah macam apa
pula lah seporos, huh?) sama Ika Natassa. Plis, aku nggak mau membandingkan dan
atau menyamakan mereka tapi perasaanku nggak bisa bo’ong. Tapi yang kubahas
bukan negatifnya. Melainkan betapa “Oh, perasaan baca yg sana sama yang ini
kok, sama, sih. Aku suka!”
Terus soal pengarakteran. Lagi-lagi,
si Ava sama Kei (Antologi Rasa) hampir mirip. Semau gue tapi prinsipil (alias
punya prinsil hidup yg dipegangnya teguh). Dan menyadarkan diriku bahwa orang
yang kelihatannya slengekan, belum tentu busuk. Walau kebanyakan orang bakal
menilai buruk. Karena tertancap sebuah hadits – sori ye, bawa-bawa hadits
segala soalnya pikiranku ke sini melulu - “siapa yang bergaul dengan pedagang
minyak wangi, ia akan ikutan wangi”. Akhirnya, hadits gini dipukul rata dengan
konsep pemahaman kaku. Padahal sih, orang juga tahu bahwa ada kalimat “don’t judge the book from the cover”
tapi nggak semua orang bisa mengaplikasikannya. Jadi, kalo aku pribadi ya balik
sama hati kita-lah (aku juga masih belajar, kok. ;p). Mau temenan sama si ini,
si anu, nggak masalah. Akhirnya balik ke jalan tengah – menurutku – “hidupku,
hidupku. hidupmu, hidupmu. tapi kita bisa jalan bersisian dan seirama.”
Karakter lain yang bikin aku
sebel ya si Ludi kampretos itu. Nah, ini nih yang menarik banget. Orang yang
kelihatan sempurna belum tentu juga bagus kelakuannya. Makanya sekarang aku
lagi getol banget bikin cerita yang lakinya ngehek tapi aslinya baik. Sweet dah laki kayak gitu. Ngehek tapi karismatik.
Uyeah! :D
Terus... si Rei, ya ampun
jangan tanya. Secara fisik kalau aku ngebayangin, dia bukan impian ya tapi
pikir dong (dengan gaya tunjuk pelipis ala cak lontong :p), perlakuannya
maniiiissss banget. Do more, talk less.
Dan tetep aja gokil. *salam metal cinta buat Rei di surga, ya*
Nah, kalo soal ceritanya
sendiri, aslinya agak begah juga kalau cuman dibayangin sederhana. Cewek di
persimpangan jalan cinta, ketemu dua lelaki, terus pacaran sama salah satunya tapi
aslinya jatuh cinta sama yang satunya. Eh, yang dipacarin kurang ajar, dan
justru yang bikin sebel malah bikin klepek-klepek. Selalu ada angel di belakang tokoh yang siap
memeluk tokoh ketika devil di depan
matanya menghantui, rrawwrrr! Agak klise. Tapi pengemasan jalan cerita yang
nggak bikin bosen sedikit pun dengan gaya bahasa “renyah” tadi akhirnya bikin
cerita itu nggak biasa aja. Btw,
selama baca, aku nggak pernah bosen sekali pun bahkan setiap ninggalin buat
makan/madi/poop sekalipun kepikiran
tuh, Rei mau ngapain lagi ya sama Ava? Membombardir otakku lah istilahnya. :D
Aku kira novel “L” ini cuma
melulu cinta tapi ya nggak mungkinlah. Hampir 400 halaman masa yang dibahas
cintaaaaa aja? Oke, soal persahabatan yang segitunya,
tentang toleransi agama (aku suka part
ini. cinta nggak mandang suku/agama/ras. dan pliisss... jangan menghakimiku
jika pernah hampir merasakan kayak Ava dan Rei *curcol dikit* tapi merasakah
kalian bahwa perbedaan itu indah?), soal bahayanya perokok pasif (sialnya aku
juga perokok pasif tapi alhamdulillah sekeluarga sehat. secara kami doyan
makan, gemuk dan “mengusir” ayah merokok di WC aja :D), soal bos bernama Mbak
Luna yang keren humanis (aku padamu Mbak Luna! HRD waras!). Terus soal cinta
yang bikin Ava harus nelen bulet-bulet omongannya yang berjemawa (untuk bagian
ini aku pengen njitak kepalanya Ava, kapoookkkk!!!). Tapi she let him untuk
menguasai hatinya, dengan gaya Rei sendiri.
Pokoknya, aku suka novel ini. Walau
ada typo sithik-sithik tapi bayangkan
hampir 400 halaman, ya capeklah kalau ngecekin satu-satu. Ora popo. Aku tetep berani teriak lantang “ANGKAT L KE LAYAR
LEBAAAARRRRR!!! SEGERA!!!!!”. Angkat L ke film biar aku (tambah) jatuh cinta
sama kayak aku jatuh cinta ke Eiffel... I’m in Love (EliL). Selama ini belum ada
yang ngegeser film itu di hatiku, wkwkwkkw. L bukan menggeser tapi “menemani” ELiL.
Kalo pake istilah Goodreads
sih, izinkan aku kasih 5 dari 5 bintang. Nggak peduli kamu bilang aku bego dan
nggak objektif. Sedari awal udah aku bilang, resensi ini resensi bebas nan
subjektif.
Bye,
NB:
Ini beberapa dari L yang
terngiang-ngiang banget:
1.
Jangan bahas kata yang nggak penting dari
kalimat yang sedang dibahas (Mama Ava)
2.
Cinta bukan segalanya dalam pernikahan/ rumah
tangga tapi cinta adalah fondasi (Mama Ava)
3.
Too good
to be true (nyangkut soal Ludi gendeng! Kalau nggak salah. Semoga nggak
salah. -.-)
4.
Kita harus tau kapan kita harus berhenti nanya “kenapa”
dan bilang sama diri kita sendiri... someday
we’ll know (Rei buat Ava) - ini
bikin cesss... selama ini aku sering gini lho, Rei. Gimana? Kamunya keburu
pergi :(
Oya, satu lagi yg bisa jadi pelajaran. Kita
jadi orang kudu berani nanggung resiko segala tindakan yang kita perbuat. Kayak
Ava. Membayar Maya si perusak rumah tangga orang buat mancing pacarnya Xi Men (jadi inget anggora F4 deh) tapi akhirnya dia kena getahnya. Walau Ava nggak menyesali sama sekali - sama kaya dulu2nya tapi kan Ludi itu... well, baca sendiri aja. dijamin bagus! - Tapi seenggaknya,
jadi belajar kan... bahwa terkadang sesuatu yang kita “lempar” akhirnya balik ke
diri kita sendiri. Entah gimana caranya. Entah gimana efeknya. :)