Cinta Tak Lari
Ke Mana
Sandra berdiri mematung dengan
perasaan getir yang menelusup tepat ke jantung hatinya.
Andra memang bukan apa-apanya, belum
dan mau karena “kompetisi” ini belum usai.
Ya, “kompetisi” mendapatkan hati
Andra dan berhak bersanding di pelaminan dengan Andra bila saatnya tiba dan
bila Andra memang menjatuhkan keputusannya memilih Sandra, bukan wanita-wanita
lainnya sebelum masa pemilu daerah berlangsung.
Sandra memang tak yakin benar bisa
mendapatkan hati Andra. Tapi sejauh ini dia sudah memberikan usaha terbaiknya
untuk bisa memenangkan hati Andra, lelaki 28 tahun nan tampan, ahli waris
urutan pertama pengusaha tambang batu bara tersohor di negeri ini, calon wakil wali
kota yang pemilihannya akan bergulir setengah tahun lagi. Jika ditelusuri dari
bibit, bebet dan bobotnya jelas Andra lelaki tanpa cela.
Tapi malam ini kenyataannya Andra
lelaki dengan cela. Sandra sungguh tak mengira Andra ternyata sungguh
hina-dina. Tepat di ruang kerjanya di rumah pribadinya, ia bercumbu mesra nun
“panas” dengan wanita yang juga ikut dalam “kompetisi” perebutan status nyonya
Andra Witjaksono.
Sandra tak hanya merasa getir tapi
juga jijik setengah mati.
Sandra merasakan air sudah memenuhi
matanya dan panas yang semula berasal dari kedua matanya telah menjalar ke
keseluruhan kepalanya.
Demi Tuhan, perjalanannya dalam
“kompetisi” ini cukup sampai di sini! Sandra segera melangkah menjauh. Dalam
hatinya ada rasa syukur yang terselip.
Untung
aku belum sejauh itu. Aku nggak akan pernah melakukan hal hina untuk
mendapatkan lelaki.
“Tunggu!” suara seorang lelaki yang
tak asing bagi Sandra.
Sandra menghentikan langkahnya dan
menoleh segera.
“Jones?” balas Sandra tak menyangka
lelaki itu ada di sana. Mereka sudah dua bulan tak berjumpa. Dikiranya Jones
tak lagi kembali.
Sandra sangat bersyukur jika
faktanya begitu. Karena Jones selalu muncul tanpa diduga seolah meneror dirinya
dengan cara menggodanya sejak pertama berjumpa. Sementara Sandra tak suka
digoda.
Lelaki yang Sandra sebut Jones
tersenyum. “Ya. You looks like see a
ghost, Honey!”
Sandra menelan ludah. Lelaki itu
masih berani-beraninya memanggilnya “Honey”. Mungkin bagi orang barat itu biasa
tapi bagi Sandra, makna “Honey” itu luar biasa, sebutan manis dari orang
terkasih. Dan Jones bukan orang terkasih. Begitu percaya dirinya Jones
mengucapkan sebutan itu.
“Jangan menggangguku, Jones! Aku
malas bertengkar kali ini!” sergah Sandra.
“Ya, ya, ya. Kamu masih tetap judes
seperti biasa, Honey. Kenapa, sih?
Kenapa kita tak berdamai, ha?” tanya Jones. “Tapi... no! No! No! I miss you so much, Honey. Aku rindu kita bertengkar
dan kamu selalu kalah, hahaha...” kelakar Jones.
Sandra tersenyum kecut. “Simpan
rayuanmu!”
“I’m
serious. Aku selalu memikirkanmu selama aku mengurus pekerjaanku di Texas.
Dan aku mengirimimu banyak pesan tapi tak pernah sekalipun aku mendapat
balasannya,”
Jantung Sandra mendadak berdegup
cepat. Ia memang mengabaikan puluhan email Jones. Belum lagi pesan melalui
Whatsapp. Hal ini disebabkan Sandra muak dibuatnya. Pesan-pesan itu pesan-pesan
menggombal ciptaan Jones. Sandra tak suka diberi rayuan gombal. Konyol!
Sandra juga tak suka dikejar lelaki.
Ia sukanya mengejar lelaki. Itulah yang selama ini ia lakukan dan selalu gagal,
mungkin termasuk yang baru saja ia alami barusan dengan Andra.
“No
reason?” Jones memecah keheningan. Sandra menatap Jones sembari menaikkan
sebelah alisnya.
“Aku baca emailmu, pesenmu tapi aku
nggak sempet bales,”
Jones tak percaya tapi ia tak mau
mendebat gadis yang sudah “merenggut” separuh nafasnya.
Gelora asmara memang sudah terpercik
di hati Jones saat jumpa kali pertama, kala gadis bernama Sandra itu hadir
menjadi salah satu kandidat tiga besar calon istri Andra. Jones mendampingi
Andra kala itu. Tapi Jones tak mampu mengelak pesona gadis manis khas Indonesia,
seperti mendiang ibunya. Pikir Jones.
Jones tahu Sandra sedang berusaha
sekuat tenaga meraih kursi pelaminan dengan sahabatnya sejak kecil, Andra. Tapi
perasaan Jones terlalu kuat. Ia pun yakin Andra bukanlah lelaki baik dan tepat
untuk Sandra. Sandra terlalu baik untuk lelaki flamboyan seperti Andra meskipun
penampilan Andra menunjukkan reputasi tanpa cela. Ia yakin dirinyalah yang
justru terlihat flamboyan tapi sebenarnya ia hanya akan memilih satu wanita
yang benar-benar menggetarkan hatinya dan menjadikannya nyonya Jones. Dan itu
Sandra.
“Akan aku antar kamu pulang,” usul
Jones. Sandra menggeleng.
“Perasaanmu sedang kacau karena
kejadian di dalam, kan? Aku tak mengizinkanmu pulang sendirian. Terlebih ini
sudah malam. Kejahatan mengintai siapapun. Let
me, please!”
“Kali ini aku harus nyerah lagi?”
sahut Sandra mencoba mengingat sejumlah kekalahan dirinya ketika berdebat atau
sekedar bicara biasa dengan Jones sampai detik ini. Jones segera mengangguk.
Jones menggiring Sandra ke dalam
mobilnya dan segera melajukannya meninggalkan pelataran rumah Andra.
Di tengah perjalanan Jones justru
membelokkan mobilnya di bibir laut di pinggiran Surabaya. Sandra menatapnya
bingung. Jones justru menyuruh Sandra mengenakan jaket super tebal, begitu pula
dirinya.
“Aku mau cari angin,”
“Ya, di sini memang tempatnya angin
super kencang,” ejek Sandra.
“Jaket itu berguna melindungimu dari
anginnya, Honey,”
Sandra mengikuti Jones turun dari
mobil dan berjalan mendekati bibir laut, duduk di bebatuan pembatas daratan dan
lautan.
“Mau ngapain?” tanya Sandra.
Jones menatap Sandra beberapa detik
dan tersenyum.
Sandra merasakan jantungnya mau
mencelos keluar. Senyuman Jones sungguh manis. Nabi Yusuf kah yang sedang
menatapnya? Ah, tapi Nabi Yusuf pasti punya
wajah Arab sementara Jones adalah keturunan Amerika-Indonesia. Wajahnya tampan
orisinal tak ada yang menyamai. Mata coklat walau tersamarkan cahaya lampu yang
merancukan sebuah warna, hidung mancung, garis wajah kuat, jambang sebagai
tanda kemaskulinannya, rambut lurus coklat gelap yang sesekali terjurai
menutupi dahinya. Sungguh, Sandra terpesona.
“Menangislah,” suara Jones
membuyarkan kekaguman Sandra.
Sandra mengernyit, tak mengerti.
“Kamu patah hati karena Andra, kan?
Menangislah! Di sini tak akan ada yang mendengar kamu menangis meraung-raung
bahkan,”
Sandra menimpuk lengan Jones
kemudian menggeleng kuat. “Aku nggak bisa nangis di depan orang,”
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Dari dulu ketika
mengalami peristiwa sedih, aku nggak
bisa nangis saat itu juga tapi pas sudah sendiri di kamar, semuanya bisa
lepas. Nangis di kamar sendirian,”
“Kamu malu aku melihatmu menangis?”
“Enggak tapi emang nggak bisa nangis
di depan orang lain bahkan di depan orangtuaku juga nggak bisa,”
“Aneh,”
“Justru kamu yang aneh. Nyuruh orang
nangis,”
“Aku lebih baik melihatmu menangis
di depanku dan aku bisa melapangkan dadaku untukmu bersandar,” Jones mulai
menggoda lagi.
Sandra memberikan lirikan tajamnya.
“Slow
down, Honey... aku tak bermaksud kurang ajar tapi I’m swear, if you feel sad
come to me. Aku akan menghiburmu, membuatmu tersenyum,”
Sandra mengubah posisi duduknya
menghadap Jones.
“Bisa nggak sekali saja kamu nggak
ngegombal? Maksudku merayuku. Aku nggak biasa dirayu,”
“Justru itu. Aku akan membuatmu
menjadi biasa,”
“Aku muak dengan lelaki tukang gombal!”
“Oh, ya? Lalu kamu lebih suka lelaki
yang suka mengambil keuntungan dari wanita? Lelaki yang baik di luarnya tapi
penuh trik untuk mencapai semua kemauannya? Lelaki yang mencoba meraih
perhatianmu dengan pesona cukup dinginnya lalu membuangmu setelah kamu ada di
tangannya?” Jones menyeloroh dengan nada suara meninggi. “Wake up, Sandra! Dunia ini bukan dongeng romantis seperti
novel-novel koleksimu itu, maaf, aku tahu ketika aku ada di rumahmu bersama
Andra. Aku masuk ke ruang bacamu. Kamu mengoleksi banyak novel romantis dan
semua itu fiktif, Honey! Maksudku,
kamu hidup di dunia nyata. Lelaki angkuh tetapi baik dan jatuh cinta padamu itu
tak pernah terjadi padamu. Andra bukan lelaki seperti itu. Dia menjalankan
peran sesungguhnya di dunia nyata ini. Aku tak bermaksud menjelek-jelekkannya
tapi sungguh Sandra, akulah lelaki yang tepat untukmu. I’m crazy on you!” tegas Jones.
Sandra membelalak, tenggorokannya
tercekat.
“A-aku kira kamu cuma main-main,
Jones,”
Jones mendekati Sandra. Tangannya
menangkup wajah Sandra.
“Aku tak main-main, Honey. I call you Honey because I love you,”
ucap Jones menatap mata Sandra lekat-lekat.
Sandra terpaku pada tatapan Jones.
Ia tak menyangka Jones benar-benar mencintainya.
Sandra kalut. Ia baru saja sakit
hati karena Andra dan sekarang Jones yang terlihat mempermainkannya dengan gaya
flamboyannya menyatakan kesungguhan hati mencintainya. Haruskah Sandra
mensyukuri semuanya? Haruskah ia menerima cinta Jones?
Sandra angkat suara.
“Aku... aku...” tampaknya Sandra
masih tak tahu hendak berkata apa.
Jones masih menatapnya lembut dan
penuh harapan atas jawaban Sandra.
Sandra menampik tangan Jones lembut.
“Jangan main-main. Jangan memancing
pertengkaran lagi,”
“Aku serius,” sahut Jones.
“Tinggalkan Andra, hiduplah bersamaku!” pinta Jones. Kini giliran Sandra yang
menatap kuat Jones.
Suasana hening. Lalu terdengar suara
Sandra mendesah.
“Tanpa kamu suruh, aku berhenti
mengejar status menjadi nyonya Andra. Kamu pikir aku sehina itu mengemis cinta
lelaki seperti dia,” sahut Sandra mencoba melumerkan suasana yang hening bin
kikuk rasanya. “Dan kamu, berusahalah
lebih keras lagi membuatku jatuh cinta. Usahamu selama ini nggak ada
apa-apanya. Jangan kira aku akan terima cinta kamu seketika setelah aku patah
hati. No! Butuh waktu,” lanjut
Sandra.
Keduanya terdiam.
“Well,
salah satu usahamu dimulai dari sekarang! Aku kedinginan sekarang. Apa kamu mau
aku mati kedinginan di sini? Kamu memang sukanya makan angin, aku enggak. Ayo
pulang!” cerocos Sandra sambil mengambil langkah terlebih dulu dari Jones.
Senyum Jones merekah, suasana
mencair. Ia memang belum puas dengan jawaban Sandra. Tapi Sandra sudah
menunjukkan penerimaan kehadiran dirinya mulai detik ini.
Jones mencoba meyakini, jika Sandra
memang jodohnya, cinta tak akan lari ke mana. Tapi yakin tak hanya yakin, harus
ada pembuktian. Artinya, ia harus mengubah strategi mendapatkan cinta Sandra,
agar tak lari ke mana-mana.
Sandra membalikkan badan sesampainya
di dekat pintu mobil. Ia memonyongkan bibirnya, tanda kesal karena Jones tak
segera menghampirinya. Justru berjalan santai sambil tersenyum padanya.
“Ayo! Kenapa jalanmu kayak bekicot,
sih??!! Tahu bekicot nggak?? Dasar!” omel Sandra.
Jones segera mengambil langkah lebih
cepat.
-end-