Terlahir di
tengah keluarga yang masih menjunjung tinggi adat sopan santun wanita Jawa
membuat Rasti memiliki gunungan es hasrat memberontak atas aturan yang ada.
Keluarganya memang berpikiran maju, masih mau terbuka terhadap perkembangan
zaman dengan menyekolahkan keturunannya ke jenjang lebih tinggi, tertinggi jika
perlu. Rasti merasa beruntung.
Sekalipun
keluarganya bukan keluarga sangat berada tapi semangat menyambut kemajuan
perkembangan zaman yang harus diimbangi dengan pendidikan yang berkualitas
bagus, sangat dijunjung tinggi kedua orangtuanya. Meski, orangtuanya juga tidak
mengenyam pendidikan sarjana. Tapi, ada hal yang masih tak dimengerti Rasti.
Meskipun
mendukung anak-anaknya mengenyam sekolah tinggi tapi orangtuanya masih memiliki
pemikiran kolot, -menurut Rasti-. Bagaimana
tidak? Mereka bisa mau mencoba hal-hal baru di zaman modern tapi masih percaya
aturan zaman dulu dan seringnya tidak memberikan alasan rasional kenapa harus
begini, kenapa harus begitu. Misalnya, dilarang berdiri di tengah pintu,
dilarang menyangga piring ketika makan, anak gadis dilarang berkata kasar dan
tertawa keras dan gadis perawan tidak boleh mengejar lelaki. Contoh-contoh
larangan itu ada yang bisa dirasionalisasi ada yang tidak. Dan larangan yang
terakhir itu yang agak mengusik hati Rasti. Rasti mengartikan “gadis perawan
tidak boleh mengejar lelaki” secara luas. Itu artinya wanita tidak boleh centil
pada lelaki dan pastinya mengutarakan cintanya pada sang lelaki. Rasti tidak
terima. Karena dia pernah melakukan itu. Tapi, bukankah cinta itu untuk dibagi,
orang lain harus tahu kalau kita cinta kepadanya. Kalau kepentok aturan wanita
tidak boleh memulai dahulu menyatakan perasaan atau memulai hubungan apa
jadinya? Apakah harus mempertahankan “semboyan” wanita hanya berhak menerima dan menolak lelaki?
Ini nggak adil!!. Pikir Rasti.
Nampaknya
Rasti tipe wanita yang suka mengejar ketimbang dikejar. Terbukti dari sekian
banyak pengalamannya jatuh hati pada lelaki, ia dahulu yang merasakan cinta dan
berusaha mendekati lelaki itu untuk mendapatkan hati lelaki yang ia kehendaki.
Meski hasilnya nol besar! Ia selalu gagal menjalin hubungan asmara dengan
lelaki manapun yang pernah ia sukai. Tapi, Rasti tak pernah jera mencoba jatuh
cinta lagi, “mengejar” lagi dan lagi. Meski akhirnya sakit hati lagi dan lagi
karena bertepuk sebelah tangan, baik sebelum ia berhasil menunjukkan
perasaannya maupun setelah benar-benar ditolak mentah-mentah.
Banyak
cerita yang ia dengar dari banyak mulut bahwa beberapa pernikahan yang langgeng
dibangun berawal dari kisah wanita yang mengutarakan rasa cintanya dan memulai
hubungan asmara lebih dulu. Mereka melaluinya dengan tenaga ekstra memenangkan
hati lelaki pujaan mereka. Mereka berhasil. Tapi, mengapa Rasti Enggak?? Sekali lagi ini tak adil bagi
Rasti.
Rasti
ingin membuktikan omongan orang-orang itu tapi ia terbentur pesan ayahnya agar
tak mengejar lelaki, juga pesan sahabat baiknya. Rasti gamang, penat. Tapi,
jika mengingat pengalaman selama ini, mengejar lelaki memang menyakitkan tapi
Rasti tidak dapat membayangkan jika ia justru didekati orang yang tidak ia
cintai. Bagaimana menghindarinya? Rasti tak punya pengalaman menolak lelaki,
pacaran saja tidak pernah selama nyaris 25 tahun ia hidup di bumi ini. Rasti
semakin bertampang kusut memikirkan hal ini. Hal ini lebih membuat galau
dibandingkan kala ia galau terhadap lelaki.
“Mbak,
saya boleh duduk di sini? Soalnya bangku lain penuh. Boleh? Boleh, ya?” kata
seorang lelaki tiba-tiba, membangunkan Rasti dari kepeningan pikirannya.
Rasti
menoleh ke arah lelaki yang langsung duduk di hadapannya. Rasti terkesima bukan
main. Matanya terpaku mengamati setiap inci garis lekuk paras tampan lelaki di
hadapannya. Wajahnya segar memancar. Tiba-tiba Rasti deg-degan sekali. Ia sulit
mengatur distribusi oksigen dan karbondioksida yang keluar-masuk hidungnya.
Tangannya melemas. Ah, kebiasaan Rasti jika bertemu lelaki tampan setampan
pangeran keraton Solo, Paundra Karna, ia langsung lemas!
Lelaki
itu tak peduli ekspresi Rasti yang menatapnya terpaku. Lelaki itu melahap
makanan dan minumannya dengan buru-buru. Kemudian Rasti sadar. Dan mulai
mengatur nafasnya agar tak kentara grogi di depan lelaki rupawan.
“Mas,
buru-buru banget makannya?” sapa Rasti memberanikan diri.
“Oh,
iya, Mbak, seharusnya nggak boleh
tapi saya buru-buru mau ada interview kerja. Saya belum makan sedari pagi,”
ujar lelaki itu.
Rasti
kembali terkesima. Mata lelaki itu mata elang.
Wohooo... ini benar-benar pangeran Paundra kawe 2!!
Nggak mirip tapi setipe! Aiihhh...
Rasti
banyak diam di hadapan lelaki itu hingga akhirnya lelaki itu selesai makan dan
berpamitan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Mata Rasti tak terlepas dari
lelaki itu sampai lelaki itu sudah terlihat seperti semut di kejauhan sana.
Rasti
masih mengagumi lelaki itu. Ia mencoba mengukir jelas wajah lelaki itu di memorinya.
Kemudian ia kembali sibuk dengan laptopnya mengurusi tesisnya yang sedang
berjalan dan sesekali menilik bisnis online-nya
yang sedang berkembang di bidang fashion
busana muslim dan cup cake kopi
miliknya. Sesekali ia menyeruput kopi yang ia pesan sejak dua jam lalu di kedai
kopi di pertokoan dekat kampusnya. Jam di laptopnya masih menunjukkan pukul 1
siang. Matahari masih terlalu terik bagi pejalan kaki, sekalipun hanya beberapa
langkah saja. Seperti Rasti yang tak mau berpanas ria berjalan menuju parkir
motor yang hanya beberapa langkah dari kedai kopi itu.
JJJ
Hari
yang melelahkan bagi Rasti. Seharian ia harus mengurusi pengambilan data untuk
skripsinya, orderan cup cake kopi-nya
juga cukup banyak dari pelanggannya yang kebanyakan teman-teman kampusnya yang
memang menyukai kopi dalam berbagai varian.
Hari
yang melelahkan sekaligus menjengkelkan secara tiba-tiba. Semua berawal dari
perbincangan di ruang keluarga bersama kedua orangtuanya.
“APA??
NIKAH???” seru Rasti dengan suara meninggi.
“Iya,
kenapa? Usiamu sudah cukup, bentar lagi kamu lulus. Masalah pekerjaan, cari
saja sambil nanti kalau sudah menikah,” ujar ayahnya.
“Wait! Tunggu, Yah! Ayah pernah bilang
kan, kalau aku harus bisa settled
dulu karirku? Kalau perlu kuliah lagi. Kenapa tiba-tiba begini?” protes Rasti.
“Mapan
bisa dicapai seiring kamu membangun rumah tangga,”
“No! Mana bisa sukses kalau diriwuki urusan lawan jenis sedini ini?
Rasti pengen jadi wanita karir dan sukses. Membuktikan juga ke lelaki kalau
Rasti harus masuk perhitungan mereka kalau ingin Rasti menjadi pasangan mereka.
Rasti nggak mau cuman menjadi ibu
rumah tangga biasa. Rasti nggak mau
ditindas seperti bude Yuli yang pasrah atas kelakuan suaminya yang seenaknya,”
Rasti
bicara mengikuti emosinya yang meletup-letup hingga tak sadar ia menyinggung
perasaannya ayahnya.
“RASTI!!
Begitu juga dia yang mengasuhmu sejak kecil!”
Rasti
menyesal dan meminta maaf segera lalu ia lanjut berargumen agar ayahnya
membatalkan perjodohannya dengan lelaki pilihan ayahnya.
“Ayah
tidak melarangmu jadi wanita karir. Tapi ayah tidak ingin kamu terlalu lama
sendiri. Ayah dan ibu harus segera mencarikan jodoh yang tepat untukmu untuk
menggantikan kami menjagamu di masa depan. Kita tidak pernah tahu usia
seseorang. Makanya ayah berjaga-jaga sejak awal,” jelas ayahnya.
“Tapi,
saat ini Rasti masih belum butuh pengganti ayah dan ibu. Kalian masih segar
bugar dan insyaAllah berumur panjang sampai aku punya anak yang sukses!”
“Cobalah
dulu! Setidaknya kenalilah dia dulu, Nduk.
Dia pemuda yang baik dan ibu yakin dia tipe lelaki yang seperti kamu inginkan
selama ini,” kara ibunya.
“Memang
Ibu tahu bagaimana tipe lelakiku?”
“Ibu
lebih tahu, lebih dari kesadaranmu sendiri. Kamu terlalu lama di kandungan ibu,
masa’ nggak tahu gimana maumu?” goda
ibunya.
Rasti
mendengus keras.
JJJ
Waktu
dua minggu berlalu. Rasti menjalani hidupnya dengan penuh pikiran. Tesis,
bisnis, urusan perjodohan. Hal yang terakhir ini yang lebih menggundahkan hati
Rasti dibandingkan tesisnya yang akan mengantarkan dia sebagai seorang psikologi
klinis.
Rasti
mengabaikan laptopnya yang memutar musik dengan volume nyaris 100%. Padahal di layarnya tesis menunggu untuk
dijamah dituntaskan. Rasti memikirkan perjodohan itu. Dia mencoba membayangkan
seperti apa wajah lelaki yang akan dijodohkan dengannya, bagaimana
kepribadiannya, bagaimana pola hubungan -maaf- suami istri yang suami inginkan
dan bagaimana kelanjutan kisah hidupnya setelah menikah. Hal itu berputar-putar
di otak Rasti. Tak ada habisnya!
Pikiran
Rasti tentang perjodohan itu buyar seketika ketika ibunya memanggilnya. Tapi,
perasaan Rasti dibuat berlipat-lipat tidak karuan karena ia harus menemui calon
suami dan calon mertuanya yang merupakan kawan lama ayahnya.
Rasti
sudah merapikan diri dan ia tidak bisa menghindari pertemuan itu. Dan akhirnya
Rasti bertemu sosok lelaki yang katanya akan jadi suaminya.
Rasti
takjub! Ini lebih dari ekspektasinya! Prince
Paundra kawe 2! Rasti memastikan.
“Ini
yang dimaksud ayah dan ibu?” tanya Rasti pada ayah dan ibunya di hadapan
keluarga calon suaminya.
Ayah
dan ibu Rasti tersenyum tanda iya.
“Kalau
begini, bagaimana bisa menolak. Mau banget!” seru Rasti. Ibunya menyenggol
Rasti menandakan sikap Rasti kurang sopan.
“Hai,
Mas, masih inget di kedai kopi kapan hari lalu?” tanya Rasti pada lelaki itu.
“Jelas.
Sebelum-sebelumnya juga selalu inget kamu. Sudah terhitung tujuh belas tahun
inget kamu,” jawab lelaki itu.
Hari
Rasti berbunga-bunga. Merekah seketika. Seolah selama ini ia kekeringan tiada
hujan segar yang menyirami.
“Tunggu,
tujuh belas tahun?” tanya Rasti heran.
“Masa’
kamu ndak inget, Nduk? Restu ini teman waktu kamu kecil. Kemana-mana mesti sama
Restu. Restu yang jagain kamu kemana-mana, ke sekolah, main. Kamu masa’ juga nggak ingat dia pernah ngasih baju kamu
dan kamu bawa itu baju kemana kamu pergi tapi sebagai gombal? Hahahah. Kalau nggak ada gombal itu kamu nangis-nangis,
hahahah,” jelas ibu Rasti disambut tawa semua orang.
Rasti
menahan malu.
“Rasti
sengaja lupa, Bu, soalnya dia kan, ndak
suka sama saya setelah dia jatuh dari pohon rambutan gara-gara saya. Dia
marah-marah nggak mau ketemu saya.
Dan setelah itu saya ikut mama sama papa ke Makassar,” tungkas Restu.
Rasti
mencoba tersenyum. Otaknya mulai menelusuri memori lama masa kecilnya.
“Maaf,
ya, lupa. Maaf semuanya. ” kata Rasti sambil menundukkan kepalanya menahan
malu.
“Rasti...
dia ini alasan ayah melarang kamu pacaran. Melarang kamu mengejar lelaki.
Soalnya ada dia yang nungguin kamu selama ini. Restu tidak diragukan lagi
sebagai lelaki yang berkualitas buat kamu. Tipe lelaki seperti ini kan, maumu?
Ngaku sekarang,” kata ayah Rasti menggoda.
Rasti
tak bisa membantah pernyataan ayahnya. Ia masih menahan malu.
Perbincangan
antarorangtua berlangsung, di tempat lain Rasti dan Restu berbincang sendiri
mencoba membuka memori romansa lama yang pernah terjalin di antara mereka
berdua dan Rasti sempat melupakannya.
“Nggak nyangka, aku punya teman kecil
yang ternyata begini ceritanya. Persis FTV lho, Mas! Memang yang namanya rejeki
itu nggak akan kemana, yah? Dulu aku
mengejar lelaki yang aku suka dan tak satupun berhasil aku dapatkan dan di saat
sedikit putus asa begini ternyata rejeki itu datang, hehehe. Ini keajaiban
namanya,” ujar Rasti terhadap Restu.
“Semangat
kamu ngedapetin sesuatu nggak pernah
pudar, ya? Salut. Tapi, untungnya kamu gagal terus dapet lelaki. Kalau kamu
berhasil, aku nggak punya peluang
besar lagi,”
“Kenapa
kamu masih kukuh ingin bersamaku setelah sekian lama berpisah? Lagian untuk
lelaki seperti kamu biasanya maunya sama wanita yang... yang yah, levelnya Olla
Ramlan mungkin?” tanya Rasti. Restu tersenyum maniiiiissss sekali!
“Cinta.
Tuhan menakdirkan aku hanya punya satu hati yang terpaut ke kamu,”
Sumpah! Ini seperti mimpi Rasti! Lelaki tampan ini
menjatuhkan hati ke kamu!
“Kalau begitu, jadilah lelakiku selamanya dan
nikahilah aku!” celetuk Rasti seketika.
Restu
terdiam sejenak menatap Rasti. Rasti salah tingkah.
“Kenapa?
Ada yang salah dengan ucapanku? Terlalu agresif, ya? Aduuhhh, maaf...” kata
Rasti.
Restu
menarik tubuh Rasti tiba-tiba, mendekapnya erat-erat,
“Dengan
senang hati, wanitaku,” tungkas Restu.
JJJ