“Sinttaaaaaa....” teriak mamanya.
Sinta segera berlari dari
kamar mandi.
“Iya, Mah? Kenapa sih,
teriak-teriak? Bikin poop Sinta nggak
tenang aja,” kata Sinta sembari membenahi celananya.
“Apa ini??” kata mamanya
sebal sambil menyodorkan isi kotak kue yang diambilnya sejam lalu.
“Kue, Mah,” jawab Sinta
santai.
“Perhatikan! Masa’ mau
buat bingkisan ke lamaran isinya kue ulang tahun, sih, Sinta...???”
Sinta mengamati kue
sejenak. Sinta menyadari kebenaran bahwa di atas kue itu tertulis ‘Happy 50th,
Beautiful Grandma’ dan seketika mata Sinta melotot.
“Jadi, ceritanya Sinta
salah ambil pesenan??” tanya Sinta.
“Ya, iyalah salah! Ayo,
sekarang kamu segera kembali ke sana! Acara lamaran kakak sepupu kamu nanti
malam jam 7, sekarang sudah jam empat. Kita juga belum beres-beres dan dandan.
Ayo buruan kamu tukar lagi,” dumel mamanya.
“Iya, yah, Ma. Bentar
Sinta Be-A-Be dulu ya, kebelet. Lima menit aja, Mah. Lima menit. Okey? Santai
ya, Mah, santai...”
Sinta segera menuju kamar
mandi melanjutkan ‘aktivitas’nya.
Beberapa menit kemudian
Sinta sampai di toko bakery yang tak
jauh dari rumahnya. Ia segera menyampaikan kekeliruan yang telah terjadi tadi.
Dan ternyata menurut pramuniaga yang lain kue yang diambil pramuniaga yang
melayani Sinta salah karena kesamaan nama pemesan. Menurut pramuniaga yang
mengetahui kekeliruan itu kue Sinta tertukar dengan kue milik seorang lelaki
yang sama-sama mengambil kue atas nama Rahma. Bedanya satunya ibu A. Rahma
satunya ibu Rahma A. Sialnya petugas kala itu tidak mencantumkan alamat juga
pada pesanan yang sudah jadi sehingga kue pesanan itu tertukar.
“Terus mbak? Gimana dong?
Acara sepupu saya nanti jam 7 lho, masa’ jam segini bingkisan belom saya
antar...” protes Sinta.
“Saya coba menghubungi
pelanggan kami yang mungkin tertukar juga kue pesenannya. Sabar bentar ya,
Mbak...” kata si pramuniaga.
Sinta menunggu kabar
tentang orang yang membawa kue yang seharusnya jadi haknya. Tapi Sinta menunggu
sampai nyaris maghrib, orang itu tak kunjung datang. Sinta jadi cemas ditambah
mamanya menelepon setiap lima menit sekali.
“Mbak, begini saja. Kasih
saya apapun jenis kue yang ada di sini yang pantes untuk bingkisan lamaran.
Oke? Saya nggak sabar nunggu orang lama-lama,”
“Waduh, Mbak, kuenya
tinggal cake kecil-kecil begini dan
kalau dibuat bingkisan lamaran apa pantas? Lagian juga hampir habis, kami
sebentar lagi juga tutup,”
“Waduh, Mbak, ya nggak
tahu gimana caranya Mbak tanggung jawab atas ketidakpuasan konsumen. Mama saya
bertahun-tahun langganan di sini, Mbak,” kata Sinta dengan suara agak lantang.
Sinta sudah gondok
setengah mati. Menunggu orang lama dan ketidakbertanggungjawaban pihak toko
membuatnya geram bukan main.
Sinta mencoba sabar
sepuluh menit lagi tapi tak bisa. Ia harus segera beranjak dari toko itu. Ia
pergi setelah berkata pada pramuniaga untuk melupakan kejadian itu dan meminta
uang ganti rugi dari pihak toko kue.
Sinta sampai di rumah dan
mamanya memandangnya heran dan agak cemas.
“Loh, kok nggak bawa
apa-apa? Mana kuenya?” tanya mamanya di pintu rumahnya.
“Ilang dibawa orang, Mah.
Orang yang ngebawa kue Mama nggak dateng-dateng buat nganterin kuenya. Sinta
capek Mah, nungguin di sana. Sinta juga sebel sama keteledoran pelayan tokonya.
Lain kali Mama jangan pesen di situ lagi. Buat sendiri aja, nanti Sinta
bantuin,” jawab Sinta.
“Terus sekarang gimana?
Mama sudah janji bawa kuenya. Sinta, gimana, dong?” tanya mamanya cemas.
“Mah, di luar sana masih
banyak toko kue buka. Kalo emang nggak ada yang pantes buat ke lamaran, belikan
aja donat di gerai kopi yang biasanya Sinta beli, Mah. Gitu aja repot. Santai
dikit dong, Mah. Namanya juga musibah. Udah ah, Sinta mau mandi,” sahut Sinta
mencoba lebih santai ketimbang mamanya.
@@@
Jam dinding menunjukkan
pukul setengah tujuh malam. Sinta dan mamanya sudah rapi segera berangkat ke
acara lamaran saudara mereka.
Ketika Sinta sudah siap
menancap gas mobilnya tiba-tiba ada seorang lelaki menggedor kaca pintu
mobilnya. Mimik wajah Sinta dan mamanya panik. Nampaknya lelaki itu menydari
kepanikan Sinta dan mamanya karena tak jua segera membukakan kaca pintu
mobilnya. Lelaki itu pun mengangkat sebuah kotak yang seperti kotak kue. Sinta
segera membuak kaca mobilnya.
“A-a-ada ap-apa, Mas?”
tanya Sinta tergagap.
“Ini kue punya Mbak, kan?
Ketuker Mbak sama punya mama saya. Ini,” kata lelaki itu sambil menyodorkan
kotak kue pada Sinta.
“Wah, Mas, terima kasih
banyak, ya...” kata mama Sinta ketika Sinta menerima kotak kue itu.
Mama Sinta segera
mengecek isi kotak itu.
“Iya, ini kue pesenan
saya,”
“Thanks ya, Mas. Oh, ya, kami pergi dulu soalnya sudah ditunggu,”
“Oh, iya, Mbak, silakan.
Hati-hati di jalan,” kata lelaki itu tersenyum ramah.
@@@
“Lelaki yang ketuker
kuenya sama kita kemarin ganteng lho, Sin,” celetuk mama Sinta ketika mereka
berdua menonton serial drama Korea sore hari.
Mata Sinta melirik ke
arah mamanya.
“Trus?” tanya Sinta
datar.
“Kamu nggak tertarik?”
tanya mamanya dengan genit.
“Enggak,”
“Serius?”
“Dua rius,”
“Kenapa begitu?”
“Nggak tahu,”
“Kamu masih doyan laki,
kan? Eits, mama kasih tahu, jangan hanya karena ayahmu pergi nggak peduli sama
kita lalu kamu anti sama laki, ya. Jangan begitu. Kamu masih muda, kamu punya
banyak kesempatan mengenal lelaki manapun yang kamu mau. Dari situ kamu akan
belajar banyak karakter lelaki dan akhirnya bisa memiliki calon terbaik suami
kamu,” tutur mamanya membuat Sinta terbisu.
“Males ah, Ma. Semua
lelaki sama aja, sama jahatnya. Cuman ngutamain fisik, menuntut pasangannya ini
dan itu trus kalo habis manis, sepah dibuang. Ahhh, lelaki mana ada
bagus-bagusnya,” tungkas Sinta.
“Dulu mama juga berpikir
seperti itu, makanya mama melarang kamu pacaran selama ini. Tapi setelah mama
pikir sekarang, usia kamu sudah dua tujuh, Sin. Mama dulu seumur kamu sudah
punya anak kamu umur empat tahun. Mama nggak pengen kamu hidup sendirian kelak.
Harus ada lelaki yang bisa menjaga kamu dan membimbing kamu dunia-akhirat,”
lanjut mamanya.
Sinta diam sejenak
kemudian ia meneteskan air mata. Ia berpikir yang dikatakan mamanya benar juga,
selama 27 ia ada di dunia, dikurangi masa lahir sampai SD yang kira-kira 12
tahun jadi 15 tahun, ternyata ia jomblo. Lelaki yang mendekatinya pun tidak
ada. Dan setiap kali ia menyukai lelaki pasti bertepuk sebelah tangan, baik
karena si lelaki tidak tahu kalau dia suka karena Sinta memilih diam ketika
menyukai lelaki, karena lelaki menolak mentah-mentah ketika tahu tanpa sengaja
bahwa Sinta menyukainya atau karena si lelaki sudah berdua dengan wanita lain.
Oouuccchhhh...sakit!!!
Sial bener nasib gue!!!
“Kalau jodoh nanti pasti
ketemu, Mah. Terpenting sekarang kebahagiaan Mama. Mama mau naik haji, kan?
Sebentar lagi insyaAlloh semua terwujud,”
“Materi sudah kamu raih,
pendidikan tinggi di tangan dan mama rasa kepribadian kamu juga sudah pantas
untuk mendapatkan jodoh. Segeralah mencari pasangan hidup, Sinta. Mama pengen
nimang cucu. Kamu kan, anak mama satu-satunya,” kata mama Sinta tersenyum
sambil meneteskan air mata di pipi dan memegang tangan Sinta.
Sinta memeluk mamanya
segera.
Ya, Alloh...aku selalu memanfaatkan saat-saat memeluk mama.
Aku tak mau moment seperti ini menjadi kenangan semata kelak.
Aku ingin memeluk mama selamanya. Aku korbankan kebahagiaanku untuk mama
seperti mama mengorbankan sebagian besar kebahagiaannya untukku, walau itu tak
akan pernah cukup. Aku mencintai mama, ya Alloh. Sehatkan dia dan barokahi
hidupnya dunia-akhirat.
“Suatu hari, mama akan
menimang cucu dariku. Kita tunggu waktu yang tepat ya, Ma,” kata Sinta lirih di
telinga mamanya.
“Amin,” sahut mamanya.
@@@
Sinta sibuk mengawasi distribusi barang-barang
branded yang siap diekspor ke luar
negeri. Ia sibuk sampai akhirnya ia melupakan jam istirahat. Ia baru sadar
ketika seorang rekan kerja sekaligus sahabatnya datang mengingatkan.
“Pak Tiyok, waktunya jam
makan siang. Kode buat karyawan yang lain ya, saya ke dalam dulu,” kaa Sinta
kepada salah seorang kepala gudang.
“Oke, Mbak Sinta...”
sahut lelaki setengah baya itu sembil tersenyum ramah pada Sinta. Sinta pun
membalas lelaki baik hati dan jujur itu.
Sinta segera membuka
bekal makan siangnya di meja kerjanya.
“Bawa bekal lagi, Sin?”
tanya Luki.
“Iya, nih. Mama lagi
semangat bikin bekal. Hahaha,” kata Sinta.
“Dimakan di kantin aja,
yok. Sekalian nemenin aku makan,”
“Ehmm, gitu ya? Oke,
deh,” Sinta mengiyakan tawaran Luki.
Mereka berdua akhirnya
pergi ke kantin kantor. Di sana mereka makan bersama dan saling incip makan
siang satu sama lain.
“Mama kamu jago masak ya,
Sin? Keren. Mamaku mah, nggak pernah masak di rumah. Jadinya seringnya beli.
Bosen!” kata Luki.
“Makanya kamu aja yang
pinter masak. Enak lho kalo bisa masak sendiri, seenggaknya bisa irit uang
jajan, kita juga bisa menentukan takaran segala macam kebutuhan gizi, protein
atau segala macem buat kesehatan kita,”
“Gaya bener kamu, kayak
pakar kesehatan gizi. By the way, liat
ke arah jam sembilan deh, ada yang merhatiin kamu sedari tadi, tuh!” kata Luki membuat
Sinta sontak menoleh.
“Yeee...jangan frontal
dadakan gitu....” protes Luki.
“Kenapa emangnya kalo
noleh langsung?”
“Ya, kan, nggak enak sama
orangnya. Tapi beneran dia merhatiin kamu dari tadi. Dia kan, manager Ha-Er-De
yang baru. Tahu nggak kamu kabar baru?”
Sinta menggelengkan
kepala kuat sambil mengunyah makanannya.
“Tapi dia nampaknya masih
muda, beda-beda tipislah sama kita,” kata Sinta.
“Usia bukan ukuran kalo
otak dan kapabilitasnya mumpuni sebagai leader.
Nampaknya banyak program baru untuk perombakan sistem yang lebih bagus untuk
perusahaan kita ini,”
“Sok tahu kamu,” tuding
Sinta.
“Orangnya kelihatan
cerdas dan kreatif, Sin. Nampaknya nggak sombong juga kok, semacam pemimpin
yang kharismatik dan siap melakukan perubahan lebih baik,”
“Lebai kamu, ah! Udah
makan tuh, siomay! Keburu dingin keburu eneg,” kata Sinta mengabaikan kata-kata
Luki tapi matanya melirik lagi ke lelaki yang dimaksud Luki. Tiba-tiba Sinta
merasa tidak asing dengan lelaki itu.
@@@
Lima bulan berlalu...
“Sinta, sudah tiga lelaki
yang mencoba mendekati kamu bahkan ada yang berniat serius melamar, dia temen
kamu pas sekolah, nggak ada satupun yang kamu kehendaki,”
“Mamah...Sinta emang
nggak ada perasaan sama mereka, masa’ mau dipaksain?” tungkas Sinta.
“Mereka tampan dan mapan,
agamanya juga cukup bagus, apa yang kurang?”
“Hati. Hati Sinta, Mah,
nggak buat salah satu di antara mereka,”
“Kamu mau tipe lelaki
seperti apa?”
Sinta mengangkat kedua
bahunya tanda tak tahu dan bingung.
“Sinta pamit istirahat
dulu ya, Mah? Capek,” izin Sinta lalu meninggalkan mamanya sendiri di ruang
keluarga.
Di dalam kamar Sinta
menerawang kembali ke beberapa minggu silam tentang dia dan manager baru HRD
bernama Tommy. Tommy adalah lelaki yang beberapa bulan lalu membawa kue yang
menjadi hak Sinta dan juga sebaliknya. Tak disangkanya ia akan bertemu dengan
Tommy dan terlibat suatu perasaan yang sulit dijabarkan dan mengganggu konsentrasi
Sinta sehari-hari jika bertemu Tommy di kantor tanpa sengaja.
...
Sinta harus lembur malam
ini karena laporannya harus disetor besok pagi. Laptopnya rusak sehingga ia
harus ngebut dengan komputer kantor. Jam dinding menunjukkan pukul delapan
malam. Perut Sinta sudah ‘bersuara’ minta diisi. Sinta akhirnya berjalan keluar
kantor untuk mencari makan sekalian menghirup udara di luar.
Sinta melewati lorong
demi lorong kantornya setelah melewati beberapa anak tangga dari lantai tiga ke
lantai satu. ternyata bukan hanya dia saja yang sedang lembur malam itu. Setiap
lantai masih ada penghuninya sibuk di depan laptop. Itu membuatnya lega
sehingga tidak merasa horor lembur malam itu.
Tiba di lantai satu Sinta
kebelet ke toilet, akhirnya ia pergi ke kamar kecil yang tempatnya dekat dengan
parkir mobil di samping gedung kantor. Usai dari toilet ia hendak segera keluar
area kantor sambil jalan kaki mencari makan. Tapi tiba-tiba ada suara aneh dari
suatu sudut arah. Di balik bangunan toilet tertutup bongkahan besi-besi tua
bekas lemari, meja atau kursi kantor. Sinta sempat berpikir horor tapi masa’
sih. Suara itu begitu nyata senyata-nyatanya suara manusia. Sinta memberanikan
diri mengendap-endap tanpa suara mencoba mengetahui sumber suara aneh itu. Dan
o’ow..pemandangan tak senonoh ada di depan matanya dari sela-sela tumpukan
besi-besi tua. Sinta hendak melabrak pelaku adegan tak senonoh itu tapi
tiba-tiba dari belakang ada yang menarik tangannya dan membuatnya terhuyung
jatuh menimpa tubuh sosok yang menarik lengannya itu. Sinta melotot.
“P-pak...” suara Sinta
terhenti karena tangan orang di depannya menutup mulutnya.
“Diem. Dan jangan
berusaha untuk nyamperin mereka,” suara lelaki itu lirih. Sinta mengangguk.
Keduanya berdiri dan
mengambil posisi sedikit minggir supaya tidak ketahuan orang yang sedang
beradegan tak senonoh.
“Maaf ngagetin,” kata
orang itu yang ternyata Tommy.
“Bapak kok, ada di sini.
Bapak ngintip mereka juga? Sejak kapan Bapak ada di belakang saya?” tanya
Sinta.
“Enggak, siapa bilang?
justru saya ngikutin kamu, ngapain ke tempat sepi begini,”
“Lha suara mereka aneh
ternyata begituan,” suara Sinta agak lantang dan segera ditutup oleh tangan
Tommy.
“Siapa ituu??!!” suara
lelaki di sebelah sana.
Tommy segera menarik
Sinta ke suatu sudut yang lebih tidak terlihat oleh siapapun di dalam sebuah
gudang kecil di bawah meja yang tak jauh dari tempat mereka mengintip tadi.
Suara lelaki yang berbuat
mesum semakin mendekat ke arah mereka. Tommy memepet tubuh Sinta dan membungkam
mulut Sinta dan mengisyaratkan pada Sinta untuk diam. Setelah dirasa lelaki
yang kepergok mesum itu menjauh, Sinta meminta Tommy melepaskan dekapannya. Sinta
segera mengambil nafas cepat-cepat, rasanya sesak sekali.
“Pak, badan segede gitu
bikin saya nyaris mampus,” omel Sinta lirih.
“Ya, maaf. Jangan
keras-keras makanya. Kamu mau ngapain, sih?”
“Itu Reno, Pak,
tunangannya Luki. Masa’ dia begitu sama cewek lain??!! Bener-bener bejat!
Lelaki emang sama aja jahatnya, huh!!” lanjut Sinta.
“Ehem, saya lelaki tapi
nggak begitu,” kata Tommy.
“Mana saya bisa jamin.
Saya nggak kenal Bapak, ya maklum Bapak membela diri,”
“Kalau begitu semua
wanita sama saja, matre dan penipu ulung,”
“Enak aja! Sori, ya, saya
enggak. Sekalipun saya matre, saya kerja keras sendiri nggak morotin uang
orang! Catet itu!”
“Masa’? Saya kan, nggak
kenal kamu, mana saya bisa jamin?”
“Ih, kok dibalik, sih?!”
Sinta sebal seketika pada
Tommy.
...
Hari Minggu yang cerah.
Sinta dan mamanya tidak melewatkan kesempatan itu untuk melakukan gowes bareng
keliling kompleks lalu ke area car free
day.
“Mah, nanti sempetin
sarapan pecel di deket taman Sari Kenanga
ya, Mah? Lama nggak makan pecel,” teriak Sinta yang bersepeda di depan
mamanya.
“Oke, sayang!” sahut
mamanya keras.
Sinta menoleh lagi cepat.
“Tumben mama romantis?
Biasanya manggil Sinta endut!” kata Sinta lagi. Mamanya hanya tersenyum manis.
Mereka berdua menjadi
pasangan mama dan anak yang bahagia dan kompak kapan saja.
Beberapa menit sebelum
sampai di area car free day ternyata
Sinta mendapat musibah. Ia sengaja belakangan menuju area car free day karena ia hendak membeli minum di sebuah minimarket
dan mamanya menunggu di area car free day.
Usai membeli minum, Sinta siap mengayuh sepedanya dan hendak menyeberang sebuah
perempatan jalan. Tapi, tiba-tiba dari arah berlawanan ada sebuah mobil box
yang melaju kencang dan nyaris menabrak Sinta. Sekalipun tidak menabrak Sinta
tapi membuat Sinta hilang keseimbangan dan ia terjatuh keras membentur trotoar.
Kepalanya berdarah, kakinya nyeri dan lecet terkena badan sepedanya. Sinta
mengaduh-aduh tapi apa daya, jalanan sepi. Mobil box tadi juga sudah hilang
dari penglihatan.
“Sinta??!!!” suara
seorang lelaki mengagetkannya.
“Pak Tommy??! Bapak di
sini?”
“Kamu kenapa?” tanya
tommy spontan mengabaikan sepeda santainya.
“Terserempet mobil
barusan,” jawab Sinta lemas.
“Ya, sudah naik ke
punggung saya gih, saya gendong kamu,” tawar Tommy.
“Eng-enggak usah, Pak!
Saya masih bisa jalan, kok,”
“Ayok, jangan babibu
lagi,” kata Tommy.
Sinta pun mengiykan
tawaran Tommy.
“Kita kemana?” tanya
Sinta.
“Ke mobil saya. Saya
antar kamu pulang. Sepeda kamu biar dibawa temen saya ke dalam mobil,”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Kita nyusul mama saya
dulu di car free day, ya? nggak papa,
kan? Tapi kalo Bapak capek saya bisa turun sekarang, kok,”
“Nggak papahh! Wah, kamu
berat juga ya, ‘Ndut” kata Tommy.
“Apaaa??!! Ya, sudah saya
turun daripada nggak ikhlas,” Sinta gondok.
“Eh, jangan! Kaki kamu
sakit, kepala kamu juga berdarah begitu. Nggak papa, saya kuat , kok,” kata
Tommy sambil membenarkan posisi Sinta supaya tidak jatuh dari gendongannya.
@@@
Dan setelah pergulatan
perkataan hati Sinta begitu lama akhirnya...
“Gimana, makanannya enak,
kan? Memang bukan restoran mewah tapi saya sudah langganan di sini sejak lima
tahun karena enak banget,” kata Tommy.
“Sumpah, Pak, eh, Mas
Tom, enak banget! Nggak heran kalo seramai ini,” sahut Sinta.
“Lain kali kita jajal
kuliner lain, ya?” tawar Tommy.
“Pasti!!” sahut Sinta
spontan dan semangat.
“Tapi nggak ada yang
cemburu kan, kalo kita jalan bareng?” tanya Tommy.
“Ada,”
“Siapa?” tanya tommy
sontak merasa jantungnya nggak karuan berdebarnya.
“Pacarnya Mas Tom,” kata
Sinta sambil melahap makanannya.
“Pacar saya? Hahahah,
siapa?”
“Dasar ya, lelaki, suka
nggak ngaku punya pasangan kalo sama cewek lain,”
“Serius, aku nggak ngerti
maksud omonganmu, Sinta,”
“Sekretaris Lidya pacar
Mas Tommy, kan? Saya lihat beberapa waktu lalu Mas dan Mbak Lidya pergi ke
sebuah butik dan jalan-jalan berdua keliling mall,”
“Kamu nguntitin kita
berdua?”
Sinta menggeleng kuat.
“Apa kamu cemburu?”
Sinta terbatuk-batuk.
Segera Tommy menyodorkan minum.
“Saya cemburu?? Hahahha,
ngapain cemburu? Ada-ada aja, ah,”
“Wah, enggak, ya? Padahal
saya berharap kamu cemburu,”
Sinta melotot tajam ke
arah mata Tommy.
“Saya cinta sama kamu,
Sint,” ucap Tommy.
“Apa?” tanya Sinta tak
percaya.
“Tidak ada statement kedua. Intinya, saya akan
lamar kamu ke mama kamu segera,”
“APAAA???!!!” teriak
Sinta spontan mengagetkan pengunjung restoran. Tommy mengkode untuk mengecilkan
volume suara Sinta.
“Nggak bisa!”
“Kenapa?”
“Saya nggak suka sama Mas
Tommy. Hubungan kita profesional atasan dan bawahan atau rekan kerja. Nggak
lebih. Saya sudah pernah berjanji pada diri saya nggak akan pernah terlibat
cinta lokasi semenjak kuliah. Rasanya menyakitkan!”
“Itu tidak akan terjadi
lagi kalau kamu juga mencintai saya. Kamu sakit hati cinta lokasi karena cinta
kamu bertepuk sebelah tangan, kan? Jadi, kalau sekarang kamu mencintai saya,
kamu tidak akan merasakan sakit hati,”
“Mana bisa dijamin,”
Tommy menggerakkan ujung
jarinya di depan Sinta ke kiri dan ke kanan.
“No no no. Makanya kita coba dulu, baru kita merasakan gimana
rasanya. Kamu mau jomblo sampai kapan? Tiga lelaki sudah kamu tolak, kan? Apa
yang kamu cari? Hidup itu ibarat menunggu angkutan umum. Ketika kita menolak
satu yang sudah datang karena tidak sesuai harapan kita dan kita menungggu
angkutan selanjutnya dan selanjutnya dan kita sering menolak karena terus-terusan
tidak sesuai harapan kita, kapan kita akan sampai pada tujuan kita? Bener
nggak? Jadi, hanya saya yang siap menikahi kamu, menjadi imam kamu, menjadi
ayah yang baik untuk anak-anak kita, menjadi menantu kesayangan mama kamu,
insyaAlloh. Asal kita mencobanya dahulu,” tutur Tommy panjang.
Sinta memelankan
kunyahannya dan berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Tommy benar, sekalipun ia
terkadang membenci lelaki tapi ia tak bisa bohong bahwa ia juga membutuhkan
sosok yang akan menjaganya selama sisa umurnya di dunia apalagi setelah jika suatu hari nanti
mamanya kembali pada Sang Khaliq.
“Kamu serius, Mas? Lalu
Lidya?”
“Dia sepupuku, Sint.
Jangan cemburuan gitu, ah. Percaya sama saya,” akta Tommy tersenyum manis
membuat Sinta sejujurnya meleleh hatinya setiap kali melihatnya.
“Oke, kita mulai masa uji
coba,” kata Sinta.
Tommy mengajak Sinta
berjabat tangan.
“Deal?” tanya Tommy.
“Deal!” jawab Sinta tegas.
@@@