Judul :
Learning to Love
Penulis :
Eni Martini
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah
halaman : 184 halaman
Harga : - (dapet kado kuis
dari mbak @RizkyMirgawati ^_^)
Amore
kedua yang justru bikin terjun bebas gairah baca tema perjodohan—kalau
ceritanya lempeng kayak gini. Maaf harus jujur, ekspektasi saya terlalu tinggi
di sini.
Padahal beberapa
waktu terakhir dicekokin drama perjodohan yang melibatkan benci jadi cinta,
rasanya girang bukan kepalang. Terus baca novel ini? Sempet hore banget, sih.
Tapi...
Oke, poin
plus novel ini, justru memelencengkan dugaan: perjodohan tapi tidak benci jadi
cinta. Hubungan Ken dan Eliz justru baik-baik saja.
Sebaik-baik
saja jalan cerita novel ini dari awal sampai akhir. Maksudnya, novel ini tuh flat, gregetnya nggak ada. Padahal menurut
saya, hubungan Ken dan Eliz di setiap bagian novel ini, masih bisa dieksplorasi
lebih jauh sehingga bikin emosi pembaca bergejolak. Iya, memang ada konflik
utama, tapi andaikan cerita novel ini sebuah garis yang lurrruuuus saja mulanya,
konflik itu hanya berupa lanjutan garis yang secuil menukik ke atas kemudian
lempeng lagi.
Belum
lagi yang cukup mengganggu adalah ketidaksesuaian informasi cerita atau apalah
istilahnya. Contohnya:
1.
Nina (sahabat Eliz) dikatakan di bab awal,
memiliki anak berusia 10 tahun. Ia menikah sejak usia 27 tahun (par. 10, hal.10).
Tapi di bab belakang, Nina seumuran Eliz, 33 tahun (par. 2, hal. 130). Emmm,
agak aneh, ya?
2.
Ken adalah anak sulung. Ia memiliki 2 adik
perempuan yang telah menikah dan memiliki anak (par. 4, hal. 26). Tapi
dikatakan Ken memiliki kakak-kakak yang telah menikah dan memiliki anak di bab
belakang (par. 4, hal.109)?
Lantas
gangguan lain adalah terkait EYD dan typo,
antara lain:
1.
Penulisan ‘per-temuan’ (par. 5, hal. 42). Padahal
itu di tengah paragraf, dan bukan di posisi yang harus dipenggal. Biasanya
kalau kena batas layout kudu
dipenggal bukan, ya? Bener nggak? Berlaku juga untuk kata ‘melun-cur’ (par. 1, hal.
44)
2.
Penulisan tanda baca titik (.) yang diketik
ganda (par. teratas, hal. 47)
3.
Penulisan tanda petik dua penutup dialog (”) dibubuhkan
bukan untuk menunjukkan dialog, melainkan paragraf narasi. Jelas itu narasi,
sebab di awal tidak ada tanda petik dua pembuka dialog (“). (par. 3, hal. 47)
4.
Penulisan tanda baca koma (,) yang diketik
ganda (par. 5, hal. 47)
5.
Yang ini typo
atau sengaja, ya? à “Ini efek mahasiswi psikolog masuk ke distribusi kali, ya?” gerutunya. Setahu saya, psikolog itu profesi, masa’ mahasiswa/
mahasiswi? Kalau psikologi, itu baru ilmunya. Dan sepertinya maksud dialog Eliz
kepada Nina itu, mengacu ke maksud ilmunya, psikologi. Jadi, mahasiswi
psikologi (par. 6, hal. 53)
6.
Typo
‘menujukkan’ (par. 5, hal. 91), harusnya menunjukkan
7.
Penggunaan kata depan (preposisi) ‘di’ dan
‘pada’ yang kurang tepat. Setahu saya, ‘di’ itu digunakan untuk menunjukkan
tempat atau lokasi, sedangkan ‘pada’ untuk menunjukkan waktu. Di novel ini
kurang tepat penggunaannya, seperti ‘di umur 27 tahun’ (par. 10, hal.
10) seharusnya ‘pada umur 27 tahun’ dan ‘di Senin sore’ (par. 7,
hal. 43) seharusnya ‘pada Senin sore’. Betul, nggak?
Ya memang, nggak ada gading yang
nggak retak. Masalah ketidaksesuaian informasi cerita, typo, atau problem EYD, saya juga payah, hehehe. Hanya sebatas tahu
setelah membaca beberapa novel dari penerbit yang sama.
Overall, novel
ini bisa terbangun secara utuh sebagai sebuah cerita. Tapi entah, rasanya
kecewa karena:
1.
Melihat packaging-nya
kok tipis (tapi masih berharap ceritanya cetar karena mengusung tema perjodohan)
2.
Setelah baca, ternyata tidak ada kejutan sama
sekali. Oke, mungkin dari blurb hampir
bisa ditebak atau dipastikan kedua tokoh berjodoh. Kalau sudah begini, apa yang
mau diharapkan pembaca yang (mungkin sudah) bisa menduga ending-nya, kalau bukan ‘letupan-letupan’ yang menghiasi jalan
cerita tokoh utama?
Saya
gemes kenapa Ken dan Eliz nggak dikasih kesempatan beromantis ria? Kurang
mengoyak emosi. Padahal sudah kebayang perjodohan yang akan dibumbui konflik-konflik
cetar, dan ah... maaf, saya kasih bintang 2.5 saja. Kalau novel ini ditulis
ulang (dieksplorasi lagi konflik-konfliknya yang bikin emosi jiwa), saya akan
menaikkan jumlah bintangnya sampai 5. Serius! Tapi salut untuk penulis yang
sudah mengemas cerita perjodohan antimainstream (bukan benci jadi cinta, tapi
hubungan baik jadi cinta) ini, hehehe. ^_^
Terakhir,
saya suka quote-nya Indra (teman baik
Ken), nih:
“Bukannya dalam berumah tangga itu seperti
menanam bibit dari pohon yang kita cintai, yang ktia inginkan untuk tumbuh,
berbunga, dan berbuah? Jadi, kupikir menikah atau berumah tangga itu proses
seumur hidup untuk terus mencintai.” (par. 5, hal. 150)