Pangeranku (tak) Oedipus Complex
Bel rumah Citra berdentang berulang
kali. Citra mendengar itu dari kamar mandi tapi ia jelas tak akan merelakan
momen pembuangan “sampah-sampah” perutnya berakhir begitu saja. Momen itu
adalah momen “ternikmat” dimana id seseorang menuntut untuk dipenuhi dan ketika
id dipenuhi memang ada kepuasaan tersendiri. Setidaknya begitulah yang
dikatakan Sigmund Freud[1], tokoh psikologi yang
merupakan founder aliran psikoanalisa
dikutip oleh Candra, kakak lelaki Citra sang calon psikolog. Dibiarkannya saja
bel itu berbunyi berulang-ulang.
Usai membuang hajat, Citra bergegas
melihat siapa tamu yang datang di siang hari bolong, waktu dimana orang menuju
istirahat siangnya di hari Minggu.
“Cari siapa, Mas?” celetuk Citra
keluar dari pintu garasi rumahnya. Sosok itu membalikkan diri.
Well, persis
adegan sinetron atau film-film romantis, seolah bumi berhenti berputar, jam
berhenti berdetak, daun-daun yang berjatuhan tertahan lebih dulu melayang di
udara, angin juga berkonspirasi untuk mengabadikan momen pertemuan muda dan
mudi ini. Hanya beberapa detik, alam kembali ke posisi semula. Semua tahu, ini
hanya hiperbola saja. Tapi tidak untuk Citra. Dia memang takjub, terkesima, merasa
bertemu pangeran entah turun dari mana. Bohong besar jika turun dari khahyangan.
Tapi Citra tak jua menemukan jawaban dalam waktu yang begitu singkat, mengapa
ada cowok tampan seperti itu di hadapannya?
Citra hanyut dalam keterpukauannya.
Cukup. Maksudnya cukup berkali-kali cowok itu mencoba “membangunkan” Citra dari
itu.
“Oh, iya, Mas, cari siapa?” Citra
mengulang lagi tanya tanpa melenyapkan rasa kagumnya.
“Pak Sigit ada?” tanya cowok itu
balik.
“Ayah? Ayah lagi keluar sama mama
keluar kota. Nanti malem baru sampai mungkin. Ada perlu apa, Mas? Mungkin bisa
nanti aku sampaikan,” jawab Citra.
“Oh, enggak usah. Besok lagi aja kalau ketemu di GOR. Makasih, ya,” cowok
itu mengucap dengan menyunggingkan senyumnya.
@@@
Matahari terus muncul dan menghilang
menjalankan tugasnya menyinari belahan bumi Citra berada dan kemudian berganti
belahan bumi lainnya. Berulang kali. Entah sudah ke berapa kali semenjak
perjumpaan pertama Citra dengan cowok itu sampai ia bertemu lagi suatu kali.
Selama itu pula perasaan Citra nampaknya semakin hari semakin berbahagia. Arus
lalu lintas sketsa cowok itu tak pernah berhenti di otaknya, dua puluh empat
jam non-stop dan terus berulang, seolah tak akan pernah soak jika diibaratkan
roll film.
Cowok itu ternyata bernama Ragil,
siswa kelas tiga SMA 2 Pagi paling berprestasi di bidang taekwondo. Namanya
sudah masuk jajaran atlet taekwondo tingkat nasional untuk atlet seusianya.
Ayah Citra adalah pelatihnya semenjak Ragil masih duduk di bangku kelas enam
SD. Hanya beberapa bulan terakhir ini ketika ayah Citra sibuk mengurusi sekolah
S-3 nya di PTN terkemuka di Surabaya, Ragil dilatih oleh asisten ayah Citra,
Diana.
@@@
Citra menemani ayahnya yang melatih
anak didiknya ketika sang surya sudah tergelincir dari puncak tertingginya.
Citra menyelipkan maksud terbesarnya datang menemani ayahnya. Tentu saja si
Ragil. Maka dari itu semenjak di rumah ia sudah menyiapkan kamera digital
canggihnya yang berharga jutaan rupiah kado ayahnya untuk ulang tahunnya ke
tujuh belas dua bulan lalu. Ia akan sepuasnya membidik berbagai momen Ragil
berpose.
Duduk tak jauh dari mereka yang
berlatih, Citra sudah belasan kali membidikkan lensa kameranya ke arah Ragil.
Tentu saja berkamuflase seolah memotret kegiatan latihan secara keseluruhan.
Bohong besar dilakukan Citra. Di sisi
lain, Ragil tersenyum sendiri. Citra tak tahu. Dan hal ini sudah berkali-kali
terjadi, tak hanya kali ini.
Usai latihan Citra hendak pulang
bersama ayahnya. Sebelum pulang ia hendak memberanikan diri menyapa Ragil. Tapi
no! Mendadak kakinya berat melangkah
menghampiri Ragil yang mengambil langkah cepat menuju parkiran motornya. Entah
penggambaran fisiologis macam apa yang mewakili kondisi Citra, intinya ia tak
berani menyapa Ragil. Ia urungkan saja niat itu lalu mengikuti langkah ayahnya
menuju mobil mereka diparkir tepat di depan seberang pintu GOR. Tapi ia sempat
melirikkan matanya ke arah Ragil. Di sana tak hanya Ragil yang akan menunggangi
motornya. Seorang cewek. Tak asing bagi Citra. Diana. Agak kecewa. Ada hubungan
apa mereka berdua? Citra tak bisa berhenti bertanya-tanya tapi akhirnya dia
lupa sendiri.
@@@
Jam dinding kamar Citra menunjukkan
pukul setengah delapan malam. Citra terpekur memperhatikan layar laptopnya. Di
sana puluhan foto Ragil berseragam taekwondo dalam berbagai pose sudah
terkumpul dalam satu folder berformat rar. berjudul “Pangeran”. Folder itu ia
sembunyikan di balik folder-folder berlapis-lapis dan memberikan kata kunci
untuk membukanya.
“JEGREKK!” suara pintu kamar Citra
terbuka. Citra gelagapan tak keruan. Ia segera menutup semua file foto Ragil
dan setengah menutup laptopnya.
“Mas Candra... ketuk pintu dulu,
dong!” protes Citra.
“Sori, sori, aku buru-buru. Pinjem
modem dong, dek! Pulsa modemku abis,”
Citra segera mengambilkan modem
miliknya di laci di bawah meja di hadapannya.
Candra melangkah keluar kamar usai
itu. Citra merasa aman untuk membuka kembali foto-foto Ragil. Tapi tiba-tiba...
“Dek, sejak kapan kamu pasang aturan
harus ketuk pintu dulu? Aku kok nggak
pernah tahu, ya?” ujar Candra melongok dari balik pintu.
Citra menoleh dan jantungnya berdebar
cepat. Seketika ia memegangi laptopnya setengah menutupnya lagi.
“Sejak... sejak hari ini,” sahutnya
salah tingkah.
“Oh begitu. Gara-gara yang di foto
itu ya? Hehehe,” kata Candra sambil mengangkat kedua alisnya bersamaan.
Citra memberikan kode agar kakaknya
segera enyah dari balik pintu kamarnya dengan menendang-nendangkan kakinya ke
udara. Candra justru tertawa lebar sembari meninggalkan kamar Citra.
Citra mengembalikan laptopnya pada
posisi semula. Ia mengambil nafas lega. Tapi uppsss... foto Ragil terpampang
jelas di layar. Pantas saja kakaknya langsung menggodanya. Rasanya tadi Citra
sudah menutup semua foto Ragil. Tapi kenapa bisa begini?
@@@
Perasaan Citra kian hari kian
bertumbuh semenjak Ragil sering
bertandang ke rumahnya menemui ayahnya. Alasannya banyak, untuk urusan
taekwondo yang akan menjalani turnamen, alasan pesanan orangtua ayah Ragil,
alasan mengambil berkas ini dan itu dan alasan-alasan lain. Tapi sekalipun
sering bertamu, Citra jarang bertatap muka langsung dengan Ragil. Ia hanya bisa
mengendap-endap memperhatikan Ragil dari balik kaca, dari balik tirai, dari “persembunyian”nya.
Citra menyadari pertumbuhan
perasaannya makin tak bisa dibendung lagi. Ia harus bicara. Tapi menurut Della,
sahabatnya, cewek tak boleh mengutarakan cintanya terlebih dahulu. Tapi menurut
Candra, cinta itu untuk dibagi, maka utarakan rasa itu pada orang yang
disayangi. Nah... dilema, Citra yang rasakan saat ini.
Suatu hari di GOR. Citra membawa
semangat yang selalu berkobar setiap kali pergi ke tempat Ragil berada. Di
dalam GOR semua orang sibuk berlatih, termasuk ayahnya yang sedang melatih.
Citra menuju tempat ia sering duduk memperhatikan Ragil. Kali ini ia tak akan
membidik pose-pose Ragil. Esok hari saja ketika Ragil mewakili Jawa Timur menghadapi
perwakilan provinsi Jawa Tengah. Hanya lensa mata Citra saja yang jeli merekam
semua aksi Ragil dan menyimpannya di memori otaknya.
Citra terus menenggak air mineral
selama ia menunggui para atlet seusianya berlatih sampai-sampai kandung
kemihnya memberikan sinyal sudah tak muat lagi. Kemudian ia bergegas ke toilet.
Usai dari toilet ia hendak kembali ke
arena berlatih tapi langkah kakinya terhenti pada suatu titik dan matanya
seolah diarahkan ke suatu sudut tepat di depan ruang ganti atlet yang hendak ia
lewati. Citra menyembunyikan diri segera di balik tembok. Samar-samar ia
mendengarkan percakapan dua sosok yang tak asing baginya.
“Jangan sekarang, Gil,” ujar seorang cewek.
Citra mengenali suara itu.
“Kalau bukan sekarang kapan lagi, Di?
Aku butuh kejelasan hubungan kita,”
Citra membuka telinga lebar-lebar
agar informasi yang masuk utuh ia dapatkan.
“Ragil...” suara cewek itu memanggil lengkap
nama cowok itu. Citra membelalak spontan.
Ragil??!!
“... beri aku waktu lagi. Setidaknya
kita tunggu waktu yang tepat meyakinkan orang-orang di sekelilingku, tentu juga
di sekelilingmu. Beri aku waktu! Tolong!” sambung cewek itu.
“Diana, aku akan bersabar. Akan aku
buktikan aku sabar menunggumu,”
Kepala Citra seketika cenut-cenut. Ia
tak salah dengar dan tak salah lihat. Dua sosok itu mengutarakan perasaan. Sakit
di kepala Citra merambat ke hati Citra yang terasa seolah dicabik-cabik kuku
macan. Citra merasa matanya lalu berkunang-kunang, sekelilingnya memburam.
Tubuhnya mulai hilang keseimbangan dan terhuyung ke belakang. Tapi ada
seseorang yang sigap menangkap tubuh Citra.
Ragil?
Ia tak yakin itu Ragil tapi ia tak
lupa bagaimana sketsa wajah Ragil.
@@@
Citra bangun dari pingsannya. Di
hadapannya wajah Ragil terpampang jelas. Citra langsung merasa hatinya pilu. Cowok
di hadapannya, Ragil yang tadi mengungkapkan rasa cinta pada Diana, cewek yang
jauh lebih tua.
“Kamu tadi pingsan. Gimana rasanya
sekarang?” sahut Ragil mencondongkan tubuhnya ke arah Citra dan memijakkan
kedua tangannya di pinggir tempat tidur.
“Sakit,” kata itu meluncur begitu
saja dari mulut Citra.
“Bagian mana yang sakit?” tanya Ragil
segera.
Citra menatap Ragil. Citra menggeleng
dan justru spontan bangkit duduk. Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Pelan-pelan,” saran Ragil.
“Aku mau pulang. Ayah mana?”
“Pak Sigit tadi buru-buru ke kampus.
Kamu diserahin ke aku. Jadi, nanti aku yang antar kamu pulang,”
“Nggak
perlu, aku pulang sendiri saja,”
Citra beranjak dari tempat tidur. Ia
berjalan terseok-seok menuju keluar. Citra berjalan makin tak seimbang dan
nyaris ambruk. Kembali Ragil menahannya. Kemudian keduanya segera berdiri
sendiri-sendiri. Citra hendak melanjutkan jalannya tapi tangan Ragil
menahannya.
“Cit, tunggu!”
Citra menoleh dengan malas.
“Sejujurnya aku suka sama kamu, Cit,”
lanjut Ragil.
Citra memasang wajah heran.
“Bagaimana bisa kamu mengutarakan
cinta pada dua cewek dalam sehari? Aku nggak
ngerti jalan pikiranmu,”
“Kamu sudah salah paham, Cit. Yang
kamu lihat itu tadi keliru,”
“Keliru bagaimana?”
“Itu bukan Ragil aku, tapi Ragil
kembaranku. Nama kami bernama depan Ragil. Dia Ragil Atmajaya dan aku Ragil
Wijaya,”
Citra bengong. Yakin tak yakin.
Ayahnya juga tak pernah cerita Ragil punya kembaran.
“Lalu yang selama ini yang aku --”
“Jelas aku. Ragil Wijaya. Yang sering
jahil ke kamu pas SD itu aku, yang kamu temui pertama kali di balik pagar besi
rumah kamu setelah sekian lama kita tidak bertemu karena kamu ikut nenekmu di
Pekanbaru itu aku, yang sering bertandang ke rumahmu itu aku dengan berbagai
alasan, yang sering kamu foto itu aku dan mungkin juga yang sering membuatmu
tak bisa tidur beberapa waktu terakhir itu juga aku,” jelas Ragil teersenyum
menggoda.
“Aku nggak percaya! Mana mungkin?” sahut Citra segera.
Ragil menyambung lagi ceritanya
tentang ia dan kembarannya. Menurutnya, Citra jelas tak tertukar selama ini.
Citra membidik sosok yang benar. Dirinya jelas. Citra juga menjatuhkan perasaan
yang tepat kepada dirinya. Dirinya yang memang seorang atlet taekwondo semenjak
kecil karena ketidaktertarikannya terhadap pelajaran akademis. Hal ini karena
dirinya didiagnosa mengalami disleksia. Ia tak pernah bisa mengingat pelajaran.
Memandang tatanan huruf saja ia sering merasa huruf-huruf itu melayang-layang
tak beraturan dan sering tertukar-tukar. Semenjak itu Ragil benci sekolah.
Bahkan ketika SMP ia pernah tak naik kelas. Hal ini berbeda dengan saudara
kembarnya. Saudara kembarnya berotak genius. Sekolahnya saja mengambil jalur
akselerasi. Tak heran di usianya ke sembilan belas ia sudah semester tujuh jurusan
kedokteran di PTN ternama di Surabaya dan sedang merintis tugas akhir menuju
sarjana kedokteran. Hingga akhirnya keduanya terdiferensiasi. Ragil Atmajaya
cenderung ke akademis, Ragil Wijaya cenderung ke ketrampilan olah tubuh.
Citra menyimak cerita Ragil dan
mencerna kata demi kata Ragil. Ia paham dan ia merasa lega. Kemudian berselang beberapa menit terdengar
suara memanggil nama Ragil yang ada di samping Citra. “Wija,” Ternyata suara cowok
yang wajahnya memang sangat mirip dengan Ragil. Namanya juga Ragil.
Panggilannya Atma, menurut apa yang didengar Citra dari Wija tadi.
Citra menganga. Ia baru percaya
seratus persen.
“Aku buru-buru ke kampus. Ini kunci
mobilnya, aku bareng Diana aja,” terang Atma.
“Sudah baikan ceritanya?” sahut Wija.
“Yah, begitulah...” sahut Atma
tersenyum.
Citra melongo sambil menggerak-gerakkan
kedua bola matanya ke kanan dan ke kiri memperhatikan dua kembaran di depannya.
Persis. Pinang dibelah dua. Ayahnya cerdas bisa membedakannya keduanya.
Atma bergegas pergi menghampiri Diana
yang sudah menunggu di parkiran. Diana melambaikan tangan ke arah Citra dan
Wija. Wija membalasnya dengan lambaian tangan sementara Citra tersenyum
sekilas.
“Hei, sampai kapan kita berdiri di
sini? Aku ogah menggendongmu lagi, berat,” celetuk Wija. Citra melengos
seketika ke arah Wija dan berekspresi manyun.
“Siapa suruh gendong. Sudah tahu
berat,”
“Ya masa’ aku biarin kamu pingsan di
tempat. Ayok cabut!” Wija memegang telapak tangan Citra seketika dan langsung
menariknya.
“Eittss... kemana kita?” tanya Citra
tak mengerti.
“Kencan perdana,” sahut Wija singkat
pada dan jelas.
Senyum Citra merekah segera.
@@@
[1] Sigmund Freud merupakan tokoh psikologi yang memperkenalkan teori
psikoanalisa yang menitikberatkan masa lalu dan ketidaksadaran. Id merupakan
salah satu struktur kepribadian bagian dari teori psikoanalisanya (selain ego dan super ego). Id dimiliki seseorang sejak lahir yang punya
prinsip kesenangan hasil pemenuhan terhadap kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak
segera dipenuhi maka akan muncul kecemasan dan ketegangan. Contoh lain selain
pembuangan air besar sebagai kebutuhan yang harus segera dipenuhi adalah
kebutuhan rasa haus atau rasa lapar yang sudah ada sejak manusia masih bayi.