Malam semakin dingin untuk
sebuah desa bernama Gadungan, bagian kecil dari Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Padahal jam dinding masih pukul setengah sembilan malam. Tapi memang inilah “musim
dingin” di sini, di saat -waktu yang baik bisa diduga maupun tidak- rezeki air
dari Tuhan turun. Hujan. Tapi langit malam ini cerah walaupun rasanya
menggigil.
Di bangku susunan bambu lebar ini, aku dan
kamu duduk berdua. Tanpa ayah yang sedang bekerja mengonstruksi sebuah bangunan
hotel di bibir pantai selatan Jawa, di Trenggalek sana. Tanpa dua anak lelakimu
yang sibuk mengurus kegiatan OSIS di sekolahnya. Hanya aku, anak perempuanmu
satu-satunya yang menemanimu di emperan sebuah gubuk berdinding kayu dan lantai
semen peninggalan mendiang nenek dan kakek.
Engkau pun berceletuk. “Ibu
seneng kamu di rumah, Nduk[1].
Biasanya ibu sendiri kalau ndak ada
kamu. Paling kalau siang ke tokonya Mbak Sukis situ buat cerita-cerita biar
nggak sepi di rumah pas adik-adikmu sekolah, ayahmu nyambut gawe.” (bekerja)
Aku memilih meletakkan kepalaku
di pangkuanmu. Engkau mulai mengusap lenganku.
“Tapi Ibu jangan mau diajak ngrasani orang. Nanti kita dituduh yang
macam-macam.” (membicarakan keburukan)
“Enggaklah. Ibu ndak pernah ada niat untuk menjelekkan
orang, Nduk. Gae opo to? Wong kita juga bukan manusia suci.” (Untuk apa? Lagi
pula)
Memoriku akan topik ini
membuatku terlempar ke masa lalu. Pada masa di mana aku mengingat kamu dan ayah
terkena fitnah telah menyantet tetangga kita yang telah memakan sekian meter
tanah peninggalan mendiang kakek-nenek, di depan mataku yang masih SMP kelas
satu dan di depan banyak orang, se-RT dugaanku. Tetangga kita itu memang sudah
memberikan biaya ganti rugi padamu tapi entah mengapa beberapa hari setelahnya
ia sakit lalu menuduhmu dan ayah seperti itu. Dan aku melihatmu, juga ayah
tentunya hanya beristighfar kuat. Semenjak itu aku mengenal rasa sakit hati
pada orang yang lebih tua dariku. Namun, kamu menghiburku, “Jangan dipedulikan!
Kamu harus sabar, Nduk. Ndak boleh
dendam. Nanti juga bakal tahu siapa yang benar.” Hatiku pun mendingin tapi
sampai detik ini, setiap kali aku bertemu dengan orang itu, ingin sekali aku
menyumpal mulutnya dengan batuan lahar dingin gunung Kelud bahkan menyemennya
sekalian.
Aku ingat kenangan pahit itu
sehingga merasakan betapa kuatnya dirimu menjadi pribadi yang hidup di tengah
masyarakat yang majemuk etnis, budaya dan agama di desa ini. Belum lagi karakternya
yang beraneka macam.
“Bu, besok lusa aku mau ke
Jogja. Aku mendapat panggilan tes-wawancara kerja sebagai editor di penerbit
mayor. Padahal aku sudah lama nglamarnya, lho.
Aku pikir aku nggak kepanggil. Ya, walau ini nggak sesuai sama jurusanku
kuliah di psikologi tapi aku suka tulis-menulis, Bu.”
“Iya. Siapa tahu itu rejekimu, Nduk,” sahutmu bersuara renyah. “Apa
kamu punya uang saku berangkat ke sana?”
Aku terpana sesaat. Di usiaku
yang seharusnya sudah mapan dan produktif, ternyata masih pengangguran dan
merepotkanmu. Tapi kamu masih bersedia dan berusaha menyediakan uang saku
untukku. Entah, dapat dari ayah yang bekerja atau hasil meminjam pada tetangga
kanan-kiri. Setidaknya itulah yang kuingat setiap kali aku merasa kantongku “kering”
di perantauan.
“Punya. Sisa gajiku jadi freelancer shadow teacher[2]
kemarin,” jawabku. “Bu,” panggilku.
Engkau berdeham.
“Maafin aku, belum bisa
membahagiakan Ibu sama Ayah. Mana Ayah sekarang kena jantung kan? Dan masih
nekat bekerja jauh.”
Air mata mulai keluar dari
sudut mataku. Aku memang sensitif soalmu dan ayah.
“Oalah Nduk, ora popo. (tidak apa-apa). Yo, ibu sama ayah yang harusnya minta maaf, nggak bisa membuatmu
sama adik-adikmu sejahtera. Tapi selama ibu sama ayah hidup, ya kami usahakan.
Kalian tanggung jawab kami,” tuturmu tegar tanpa terpancing untuk meneteskan
air mata.
Aku pun berkesimpulan, betapa
dirimu adalah pribadi yang tertempa kuat semenjak kecil. Katamu, semasa kecil
dirimu belajar di bawah temaram lampu tempel dengan sumbu kompor dan membantu
orang panen kacang untuk mendapatkan uang saku. Semasa remaja, kamu kehilangan
ayahmu yang paling mengasihimu dan mulai menjadi gadis yang berani bertualang
sendiri. Semasa dewasa, kamu mengabdikan diri pada suami sekaligus ibumu sampai
ia menutup mata. Di sela-sela itu kamu melahirkanku sampai harus bertaruh nyawa
dalam koma. Dan sekarang, dirimu masih dalam garis kehidupan yang amat
sederhana, tak seperti saudara-saudaramu yang sudah bisa menaiki mesin besi
berjalan mentereng dengan keturunan yang sukses. Selain itu kamu juga masih
harus memeras darah agar anak-anakmu ini bisa mengenyam pendidikan tertinggi supaya
mendapat kehidupan yang layak.
Sungguh, aku merasakan selaksa
pedih memenuhi dinding hatiku. Aku memang memberontak mengapa aku harus
terjebak bersamamu dalam situasi ini. Tapi Tuhan menghendakiku melihatmu yang
begitu kuat dan sabar menghadapi semua ini. Aku seketika malu pada diriku sendiri.
Aku belum lah matang dalam kehidupan, malah mudah terbawa nafsu dunia. Sementara
kamu bisa bertahan menghalau gelombang kehidupan ini bersama ayah. Kalian pun
rela merendahkan harga diri supaya kehidupan kami -anak-anakmu- layak dan
mapan. Sungguh, betapa keras perjuangan hidupmu sampai sekarang.
“Ibu.” Aku bangkit dari pangkuanmu.
Engkau memandangku teduh. Mungkin, jika saja mataku mampu melihatmu dengan
jelas ketika aku baru dimandikan suster dari lumuran darahmu, aku mereka-reka
kuat, itulah ekspresi pertamamu ketika melihatku hadir di bumi ini. Seolah aku
ini anugerah terbesar untukmu dari Tuhan. “Aku benar-benar minta maaf atas nama
pribadi maupun adik-adik. Kami sudah sering menyakitimu dan Ayah. Sering membangkangmu,
menyentakmu. Tapi kami mencintaimu dan nggak pengin jauh dari kalian selamanya.”
Kini air mataku meleleh, menetesi
pipiku. Udara dingin makin menusuk tulang. Aku meraih kerah jaket kain coklatmu
yang turun, membenahi posisinya supaya kamu lebih terasa hangat.
“Ibu terima maafmu, Nduk. Ndak usah dipikir lagi. Namanya kita
hidup harus saling memaafkan. Terlebih orangtua sama anak. Dunia-akhirat saling memengaruhi. Kalau orangtua gagal masuk
surga, anak juga ikut. Kalau anak gagal masuk surga, sumbernya juga gagalnya
orangtua menjalankan amanah Gusti Allah dengan baik. Ibu sama ayah selalu
berusaha dan berdo’a biar kalian hidupnya barokah dunia-akhirat. Mapan, cukup,
berkah. Itu aja,” jelasmu. Kemudian tanganmu menangkup wajahku, membelainya lembut,
berusaha menghangatkanku.
Iya, aku tahu dirimu adalah
orang yang selalu sabar, ikhlas dan pemaaf. Tak salah jika kamu awet muda, Bu.
Kamu tidak punya letupan amarah –sepengetahuanku-. Malaikatkah dirimu ini?
Ibuku malaikat? Sungguh ayah beruntung mendapat wanita sepertimu. Dan lebih-lebih
beruntung aku memiliki ibu sepertimu.
Aku kembali teringat
kekurangajaranku semasa aku kuliah di Surabaya. Aku jengkel tak jelas waktu
itu. Aslinya sih, karena kamu tak jua mengirimiku uang bulanan padaku yang
sudah kere padahal awal bulan. Aku pun membuat sebuah konspirasi sendiri.
Memberitahu semua saudara bahwa aku mendapat kecelakaan ringan namun berdarah.
Kamu pun sontak meneleponku dengan rentetan kalimat penuh kekhawatiran. Aku tertawa
sinis dalam hati dan bermulut kasar padamu. Aku merasa bangga ternyata kamu
peduli jika aku sakit. Bangga, bukan bahagia. Bangga atas kemenanganku
mengelabuhimu. Padahal situasi kala itu, untuk membeli beras sembako kualitas
rendah saja, kamu sulit karena gagal panen jagung yang kamu dan ayah tanam di
belakang rumah.
Malam ini pun membuatku tersadar,
aku begitu kejam padamu. Begitu teganya aku padamu. Aku begitu bernafsu menjadi
kaya melalui penempuhan ilmu di kota, berharap bisa mendapat pekerjaan yang
mentereng di kantoran kota. Tapi apa? Sekarang aku di sini, kemarin baru menjadi
pekerja lepas untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dan seringnya disebut baby sitter oleh orang lain, bahkan
kakakmu sendiri, Bu. Sakit! Tapi sungguh aku sadar. Rezekiku seret karena aku
melukaimu. Mungkin kamu sudah memaafkan aku tapi mungkin Tuhan ingin memberiku
pelajaran. Supaya aku lebih bisa menghormatimu dengan tulus, mensyukuri setiap
nikmat yang ada sehingga merasa selalu cukup dengan karuniaNya.
Aku menggenggam tanganmu dan
menurunkannya dari pipiku.
“Bu, apa pun yang terjadi, aku
akan menjaga Ayah dan Ibu. Aku dapat kerja di sini nggak pa-pa asal cukup buat
kita semua. Aku juga nggak terlalu berharap untuk tes besok di Jogja itu. Aku
bakal jaga Ibu sama Ayah. Kalau bukan aku siapa lagi? Adik-adik itu laki-laki
dan mereka harus merantau dan sukses lalu kembali pada Ibu dan Ayah juga.
Giliran mereka yang pergi menimba ilmu sebanyak-banyaknya, aku yang akan
menjaga kalian. Aku yakin restumu ampuh untukku, Bu. Rezeki datang dari mana
saja kan, Bu?”
Kamu mengangguk tersenyum
padaku dan mengusap tanganku.
“Jadi, aku tetap berusaha
semampuku bagaimana caranya agar roda kehidupan kita terus berjalan tanpa Ayah
bekerja keras ketika sudah tua begini. Sudah waktunya aku mengambil alih tanggung
jawab Ayah tapi dengan caraku sendiri, Bu. Do’ain aku ya, Bu? Cuma do’a Ibu dan
Ayah yang aku jadikan jimat kesuksesanku kelak. Do’ain aku ya? Aku cinta sama Ibu
walau aku sering nyakitin Ibu,” ujarku sambil merasakan air mata sudah tumpah
ruah membasahi wajahku.
Aku sontak memelukmu dan kamu
membelai kepalaku lembut.
“Alhamdulillah Nduk kamu bilang begitu. Ibu bersyukur
kamu bertekad seperti itu tapi kamu juga eling
kamu wanita yang ada masanya ikut suami. (Ingat). Asal kamu berbakti pada
suamimu nanti, ingat sama kami, itu cukup. Kami seneng kalau kehidupan keluargamu
dan keturunanmu bahagia dunia-akhirat, juga adik-adikmu kelak. Ibu nggak pernah
berhenti berdo’a, Nduk. Kalian itu
harta terbesar dan berharga kami. Kalian harus lebih sejahtera dan barokah dari
kami.”
Aku mendesah lega. Betapa kamu
adalah makhluk jelmaan malaikat, Bu. Sabar, tulus, kalem, selalu bersandar pada
firman Tuhan dan selalu mengasihi kami dalam kondisi apa pun. Aku tak tahu
harus berterima kasih macam apa pada Tuhan karena telah menjadikanmu sebagai
ibuku.
“Kamu juga harus lebih sabar, Nduk. Sabar itu penolong bagi orang
beriman. Sabar bukan berarti diem, menyerah tapi terus berjuang, ikhlas sama
ketentuan Gusti Allah dan terus berdo’a, juga berbuat baik pada sesama. Insya Allah
jalan hidupmu selalu barokah dan cukup. Ndak
perlu yang wah, kaya raya, berlebihan. Nggak. Cukup. Gusti Allah yo ndak suka sama orang yang berlebihan.
Tapi kalau ada orang yang kaya ya itu ujian, sejauh mana dia bisa berbuat baik
di jalanNya. Percayalah dalam hatimu!” tuturmu menyentuh dadaku, tepat di hatiku.
Oke Bu, kamu memang bukan orang
berpendidikan tinggi sepertiku tapi jiwamu dan mentalitasmu mengalahkan siapa pun
yang bertitel banyak di dunia ini yang kebanyakan serakah, culas dan pongah.
Aku berani jamin. Tuhan Maha Tahu.
Aku memelukmu lebih erat
sehingga sensasi hangat menjalariku. Abaikan dinginnya udara yang kian menggila
malam ini. Aku hanya ingin melindungimu seaman dan senyaman mungkin seperti kamu
menjagaku dalam perutmu, di balik gendongan kainmu dan harga dirimu.
-selesai-
*pernah diikutkan dalam lomba #Everlastingwoman untuk memperingati hari ibu 2013 oleh Penerbit Diva Press tapi enggak menang :p
[1] Panggilan untuk anak perempuan
dalam masyarakat Jawa
[2] Guru pendamping Anak
Berkebutuhan Khusus